Cerpen
Disukai
11
Dilihat
6,380
Conversation with Me
Slice of Life

NOTE: Cerpen ini meraih Juara 3 "Gerakan Menulis 10" dari Teori Kata Publishing, Juni 2023.

----------------------


"Ketika sulit mendapatkan jawaban di luar, carilah di dalam."


TIDUR! Kerja mulu!”

“Wah, sebentar. Nanggung, tinggal finishing. Kalau besok nggak setor, bisa lepas ini proyek.”

“Itukah yang kamu takutkan?”

“Iya, dong. Sudah di depan mata, kan sayang kalau gagal. Ini proyek besar.”

“Jadi, kamu takut dengan kegagalan?”

“Ya ya ya, aku tahu kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Tapi menyakininya tidak semudah diucapkan.”

Takut gagal, itu saja sudah merupakan kegagalan. Gagal untuk membangun optimisme dan percaya diri. Gagal untuk percaya pada kekuatan Tuhan.”

“Siapa bilang? Aku percaya, bahkan yakin akan kuasa Tuhan.”

“Kalau kamu takut gagal itu artinya kamu tidak percaya bahwa Tuhan selalu membantu makhluknya pada saat membutuhkan. Atau kamu memang tidak butuh bantuanNya?”

“Eh, tidak begitu, Bro. Maksudku….”

“Kalau kamu meyakini bahwa Dia pasti akan memberikan yang terbaik buatmu, kamu tinggal berdoa minta bantuan padaNya, lalu tunggu saja, akan datang yang terbaik untukmu. Apa susahnya? Lagian, memangnya kalau kamu gagal kenapa?”

“Kenapa? Ini proyek pertamaku setelah pandemi. Kamu tahu, kan, sepanjang pandemi aku pontang-panting mencari penghasilan. Apa pun aku kerjakan. Ojek online, jastip, hingga jualan pulsa. Sampai aku dihajar Covid tiga kali. Itu aku lakukan karena aku ini kepala keluarga.”

“Apa inti dari penjelasanmu itu? Kamu mau menunjukkan bahwa kamu berkorban demi keluarga?

“Lah… iya, dong.”

Berarti kamu nggak ikhlas.”

“Nggak ikhlas gimana?”

“Kata ‘berkorban’ itu mengandung makna bahwa kamu melakukannya dengan terpaksa. Bukan sebuah ketulusan.”

“Bro, ini adalah bentuk cintaku untuk keluarga.”

“Kalau kamu melakukannya atas dasar cinta seharusnya tidak ada keterpaksaan. Cinta itu tidak butuh pengorbanan. Cinta hanya butuh keikhlasan.”

“Apa bedanya untuk anak-istri kita? Yang penting mereka merasakan hasilnya.”

“Nah, itu dia. Sesuatu yang dilakukan atas dasar cinta hasilnya bisa sangat berbeda dengan yang dilakukan atas dasar keterpaksaan."

“Kok bisa?”

“Lupa dengan yang kita sudah pelajari? Aku ingatkan lagi, ilmu neurosains sudah membuktikan kalau pikiran dan perasaan itu memiliki energi elektromagnet. Sementara kita tahu, Law of Attraction menyebutkan, sebuah energi akan menarik energi yang sifatnya sama. Nah, cinta mengandung energi yang—aku sebut saja agar gampang—baik, dan sebaliknya, terpaksa mengandung energi buruk. Kenapa kamu memilih ‘terpaksa’? Dan lagi, anak-istri juga pasti akan tahu kamu melakukannya dengan terpaksa atau dengan cinta. Getaran energinya akan terkirim ke hati mereka.”

“Hmmm, kamu betul. Kenapa baru mengingatkan aku sekarang, sih?”

“Aku hanya akan muncul ketika kamu mengingatku. Begitu aturannya, kan?”

“Jiah! Ya sudah, aku mau kembali bekerja. Kamu mengingatkanku untuk tidur tapi malah membuatku nggak bisa tidur dengan obrolan ini.”

Hehehe… pis, Bro.”

 

***

 

BANGUN! Molor mulu!”

“Oaaahm… terima kasih sudah membangunkanku. Kamu memang teman setiaku. Alarm naluriahku.”

“Ah, aku suka istilah itu. ‘Alarm naluriah’. Tinggal ucapkan dalam hati mau bangun jam berapa, aku siap membangunkan. Nggak lagi perlu jam weker atau alarm dari ponsel. Kali ini kamu bangun dengan terpaksa atau dengan cinta?”

“Hahaha… jangan mengejek, dong, Saudaraku. Aku selalu cinta diriku.”

“Ehm, betulkah?”

“Nah, kamu mulai lagi. Iya benar, aku masih suka cuek pada kesehatan. Jarang berolahraga, makan sembarangan, dan sering begadang terutama kalau sedang banyak kerjaan. Aku masih sesekali memendam amarah kalau sedang banyak pikiran, atau benci dan iri ketika berurusan dengan pekerjaan. Tapi, kan, itu insidensial. Sesekali saja.”

“Sangat manusiawi, sih. Tapi bukan berarti itu bisa menjadi pembenaran, dong. Kalau kau sudah terlatih untuk menata dirimu—pikiran dan hatimu, aku yakin pembenaranmu itu menjadi sebuah kekeliruan.”

“Hmmm, aku kok merasa kamu memang ingin membuatku merasa bersalah, ya.”

“Lah, bagus kalau kamu mau mengakui kesalahanmu. Itu sebuah langkah maju buatmu.”

“Ya ya ya baiklah. Sekarang aku mau mandi dan bersiap-siap bertemu klien. Nah, apa saranmu untukku agar sukses mendapatkan proyek ini?”

“Aku rasa kamu sudah tahu. Mandi bersihkan badanmu, lalu bersihkan hatimu dari keinginan kuatmu untuk mendapatkan proyek ini….”

“Loh, maksudmu apa? Aku tidak boleh mendapatkan proyek ini?”

“Aku belum selesai bicara. Buang keinginanmu dan buatlah ia mewujud. Ketimbang kamu fokus pada keinginan, fokuslah pada tercapainya apa yang kamu inginkan itu. Itu maksudku.”

“Aku masih belum paham.”

“Coba sekarang kau tulis: ‘Aku ingin mendapatkan proyek itu’.”

“Oke, sudah. Lalu?”

Sekarang coret kata ‘ingin’.”

“Jadi terbaca: ‘Aku mendapatkan proyek itu’.”

“Bagus. Sekarang kamu punya dua kata yang berbeda makna. Coba bandingkan apa yang kamu rasakan dalam hati ketika membaca masing-masing kalimat itu. Mana yang lebih menyenangkan?”

“Tentu kalimat kedua. Rasanya seperti lega dan senang karena aku mendapatkan proyek itu.”

Yes! Aku punya contoh lain. Kalau kamu mengucap kalimat ‘Aku ingin kaya’, logikanya adalah bahwa aku (sedang) tidak kaya—dan itulah yang akan kamu rasakan di dalam hatimu. Sebaliknya, kalimat ‘Aku kaya’ mengandung logika bahwa aku sudah kaya. Maka, kalau kamu mau kaya, merasalah kaya, jangan cuma ingin.

Poinnya adalah, berpatokanlah pada rasa di hatimu saat hendak melakukan sesuatu. Kembali ke neurosains, yang membuktikan bahwa kekuatan elektromagnetik jantung ternyata jauh lebih besar dari otak. Nah, aplikasikan ini dengan law of attraction tadi, maka yang kamu inginkan akan jauh lebih mudah terwujud dengan ‘merasa’ ketimbang ‘berpikir’.”

“Dengan kata lain, kamu mau aku mengabaikan anggapan mainstream ‘berpikirlah sebelum bertindak’ dan seruan ‘berpikir positif’ yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan kita?”

“Kedua anggapan itu tidak keliru. Tapi akan lebih kuat dampaknya jika kamu melakukannya dengan menyertakan rasa di hati nuranimu.”

“Baiklah. Kalau begitu mulai sekarang aku akan selalu memintamu untuk memutuskan setiap yang akan aku lakukan atau tidak aku lakukan.”

“Cocok! Perintahmu itulah yang aku tunggu-tunggu. Sapalah selalu aku—jiwamu, yang bersemayam di dalam hati nuranimu—ini setiap saat kau hendak bertindak, bersikap, dan bahkan berucap. Jadikan aku GPS-mu, agar kamu tidak tersesat dan selamat sampai tujuan.”

“Cakep!”

Jadi, deal?”

“Eh, tunggu dulu. Lalu untuk apa Tuhan menghadiahi kita otak untuk berpikir? Bukankah akal yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain?”

“Begini, Bro. Kamu ini, kok, nggak paham-paham juga. Tuhan memasang dua hardware utama dalam tubuh kita. Otak dan jantung. Di dalam otak diinstal software pikiran atau akal, di dalam jantung diinstal software hati nurani. Yang membedakan manusia dan makhluk lainnya adalah kedua software ini. Akal membantu kita untuk tahu dan mengerti segala sesuatu. Tapi mengerti saja tidakah cukup. Apa artinya mengerti tanpa memahami. Nah, memahami inilah jatah buat hati nurani.”

“Ah, ya, aku paham sekarang. By the way, rasanya, kok, lama banget perjalanannya. Mengapa selalu begitu ketika kita mengharap atau mengejar sesuatu? Waktu terasa begitu lambat berjalan.”

“Itu karena kamu tidak sedang berada di sini dan saat ini. Begitulah salah satu ulah pikiran, sering kali mengelabuimu. Kadang membuatmu khawatir pada apa yang akan terjadi nanti, dan di kali lain membuatmu menyesali apa yang sudah terjadi kemarin. Keduanya tidak nyata, dan kamu mau saja menderita dengan memikirkan yang tidak nyata. Sementara yang paling nyata—saat ini—yang sedang kamu alami atau jalani malah kamu abaikan.

“Oke, aku harus lebih berhati-hati dengan pikiranku. Tapi menurutku, penciptaan konsep waktu itu justru menjebak hidup kita sendiri. Kita jadi sangat bergantung kepadanya.”

“Setuju. Aku juga membayangkan seandainya hidup kita tidak dibatasi oleh ‘dahulu’ dan ‘nanti’, tapi semuanya adalah ‘sekarang’, pasti tidak ada lagi orang stres.”  

“Ya, betul. Tapi di sinilah kita sekarang. Menjalani hidup yang penuh perjuangan.”

“Ah, itu juga yang membuat kita sulit mewujudkan keinginan. Selalu menganggap hidup itu penuh perjuangan, hidup itu keras, hidup harus ditaklukkan. Perjuangan kita yang sesungguhnya itu bukan menaklukkan hidup, tapi menaklukkan diri kita sendiri.”

“Nah, bagaimana, tuh, penjelasannya?”

“Sekali lagi, semua anggapan itu adalah buah dari manipulasi pikiran kita. Pikiran—melalui indra kita—mengunduh semua informasi dari sekitar kita bahkan sejak kita masih dalam rahim ibu. Pengalaman ini, sadar maupun tidak, menciptakan belief system yang tertanam di dalam bawah sadar bahkan sel-sel tubuh kita. Termasuk, tentu saja, adalah ‘kerasnya kehidupan’ yang terus didengung-dengungkan oleh orang-orang.

“Energi ‘kerasnya kehidupan’ itu menarik energi yang sama, sehingga kita benar-benar mengalami kerasnya hidup sehingga harus berjuang keras untuk menaklukkannya. Terjadilah sebuah lingkaran setan. Kita meyakini bahwa hidup itu keras, dan keyakinan itu makin menarik kerasnya hidup dalam kehidupan kita—dan begitu seterusnya. Dan akhirnya, di sinilah kita: We are what we think.

“Wow, jadi bagaimana kita bisa memutus lingkaran setan itu?”

Karena we are what we think, mulailah dengan mengubah the way we think, dong. Itulah arti sebenarnya dari 'menaklukkan diri'. Arti dari 'musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri'. Ganti anggapan 'hidup itu keras dan penuh perjuangan' dengan 'hidup itu nikmat dan menyenangkan'. Rasakan terus itu sehingga dengan begitu akan terbentuk belief system tersebut, sehingga kamu akan menarik hal-hal yang nikmat dan menyenangkan.”

“Tapi, kan, itu nggak gampang, Bro.”

“Nah, kan, kamu mulai lagi.”

“Ups, maaf, maaf. Ampuni aku yang hanyalah remahan rempeyek. Tidak ada manusia yang sempurna, bukan?”

“Ampuuun! Kalau kamu bisa melihatku, aku sekarang ini sedang menggeleng-gelengkan kepala, Bro. Jangan lagi bermain dengan pikiranmu. Manusia tidak sempurna? Kata siapa! Tuhan saja berfirman ‘Sungguh Aku telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya’. Kamu berani mengingkari itu?”

“Waduh! Kenapa aku begitu lalai?”

“Karena kamu selalu mengotori pikiranmu dengan hal-hal yang negatif. Coba manfaatkan dan jaga dengan baik dan benar anugerah dari Pencipta kita itu.”

“Ya ya ya, maaf. Kamu marah padaku?”

Kalau kamu merasa begitu, berarti benar.”

“Jiah! Jiwa, kok, baperan….”

“Ingat! Aku begini karena kamu berpikir begitu.”

“Aku begini, engkau begitu… sama sajaaa… hahaha! Sudah ah, kita sudah sampai di kantor klien. Doakan aku, Bro.”

 

***

 

“BANGUN! Molor mulu!”

“Wah, salah kalau kamu membangunkanku, Bro. Jiwa nggak pernah tidur.”

“Lalu ke mana kamu ketika aku presentasi di depan klien tadi? Sudah berapi-api, berbusa-busa, berdarah-darah, tegang di sana-sini, cemas ini-itu, keringat dingin mengucur, kamu diam saja. Lagi antre pipis di toilet?”

“Wah wah wah, marah, nih?”

“Aku kalah, Bro, kalah. Ideku ditolak mentah-mentah. Klien memilih vendor lain. Sia-sia aku begadang sampai pagi. Aah… oke, oke, aku harus menata diri dulu. Sori, aku sedang emosi.”

“Hmmm….”

“Yah, aku mengaku khilaf. Begitu aku di depan klien semua obrolan kita itu lenyap begitu saja. Bahkan kamu pun terlupakan. Fokusku hanya presentasi dan presentasi. Aku terus berpikir bagaimana mempertahankan argumentasi agar ideku mereka terima. Oh My God, begitu kuatnya pikiran mendominasi hidup kita, ya.”

“Nah, aku suka ini!”

Wait! Kau suka aku gagal?”

“Bukan. Aku suka kamu menyadari itu. Itu sebuah keberhasilan, bukan kegagalan. Fokuslah pada energi positif dari kesadaranmu itu, getarkan kuat di dalam hatimu, maka dia akan menarik hal-hal positif lainnya, yang bahkan bisa lebih besar. Hukum semestanya sudah begitu, Bro, kau tahu itu.”

“Ya, sebenarnya aku tahu dan memahami itu. Aku hanya belum membiasakannya. Aku….”

“Bagus. Teruskan, Bro. Apa lagi yang ingin kau sampaikan?”

“Aku akan memulai membiasakannya. Sebuah jalan tidak akan tercipta jika kita tidak mulai melangkah. Mmm….”

“Keren. Terus?”

“Aku yakin masih banyak peluang lain di luar sana yang lebih cocok untukku. Pekerjaan yang ini memang sudah jatah orang lain, bukan aku.”

“Mantap. Selalu ada hikmah di balik pengalaman kurang menyenangkan. Lantas?”

“Cuma….”

“Apa lagi, deh!”

“Coba kamu baca pesan di whatsapp dari istri kita ini. Tadi aku beritahu dia kalau presentasiku gagal.”

Wah, perasaanku nggak enak, nih. Ayo kita baca bareng-bareng sambil diresapi.

’Ini sudah ketiga kalinya kamu gagal! Jadi bagaimana kita mau bayar kontrakan bulan depan? Bayar sekolah ketiga anak kita pakai apa? Makanya, ikuti omonganku. Sudah berkali-kali aku bilang, cari keterampilan lain, nggak cuma itu-itu saja yang diandalkan. Kamu ini kepala keluarga, punya beban tanggung jawab yang berat. Harus lebih keras lagi berusaha. Hari gini persaingan tambah keras. Kalau kamu….’”

“Aku nggak tega meneruskan membacanya, Bro. Tolong bangunkan aku kalau sudah sampai rumah, ya. Aku capek….”

***



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)