Masukan nama pengguna
Penny percaya cinta.
Penny percaya, cinta tidak akan abadi.
Pura-pura Penny menyukai gosip-gosip bertemakan cinta seperti teman-temannya. Oh, si G suka dengan si D, tapi sebenarnya masih pacaran dengan si K. Meski tidak begitu peduli dengan nasib mereka selanjutnya, dia mengingat-ingat nama-nama mereka. Siapa tahu suatu saat bisa jadi bahan pembicaraan.
Penny tahu yang namanya pacaran tidak akan bertahan lama.
Pertama kali punya pacar, dia merasa sedikit berbunga-bunga. Sedikit malu-malu di depan Miko, pacarnya. Terutama karena teman-temannya menggoda mereka setiap kali berduaan.
Beberapa minggu pertama, dia merasakan setitik kesenangan.
Memasuki bulan kedua, baik Miko maupun Penny sudah tidak 'ngeh' lagi kalau mereka pacaran. Teman-temannya juga tidak ada lagi yang menggoda. Akhirnya mereka putus baik-baik. Satu hubungan berakhir.
Itulah yang membuatnya menarik suatu kesimpulan. Pacaran tidak jauh berbeda dengan pernikahan. Sama dengan neneknya, sama pula dengan ayahnya. Keduanya menikah lebih dari sekali, bercerai lebih dari sekali pula. Jadi mungkin memang pacaran ada masa kadaluarsanya.
Dia sudah mencoba bertanya pada banyak orang. Ada teman-temannya, tapi mereka sama saja dengan Penny, tidak pernah lama-lama kalau pacaran. Ada rumor Fika dari kelas sebelah sudah pacaran dari SMP dengan orang yang sama. Tapi ketika dia bertanya, ternyata mereka sudah putus. Bosan, kata Fika dan mantannya.
Anehnya, ketika dia bertanya kepada beberapa tetangga mereka yang sudah menikah puluhan tahun, jawaban mereka membuat resah Penny.
Bu Yani tidak punya penghasilan, harus bergantung pada suaminya. Suatu waktu dia pernah mencoba berwirausaha di rumah, tapi anak-anaknya jadi susah diurus dan suaminya jadi suka marah-marah.
Kak Ratih tetangga yang baru tinggal dua tahun di lingkungannya, ternyata hamil di luar nikah. Jadi dia dan pacarnya drop out dari kampus, menikah, dan pindah ke sini.
Yang paling tidak membuat resah hanya ada beberapa. Ketika ditanya, mereka menjawab menikah karena ingin menyempurnakan agama. Karena Allah SWT, dan kesemuanya adalah ibu-ibu perkumpulan pengajian di masjid.
Penny menyimpan kepercayaan itu dalam hati. Tapi dia masih percaya cinta tidak akan bertahan lama.
*
Masih sampai lama dia masih juga bertanya-tanya. Apalagi dia sudah kuliah, sudah mendekati usia untuk masuk pasar pernikahan.
Mengapa orang menikah?
Ternyata banyak juga yang menjawab bukan karena cinta, tapi karena kebutuhan. Kebutuhan sosial, kebutuhan hidup, kebutuhan seksual, beberapa orang menjawab satu atau lebih jawaban tersebut. Bahkan beberapa orang diantaranya adalah orang-orang yang Penny tidak menyangka akan menikah dengan alasan bukan karena cinta.
Satu persatu teman dan kenalannya menuju ke pelaminan. Ada yang ceritanya romantis, ada yang sadis. Kenapa sadis? Karena ternyata banyak yang memutuskan hubungan demi menikah dengan orang lain. Penny tidak mengerti ketika salah satu temannya, Rietta, yang lengket dan masih mesra dengan Dimas, pacarnya selama 5 tahun, malah menikah dengan orang lain. Bahkan kabar bahwa Dimas masuk rumah sakit tidak menggerakkan hati Rietta untuk membatalkan rencana pernikahannya. Teman Dimas mengabarkan bahwa Dimas depresi dan menolak makan hingga mengalami dehidrasi dan kurang gizi. Penny menanyakan alasan Rietta.
"...." Tidak ada jawaban. Rietta bukan ripe yang bisa berbohong. Penny merasa antara mengerti dan tidak mengerti.
Di satu sisi, calon suami Rietta sudah punya posisi tinggi di perusahaan meskipun masih muda. Agamanya bagus dan tampangnya lumayan. Sedangkan Dimas belum menyelesaikan kuliah karena kesibukannya bekerja freelance ditambah mengejar mimpi untuk menjadi aktor. Yang bisa dibanggakan mungkin hanya wajahnya yang ganteng dan tubuhnya yang lumayan atletis.
Di sisi lain, Rietta dan Dimas sudah pacaran lebih dari lima tahun. Setiap hari anniversary, setiap hari ulang tahun, tidak pernah mereka absen untuk menghabiskan waktu berduaan. Teman-teman Rietta tahu teman-teman Dimas. Orangtua Rietta tahu orangtua Dimas! Begitu juga sebaliknya!
Kalau ditanya sekali lagi soal kenapa, mungkin baru beberapa tahun lagi Rietta punya keberanian untuk menjawab.
*
Karena banyaknya alasan, Penny menganggap cepat atau lambat menikah toh sama saja. Jadi ketika ada yang melamarnya pertama kali, dia menerimanya. Ayahnya juga mengiyakan saja karena calonnya tidak punya kekurangan yang berarti.
Mungkin karena sikap ayahnya, atau karena pandangannya akan cinta dan pernikahan, Penny punya firasat dirinya tidak akan bertahan lama.
*
Padi adalah suami yang ideal. Pekerjaan tetap sebagai Engineer IT, perhatian dengan penampilannya sendiri namun tidak berlebihan, perhatian kepada Penny dan, menurut Penny sejauh ini, lucu dan pintar.
Setelah menikah mereka sering berbicara. Memang Padi ingin punya anak, tapi hanya kalau Penny sudah siap. Secara finansial suaminya bilang kalau Penny tidak mau, maka dirinya tidak perlu menjadi istri yang bekerja. Kalau tidak mau jadi ibu rumah tangga saja, maka dia pun membolehkan Penny untuk bekerja, asalkan tidak terlalu keras. Dia ingin Penny merasa nyaman hidup bersamanya.
Penny termangu, mempertanyakan mengapa Padi begitu baik. Dia tersenyum, bukan berarti dia tidak punya ekspektasi kepada Penny. Keinginannya sederhana saja, kalau bisa mereka jangan sampai berhenti bicara. Bahkan kalau sedang marahan. Lalu dia juga minta cium sebelum berangkat ke kantor dan sebelum tidur, setiap hari.
"Untuk menjaga." Jawab Padi ketika Penny bertanya lagi.
*
Penny menepati janjinya. Meski ada masa-masa mereka bertengkar atau marahan, pada saatnya sebelum tidur atau sebelum Padi berangkat kerja, mereka sudah berbicara lagi. Salah satu pasti minta maaf, dan tidak lupa cium sayang.
Ya, sayang. Penny merasa menyayangi Padi. Bahkan kalau ada artis tampan pemenang Oscar, punya mobil milyaran lebih dari tiga dan rumah triliunan lebih dari satu, Penny mungkin memilih untuk tetap bersama Padi.
Setelah dua tahun, Penny bertanya-tanya, apakah ini yang namanya cinta? Mungkin masih terlalu awal menyimpulkan. Tahun kedua masih belum bisa menjadi patokan kesuksesan kehidupan pernikahan.
Tapi kalau mau jujur, ya, Penny merasa bahagia dan nyaman.
Hingga suatu ketika di tahun ketiga pernikahan mereka, saat sedang makan malam sambil menonton video di televisi, Penny menyadari siapa yang sedang mereka tonton.
"Lho?"
Dua buah pisang goreng berhenti di udara, batal untuk masuk ke dalam mulut keduanya.
Padi menatap istrinya, "kenapa?"
Penny termangu melihat Dimas ada di layar kaca. Dia sudah benar-benar jadi aktor! Dan lagi, dalam film yang mereka tonton, Dimas menjadi pemeran pembantu yang penting bagi pemeran utama.
Saat itu Penny bertanya-tanya apa yang Rietta pikirkan kalau melihat ini, sampai lupa untuk menjawab pertanyaan Padi yang sekarang menatapnya dengan pandangan aneh.
*
Setelah itu, kepopuleran Dimas meningkat. Beberapa kali Penny melihat iklan yang dibintanginya, juga beberapa film yang sukses menjadi box office di Indonesia. Bahkan ada gosip dia mendapat tawaran berperan dalam film di Negeri Sakura.
Setiap tahun, Penny hadir dalam reuni alumni kampusnya. Benar saja, topik mengenai Dimas yang seangkatan dengan mereka menjadi perbincangan hangat.
Rietta tidak hadir. Penny sudah mengajaknya, tapi dengan setengah niatan karena sudah tahu kalau Rietta mungkin tidak mau hadir. Dan seperti yang diduga, Dimas menjadi pusat pembicaraan.
Padi tentu saja ikut sebagai suaminya. Penny merasa akhir-akhir ini menjelang acara reuni, Padi menjadi sedikit jauh.
"Lama nggak ketemu," sebuah suara yang tenang menyapa Penny dan kawan-kawan lamanya, Padi juga ada di sana.
Penny tersenyum biasa saja, "hai, Dimas." Begitu nama itu meluncur, dia merasakan Padi menggenggam tangannya erat. Barulah Penny paham, dan merasa geli serta tersentuh. Padi merasa cemburu karena salah paham. Saat pulang nanti, dia akan menceritakan semuanya.
*
Selama perjalan pulang, Padi mengatupkan rahang sambil menyetir.
"Dia mantan pacarnya Rietta." Penny tanpa basa-basi menyebutkan nama temannya yang Padi juga sudah kenal.
Untunglah mereka terkena lampu merah. Padi menatapnya, lalu sadar beberapa detik setelah Penny mengatakan kenyataan tersebut.
"Oh." Sedetik kemudian wajahnya merah karena malu sementara Penny tertawa.
"Aku nggak pernah ada hubungan apa-apa sama dia, Mas."
Padi menutupi wajahnya saking malunya.
"Kamu kok nggak bilang-bilang!" Protesnya. Penny nyengir, "ya makanya ini aku bilang."
Padi melirik sambil menghela nafas, "terus dia ngomong apa pas dia ngajak ngobrol berdua?"
"Yah…soal Rietta. Dia…jujur kayaknya masih dendam, dan bilang ke aku kalau ketemu Rietta, bilang ke dia semoga dia menyesal."
Padi mengerutkan dahi, "kok jahat gitu kata-katanya?"
Penny meringis, "aku cerita di rumah aja soal Rietta sama Dimas. Bahaya sambil nyetir."
*
Mereka sampai di rumah dengan selamat. Menjelang waktu tidur, Padi merongrongnya dengan pertanyaan. Dan Penny menceritakan semuanya. Soal bertahun-tahun Dimas dan Rietta pacaran. Tentang Penny dan banyak teman lain yang jadi saksi kemesraan mereka. Rietta yang awalnya setia dan bersedia menunggu dan mendukung Dimas. Hingga akhirnya dia malah menikah dengan orang lain dan Dimas yang jatuh sakit karenanya.
"Wah…" Padi tidak tahu harus berkata apa.
"Aku nggak mau nyalahin Rietta ataupun Dimas, toh mungkin memang akhirnya itu jalan yang Tuhan kehendaki untuk mereka berdua." Padi bilang sambil garuk-garuk kepala.
Penny mengangguk. Benar kata Padi. Kalau Rietta tetap bertahan bersama Dimas dulu, mungkin jalannya akan berbeda. Toh sekarang Rietta hidup berkecukupan dan Dimas menggapai mimpinya menjadi aktor papan atas Indonesia.
"Tapi, kalau dari kata-kata Dimas, mungkin mereka berdua belum bisa melepas satu sama lain."
Kata-kata Padi membuat Penny termenung. Kalau iya, apa yang akan mereka lakukan? Toh, meskipun Penny kenal baik dengan keduanya, dia tidak punya hak ikut campur. Yang ada, seperti kata Padi, keduanya lebih baik di jalan mereka yang sekarang saja.
*
Ya, mereka berharap begitu. Tapi baik Penny maupun Padi bukanlah Rietta dan Dimas, yang memiliki keinginan mereka sendiri.
Penny terkejut saat Dimas muncul di depan pintu rumahnya malam-malam. Padi juga tidak menyangka hal ini.
Dimas ingin bertemu Rietta lagi. Kalau bisa dia ingin Penny menengahi mereka berdua.
Entah kenapa pikiran Penny melayang pada Anugrah, anak Rietta yang paling besar, dan Wahyu, yang paling kecil dan baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedua. Tanpa sadar dia menjawab sedikit tajam dan curiga.
"Untuk apa?"
Dimas mengerti kenapa Penny memasang ekspresi waspada. Tapi dia benar-benar hanya ingin bicara.
Penny mengerutkan dahi dan menatap Padi.
"Aku diskusi dulu sama suamiku bentar."
Mereka pindah ke ruang makan, meninggalkan Dimas di ruang tamu sendirian selama 10 menit. Sebenarnya jawabannya sederhana saja. Padi juga setuju.
"Dimas, aku bakal bilang ke Rietta kalau kamu mau ketemu. Tapi ada beberapa syarat. Pertama, jangan maksa. Kalau Rietta nggak mau kamu haris nyerah." Penny menatapnya meminta jawaban.
Dimas menghembuskan nafas, "oke."
"Kedua, suami dan anak-anaknya harus ikut. Meski nggak ikut pembicaraan, meski kamu bicara berdua sama Rietta, atau bertiga, kalau kamu mau aku ikut, mereka harus ada dan tahu kalian berdua cuma bicara."
Dimas memejamkan mata, lalu mengangguk.
"Ketiga, kalian bicara di sini, di rumah kami. Nggak di rumah Rietta, nggak di tempat lain, entah restaurant, rumahmu, atau tempat lainnya."
Dimas menurut dengan syarat-syarat yang disebutkan.
Sebelum pulang, dengan ragu dia bertanya.
"Berapa…anak Rietta?"
"Dua, laki-laki semua." Dengan tegas Penny menjawab.
*
"Keputusanmu sudah benar kok," Padi mengelus kepala Penny yang bertumpu di pundaknya, "semoga dengan ini beban di hati mereka bisa terlepas. Dan mereka bisa menjalani hidup masing-masing tanpa beban setelahnya."
Penny mengangguk. Dia merasa tenang. Aman. Tiba-tiba dia duduk tegak dan menghadap ke arah Padi.
Padi menatapnya heran, terutama ketika Penny menggenggam satu tangannya. Dia merasakan tangan istrinya dingin karena berkeringat.
Penny tidak mau menunggu. Apapun yang terjadi setelah pertemuan Rietta dengan Dimas minggu depan, dia ingin Padi yang sekarang tahu. Tahu bahwa Penny percaya.
Penny masih akan bertanya-tanya. Tapi dalam hidupnya, saat ini, detik ini, dia yakin seyakin-yakinnya.
"Aku mencintaimu, Padi."
Matanya melebar, Pasi bisa melihat betapa merah pipi Penny, matanya yang berkaca-kaca menahan perasaan. Padi ikut merasakan apa yang dirasakan Penny.
"Aku juga cinta sama kamu, Penny." Katanya, diakhiri dengan ciuman lembut dan mesra.
*
Malam sebelumnya, dingin menyiksa seluruh daerah mereka. Tapi tidak sedingin rasa gugup akan pertemuan besok. Penny sudah bersih-bersih rumah, menyiapkan makanan kecil yang tinggal dihangatkan besok, bahkan membeli satu dua mainan agar Anugrah dan Wahyu bisa bermain sambil menunggu Rietta berbicara dengan Dimas. Suami Rietta dengan lapang dada mengikhlaskan istrinya bicara dengan mantan pacarnya. Dia tahu dulu Rietta memilihnya bukan karena cinta. Maka sekarang dia ingin menunjukkan rasa cintanya dengan menaruh kepercayaan pada istrinya.
Padi menyambut keluarga Rietta dengan senyuman. Dia memang sudah kenal dengan suami Rietta. Kantor suami Rietta pernah menyewa jasa IT perusahaannya.
Dimas agak terlambat karena harus mengurus beberapa hal dengan agensinya.
Rietta termenung sementara menunggu. Suaminya setuju untuk bermain dengan anak-anak mereka di taman belakang. Padi juga menemani.
Penny yang masih berdiri menatap teman dekatnya.
Apa yang akan menjadi jawaban Rietta sekarang, kalau dia bertanya hal yang dia tanyakan bertahun-tahun lalu ketika memilih suaminya ketimbang Dimas?
Penny berharap dia memilih anak-anaknya. Tapi mungkin Penny tidak begitu objektif. Dia tahu rasanya tumbuh tanpa ibu kandung di sisinya. Neneknya memang menjadi pengganti figur ibu baginya, tapi dia tidak ingat kasih sayang ibunya, kecuali pada suatu hari. Hari pernikahannya dengan Padi.
Ibunya datang dengan haru dan menangis. Tidak ada kata meminta maaf, karena ibunya bahkan merasa tidak pantas meminta maaf. Tapi ibunya meminta diizinkan untuk merasa bangga, karena Penny tumbuh menjadi anak yang baik. Meski tanpa dirinya.
Penny menangis hari itu.
"Ta," Penny memanggilnya.
Rietta mengangkat kepalanya dan memperlihatkan mata sendu.
Penny tidak tahu, tapi dia menggenggam tangan temannya dan mengatakan apa yang dia pikir tidak akan membebani Rietta, namun tetap logis.
"Anugrah sama Wahyu, jangan dibikin sedih, ya?"
Rietta terkesiap. Sejenak, Penny merasakan tekad dalam tatapan mata Rietta.
*
"....."
"....."
Entah sampai berapa lama mereka akan berdiam diri, tapi Penny jelas tidak mau menjadi yang pertama angkat bicara. Tidak. Ini harus mereka berdua selesaikan sendiri.
"Selamat ya." Rietta memulai.
Dimas menatap Rietta. Penny menangkap apapun selain benci. Itu awal yang bagus.
"Kamu udah jadi aktor seperti yang kamu inginkan."
"Makasih."
"Dimas," Rietta memberi pandangan tanpa senyuman, "aku menyakitimu dulu, aku akui itu. Karena itu, kenapa kamu mau bicara seperti ini, dan apa yang kamu mau aku lakuin, tolong jujur aja."
Rahang sang aktor mengeras, setelah berdiam diri beberapa detik, dia membuka mulut.
"Tadinya….aku ingin kamu ngerasain apa yang aku rasain dulu."
Kenapa? Dimas bertanya soal perasaannya sendiri, kenapa dia tidak bisa membenci perempuan yang dulu sangat dicintainya ini?
"Aku ingin kamu menderita, aku ingin kamu menyesal, menangis, mengemis untuk jadi milikku lagi." Dimas mengatakan dengan kedua tangan menyatu, saling mengepal dan menekan perasaan yang dulu menjadi bahan bakar kerja kerasnya.
"Aku marah, sangat, aku mengutuk kamu dan suamimu, berharap kalian tidak akan bahagia. Aku…" suaranya gemetar.
Empat bola mata menatapnya di pintu masuk tadi. Mata yang sama dengan Rietta, tapi kali ini, tatapan itu penuh ingin tahu. Begitu suci dan tidak berdosa. Kedua pemilik bola mata itu sedang bermain dengan ayah mereka.
"Aku bukannya masih mencintaimu. Tapi aku nggak akan lega kalau tidak menyelesaikan apa yang kita mulai dulu." Dimas mengakui.
Rietta merasakan sakit itu. Tapi dia tidak boleh merasakan sayang. Dia hanya di sini karena siap menerima segala rutukan dan kemarahan Dimas yang disimpannya bertahun-tahun untuknya.
"Rietta." Suara itu bergetar.
Akhirnya, mereka saling bertatapan. Bukan tatapan yang sama dengan tahun-tahun ketika mereka bersama.
"Selamat atas pernikahanmu, dan selamat untuk anak-anakmu."
Rietta merasakan air matanya jatuh, Dimas mengatakan itu sambil tersenyum dan menahan air matanya sendiri.
"Semoga…kalian terus berbahagia. Karena itu tolong, doakan juga kebahagiaan untukku."
"Ya." Rietta merasakan Penny mengelus punggungnya, dia berbisik sekali lagi, "ya."
*
Ketika Dimas meminta untuk tinggal sejenak, Rietta tahu itu adalah sinyal untuknya dan keluarganya pulang.
Dimas merasa lega dengan keputusannya ketika menjabat tangan suami Rietta.
Tidak ada dendam. Tidak ada kekhawatiran.
Di sofa rumah Penny dan Padi, dia membiarkan kepalanya rebah, dirinya mengambil dan membuang nafas panjang.
"Terima kasih."
Penny mengangkat alis mendengar Dimas.
"Waktu kamu jawab tegas soal anak-anak Rietta, aku langsung nangkep maksudmu."
Penny membereskan meja pelan-pelan.
"Aku tahu rasanya tumbuh tanpa kasih sayang ibu," jawabnya, "karena itu, justru aku yang berterima kasih." Penny berdiri membawa nampan sambil tersenyum pada Dimas.
"Terima kasih sudah mendoakan kebahagiaan keluarga Rietta."
Dimas tersenyum balik, lalu melirik ke arah lain.
"Suamimu cemburu atau gimana, kok sembunyi-sembunyi di balik tembok gitu?"
Penny meringis, sayangnya bukan itu alasan Padi bersembunyi.
"Karmara 0."
Dimas mengerjapkan mata, itu judul film yang akan dibintanginya, mulai syuting bulan depan. Film itu sendiri merupakan prekuel, tapi ditulis sebagai sekuel dari serial film lain.
"Dia fans berat seri film sebelumnya. Begitu tahu kamu bakal main di Karmara, yah…"
Dimas tersenyum lebar, senyum paling bahagianya hari itu, lalu tertawa.
"Mas, sini!" Penny memanggil suaminya, "Dimas, daripada dia nyesel jadi fanboy yang tidak memanfaatkan kesempatan, boleh minta tolong?"
Dimas masih belum selesai tertawa. Tapi dia mengangguk-angguk.
"Tanda tangan? Foto?"
Padi sudah siap dengan hapenya sambil malu-malu, "boleh dua-duanya?"
Dimas mengusap matanya yang berair karena kebanyakan tertawa.
Melihat suaminya yang bahagia. Masalah yang terselesaikan dengan keluarga yang bahagia. Penny sungguh bersyukur.
Apakah dia tidak akan bertanya-tanya lagi? Mungkin masih. Tapi setidaknya dia sudah menyaksikan sendiri. Entah berapa lama waktu yang akan dilewati….
Cinta bisa dipertahankan.
___
TAMAT