Masukan nama pengguna
Leyla mendekap tas selempang hitam untuk mengamankan berkas lamaran di dalamnya. Konon, di halte itu suka ada copet; kalau kau membawa sesuatu, harus kau dekap. Halte penuh sesak; tua, muda, lelaki, perempuan, pelajar, pekerja kantoran, dan mungkin ada pula pengangguran seperti Leyla. Pukul 07.30 saat itu.
Leyla berdiri, mengedarkan pandangan, berharap menemukan seseorang yang ia kenal, lalu saling bertegur sapa menanyakan kabar masing-masing. Gadis berambut pendek mirip lelaki itu sudah menyiapkan jawaban bila ada pertanyaan hendak ke mana?
Leyla akan menjawab dengan menegakkan dada: ia hendak melamar sebagai Asisten Manajer Pemasaran di sebuah apartemen. Leyla wajib bangga meski masih tahap akan memasukkan lamaran, karena ia optimis diterima, karena ia punya kaitan sejarah dengan apartemen itu.
Tetapi Leyla merasa asing dengan semua orang di halte, dan menyadari kota ini semakin padat oleh orang-orang entah dari mana. Mm, lebih baik Leyla duduk saja untuk mengusir pegal di kaki dan melupakan kesunyian di hati.
Leyla melirik pada deret sepuluh kursi di halte dan berharap ada seseorang beranjak dari salah satu kursi, lalu ia akan sigap mendudukinya.
Dada Leyla berdesir ketika melihat seorang lelaki tua duduk di kursi ujung sana. Lelaki tua yang duduk diam seperti patung dengan tatapan hampa seakan tak peduli dengan kerumunan orang di halte. Mungkin, lelaki tua itu sudah lama duduk di sana, tetapi karena terhalang oleh orang-orang yang berdiri di sekitarnya, sehingga pada detik ini Leyla melihatnya.
Memori Leyla seketika membongkar arsip wajah orang yang ia kenal dan yakin lelaki tua itu adalah Pak Kukuh dari tahi lalat di pelipis kanan.
Di kampung lama Leyla, cuma Pak Kukuh yang bertahi lalat di pelipis kanan dan cuma lelaki tua itu yang bernama Kukuh, yang kukuh pada pendiriannya. Waktu ada gonjang-ganjing rencana penggusuran kampung mereka, cuma Pak Kukuh yang kukuh menolak.
Waktu itu Leyla masih kelas XII SMA. Kabar penggusuran itu sempat membuat buyar konsenterasi belajar Leyla menghadapi Ujian Nasional. Begitu pula dengan Dini, anak Pak Kukuh.
“Semalam ada dua orang ke rumah. Mereka membawa sekoper uang, tetapi ayah menolaknya,” lapor Dini, ketika suatu sore Leyla main ke rumahnya.
“Lalu?” tanya Leyla.
“Mereka mengancam akan membakar rumah kami.”
“Mengerikan sekali.”
Leyla masih ingat, tiap malam ia diajak Dini untuk menjaga rumah temannya itu. Bagi Dini dan terutama Pak Kukuh, rumah mereka adalah legenda. Rumah itu masih model limasan dari kayu, dari mula hingga kini. Tiap malam Leyla, Dini dan kakak lelakinya begadang, tapi sampai beberapa hari setelah ancaman itu, rumah Dini masih utuh, tak ada api yang melahap.
Leyla jadi sering bangun kesiangan dan mengantuk saat di sekolah. Ayah marah melihat keadaan Leyla.
“Percuma kamu melawan orang berduit dan dekat dengan penguasa. Lagipula pula kau ini perempuan. Jaga rumah itu tugas lelaki. Rambutmu memang pendek, tetapi kau bukan lelaki. Pikirkan saja sekolahmu!” kata ayah, yang sudah menerima sekoper uang ganti rugi. Kapan mereka akan pindah, tinggal tunggu waktu saja.
“Lagi pula kampung ini sudah tidak layak untuk hunian. Bising dan padat, tak ada lagi lahan kosong untuk anak-anak bermain,” kata ayah melengkapi alasan mengapa bersedia melepas tanah dan rumah pada developer.
Leyla hendak membantah: “Apartemen juga tempat hunian, mengapa dibangun di tempat yang bising dan padat?” Tetapi Leyla takut mengatakannya.
Beberapa kali Leyla diajak ayah mencari rumah untuk tempat tinggal mereka nanti. Sebenarnya, Leyla tak mau pindah. Leyla sudah nyaman tinggal di kampung itu; dekat dengan mal, alun-alun, kantor gubernur, bioskop, dan fasilitas lainnya. Tetapi ayah punya pandangan lain.
“Sepi atau ramai suatu kampung, hanya soal waktu. Kelak, kampung kita yang baru juga akan ramai, sesak oleh mal, pertokoan, perkantoran,” kata ayah berteori.
“Kalau kampung baru itu nanti jadi bising dan padat, akankah dibangun apartemen dan kita harus pindah lagi, Ayah?” sahut Leyla spontan.
Mata ayah berkilat, lalu pendek berkata: “Sudah, urus saja sekolahmu!”
Sungguh, tiap malam saat sedang belajar, Leyla malah membayangkan yang tidak-tidak tentang Pak Kukuh. Bagaimana kalau rumah Pak Kukuh dilempar molotov, anak isteri Pak Kukuh diculik, atau Pak Kukuh ditembak? Astaga!
Leyla menutup buku dan menyimpannya di laci meja belajar. Pelan-pelan membuka jendela kamar, melompat ke luar, berjalan mengendap-endap melintasi halaman, lalu ketika berada di luar pagar, Leyla bergegas berlari.
Sampai di rumah Pak Kukuh, Leyla melihat kerumunan orang di halaman. Leyla mencari Dini, tetapi kata tetangga, sahabatnya itu pergi ke rumah sakit.
“Apa yang terjadi, Pak?” tanya Leyla.
“Kepala Pak Kukuh berdarah. Ada orang menghantamnya dengan tongkat,” kata Pak Jamin, si tetangga.
“Astagfirullah. Kapan itu, Pak?”
“Tadi, usai jamaah isya di masjid. Waktu Pak Kukuh mau pulang, ada dua orang naik motor mencegat Pak Kukuh, lalu memukul kepala Pak Kukuh pakai tongkat.”
“Ya, Allah. Sadis sekali,” seru Leyla.
“Mudah-mudahan Pak Kukuh tidak gegar otak. Kasihan Pak Kukuh kalau itu terjadi, sebentar lagi pensiun.”
Leyla bergegas hendak pulang. Di jalan, Leyla bertemu ayah yang mengendarai RX King.
“Dari mana kamu?” tanya ayah.
“Ng, anu, dari rumah Dini, Yah.”
“Kamu sudah dengar?”
“Tentang Pak Kukuh? Ya, Ayah, Leyla sudah dengar.”
Ayah menatap Leyla beberapa saat, lalu menoleh ke arah jok boncengan dan berkata: “Naik! Kita ke rumah sakit!”
***
Kampung mereka ramai. Saat itu batas akhir bagi warga untuk mengosongkan rumah. Besok, buldoser akan meratakan kampung itu. Ayah menyewa tiga mobil pick up untuk mengangkut barang-barang. Ketika melintas di depan rumah Pak Kukuh, Leyla meminta sopir untuk berhenti.
Leyla bergegas menemui Dini untuk berpamitan.
“Di mana ayahmu?” tanya Leyla.
“Di halaman belakang. Kamu mau pamit pada ayahku?”
Leyla melihat Pak Kukuh duduk di kursi bambu di bawah pohon mangga. Sepasang mata tuanya seperti menatap kehampaan, di depannya membentang dinding pagar bercat kelabu.
“Di sini saja, tak perlu ke sana. Ayahku linglung, efek gegar otak,” kata Dini.
Leyla tertegun. Dada berdesir iba.
“Kalian belum berkemas?” tanya Leyla.
Dini mengangkat bahu.
“Entahlah. Semua bergantung pada keputusan ibu, dan hari ini kami menunggu keputusan ibu,” jawab Dini.
Mereka berpisah. Leyla menuju kampung yang baru di pinggiran kota dekat hutan karet. Seminggu kemudian Leyla membaca berita di koran, kampung lamanya telah menjadi kenangan. Kelak, di sana berdiri bangunan megah, apartemen 17 lantai.
***
Leyla di sini, di halte Jalan Rendevo, berdiri mendekap tas selempang berisi berkas lamaran kerja. Bus merah berstiker nomor 03 di kaca depan, berhenti di halte. Bukan bus yang Leyla tunggu. Orang-orang bergegas turun dan naik. Lelaki tua yang duduk di pojok halte itu belum beranjak, masih sendiri di keramaian halte.
Leyla mendekati lelaki tua itu dan melihat ada pitak di kepalanya. Leyla yakin seribu persen, lelaki tua itu adalah Pak Kukuh. Pitak di kepalanya itu pasti luka bekas pukulan tongkat.
Ketika Leyla hendak menyapanya, datang seorang gadis seusianya.
“Dini? Apa kabar?” tanya Leyla, lalu mereka berjabatan tangan. “Gila kamu, membiarkan ayahmu sendirian.”
“Aku pergi sebentar cari kios. Beli ini,” kata Dini, menunjukkan susu kotak berukuran kecil.
“Untuk siapa?” tanya Leyla menahan tawa.
“Untuk ayahku.”
Leyla tertegun. Sedemikian parahkah keadaan Pak Kukuh sehingga harus minum susu kotak seperti anak kecil? Sepanjang Leyla dan Dini bercakap-cakap, lelaki tua yang tentu sudah pensiun dari SD tempatnya mengajar itu tetap dalam duduk tegaknya dan menatap lurus pada kehampaan.
“Bagaimana kabar ayahmu? Masih berdagang batik? Dan kamu sendiri, ah, tentu kamu sudah sarjana, ya?” tanya Dini mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah, Din. S1 Manajemen,” jawab Leyla tersenyum.
“Sekarang kamu mau ke mana?” sahut Dini.
“Aku? Ng, anu, aku mau ke perpusda,” jawab Leyla.
“Hebat! Kamu memang kutu buku sejak dulu.”
Bus merah berstiker nomor 05 di kaca depan, berhenti di halte. Bukan bus yang Leyla tunggu. Dini bersiap memapah Pak Kukuh.
“Maaf, Leyla, kami harus pergi,” kata Dini.
“Kalian mau ke mana?”
“Pagi ini ayahku ada jadwal dengan psikiater.”
Leyla kembali tertegun. Waktu yang singkat untuk pertemuan setelah lima tahun berpisah. Leyla tak sempat bertanya lebih detail pada Dini; di mana alamat rumahnya, nomor ponselnya, dan, ah, bus merah itu terlalu cepat datang menggulirkan perpisahan lagi bagi mereka.
Leyla duduk di kursi bekas Pak Kukuh. Duduk tegak mendekap tas selempang, memandang lurus pada kehampaan. Berkelebat potongan-potongan kenangan di kepala Leyla. Tentang kampung lama, tentang gegar otak, tentang kuliah, ijazah, lowongan kerja, dan apartemen 17 lantai.
Klakson dua kali menyalak. Leyla tersentak. Bus merah berstiker 17 di kaca depan, berhenti di halte. Itu bus yang Leyla tunggu selama setengah jam ini. Orang-orang bergegas turun dan naik, kemudian bus itu perlahan bergerak meninggalkan halte.
Leyla menghela napas, beranjak dari kursi, melangkah meninggalkan halte, lalu menyetop angkot. Leyla mau pulang saja!
***SELESAI***