Cerpen
Disukai
0
Dilihat
13,388
Bu Guru Hastin Ditangkap Polisi
Drama

Suatu siang, dua polwan datang ke SMP Negeri 1 Kota Suryajaya. Ketika melihat Bu Hastin, seorang polwan berkata dan bertanya tegas, “Selamat siang! Maaf, apakah Anda Ibu Hastin Nastiti?”

***

Selama menjadi guru mapel Bahasa Indonesia, Hastin Nastiti gemar menugaskan siswanya untuk membuat cerpen dan puisi. Namun, dia belum pernah menunjukkan karyanya sendiri pada para siswa. Dia merasa tak perlu pembuktian dirinya layak menjadi guru. Jutaan guru lainnya juga hanya pandai memberi tugas.

Di SMP Negeri 1 Kota Suryajaya, Hastin termasuk guru senior. Beberapa bulan lagi dia akan pensiun. Dia membayangkan hari-hari yang menyenangkan; bermain bersama cucu atau duduk-duduk santai di beranda rumah menanti tanggal muda.

Suatu hari, Pak Hasman, Kepala Sekolah, memanggilnya.

“Begini, Bu Hastin. Dinas Pendidikan Kota Suryajaya akan menyelenggarakan Lomba Cipta Cerpen untuk guru mapel Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat SMP dan SMA. Batas pengiriman naskahnya masih satu bulan lagi. Ini surat pemberitahuan dan berkas pendaftarannya,” kata Pak Hasman.

Bu Hastin menerima surat yang disodorkan Pak Hasman, lalu membacanya.

“Apa sekolah kita akan ikut, Pak?” tanya Bu Hastin.

“Rencana saya begitu, Bu.”

“Rencana yang bagus, Pak. Lantas, siapa yang akan mewakili sekolah kita?”

“Bu Hastin,” jawab Pak Hasman.

Bu Hastin tertegun. Dadanya berdegup, sejumput gelisah mencuat, dan dia mencoba berkelit.

“Tetapi, saya hampir pensiun, Pak. Bagaimana kalau Bu Inez atau Bu Astuti saja, Pak?” usul Bu Hastin.

“Justru itu, Bu Hastin. Anggaplah ini persembahan terakhir Bu Hastin untuk sekolah kita sebelum purna tugas. Hadiahnya lumayan, lho, Bu. Sepuluh juta rupiah untuk juaranya. Selain itu, sepuluh karya terpilih akan dibukukan dan bukunya akan dibagikan ke semua perpustakaan sekolah di kota kita,” sahut Pak Hasman.

“Saya kira Bu Inez atau Bu Astuti lebih pantas, Pak.”

“Mereka akan saya ikutkan untuk lomba tahun depan, bila lomba yang sama masih ada. Untuk tahun ini Bu Hastin yang ikut.”

“Tetapi, saya belum pernah ikut lomba apapun, Pak. Saya minim pengalaman, Pak,” ucap Bu Hastin masih mencoba berkilah.

Pak Hasman tersenyum.

“Inilah saat pembuktian Bu Hastin sebagai guru. Selama ini Bu Hastin tentu sudah terlalu sering memberikan semangat pada siswa untuk berani melakukan sesuatu. Sekarang, semangat itu harus ada dalam diri Bu Hastin.”

Bu Hastin menarik napas. Tak ada alasan lagi baginya untuk menolak, maka dia pun mengangguk.

“Baiklah, Pak. Saya bersedia,” ucap Bu Hastin menyerah.

***

Bu Hastin membuka-buka buku semasa kuliah kelas karyawan di sebuah PTS, namun hanya sebentar membacanya. Dia sudah hapal semua teori sastra. Dia mengambil pulpen dan selembar kertas folio bergaris. Berpikir sejenak, lalu mulai menulis. Tetapi hanya sejenak. Satu kalimat telah selesai, setelah itu buntu.

Bu Hastin mengela napas, mencoba memaksa otaknya untuk mengalirkan kalimat, tetapi gagal. Dia mendengus. Mengapa begitu susah menulis, walau hanya satu kalimat?

Kenyataan ini sungguh berbeda ketika Bu Hastin memeriksa cerpen atau puisi karya siswa. Dia bisa mengoreksi mana kalimat yang salah, mana yang seharusnya. Kini dia merasakan betapa mudah memerintah orang lain untuk menulis, namun begitu sulit memerintah diri sendiri untuk menulis.

Bu Hastin meletakkan pulpen. Tak ada lagi yang bisa ditulis. Dia mengambil beberapa koran edisi Minggu di kolong meja ruang tamu, mencari cerpen. Dia sering menasihati siswa-siswinya untuk sering membaca cerpen sebagai kiat mendapatkan ide. Sekarang, dia akan menerapkan nasihat itu.

Dua cerpen di koran edisi Minggu, telah dibacanya. Dia merasakan kenikmatan usai membaca cerpen-cerpen tersebut, namun dia belum mendapatkan ide.

Bu Hastin tertegun dan merasa malu pada diri sendiri. Kini, dia mengerti mengapa para siswanya mengeluh kalau mendapatkan tugas mengarang. Karena mengarang bukan hal sederhana, namun butuh ketekunan. Mengarang bukanlah memasak mi instan yang bisa selesai dalam sekejap!

Malam itu Bu Hastin tidur gelisah. Malam-malam berikutnya pun masih resah, karena memikirkan batas akhir pengiriman naskah cerpen yang semakin dekat.

Suatu malam, setelah sekian lama duduk termenung menatap pulpen dan lembar kosong folio bergaris, Bu Hastin beranjak dari kursi. Dia menuju sudut ruang tengah, membuka kardus bekas mi instan, mengeluarkan koleksi majalah lawas.

Dia teringat pada sebuah majalah wanita tahun 1980-an yang pernah sangat berkesan baginya. Dia berseru girang ketika menemukan majalah itu, membuka-buka lembarannya untuk menemukan halaman tertentu.

“Ini dia!”

Bu Hastin bergegas duduk di kursi, mengeluarkan laptop dari tas kerja, menaruhnya di meja, membukanya, lalu segera mengetik. Bersemangat dia mengetik. Menjelang subuh, dia menarik napas lega. Akhirnya, dia berhasil mencipta sebuah cerpen.

***

Bu Hastin menerima ucapan selamat dari rekan-rekan, ketika usai menerima hadiah sepuluh juta rupiah, di aula Kantor Dinas Pendidikan Kota Suryajaya.

“Selamat, ya, Bu Hastin,” kata Pak Hasman.

“Terima kasih, Pak.”

“Bu Hastin memang guru ideal dan teladan. Bukan hanya mampu berteori, Bu Hastin juga mampu membuktikan dengan karya nyata,” kata Pak Hasman bangga.

Di sekolah, Bu Hastin menjadi idola para siswa.

“Selamat, Bu Hastin.”

“Bu Hastin hebat!”

“Ajari saya bikin cerpen, dong, Bu Hastin.”

***

Ketika Bu Hastin telah menerima SK pensiun, pihak sekolah menyelenggarakan pesta perpisahan di aula. Di panggung, Bu Hastin membacakan cerpen karyanya yang mengantarnya menjadi juara –cerpen yang telah dibukukan dan bukunya telah tersebar di seluruh perpustakaan sekolah di kota Suryajaya.

“Selamat menikmati masa pensiun, Bu Hastin,” kata Pak Hasman, ketika pesta telah usai.

“Terima kasih, Pak.”

“Kami punya sebuah rencana, Bu Hastin. Kami, para guru dan perwakilan siswa, sepakat untuk mengadakan ekskul mengarang. Kami harap Bu Hastin mau menjadi pembimbingnya,” kata Pak Hasman.

“Saya, Pak?”

“Siapa lagi kalau bukan Bu Hastin?”

“Bukankah ada Bu Inez dan Bu Astuti? Saya kira mereka lebih pantas, Pak.”

“Hanya seminggu sekali, kok, Bu. Untuk Bu Inez dan Bu Astuti, mereka tentu kami libatkan, sekalian ikut menimba ilmu dari Bu Hastin. Bagaimana? Bu Hastin bersedia, kan? Kami mohon.”

Dada Bu Hastin berdegup melihat tatapan Pak Hasman dan beberapa guru yang memohon. Tak ada alasan bagi Bu Hastin untuk menolak, maka dia pun mengangguk, walau dadanya terus berdegup berselimut gelisah.

Mereka segera menuju ruang kantor. Mereka terkejut ketika melihat dua orang polwan duduk di ruang tamu. Seorang polwan segera berdiri.

“Selamat siang! Maaf, apakah Anda Ibu Hastin Nastiti?”

“Benar,” jawab Bu Hastin; suara bergetar, wajah tegang.

“Kami mendapat perintah untuk membawa Bu Hastin ke kantor. Ini surat perintah dari komandan kami,” si polwan menyerahkan amplop.

“Maaf, ada apa ini?” Pak Hasman menyela.

Si polwan menatap Pak Hasman.

“Kami mendapat laporan dari Panita Lomba Cipta Cerpen bahwa, Bu Hastin telah melakukan penjiplakan cerpen. Sesuai surat pernyataan yang telah ditandatangani Bu Hastin, kami akan menahan Bu Hastin untuk menjalani penyidikan.”

“Maaf, kalau boleh tahu, apa isi surat pernyataannya?” tanya Pak Hasman.

“Bahwa Bu Hastin siap menerima sanksi hukum bila terbukti melakukan penjiplakan,” jawab si polwan.

Bu Hastin hanya bisa menunduk mendengar pembicaraan itu. Ia terus menunduk ketika dua polwan menggiringnya memasuki Pajero putih di halaman kantor.

Di perjalanan, di dalam mobil, Bu Hastin terus menunduk seolah lehernya telah patah. Dari kedua sudut matanya mengair air penyesalan. Berkelebat dalam pikirannya sebuah harapan yang indah: menikmati masa pensiun bersama cucu atau duduk-duduk santai di beranda rumah menanti tanggal muda. Kini, mungkinkah harapannya itu terwujud?

***SELESAI***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)