Masukan nama pengguna
Bu, kau menyebalkan, tapi sumpah mati aku sayang. Seenaknya saja lewat di depanku, membawa kilau gemerlapan, membuat mataku sakit, lantas berlalu begitu saja. Ah, Bu. Tidak. Aku tidak suka memanggilmu Ibu. Kau terlalu cantik untuk panggilan yang membuat otakku membayangkan sosok guru galak menyebalkan dengan bola mata nyaris keluar dan senang sekali menyuruhku menyikat WC. Huh, memangnya aku cleaning service. Dasar.
Tidak. Kau lebih bagus dipanggil Nona, Cantik, Adinda, Jelita. Oh, tidak. Lihat kan? Memikirkanmu saja membuatku gila.
Kau seperti kejora. Berkilat-kilat sinarnya. Sesaat saja hadirnya. Lantas pergi. Meninggalkan kekosongan di sini. Entah sini mana. Orang-orang puitis menyebutnya hati. Sedangkan kau selalu bilang, hati di lagu dan hati versimu amat jauh berbeda. Hati itu, nama ilmiahnya liver, katamu. Tugasnya menetralisir racun. Bukan malah meracuni, seperti hati para pujangga yang pintar bermain kata.
Hei, lihat. Kau melambai dari garbarata. Senyummu masih sama seperti tiga ahun silam. Senyum anggun seorang guru muda yang berwibawa. Saat itu, kau datang membawa charta. Hendak mengajar Sains. Tapi di mataku, kau sedang membawa panah. Menusuk tepat ke dada, dalam sekali. Sejak itu kau bercokol di sana. Tak mau ke mana-mana. Kau guru baru, baru lulus dari perguruan tinggi. Murid paling cemerlang di universitasmu dulu, kata desas-desus teman-temanku. Kira-kira empat tahun lebih tua dariku. Tapi menurutku, kau seimut anak SMP. Mungil.
***
“Bu, Ibu suka apel apa mangga?” tanyaku iseng saat kau menyuruhku membawa tumpukan buku PR. Bagimu itu adalah hukuman karena telah membuatmu jengkel di kelas tadi. Bagiku? Itu anugerah, bisa berjalan membuntutimu hingga ruang guru. Kapan lagi?
“Bawa saja bukunya!” Kau menatap jengkel. Matamu indah.
“Kalau saya suka apel. ‘Apel’ ke rumah Ibu.”
Mata indahmu melotot galak. Bukannya takut aku malah tertawa.
“Bu, nama belakang Ibu apa?” Aku kembali bertanya, baru saja sampai di ruangan.
“Keterlaluan, ya. Masa nama guru bisa tidak tahu. Mentang-mentang saya guru baru.” Lagi-lagi kau melotot.
“Nggak perlu diingat-ingatlah. Apa pun nama belakang Ibu, nanti pasti ganti jadi Rahardian. Nada Rahardian.” Percaya diri sekali kusebut nama belakangku. Kau meraih penggaris di meja, aku cepat-cepat kabur setelah menaruh buku di mejamu.
***
“Bro, Bu Nada cantik ya?” Iseng, kusebut namamu saat nongkrong di pojok belakang sekolah. Berbagi rokok yang hanya sebungkus dan dibeli dengan patungan uang saku.
“Ah, biasa aja. Cantikan Laura. Satu sekolah naksir dia. Udah cantik, pinter, ramah lagi.” Anton mengembuskan rokok dari mulut. Asapnya seolah membentuk wajahmu. Bulat mungil dibalut jilbab.
“Pak Adnan!” Wirya menepuk bahuku. Aih, dia menyebalkan tahu. Coba kalau dia bilang ada Bu Nada, dalam sepersekian nano detik, aku akan berbalik.
“Whoy, sarap lu! Senyum-senyum sendiri! PAK ADNAN!” Anton berteriak di kupingku. Aku baru saja paham dengan peringatan dua cecunguk yang sekarang sudah lari puluhan meter itu ketika tangan gemuk memelintir kupingku.
“Bolos kamu? Berani ngerokok pula?” Dengan tangan masih dalam posisi menjewer, Pak Adnan menyeretku ke ruang guru.
“Tunggu di sini, sampai Bu Sri datang!” Guru matematika itu mendelik ke arahku. Ruang guru sepi. Tentu saja. Ini masih jam pelajaran pertama. Kuamati deretan meja guru yang diberi nama. Nada Anggraeni Wiryawan. Wiryawan? Ah, rasanya lebih manis kalau disebut Nada Anggraeni Rahardian. Aku senyum-senyum sendiri. Di antara meja guru yang lain, mejamu paling rapi. Ada vas bunga krisan di sana. Cantik, tapi kau jauh lebih cantik.
“Lho, kamu?” Suaramu terdengar. Kau masuk ke ruangan. Tanpa senyum kali ini. Matamu sembab. Ah, aku ingin menghajar siapa pun yang membuatmu menangis. Apa ayahmu? Yang sama menyebalkannya seperti ayahku? Atau pacarmu?
“Ngapain kamu di sini? Ngadep Bu Sri? Bikin apa lagi kamu? Suaramu berubah galak. Ah, Bu. Eh, bukan. Ah, Nona. Bisakah sedikit lembut padaku?
“Ibu abis nangis ya?”
“Bukan urusan kamu!”
“Pasti abis putus cinta!” terkaku sembarang.
“Anak kecil sok ngerti cinta!”
Sialan, jangan menyebutku anak kecil, Nona.
“Kalau Ibu abis putus cinta, berarti doa Ibu tekabul!”
“Kok gitu? Saya mana pernah berdoa biar diputusin?”
Aha, akhirnya kau mengaku. Kenapa air mata itu tumpah.
“Eh, maksudnya doa saya yang dikabulkan.”
“Memangnya kamu ngedoain Ibu apa?”
“Doa, supaya Ibu nanti jadi jodoh saya.”
Kau mendelik.
“Kamu yang ketangkep basah ngerokok tadi? Suara berlogat Jawa kental menggelegar di ruang guru.
Ah. Bu Sri merusak suasana.
***
“Uhuk!” Itu batuk ke sekian. Biarpun mulut sudah tertutup masker, tetap saja debu kurang ajar itu bikin bersin. Aku kena hukum membersihkan ruang ekskul kesenian yang sudah lama tidak dimasuki manusia. Sekolah lebih mengutamakan akademis. Bakat seni adalah nomor sekian.
Kubayangkan Anton dan Wira yang saat ini sedang membersihkan toilet. Entah harus bersyukur atau iri pada mereka. Setidaknya dua cecunguk itu kerja berdua. Sedangkan aku?
“Haacthiiim!” Aku bersin lagi saat nekat membuka lemari berisi beberapa gitar lama. Kuambil salah satunya, yang paling bagus. Kubersihkan dengan kemoceng. Lantas iseng memetiknya sembarang.
Nona, kau tahu? kapan wajahmu menjadi sejelas kenyataan saat kita berjauhan? Tentu saat jemariku memainkan nada-nada. Seperti namamu. Tapi sumpah, aku tak punya niat mempermainkanmu. Kau itu berlian paling berkilau. Bukan mainan.
Lihat aku sayang
Yang sudah berjuang
Menunggumu datang
Menjemputmu pulang
Ingat s’lalu sayang ...
“Hatiku kau genggam. Aku takkan pergi, menunggu kamu di sini.” Hei, barusan ada bidadari bernyanyi atau?
Tidak, wajahmu muncul di pintu. Tentu kau jauh lebih indah dari bidadari.
Gitar di tanganku seolah-olah jadi bernyawa. Kupetik penuh energi. Bernyanyi. Kau mengikuti. Ah, Tuhan. Tak bisakah waktu berhenti sekarang? Biar saja tetap seperti ini. Biar begini.
“Suaramu bagus. Kamu berbakat, Saka. Coba dikembangkan.” Kau menepuk bahuku. Tepukan seorang guru. Hatiku menggelembung bangga.
***
Kau guru paling cemerlang di sekolah. Semua orang menyukaimu. Kau berhasil menghidupkan kembali kegiatan kesenian. Merekrut murid-murid yang bakatnya sempat terkucilkan. Kau juga dapat predikat guru teladan. Kau tahu, ayahku yang sempurna selalu bilang, aku anak tak berguna. Kau juga sempurna, apa kau pun menganggapku bukan apa-apa?
Siang itu, sebuah mobil berhenti di depan sekolah. Seorang pria turun menghampirimu. Aku menatap sebal dari kejauhan. Pakaiannya bagus, rambutnya klimis, berkaca mata, oramg-orang bilang wajah model begitu sangat tampan. Wajah ramah dan menyenangkan, tapi aku sungguh ingin menghajarnya.
Apa seperti dia yang kau suka? Kau bilang aku berbakat, tapi bakat tentu tak cukup untuk meraihmu bukan? Kau berlari semakin jauh, sedangkan aku hanya bisa terseok-seok mengejar bayanganmu. Ah, kalimat itu sungguh berlebihan. Aku bahkan tak dapat mengejar ujung dari bayanganmu.
***
Masa-masa ujian tiba. Dua tahun melesat. Kau tetap bercokol di sana. Di tempat yang orang bilang namanya hati. Aku menjelma jadi murid paling rajin. Aku bukan ingin kau bangga, apalagi ayahku yang hanya bisa bertengkar dan menyalah-nyalahkan ibuku. Aku hanya ingin sejajar denganmu. Ingin segera dewasa. Jauh lebih dewasa darimu. Biar saja orang bilang niat belajarku tak lagi tulus, bercabang. Orang boleh jadi pintar karena karir, janji beasiswa universitas atau apa pun. Aku, hanya punya satu tujuan. Kau.
[Bu ...] Iseng, kukirim chat ke WA-mu.
[Ya, Saka? Ada apa? Masih kurang jelas dengan bimbel tadi sore?]
[Iya]
[Yang benar? Padahal tadi pertama kali fisika kita tidak membahas hitung-hitungan. Hanya pengantar tata surya.]
Kau ini. Resmi sekali. Aku kan hanya ingin bercanda. Kau tahu, saat naik kelas tiba dan tahu wali kelasku adalah kau, aku ingin bersorak seperti orang gila.
[Saya cuma lupa, Bu. Komet Halley muncul setiap berapa tahun sekali] Emot bingung.
[Ooh, itu. Komet Halley muncul setiap 76 tahun sekali. Jadi kalau kamu melihatnya sekarang, kamu tidak akan melihatnya lagi untuk kedua kalinya]
76 tahun? Kalau itu kau, aku sanggup menunggu lebih lama dari itu. Menunggu, agar pada akhirnya bisa sejajar denganmu. Atau mungkin berada di depanmu. Sebagai imam.
***
“Apa? Anak ingusan ini bilang dia suka sama kamu? Bukannya dia muridmu?” Ibumu, meradang mendengar pengakuanku. Ah, Nona. Bukannya kau pernah bilang, lelaki terbaik selalu menjemput tuan putri di depan orang tuanya? Aku belum ingin menjemputmu. Benar kata Ibumu, aku masih anak ingusan yang baru lulus SMA. Bulan siapa-siapa. Tak punya apa-apa.
“Dia cuma main-main, Ma. Saka ini murid Nada,” katamu.
Ibumu mengusir. Jengkel benar melihatmu. ‘Bocah kurang ajar’ kata ibumu.
Aku tak menyerah. Datang dan datang lagi. Meski berkali-kali diusir. Akhirnya, di sanalah kau sekarang. Melambai dari garbarata. Lantas bersiap naik ke pesawat menuju negeri bersalju. Menempuh S2 di sana. Mengejar mimpimu, atau hendak menghindariku. Aku tak tahu.
Kenapa pergi? Apa aku salah mengartikan pipi yang bersemu merah itu? Apa memang aku hanya sekedar murid bagimu? Tak lebih, apalagi istimewa di hatimu seperti yang kukira? Hingga ringan sekali langkahmu pergi?
‘Jangan pergi’ Sungguh jangan. Ah, matu basah. Menyebalkan. Kalau begini, aku makin mirip anak kecil.
Seperti mendengar suara hatiku, kau berbalik. Merogoh sesuatu di saku jaket. Memanggil seorang anak ekcil dan menyerahkan lipatan kertas. Sekilas melirik tempatku berdiri. Tahukah kau, aku ada di sini?
Benarlah. Anak kecil itu berlari menghampiriku. Bukan barisan keluarga yang mengantarmu di sana.
Komet Halley.
Singkat saja isi surat itu. Aku memandang ke arahmu. Kau, tersenyum, mengacungkan dua jempol.
Benar, bukankah aku yang bilang, jangankan menunggu se-lama komet legendaris itu, bahkan seumur hidup akan kulakukan kalau itu untukmu. Bukan hari ini, tapi suatu hari, aku akan kembali datang. Kau memang bukan untuk dimenangkan, tapi pasti akan kuhalalkan. Kalau perlu kelak akan kuarungi London untuk menjemputmu dari sana. Memintamu, dari tempat terbaikmu, saat aku bisa sejajar atau bahkan berada di depanmu. Tunggu aku, Nada. Sumpah mati aku akan berjuang.
THE END.