Cerpen
Disukai
4
Dilihat
10,801
Audrey
Romantis

Ketika bertemu Audrey, saya membatalkan niat mengirim surat cinta untuk Mawarni. 

Kami bertemu di depan pintu Kantor Pos Besar di kawasan Johar, Semarang. Audrey hendak ke luar, saya hendak masuk. Saat itu sekitar pukul 12.30. Saya belum makan siang dan masih ada waktu sebelum jam istirahat habis. Saya mengajak Audrey untuk makan siang di warung soto ayam dekat Kantor Pos.

Kami makan soto dengan sangat pelan. Saya tak ingin pertemuan itu cepat berlalu. Audrey bercerita bila ia sedang pulang kampung, karena sepupunya menikah. Tahun baru kurang seminggu, saat itu --tahun 1995 segera berakhir. Audrey ke Kantor Pos untuk mengirim kartu selamat tahun baru kepada teman-temannya yang mayoritas novelis.

Audrey itu anak jaksa. Dulu, saya mengira Audrey akan menjadi jaksa seperti papanya. Tetapi, di warung soto itu ia mengatakan bila ia tak pandai berdebat. Audrey dewasa memilih menjadi editor di penerbit ternama. Unik juga. Setahu saya, Audrey itu banyak bicara, tapi ia mengaku tak pandai berdebat.

Kami berpisah saat kelas 5 SD. Audrey pindah ke Surabaya mengikuti tugas baru papanya di Kota Pahlawan itu. 

“Aku masih ingat. Saat itu aku berdiri di muka kelas, berpamitan. Semua teman cewek menangis. Teman-teman cowok hanya terdiam dan mata berkaca-kaca. Hanya kamu satu-satunya cowok yang menangis dan memelukku.”

“Jangan ungkit itu, dong. Malu,” sahut saya.

Audrey tertawa. Kepalanya mendongak saat tertawa, menampakkan lehernya yang jenjang dan mulus. Dada saya berdebaran menatapnya. 

“Sekarang keluargamu tinggal di mana?” tanya saya.

“Papa sudah pensiun. Rumah yang dulu itu rumah dinas. Sekarang kami tinggal di rumah kami di daerah Seteran, dekat Simpang Lima.”

“Ya, aku tahu daerah itu. Ada sebuah Akademi Bahasa di sana,” sahut saya.

“Kalau aku sekarang tinggal di Jakarta, sepuluh menit dari kantor penerbit tempatku berkerja,” kata Audrey.

“Hebat. Pasti menyenangkan menjadi editor. Benar, bukan?”

“Ya, begitulah,” Audrey tersenyum. “Aku banyak menerima naskah cerita yang menarik.”

“Boleh aku tahu alamatmu di Semarang dan Jakarta?”

“Tentu saja,” sahut Audrey, lalu memungut kertas tisu di dekatnya. “Ada pulpen?”

Saya membuka kancing jaket denim, lalu mengambil pulpen dari saku kemeja seragam kantor saya.

“Apa itu surat?” tanya Audrey menatap amplop pink di saku kemeja saya.

“Oh, bukan,” kata saya. “Ah, maksud saya, Desi, adikku titip surat untuk temannya. Karena surat titipan inilah kita bisa bertemu hari ini.”

“Oh, aku kira ...,” sahut Audrey tersenyum, lalu menuliskan alamat rumahnya.

Saat menulis itu, kepala Audrey tertunduk dan rambut sebahunya jatuh tergerai menutupi kedua pipinya. Oh, dada saya berdegup lagi.

“Ini alamatku,” Audrey menyerahkan kertas tisu dan pulpen pada saya. “Aku masih tiga hari lagi di Semarang. Kalau ada waktu, kau mainlah ke rumahku.”

“Tentu!” saya cepat menukas. “Kalau nanti malam, kau ada waktu?”

Kalau saja bukan di warung, saya pasti sudah melonjak girang ketika Audrey menjawab dengan anggukan dan senyuman.

Hari itu saya meminjam Corolla DX coklat milik ayah untuk menghabiskan malam bersama Audrey. Saya tidak tahu apakah Audrey menganggap kebersamaan malam itu sebagai kencan atau sekadar pertemuan biasa. Saya sudah girang melihat Audrey senantiasa tersenyum, tergelak, dan sesekali pipinya merona merah.

Saya mengajak Audrey nonton film di Manggala Theatre di utara Simpang Lima, pada pertunjukan terakhir. Sebuah film Hollywood, entah apa judulnya, yang penting nonton dan bisa berdekatan dalam gelap bersama Audrey. Usai nonton, saya mengajaknya nongkrong di Simpang Lima. Ngobrol sambil minum teh poci.

Ketika hendak mengantarnya pulang, saya iseng bertanya bagaimana bila menghabiskan malam di kamar hotel?

Audrey melotot.

“Makanya baca novel bermutu, jangan novel picisan,” katanya.

Saya tertawa.

Pukul dua dini hari saya sampai rumah.

***

Hari Minggu. Sinar matahari sudah menerobos melalui jendela kamar yang terbuka. Pasti ibu yang membuka jendela itu. Tubuh saya lelah, karena semalam kencan dengan Audrey. Tadi, usai salat subuh saya tidur lagi dan bangun sudah pukul tujuh lebih sedikit.

Saya mandi kemudian sarapan. Setelah itu ke ruang tengah untuk membaca koran. 

Suara ketukan pintu. Saya segera membukanya. Seorang gadis berkulit coklat dengan rambut sebahu, bercelana panjang hitam dan kemeja kotak-kotak, berdiri di teras. Matanya berkaca-kaca. Di dekat kakinya tergeletak tas besar.

“Mawar?” kata saya terkejut. “Sama siapa kamu ke sini?”

“Sendiri. Naik ojek,” suara Mawarni, gadis itu, terdengar bergetar.

Saya mempersilakan Mawarni masuk. Duduk di ruang tamu, Mawarni menangis.

“Apa yang terjadi?” tanya saya.

“Ibuku wafat.”

Innalillahi ...,” ucap saya, “kapan?”

“Tadi jam enam. Tadi ayah nelpon, aku harus segera pulang. Jenazah ibu akan dikubur kalau aku sudah datang.”

“Saya turut berduka, Mawar. Lalu, apa yang bisa saya bantu?”

“Bisa kamu antar saya ke Batang?”

“Tentu, tentu,” sahut saya, lalu bergegas menemui ayah dan ibu. Berpamitan. 

Saya meminjam mobil ayah untuk mengantar Mawarni. Sepanjang perjalanan, Mawarni terus-menerus sesenggukan. Saya harus senantiasa membesarkan hatinya. 

Mawarni itu rekan kerja saya di sebuah bank daerah. Saya sebagai Analis Kredit dan Mawarni sebagai teller. Mawarni itu teller yang ramah. Banyak nasabah senang dengan senyum manisnya. 

Saya sering makan siang bersama Mawarni di warung depan kantor. Bila ada waktu senggang, kami ngobrol. Mawarni itu anak tunggal. Ayahnya punya dua toko bangunan. Ibunya punya penyakit jantung. Kadang, mata Mawarni berkaca-kaca ketika bercerita tentang ibunya. Pada saat itulah, dada saya suka berdesir-desir dan perlahan-lahan tunas cinta pun bersemi di hati saya.

Beberapa kali saya berkunjung ke tempat kos Mawarni. Ada saja alasan saya untuk mengunjunginya. Namanya juga lelaki, harus banyak akal. Tanya alamat nasabah, numpang berteduh karena hujan, atau apalah. Sungguh, saya jatuh hati pada Mawarni.

Saya menulis surat cinta untuknya. Saya tak berani nembak langsung. Sudah dua kali saya berniat ngomong “aku cinta kamu”, tetapi ketika berhadapan dengan Mawarni, lidah saya kelu.

Kemarin saya hendak mengirim surat cinta itu melalui Kantor Pos. Tetapi, skenario berubah. Saya bertemu Audrey. Sudah lama saya tertarik pada Audrey. Sejak kecil. Cinta lama bersemi kembali. Apalagi, ketika kami berkencan tadi malam, Audrey menujukkan gelagat menyukai saya. 

Audrey juga lebih cantik daripada Mawarni. Audrey banyak bicara, saya pendiam. Perpaduan yang serasi. Wajarlah, bila saya berniat membelokkan cinta saya dari Mawarni ke Audrey. Mayoritas lelaki pasti akan begitu. Ngaku, deh!

 “Aku bingung, Hanif,” kata Mawarni ketika mobil memasuki kota Kendal.

“Bingung soal apa?”

“Di telepon, ayah bilang ibu pernah berwasiat. Ibu minta dikubur setelah aku menikah. Tetapi dengan siapa aku harus ... menikah?”

Saya tertegun. Saya menoleh dan Mawarni pun menoleh. Kami bertatapan. Sorot mata Mawarni penuh harap.

***

Pukul 10 pagi kami sampai ke Desa Limpung, sebelah tenggara kota Batang, Jawa Tengah. Beberapa orang menyambut kedatangan kami. Sempat saya mendengar beberapa orang berbisik.

“Ganteng, ya?”

“Iya. Putih, kayak bule.”

Mawarni memeluk seorang lelaki setengah baya.

“Apakah dia ...?” lelaki itu bertanya.

Mawarni mengangguk, lalu menoleh pada saya dan berkata, “Hanif, kenalkan ini ayah saya.”

Saya menjabat tangan ayah Mawarni. Kami masuk rumah. Di ruang depan yang luas, jenazah ibu Mawarni membujur berselimut kain batik di sebuah divan. Ada sebuah meja berkaki pendek di ruang itu dan seorang lelaki tua berjenggot dan berbaju koko duduk bersila.

Lelaki berjenggot itu berdiri dan menjabat tangan saya.

“Sudah siap?” tanya lelaki berjenggot itu pada ayah Mawarni.

“Siap, Kiai.”

Saya duduk bersila. Kiai itu mengajari saya apa yang harus saya lakukan dan ucapkan. Setelah saya menyatakan siap, prosesi pun berlangsung. Saya dan kiai itu berjabatan tangan. Ketika kiai itu mempererat jabatan tangannya, saya cepat berkata, “Saya terima nikahnya Mawarni binti Samsul dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang satu juta rupiah, dibayar utang!”

***

Tahun berapa sekarang? Anak kami sudah lulus SMA. Saya dan Mawarni dalam perjalanan menggunakan Avanza silver ke Yogyakarta. Kami mengantar anak tunggal kami yang hendak mendaftar di sebuah PTS di kota pelajar itu. Anak kami ingin menjadi guru SD, kelak.

Di kursi belakang, anak kami duduk tertidur pulas.

“Sampai hari ini aku masih penasaran,” kata Mawarni ketika mobil memasuki kota Magelang.

“Penasaran soal apa?” tanya saya melirik sekilas, lalu mata kembali fokus ke jalan.

“Mengapa kamu memberi nama anak kita Audrey?” tanya Mawarni.

Saya tertegun, tetapi sigap menjawab, “Anak kita cantik, tinggi semampai, banyak bicara tapi tak pandai berdebat. Kupikir Audrey nama yang cocok untuknya.”

“Tidak ada sebab lain?” tanya Mawarni seperti menyelidik.

“Sebab lain apa?”

“Ya, sudah. Kirain ...,” sahut Mawarni menggantung ucapannya. 

Saya tidak tahu apakah Mawarni tahu bila saya sempat berniat membelokkan cinta saya pada perempuan lain; perempuan cantik, banyak bicara tapi tak pandai berdebat. Hmm, kapan kami akan sampai Yogya?

***SELESAI***

Batang, Jawa Tengah, 2017

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)