Masukan nama pengguna
NOTE: Cerpen ini meraih Juara 1 Lomba Cerpen "Eye Level Literature Award" 2014.
--------------------------------------------------------
SATU... dua... tiga... setelah itu senyap.
Itu yang selalu didengar oleh Tora. Ia heran, umur Delima sudah delapan setengah tahun, dua tahun lebih tua dari umurnya, tapi ia belum bisa menghitung angka bahkan sampai lima. Setiap hari Tora berangkat dan pulang sekolah melewati gang kecil di samping rumah kayu Delima yang sudah reot itu, dan ia sering mendengar Delima belajar menghitung. Hanya sampai tiga, tak lebih. Ingin rasanya Tora membantunya belajar, tapi ketika hal itu diutarakan kepada mamanya ia selalu mendapat penolakan.
“Tora,” Mama menjelaskan, “Kemampuan anak itu berbeda-beda. Delima memang baru bisa belajar sejauh itu. Nanti lama-lama juga dia akan pintar, seperti anak yang lain. Cuma, agak tertinggal.”
Tora gagal memahami mamanya, bagaimana Mama bisa tahu tentang Delima kalau mengenal keluarganya saja tidak. Dan bagaimana bisa mengenal keluarga Delima kalau bergaul dengan penduduk kampung pun tidak pernah.
Tora juga tidak mengenal Delima, tapi justru karena itu ia ingin sekali mengenalnya. Ia masih ingat benar kata ibu guru, ‘makin besar keingintahuanmu, makin besar pula peluang kamu untuk jadi lebih pintar’. Jarak rumah Tora dengan rumah Delima sebenarnya tidaklah jauh. Cuma sekitar lima menit jalan kaki dari rumahnya, separuh perjalanan dari rumahnya ke sekolah. Hanya saja, tembok kompleks perumahan Tora memang membuat jarak yang dekat itu terasa begitu jauh. Anak-anak kompleks tentu saja hanya boleh bermain di dalam lingkungan kompleks. “Lebih aman dan mudah dipantau,” kata bapak-bapak penghuni kompleks.
Sudah berkali-kali Tora dan teman-temannya mencoba keluar kompleks ingin bermain di lapangan bola milik warga kampung, tapi sekuriti kompleks tidak mengizinkan mereka. Berkali-kali pak satpam mencegah mereka. Dengan senyum manis, memang, tapi Tora merasa pria berseragam itu menggerutu di dalam hati, “Bikin ribet saja nih, anak-anak....”
Entah mengapa keinginan Tora untuk mengenal Delima semakin kuat. Ia ingin sekali membantu Delima belajar menghitung, mungkin nanti juga belajar membaca dan belajar yang lain. Yang jelas ia ingin membantu Delima. Minta izin mama sudah pasti ditolak. Tora pun mencoba melobi Papa.
"Papa...,” Tora menyapa hati-hati. “Di kampung sebelah lapangan bolanya bagus deh.”
"Oh, pastinya, Nak. Soalnya banyak tanah luas, dan pengurusnya ada. Coba di dalam kompleks sini. Lahan nggak ada, pengurus juga nggak ada. Semua orang sibuk bekerja. Belum lagi….”
“Bukan gitu Papaaa… aku mau main ke sana sama teman-teman, boleh?”
Papa terdiam, lalu terbata. “Ooh… mmm… anu… kalau soal itu coba minta izin ke Mama, ya.”
Tora merasa ingin menangis.
Pulang sekolah siang itu Tora masih mendengar suara Delima, “Satu… dua… tiga….” Tapi tiba-tiba diikuti dengan suara piring kaleng yang jatuh ke lantai dan teriakan minta maaf dari Delima kepada ibunya.
Mama yang menggandeng Tora langsung mempererat genggaman dan mempercepat langkahnya. Tora berusaha menahan, tapi ia tak berdaya. Kenapa ya, Delima? Kenapa juga ya Mama?
Di sekolah, Tora baru tahu kalau ternyata Delima adalah bekas kakak kelasnya. Teman-teman kelas tiga cerita bahwa Delima terpaksa keluar atas kemauan Bu Sundari—ibu Delima, yang sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahnya. Selain itu, sejak kelas satu Delima dikenal sebagai anak yang kemampuan belajarnya di bawah rata-rata. Sebagai anak semata wayang yang sudah tidak punya bapak karena meninggal dunia, Delima dituntut untuk membantu ibunya bekerja sebagai buruh cuci di kampungnya.
Sebetulnya, para orang tua teman-teman sekelas Delima sudah bersedia membantu biaya sekolah Delima hingga lulus SD, tapi ibu Delima sendiri yang menolak. Alasannya, tidak mau merepotkan orang lain. “Kami tidak pernah diajarkan orang tua kami untuk menyusahkan orang lain,” begitu katanya. “Lagi pula, ilmu tidak harus didapat di sekolah, bukan?”
Penolakan Bu Sundari itu telah mengubah sikap para orang tua murid yang awalnya simpati menjadi antipati. Sudah miskin, sombong lagi!
"Jadi, itu yang membuat Mama mencegahku mengenal Delima,” Tora menyimpulkan.
Tapi untungnya Tora adalah anak yang cerdas. Ia tidak menyalahkan mamanya yang ikut-ikutan antipati terhadap Delima dan ibunya. Biarlah itu menjadi urusan orang tua. Tora justru terpukau oleh kalimat penolakan ibu Delima: Ilmu tidak harus didapat di sekolah. Betulkah? Selama ini yang Tora tahu menuntut ilmu itu cuma di sekolah.
Rasa simpati Tora terhadap Delima bertambah besar. Ia semakin ingin mengenal Delima. Tora ingin membantu Delima mendapatkan kembali kepandaiannya, tidak cuma menghitung sampai tiga. Bagaimana bisa pandai kalau tanpa dibimbing oleh guru yang benar?
Suatu hari kesempatan itu datang. Mama tidak bisa mengantar Tora ke sekolah karena ada urusan bisnis ke luar kota selama dua hari. “Jadi, kamu diantar sama Mbak, ya?” pinta Mama.
Tora langsung mengangguk cepat. Ini adalah kesempatan untuk mencoba mendekat ke rumah Delima. Sekarang atau tidak sama sekali!
Berangkat sekolah, Tora melihat rumah Delima sepi. Mungkin Delima dan ibunya sudah berangkat kerja. Tora sengaja berjalan lebih lambat di belakang Mbak dan secara sembunyi-sembunyi melemparkan sandal ke halaman rumah Delima. Ehm, Tora dengan cerdik sudah mempersiapkan sandal itu dari rumah.
“Mbak, tunggu sebentar!” seru Tora. “Itu dia sandalku yang jatuh kemaren. Aku ambil dulu sebentar.”
Si Mbak menoleh ke belakang, melihat ke arah yang ditunjuk Tora, lalu mengangguk, kemudian meneruskan kesibukannya ber-Whatsapp lewat ponsel pintarnya.
Sambil menjumput sandal, mata Tora menyapu rumah Delima. Jendela satu-satunya di depan rumah terbuka, tapi pintunya tertutup. Ia mencoba mendekati jendela, mencuri pandang ke dalam rumah. Tidak ada orang, tapi ia melihat tiga buah piring berisi bungkusan di atas meja. Rupanya mereka baru beli sarapan tapi belum sempat dimakan, karena mereka harus berangkat kerja, Tora menyimpulkan.
Tora melangkahkan kaki untuk mencoba lebih mendekat, tapi tiba-tiba tubuhnya tersentak. Seseorang menarik tangannya dari belakang. “Mas Tora, nanti kamu telat. Ayo jalan!” Si Mbak datang dengan wajah merengut.
Baru beberapa langkah berjalan, Tora melihat Delima berlari-lari kecil menuju ke arahnya, melewati mereka berdua, lalu belok ke arah rumahnya. Tora memperhatikan Delima masuk ke dalam rumah, dan tak lama kemudian keluar lagi dengan membawa kantung plastik berisi sesuatu. Delima berlari-lari lagi kembali ke arah dia datang. Tak mau melewatkan kesempatan ini, Tora memanggilnya persis ketika Delima menyusul jalannya.
"Delima!”
Delima berhenti dan menoleh ke belakang. Sejenak ia memandang Tora lalu melempar senyum.
“Hai!” sapanya sambil melanjutkan larinya.
Ingin rasanya Tora mengejar Delima, tapi ia harus ke sekolah. Nanti siang aku harus ke rumahnya.
Usai jam sekolah ia menelepon Mbak untuk menjemput sejam lebih lama dari biasanya karena ada tugas sekolah yang harus diselesaikan. Baru sekali ini Tora berbohong. Dan baru sekali ini pula Tora pulang sendiri. Sebenarnya dia sudah berani pulang sendiri. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh orang tuanya. Rumahnya dekat, rutenya sudah hapal, dan dia merasa sudah besar. Apa lagi yang dicemaskan?
Kali ini Tora merasa tak perlu lagi mengendap-endap ke rumah Delima. Delima sudah mengenal wajahnya tadi pagi.
“Delima…!” Tora memanggil dari depan pintu. “Delima…!”
Panggilannya dijawab oleh pintu yang terbuka dari dalam. Tora melongo. Di hadapan Tora kini berdiri seorang perempuan berwajah datar dengan kulit lebih hitam dari perempuan pada umumnya—tanda ia sering keluar rumah. Matanya memicing memandang wajah Tora, seperti mencoba memahami apa tujuan kedatangan bocah di depannya itu.
“Delima nggak ada. Kamu siapa?”
“Mmmm… saya Tora, Tante. Teman Delima.”
Tora diam-diam menyebar pandangan ke dalam rumah. Rumah kecil itu hanya terbagi ke dalam dua ruangan—ruang depan dan belakang yang dipisahkan oleh sebuah bufet kayu—plus satu kamar tidur di sisi kiri. Ruang depan berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruang keluarga, dan ruang belakang berfungsi sebagai dapur. Tora bisa melihat beberapa peralatan masak di sana.
Di ruang depan, di samping jendela, terdapat sebuah meja kayu kecil dan kursi di sisinya. Tora melihat dua buah buku tulis dan sebuah pulpen tergeletak di atas meja, tapi tidak terlihat satu pun buku pelajaran di situ. Kasihan Delima, ia tidak punya buku-buku untuk belajar. Ibu Delima jahat, membuat Delima bodoh.
“Halooo… Tora….”
Tora tersentak. “Eh, iya, Tante.”
“Delima sedang mengantar makanan ke kampung sebelah.”
Oh, rupanya mereka juga buka usaha katering. Ibunya memasak, Delima yang mengantarkan masakannya, seperti yang aku lihat tadi pagi. Kasihan, anak yang seharusnya sekolah dipaksa untuk berjualan. Tora ingat kata-kata Papa: “Tugas anak yang baik adalah belajar biar pintar, dan tugas orang tua yang baik adalah mencari uang agar anak bisa belajar di sekolah.”
Berarti ibu Delima bukan orang tua yang baik.
“Tora mau masuk?”
Tora ragu. Dipandangnya ibu Delima. Tak ada senyum di wajahnya. Tora ngeri membayangkan ia hanya berdua dalam rumah dengan sosok wanita seperti ibu Delima.
“Eh, tidak, Tante, terima kasih. Tora pulang saja.”
“Lho, nggak apa-apa. beberapa menit lagi juga Delima pulang. Ayo masuk….”
Dengan anak sendiri saja jahat, bagaimana dengan anak orang lain?
“Tora permisi, Tante.” Tora langsung lari tanpa menengok ke belakang.
Keesokan harinya, Tora ke sekolah dengan membawa setumpuk buku pelajaran untuk kelas dua dan tiga. Sore kemaren ia minta Papa membelikan buku-buku itu. “Besok ada acara tukar menukar buku dengan kakak kelas, Pa,” Tora berdalih. Maaf Tuhan, aku berbohong lagi. Habis, kalau tidak berbohong aku tidak bisa membantu Delima menjadi anak pandai.
Usai sekolah, ia mengajak Mbak mampir ke rumah Delima. “Sebentar saja, Mbak, aku mau mengantar buku-buku ini buat Delima,” kata Toro. Si Mbak mengangguk sambil memainkan jemarinya di smartphone.
Di depan pintu, Tora tertahan. Ia menunda mengetuk pintu karena mendengar percakapan Delima dan ibunya di dalam.
“Satu… dua… tiga… empat. Aha, akhirnya bisa juga sampai empat ya, Bu.”
“Betul, Nak. Alhamdulillah. Kamu hebat!”
Betapa susahnya Delima belajar menghitung sampai empat, sehingga ia sangat gembira begitu berhasil mencapai angka itu.
“Yang keempat itu Bu Sugeng, kan?”
Lho, maksudnya?
“Iya, Bu. Aku hitung lagi ya. Satu, Bu Heny, akan mulai mengajari aku Matematika Sabtu pagi besok. Dua, Bu Dinar, mengajar Bahasa Inggris sorenya. Tiga, Pak Sukma mengajari aku IPA Minggu pagi, dan empat, Bu Sugeng mengajari Bahasa Indonesia sorenya.”
Tora mulai mengerti apa yang mereka bicarakan. Nama-nama itu adalah nama bapak dan ibu guru sekolahnya.
Sementara Si Mbak bersandar di tiang listrik. Jarinya sibuk.
“Delima, kamu mesti dengar cerita Ibu ini agar kamu bisa mengambil hikmahnya,” kata ibu Delima. Selama ini ibu bekerja untukmu, agar kamu bisa sekolah lagi. Tapi uang tidak juga terkumpul. Kemudian Ibu sadar bahwa bukan uang yang Ibu butuhkan. Ibu lebih membutuhkan pendidikan untukmu. Dan, Tuhan pun mengabulkannya. Mantan-mantan gurumu itu mendatangi Ibu dan menawarkan bantuan jasa memberimu les privat secara cuma-cuma.
“Tapi kamu tahu, Ibu tak mau menerima bantuan begitu saja. Akhirnya kami sepakat ‘bertukar jasa’. Setiap Ibu menggunakan jasa mengajar mereka, Ibu membayar mereka dengan membantu mencuci pakaian mereka.
“Nah, sebagai ungkapan rasa syukur atas semua ini, Ibu berbagi rezeki dengan menyumbangkan nasi bungkus untuk empat anak pemulung, sesuai dengan empat guru yang baik hati itu. Itulah mengapa Ibu selalu menyuruhmu mengantarkan sarapan dan makan siang ke mereka. Tidak setiap hari, tapi yang penting sudah membantu meringankan kebutuhan makan mereka.”
Sejenak sunyi. Lalu terdengar suara Delima. “Tapi aku belum punya banyak buku pelajaran buat belajar, Bu.”
“Doamu akan didengar-Nya, Nak. Sabar.”
Tora tidak jadi mengetuk pintu. Ditinggalkannya setumpuk buku pelajaran yang dibawanya di depan pintu, lalu beranjak pulang. Kepalanya mengangguk-angguk seakan telah menemukan semua keingintahuannya.
Si Mbak merasakan gerak-gerik Tora, melirik sebentar, lalu mengikutinya pulang.
Jemarinya tetap melekat di ponsel pintarnya.
***