Masukan nama pengguna
Dika dan Mer bersiap-siap mengerjakan tugas kelompok.
"Tema, kemerdekaan!" Dika menulis di buku tulisnya. Sementara Mer mengeluarkan berbagai alat warna yang dia punya.
"Terus apa?"
Keduanya bertatapan, mereka bahkan tidak tahu bagian apa yang membuat mereka bingung. Mungkin karena mereka tidak begitu paham. Apa sih maksud dari kata yang baru saja Dika tulis? Yang mulai bulan Agustus ini seakan menempel di mata mereka, saking banyaknya spanduk dan baliho yang mereka lihat sepanjang jalan.
Mereka belum diperbolehkan punya hape oleh orang tua mereka masing-masing. Jadi tidak bisa mencari jawaban lewat browsing.
"Mau nanya siapa?"
Dika memanyunkan bibirnya.
Di rumah hanya ada satu orang lagi. Orangtuanya pergi ke tempat teman alumni SMA yang kabarnya sedang sakit.
Umur 10 tahun jelas bukan umur yang dapat dipercaya untuk menjaga rumah sendirian. Kakaknya juga tinggal di rumah karena punya tugas sendiri yang harus selesai sebelum minggu depan.
"Yuk!" Akhirnya Dika mengajar Mer meninggalkan teras, dan masuk ke ruang tamu.
"Kak Kimi!"
Kimi mengangkat kepalanya, matanya berkedip melihat adik laki-lakinya masuk membawa teman. Tangannya berhenti menulis sejenak. Dia tahu Dika minta ijin agar temannya bisa datang ke rumah untuk mengerjakan tugas. Karena itu dia berjaga-jaga di ruang tamu supaya bisa mengawasi keduanya.
"Permisi, Assalamu'alaikum, Kak," Mer teringat ajaran mamanya.
"Waalaikumsalam, kenapa dek?"
"Mau nanya dong!" Dika memang punya suara yang keras, Kimi selalu berjengit mendengarnya.
"Iya, iya, nggak usah teriak-teriak, mau nanya apa?"
"Kemerdekaan itu apa sih?"
Kimi termenung. Kebetulan sekali? Tugas sekolahnya kali ini berkaitan dengan kemerdekaan. Bukan hanya karena bulan Agustus lalu seluruh sekolah di Indonesia memberikan tugas bertema kemerdekaan. Bukan. Justru Kimi mendapatkan tugas sendirian karena sesuatu terjadi di sekolah.
*
Kejadian dimulai dua minggu yang lalu.
"Karena itulah Pancasila merupakan way of life, implementasikan nilai-nilai Pancasila…"
Pak Luki menjelaskan materi Pancasila untuk yang kesekian kalinya. Tapi tiba-tiba beliau melempar spidol dengan kencang ke arah satu murid, dan berkata cukup tegas dan keras.
"FARID! KAMU NGAPAIN ITU??!" Yang sedang dihardik rupanya tidak memperhatikan dan berani-beraninya membaca komik di kelas pada waktu kegiatan belajar mengajar aktif.
Farid juga hanya cengengesan, tapi tidak lantas menyembunyikan komiknya.
"Bawa ke sini!!"
Seisi kelas yang sudah kaget karena Pak Luki berteriak sekencang itu, mulai merasa ngeri dengan kelakuan Farid yang berani bersikap santai padahal sedang berhadapan dengan guru yang sedang marah. Terutama karena apa yang selanjutnya ia katakan.
"Eh, jangan, Pak, ini punya si Ega!"
Ega yang bangkunya tidak jauh dari si Farid melotot ke arahnya. Sudah maksa minta dipinjamkan, alamat bakal disita, malah lempar masalah pula! Geram Ega dalam hati.
Pak Luki bukanlah guru killer. Selama murid-murid menghormati dan mendengarkan pelajaran, dia tidak terlalu ambil pusing akan kelakuan mereka, selama tidak melewati batas.
Karena itu, pada detik beliau berteriak, Pak Luki merasa bersalah, tidak adil kalau murid-murid lain yang serius mendengarkan juga kena getahnya. Beliau memelankan suaranya.
"Kamu ke kantor saya pas jam istirahat."
Farid masih bersikap kurang ajar sampai-sampai Keanu yang sebangku dengannya menyodok lengan teman sebangkunya ketika dia berani berkata.
"Yah…Pak, nanti saya kelaperan dong!"
"Tidak ada tapi-tapi! Sekarang kamu ke depan sini, duduk di meja guru sampai selesai. Setelah itu ikut saya ke ruang guru."
Farid memasang tampang sebal, tapi tanpa rasa bersalah sama sekali dia menghentakkan kaki berjalan ke meja guru.
Pak Luki mengusap wajah sambil menggelengkan kepala. Tidak mengerti kenapa Farid selalu yang membuat masalah. Dan bukan hanya kelasnya, banyak guru mengeluhkan Farid. Entah karena makan di kelas, bermain hape, dan membaca buku yang bukan buku pelajaran, semuanya dilakukan pada saat jam pelajaran.
Anehnya, dia justru jarang membolos. Seakan-akan tujuannya sekolah adalah membuat masalah di dalam kelas sehingga mau tidak mau dia harus masuk agar tujuannya tercapai.
"Pak! Kalau saya dihukum, Kimi juga dong!"
Kimi sedang tidak tersenyum. Tidak seperti beberapa anak yang tertawa berbisik melihat Farid dalam masalah. Tapi mau tidak mau ujung bibirnya turun ke bawah mendengar perkataan Farid.
Aku kan nggak ngapa-ngapain?? Dia berpikir sambil mengerutkan dahinya. Teman sebangkunya Fio juga bingung. Dia melihat sendiri betapa rapi dan teratur catatan Kimi hari itu, bukti bahwa teman sebangkunya serius mendengarkan. Fio justru yang tidak terima.
"Pak! Kimi nggak ngapa-ngapain! Ini aja saya lihat catatan Kimi! Dia dari tadi dengerin kok!" Bela Fio, tatapan matanya ke arah Farid penuh kekesalan.
Farid melotot balik, "nggak! Dia pasti main hape, yakin saya Pak!" Dia berani berdiri dan menunjuk-nunjuk tidak sopan ke Kimi, yang masih tidak mengerti kenapa Farid menuduhnya.
Kimi tipe anak rajin dan pendiam, bahkan hapenya sekarang aman dan mati di dalam tas. Dia hanya menyalakan hape saat istirahat, atau kalau ada guru yang memang meminta mereka membuka hape untuk share materi digital.
"Farid! Duduk lagi, kamu tidak boleh bicara sampai jam saya selesai! Bapak juga bisa lihat, Kimi tidak melakukan apa-apa selain serius mendengarkan dan mencatat! Kamu jangan fitnah! Dosa!" Hampir habis kesabaran Pak Luki. Farid akhirnya duduk diam.
Kimi merasakan tangan Fio mengusap pundaknya seakan mengatakan bahwa dia tidak perlu sedih dikatai begitu. Tidak, dia tidak merasa sedih. Hanya bingung dan sedikit sebal.
Tapi ketika melihat sosok berseragam agak kumal dan lusuh duduk di meja guru, dia merasakan setitik rasa kasihan.
*
Kimi berkata dia akan memikirkan jawabannya dulu. Sementara, gimana kalau mereka cerita sudah diajarkan sampai mana di sekolah, tentang kemerdekaan Indonesia.
Mer dengan semangat bercerita tentang beberapa nama pahlawan yang dihafalnya. Dika menambahkan tanggal legendaris kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus 1945. Keduanya juga sudah diberitahu oleh guru mereka bahwa Belanda dan Jepang pernah menjajah Indonesia.
"Wah, udah banyak ya diajarinya, pinter!" Kimi mengacak-acak rambut adiknya. Mer terlihat iri, Kimi tersenyum dan mengacak rambut Mer juga, meskipun tidak seberantakan rambut Dika, masak iya dia ngunyel-unyel kepala anak orang sampe segitunya.
Pikirannya melayang lagi ke peristiwa setelah hari itu.
*
Dalam setiap kesempatan, jika Farid ketahuan melakukan kesalahan dan diingatkan oleh guru, dia akan melewati tiga tahapan. Pertama, diingatkan. Dia akan dengan santai tapi kurang ajar menimpali, kedua kalinya dia masih sedikit melawan. Kalau sudah yang ketiga kali, Farid mencak-mencak, lalu dituduhnya salah satu teman sekelas yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun.
Entah sudah berapa kali Farid digiring ke ruang Bimbingan Konseling. Beberapa guru yang empati mengusulkan untuk mengunjungi orang tua Farid. Siapa tahu akar permasalahannya ada di rumah. Karena sebanyak apapun murid mereka, guru selalu ingat satu per satu murid yang pernah mereka ajar. Dan guru-guru yang pernah mengajar Farid di kelas X melakukan pembelaan, bahwa Farid dulu tidak pernah membuat masalah sampai seperti ini.
Tanpa sepengetahuan para guru, setelah hari itu, Farid mengusili Kimi beberapa kali. Entah itu menyandung kaki Kimi, menyenggol dengan agak keras. Kimi sendiri tidak mau membuat masalah. Fio, yang adalah teman sebangku dan sahabatnya, mulai kesal dan menceritakan apa yang dilakukan Farid ke Kimi, pada teman-teman lainnya.
Dan dimulailah apa yang Kimi lihat sebagai perundungan.
*
"Kalau alasan kenapa Belanda dan Jepang menjajah Indonesia, tahu nggak kenapa? Udah diajarin materinya?" Kimi bertanya karena dia sendiri lupa apakah saat seusia mereka, kelas IV SD sudah ada materi tersebut atau belum.
Ditambah lagi kurikulum sekarang jauh berbeda dengan kurikulum dulu. Entah berapa kali sejak SMP, guru-gurunya mengeluh mengenai kurikulum yang terus berganti setiap tahun.
"Belum kak." Jawab Dika.
Kimi bercerita mengenai rempah-rempah, penyebaran agama, dan kekayaan alam Indonesia yang menjadi sasaran bagi para penguasa di benua Eropa. Ditambah persaingan negara-negara di belahan dunia sana yang pada waktu itu masih dalam bentuk monarki alias kerajaan. Sebelum sampai ke Perang Dunia II, Mer bertanya.
"Rempah-rempah itu apa?"
Kimi mengatupkan bibirnya, "rempah-rempah itu bumbu-bumbu. Kalo sekarang banyaknya dipake buat masak, tapi sebenarnya bagus buat kesehatan. Di tempat mereka susah dapet rempah, makanya harganya muahal!" Dia berusaha menjelaskan tanpa bertele-tele karena anak SD belum mengerti politik dan ekonomi, apalagi politik dan ekonomi jaman dulu.
Dika mengangguk bersemangat, "karena mahal di sana mereka nyari ke sini soalnya murah ya, Kak?"
Kimi mengangguk lalu melanjutkan menulis tugasnya. Tapi lalu teringat, o iya, kalian tanya soal kemerdekaan ya? Kakak sampe lupa." Dia meringis menggaruk kepala karena kepikunannya.
*
Farid mulai dikucilkan.
Memang sejak awal masuk kelas XI tidak banyak yang dekat dengan Farid. Ega yang sebelumnya cukup dekat dengannya pun mulai menjauh. Agaknya masih dendam karena namanya diseret gara-gara kasus komik waktu itu. Tidak hanya itu, jumlah murid kelas mereka yang memang ganjil menjadikan salah seorang dari mereka harus duduk sendiri ketika dirotasi setiap minggu oleh wali kelas mereka.
Selama dua minggu, Farid sendirian. Kimi tidak tahu harus berbuat apa. Dia sendiri sudah tidak mengusili Kimi atau teman sekelas lain.
Tapi.
Farid tidak bodoh. Begitu seseorang sadar sedang dikucilkan, ada dua kemungkinan cara mereka bereaksi. Pertama, menerimanya begitu saja meskipun nelangsa karena tidak ada teman yang bisa diajak berbagi.
Sayangnya Farid tidak bereaksi seperti itu.
Dia dengan sengaja mengamuk setiap kali ada kesempatan. Hampir seperti orang gila di perkampungan, siapapun yang lewat dihardik dengan kata-kata yang tidak jelas. Lebih seperti menggumam tapi dengan suara keras dan tanpa artikulasi yang jelas.
Akibatnya kelas mereka disebut 'kelas orang gila' dan banyak korban semprot Farid yang menyalahkan kelas mereka.
Banyak teman sekelas yang mengeluh karena jadi korban disebali oleh teman mereka di kelas lain tanpa sebab. Kimi mengatakan dalam hati, sama sekali bukan tanpa sebab. Kalau ada anak kurang stabil justru dikucilkan, jelas akan ada akibatnya.
Kimi juga jengah dengan situasi ini. Dia berpikir dan memutuskan tidak mungkin mendekati Farid sendirian. Yang ada malah digosipkan. Dia pun menghubungi ketua kelas mereka melalui chat.
Gilang juga sudah resah seminggu itu karena masalah Farid. Tapi agak ragu dengan usul Kimi. Mereka setuju lebih baik mendekati Farid pelan-pelan dan lebih baik dilakukan teman cowok. Gilang mau saja mencoba mendekati Farid untuk mengetahui apa masalah anak itu, tapi selalu ada kemungkinan gagal, dan dia takut menjadi penyebab Farid menjadi semakin parah kalau gagal.
Jadilah mereka mengundang dua orang lain. Satu cewek dan satu cowok kelas mereka yang dianggap netral.
Bimo dan Hanifah setuju untuk bekerjasama. Bahkan Ifah dengan bijak menyarankan untuk konsultasi dengan Bu Lia, guru BK mereka yang lulusan Psikologi agar tidak salah langkah.
*
"Kemerdekaan itu sebenarnya macam-macam, kalian mau versi pendek atau panjang?"
Dika dan Mer punya banyak waktu, dan mereka suka mendengar Kak Kimi bercerita.
"Panjang!"
Kimi meluruskan kakinya. Dia sudah sejak dua puluh menit yang lalu duduk di atas karpet dengan kaki ditekuk. Sakit juga lama-lama.
"Kalau dari sisi politik, kemerdekaan itu berarti suatu negara atau bangsa tidak sedang dijajah negara lain secara fisik.
Kalau dari sisi sejarah, kemerdekaan Indonesia adalah peristiwa. Peristiwa bersejarah yang nggak cuma kejadian 17 Agustus aja, lama lho perlawanan rakyat Indonesia melawan penjajah. Nggak cuma sepuluh atau dua puluh tahun.
Kalau dari sisi moral….yah, rakyat Indonesia sendiri masih banyak kurangnya meskipun menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan kemanusiaan."
Lah, aku jadi jelasin beribet gini padahal tadi mikir mereka nggak akan ngerti politik dan ekonomi. Kimi melihat reaksi adik dan teman adiknya dulu.
Dika kelihatan sok-sokan manggut-manggut. Mer ekspresinya lebih jujur, bahkan mulutnya manyun tanda belum begitu mengerti.
"Jadi…. Indonesia belum merdeka?" Mer susah payah menyimpulkan.
*
Farid menatap Gilang dan Bimo curiga ketika mereka rajin mengajaknya setiap jam istirahat. Entah hanya nongkrong, makan di kantin, kadang mereka mengajak main bola basket juga.
Bu Lia menyarankan untuk tidak memaksa Farid. Dari kunjungan ke rumah Farid, beliau melihat memang ada masalah. Tapi karena itu persoalan pribadi, Bu Lia tidak mengatakan apa masalahnya. Yang jelas, sulit untuk menyelesaikan masalah rumah Farid sebagai solusi satu-satunya. Kalau Gilang dan Bimo mau dengan ikhlas dan sabar berteman dengan Farid, mungkin bisa membantu Farid menjadi lebih baik.
Beberapa hari kemudian, Kimi tersenyum melihat ketiganya dengan semangat bermain basket. Bimo dan Farid mengeroyok Gilang di bawah ring basket. Gilang protes sambil bercanda soal ketidakadilan pembagian tim. Masa' dia sendiri jaga ring?
Beberapa kakak kelas yang tertawa melihat permainan berat sebelah ikut turun ke lapangan. Permainan 3 on 3 itu berakhir adil dan makmur. Bahkan yang menonton di pinggir lapangan memberi tepuk tangan. Kimi bersama Ifah dan Fio juga memberi tepuk tangan. Fio tertegun melihat perubahan mendadak ini.
"Jadi…dia ada masalah apa?" Fio berbisik. Kemarin Kimi sudah memberitahu kenapa Gilang dan Bimo tiba-tiba akrab dengan Farid.
Kimi menarik Fio dan Ifah menjauhi kerumunan supaya tidak ada yang mendengar.
"Ibunya Farid baru melahirkan kembar tiga."
Berita itu saja sudah cukup mengejutkan, tapi yang mengalami kesulitan tidak hanya Ibunya Farid. Merawat tiga bayi sudah pasti memerlukan banyak tenaga, waktu, dan menyita perhatian orangtua. Farid harus mengurus kebutuhannya sendiri ditambah membantu ibunya sebisa mungkin. Semua itu ditambah urusan sekolah cukup membuat Farid stres.
"Oh…," Fio anak tunggal, jadi tidak pernah mengalami yang namanya kurang perhatian karena situasi. Dan seperti yang Bu Lia katakan, persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan begitu saja. Para guru tidak mungkin 'menasihati' orang tua Farid untuk memberi perhatian lebih pada Farid. Karena itu berarti tiga adiknya tidak ada yang mengurus. Menyarankan untuk menyewa tenaga pembantu atau pengasuh anak pun mustahil. Kedua orangtuanya merupakan golongan rakyat menengah ke bawah.
"Farid harus berubah sendiri. Kalau kita kucilkan aja hasilnya begitu, jadi pikirku, coba dibalik. Coba kita berteman sama Farid."
Beberapa hari kemudian, Farid terlihat lebih kalem. Bahkan kakak kelas yang kemarin bergabung 3 on 3 basket mengajaknya bergabung di klub basket. Gilang dan Bimo mendukung, tapi kalau Farid-nya mau. Apalagi di rumah sedang sibuk-sibuknya. Farid malu-malu menjawab kalau kakek dan neneknya dari desa bersedia tinggal dengan mereka untuk membantu ayah ibunya momong adik-adiknya. Dan ibunya yang selama ini juga merasa bersalah tidak bisa memberi perhatian lebih pada Farid mendukungnya untuk mempunyai hobi sebagai penyaluran bakat anaknya.
*
Kimi tersenyum.
"Mer sama Dika kalau misal jalan kaki bareng, ada yang lebih cepet jalannya? Atau kalian bareng melangkahnya?"
Keduanya berpandangan, "Dika lebih tinggi jadi jalannya lebih cepet, kak!" Dika dengan bangga berdiri dan membusungkan dada. Mer lagi-lagi manyun.
"Ih, sendirinya sering jatuh kesandung kaki sendiri, kepanjangan tuh kaki!"
"Eh…waktu itu kamu yang nyandung juga!"
Kimi meringis dan berusaha mendamaikan keduanya. Dia bersyukur dalam hati karena belum pernah mendengar kata-kata kotor yang tidak pantas, yang sering dilontarkan anak kecil jaman sekarang karena pengaruh gadget dan internet.
"Kalo kalian mau main bareng, terus jalan ke lapangan, masa' Dika mau ninggalin Mer jalan sendirian?"
Dika menunduk, "nggak mau, kak. Nggak seru kalo sendirian!"
"Tapi Mer juga bukan berarti mau jadi lebih lambat dari Dika terus, kan?"
Mer menggeleng, "nggak mau, kak. Aku tetep bisa jalan lebih cepet kok! Kan bisa main bareng lebih lama jadinya kalau cepat sampe!"
Kimi lega, "nah, ibaratnya, kemerdekaan itu tujuan. Kayak lapangan tempat kalian mau main bola. Biar seru, harus bareng-bareng jalan ke sana. Ada yang pelan, ada yang cepat, tapi kalian tetap mau sama-sama. Dan ketika sampe di lapangan, kalian juga harus kerjasama pas main bola, iya kan?"
Seakan ada bola lampu berpijar di setiap bola mata Mer dan Dika. Mereka mengangguk paham.
*
Kimi mengawasi betapa serius dan serunya mereka mengerjakan tugas sambil tersenyum.
Gilang memberitahu Bu Lia kalau yang mengusulkan agar mereka berteman dengan Farid adalah Kimi. Beliau lalu meminta Kimi membuat sesuatu.
Kembali Kimi serius mengerjakan tugas yang diberikan Bu Lia. Tulisannya harus serapi mungkin, dan tidak boleh terlalu kecil, nanti susah dibaca. Tidak boleh terlalu besar, karena nanti tidak ada tempat untuk unsur-unsur yang lain.
Sebuah poster anti perundungan yang sekaligus menjunjung nilai-nilai yang diakui Bangsa Indonesia. Judulnya cukup bear untuk dilihat dari jarak beberapa meter jauhnya.
Berjalan Bersama Menuju Kemerdekaan.
***
TAMAT