Masukan nama pengguna
Pada ulang tahun ke-17, Mimi mendapat kado dari mama berupa buku harian pink bergambar Barbie. Buku harian pertama bagi Mimi, tetapi itu membuatnya mengernyitkan dahi.
“Mengapa buku harian, Mama?” tanya Mimi bernada protes.
“Alam sudah menggariskan demikian, sayang. Gadis dan buku harian. Hari ini kamu telah menjelma gadis yang menawan dengan lesung pipi dan dagu yang runcing. Buku harian akan menjadi bagian hidupmu mulai saat ini.”
Tetapi berhari-hari buku harian itu tetap kosong. Mimi bukan Jessica, teman kelasnya yang gemar mendaki gunung atau Mariska tetangga sebelah yang gemar melancong ke luar kota. Mereka bisa bercerita sampai mulut berbusa tentang pengalaman dan petualangan mereka. Mimi bukan mereka.
Mimi adalah gadis kamar yang keluar rumah sebatas pergi ke sekolah. Sehari-hari ia hanya berkutat dengan komik, boneka, dan mendengarkan musik. Tak ada yang bisa Mimi tulis di buku harian.
“Mengapa harus buku harian, Mama?” tanya Mimi masih menyimpan protes, suatu malam.
“Kamu belum menulis apa pun di buku harian?”
“Belum, Mama. Mimi bingung mau menulis apa?”
“Kamu tulis saja mimpi-mimpimu.”
“Menulis mimpi, Mama?”
“Ya, sayang.”
Mimi anak yang patuh. Mimi menuruti saran mama. Mimi mengingat mimpinya dua hari silam; mimpi ia bersandar di bulan sabit di langit bertaburan bintang. Tulisan yang singkat, sebagai pembuka buku harian pertamanya.
Hari-hari berikutnya Mimi selalu mengawali pagi dengan menulis mimpinya semalam di buku harian. Sering ia menulis dua atau tiga mimpinya, karena ia sering mengalami multiple dreams.
Dalam waktu hampir setahun Mimi telah menulis ribuan mimpi dan telah menghabiskan tujuh buku harian yang ia tumpuk di sudut meja belajar. Sekarang, buku hariannya yang ke delapan hampir penuh.
Pagi ini Mimi menulis mimpinya semalam; ia bermimpi mama menikah lagi dengan lelaki baik hati yang pandai bermain karambol. Mimi mengakhiri tulisan pagi ini dengan senyum kerinduan.
Mimi menoleh ke dinding kamar, di atas meja belajar. Sepasang mata bulat Mimi memancarkan kerinduan yang sangat dan hangat, ketika menatap foto papa di dinding itu. Papa seorang masinis. Papa meninggal ketika Mimi masih kelas 6 SD. Kereta papa tabrakan dengan kereta lain.
Bibir Mimi bergetar dan ia pun bergumam, “Mimi rindu papa di rumah ini.” Setitik air menetes dari sudut mata kanan Mimi, jatuh di buku harian yang belum sempat ia tutup.
Malam pun datang. Malam Minggu. Seorang lelaki datang bertamu, mencari mama. Mama tersipu-sipu mengenalkan lelaki itu pada Mimi.
“Mimi, ini Om Handry teman kantor mama, tapi beda ruang,” kata mama dengan pipi bersemu merah.
Mimi mengerti. Ia hanya tersenyum, tak berkomentar. Mimi menjabat tangan lelaki itu.
“Mimi ke ruang tengah ya, Ma? Mau nonton tivi,” kata Mimi.
Mimi ke ruang tengah. Mimi mengerti mama butuh privasi menerima tamunya. Siapa itu Om Handry? Mama tidak pernah cerita sebelumnya bila akan kedatangan tamu lelaki gagah berkulit coklat.
Sepuluh menit kemudian mama dan Om Handry bergabung ke ruang tengah.
“Mimi, Om Handry mengajak kita main karambol. Kamu mau, kan?” kata mama.
“Benarkah? Asyiiik!” seru Mimi bergegas masuk kamar untuk mengambil papan karambol dan perlengkapannya.
Mereka bermain karambol di ruang tengah. Mimi ceria sekali malam itu. Ia senantiasa tersenyum dan berkali-kali tertawa bahkan terbahak. Sesekali Mimi mencuri pandang pada Om Handry yang bermata teduh dan murah senyum. Dada Mimi berdesir. Mimi merasa papa hadir dalam sosok Om Handry.
Pukul 9 malam. Permainan karambol selesai, karena Om Handry pamit hendak pulang.
Ketika Om Handry telah pergi, Mimi menggoda mama.
“Siapa itu Om Handry? Calon papa baru buat Mimi ya, Ma?”
Mama mencubit pinggang Mimi.
“Ih, apaan, sih?” ujar mama tersipu.
Mama bercerita bila Om Handry itu duda beranak satu. Tetapi anaknya ikut mantan isteri. Usia Om Handry sebaya dengan mama.
***
Buku harian ke delapan penuh sudah. Mimi menumpuknya di sudut meja belajar, di atas tumpukan buku hariannya yang lain. Mimi menghela napas dan memandang tumpukan buku hariannya itu. Apa yang harus ia lakukan dengan semua buku hariannya? Mimi bertanya pada mama.
“Bagaimana kalau kamu terbitkan menjadi buku?” usul mama.
“Buku? Bagaimana caranya, Mama?”
“Mama juga belum tahu. Mm, bagaimana kalau kita bawa semua buku harianmu ke penerbit? Sekalian tanya bagaimana cara menerbitkan buku. Besok, mama akan jemput kamu di sekolah, terus kita penerbit. Bagaimana?”
“Mm, boleh juga. Jadi, besok Mimi nggak perlu pulang sekolah naik angkot, dong? Asyik,” sahut Mimi terkekeh.
***
Siang itu mama izin pulang lebih awal dari kantor Kharisma Tour and Travel, tempat mama bekerja, agar bisa menjemput dan mengantar Mimi ke penerbit. Mereka berboncengan Vario hitam; mama pegang kemudi, Mimi membonceng.
Di boncengan, Mimi memainkan Galaxy S4-nya. Meng-update status Facebook. Mimi mengabarkan pada teman-teman dunia mayanya, bila ia sedang menuju ke penerbit. Mimi meminta doa dan dukungan teman-teman, semoga usahanya berhasil. Mimi tersenyum dan terkekeh membaca komentar teman-temannya.
Tiba-tiba sebuah motor RX King merah melaju dan memepet motor mama. Motor sport itu kemudian memotong laju motor mama dan berhenti. Seorang lelaki berhelm cakil turun dari boncengan dan seorang lagi masih duduk di motor. Lelaki itu menodongkan pistol dan merampas ponsel Mimi.
“Tas laptop! Cepat, tas laptopnya!” perintah lelaki itu.
“Jangan! Ini bukan tas laptop,” Mimi berusaha mempertahankan tas punggungnya.
“Pergi kalian!” Mama berusaha memukul lelaki itu.
Tetapi lelaki itu malah beringas. Ia menarik paksa tas punggung Mimi.
“Jambret! Jambret!” Mimi berteriak.
Lelaki itu memukul kepala Mimi hingga gadis itu jatuh. Lelaki itu berlari menuju temannya yang menanti di motor sport merah. Lalu motor itu melaju kencang.
“Jambret! Jambret!” mama berteriak minta tolong. Jalanan lengang saat itu. Mama menoleh pada Mimi.
“Mimi? Astagfirullah. Mimiiiii!!!” Mama histeris melihat kepala Mimi berdarah membentur trotoar.
***
Mimi membuka mata dan meringis. Ia meraba pelipis kanannya, terasa ada perban di kepalanya. Mimi melihat mama dan Om Handry duduk di dekatnya. Mereka tersenyum ketika melihat Mimi sudah sadar.
“Ini rumah sakit ya, Ma?” suara Mimi lirih.
“Ya, sayang,” mama tersenyum dan menggenggam tangan Mimi. “Kata dokter, pelipismu hanya luka luar. Mungkin besok sudah boleh pulang.”
“Mama nggak apa-apa, kan?”
“Ya, sayang. Mama baik-baik saja.”
Mimi teringat tas punggungnya.
“Tas Mimi? Buku harian Mimi?” Mimi pun tersedu.
“Jangan pikirkan itu, sayang. Kamu bisa menulis buku harian lagi. Nanti mama belikan lagi buku harian. Kita mulai lagi lembaran baru. Sabar ya, sayang?” kata mama lembut.
“Mimi pusing, Ma. Mimi mau tidur saja,” sahut Mimi lalu memejamkan mata.
“Ya, sayang. Istirahatlah. Mama dan Om Handry akan menjagamu,” bisik mama.
***
Dua hari di rumah sakit, Mimi sudah boleh pulang. Om Handry menjemput dengan Avanza silvernya. Mama membimbing Mimi memasuki kamar. Mimi duduk di tepi spring bed.
Menatap meja belajar, sepasang mata bulat Mimi bersinar redup. Ada kenangan berkelebat, hati Mimi bagai berselimut kabut.
Mama mengerti, lalu mencoba mengalihkan perhatian Mimi.
“Om Handry punya sesuatu untuk kamu, sayang,” kata mama, lalu menoleh pada Om Handry.
Om Handry mengangguk, lalu mengeluarkan bungkusan berwarna pink dari balik jas hitamnya.
“Bukalah. Semoga kamu suka,” kata Om Handry menyerahkan bungkusan itu.
Mimi membuka bungkusan itu dan matanya berpendar bahagia. Sebuah buku harian pink, seperti buku hariannya yang pertama.
“Terima kasih, Om. Mimi suka, suka sekali. Sekali lagi terima kasih, Om,” ucap Mimi berseri-seri.
Mimi memandang mama dan Om Handry bergantian. Sebuah kerinduan memancar dari wajah dan mata Mimi.
“Mama, Om Handry. Bolehkah Mimi memeluk kalian?” tanya Mimi penuh harap.
Mama dan Om Handry saling berpandangan, lalu mengangguk. Mama dan Om Handry mendekat dan merunduk, lalu mereka menyatu dalam pelukan Mimi. Mimi tersedu oleh kebahagian yang memenuhi rongga dada. Mimi memejamkan mata dan berdoa dalam hati. Doa sederhana; berharap segera punya papa baru dan masih bisa terus bermimpi.
***SELESAI***
Batang, Jawa Tengah, 2017