Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,345
AKU INGIN MENJADI PRIA KAYA
Slice of Life

Anak-anak, silahkan menceritakan tentang cita-cita kalian di kertas ujian yang sudah ibu guru bagikan. Ceritakan dengan baik, alasan kenapa kalian bercita-cita seperti itu dan juga tuliskan apa yang nanti akan kalian lakukan kalau cita-cita tersebut bisa terwujud di masa depan. Mengerti?”

Tiga puluh anak berseragam merah putih yang duduk rapi dengan selembar kertas putih bergaris di atas meja mereka, menjawab kompak dalam satu suara. “Mengerti, bu guru.”

“Baiklah, waktu mengerjakan dimulai dari sekarang.” bu guru melihat jam di pergelangan tangannya, lalu mencatat di selembar kertas, waktu yang tepat untuk mengumpulkan lembar ujian, tiga puluh menit lagi.

Kelas yang biasanya riuh oleh celoteh dan tingkah laku tak terduga dari anak-anak, kini menjadi sunyi. Hanya terdengar suara gesekan pena di atas kertas, kotak pensil yang dibuka lalu ditutup, suara anak kelas lain yang sedang berolahraga di lapangan sekolah, dan sesekali, terdengar desahan nafas frustasi dari beberapa anak yang kesulitan untuk menuangkan isi pikiran mereka melalui tulisan. Bu guru yang mengamati semua itu, hanya tersenyum kecil sambil terus mengedarkan pandangannya pada setiap meja anak didiknya.

Waktu berlalu lambat bagi bu guru yang hanya diam menunggu murid-muridnya selesai menulis. Sedangkan bagi tiga puluh anak yang harus memenuhi selembar kertas dengan tulisan, waktu berlalu terlalu singkat.

"Waktunya habis, anak-anak!” pengumuman bu guru menimbulkan keriuhan penolakan dan protes di dalam kelas.

 “Sebentar bu, kurang sedikit lagi.”

 “Bu Guru, saya belum selesai!”

 “Saya tulis satu kalimat lagi, bu!”

 “Bu, saya baru menulis sedikit.”

 “Bu guru, saya mau pipis!”

 "Sudah-sudah! Jangan berisik! Letakkan kertasnya di atas meja. Ketua kelas dan wakil, tolong kumpulkan kertas ujian teman-teman. Untuk yang mau pipis, cepat ke kamar mandi lalu kembali ke kelas.”

   Setelah lima menit berlalu, setumpuk kertas penuh coretan tertata rapi di atas meja bu guru. Jam pelajaran berikutnya, anak-anak diberi kebebasan untuk menggambar sampai bel istirahat berbunyi. Mereka boleh berkelompok, boleh menggambar di luar kelas, asalkan setelah bel istirahat berbunyi, mereka sudah menyelesaikan satu gambar yang bisa dinilai. Di saat murid-muridnya sibuk berimajinasi dan mencoret-coret buku gambar mereka sambil bersenda gurau, bu guru mulai memeriksa tulisan anak muridnya.

  Ada satu lembar kertas yang terisi penuh dengan coretan bolpoin hitam. Bu guru memutuskan untuk membacanya lebih dulu. Tulisan itu dimulai dengan cita-cita anak yang menulisnya, “Saat besar nanti, aku ingin menjadi seorang pria kaya. Pria yang punya banyak uang, yang uangnya tidak akan habis. Jadi, aku bisa memberi ibu banyak sekali uang, dan uangku tetap masih ada banyak.” Kalimat pembuka itu membuat senyum bu guru mengembang.

 "Sejak ayahku meninggal, ibuku berubah. Ibu jadi sering marah-marah, berteriak-teriak penuh emosi ketika ada sesuatu yang tidak dia sukai, memakiku saat aku melakukan kesalahan, dan tidak pernah memelukku apalagi mengatakan kalau ibu menyayangiku.” Senyuman bu guru menghilang.

Setiap kali kami makan malam bersama nenek, ibu pasti selalu mengeluh kalau pekerjaannya melelahkan dan gajinya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan kami. Setelah bicara seperti itu, ibu akan memaksa nenek memberinya uang. Aku ingat, ibu pernah bilang supaya nenek menjual tanahnya supaya bisa memberi ibu modal usaha. Aku tidak mengerti apa maksudnya modal usaha. Tapi sepertinya itu hal yang penting untuk ibu. Dan hal itu memerlukan uang yang banyak sekali. Tapi nenek tidak mau memberi ibu uang yang banyak. Jadi, mereka bertengkar. Ibu berteriak, membentak nenek, dan mengeluarkan kata-kata makian yang buruk sekali. Aku takut. Aku tidak berani bicara apa pun. Aku ingin menangis, tapi sekuat tenaga kutahan. Karena, kalau sampai aku menangis di saat ibu sedang emosi seperti itu, ibu akan langsung membentakku dengan kata-kata makian yang sangat kasar.” bu guru mengerutkan keningnya dan terus membaca baris demi baris tulisan di hadapannya.

“Kata nenek, ibu jadi suka marah-marah dan bersikap kasar, karena ibu sedih. Ibu kehilangan ayah dan merasa sangat sedih, sampai tidak bisa mengendalikan perasaannya. Nenek bilang, aku harus bisa mengerti ibu. Aku harus jadi anak baik supaya ibu tidak bertambah stres. Padahal kan, aku juga sedih karena ayahku meninggal. Bukan hanya ibu yang sedih. Tapi, kenapa aku harus bersikap baik sedangkan ibu boleh marah-marah dan kasar seperti itu? Aku merasa hal ini tidak adil. Tapi aku tidak berani bicara seperti ini pada siapapun. Karena ini ditulis, aku jadi bisa menceritakan semuanya.” bu guru terbatuk.

“Lalu, suatu hari, ibuku tiba-tiba tersenyum! Ibu menjadi bahagia, sering tertawa, tidak marah-marah, dan tidak mengeluh. Ibu juga tidak lagi meminta uang pada nenek. Waktu makan malam bersama, ibu tidak lagi bertengkar dengan nenek. Aku senang sekali. Tapi aku juga penasaran, kenapa ibu tiba-tiba berubah?”

“Ternyata ibu punya pacar." kening bu guru mengerut. Kata nenek, karena ayah sudah meninggal, ibu boleh punya pacar. Nanti, ibu juga boleh menikah lagi. Kalau ibu sampai menikah dengan pacarnya, maka aku akan punya ayah baru. Waktu mendengarnya, aku sedih. Aku juga marah. Tapi aku tidak tahu kenapa aku marah. Aku sedih karena ada yang menggantikan ayahku. Padahal aku tidak mau punya ayah baru. Apa tidak boleh, kalau ibu bersamaku saja? Apa harus ada ayah baru?” debaran jantung bu guru meningkat. Kejujuran yang dia baca membuatnya tak bisa berkata-kata.

Tulisan itu masih berlanjut, “Pacar ibu pernah datang ke rumah. Waktu itu, ibu menyuruhku memanggilnya ayah. Tentu saja aku tidak mau. Dia kan bukan ayahku. Tapi ibu memaksaku. Ibu juga marah padaku karena tidak mau bersikap baik pada pacarnya. Waktu itu aku sembunyi di dalam kamar. Dari dalam kamar, aku bisa mendengar ibu berbicara dengan pacarnya dan nenek. Mereka tertawa. Ibu bicara dengan lembut. Sama sekali tidak marah, tidak berteriak, tidak bicara dengan kasar, bahkan aku bisa dengar kalau ibu mengatakan dia sangat sayang pada pacarnya. Aku kaget mendengarnya. Ibu tidak pernah bilang kalau dia sayang padaku. Jadi, aku mengintip, aku melihat ibu memeluk pacarnya dengan sangat erat. Aku sangat marah. Ibu tidak pernah memelukku.” bu guru memijat keningnya.

“Saat pacar ibu akan pulang, ibu semakin senang. Senyumannya sangat lebar dan rasa sayangnya pada pacarnya, semakin terlihat jelas. Aku melihat pacar ibu memberikan ibu uang. Sangat banyak. Katanya, itu untuk kebutuhan ibu. Kata pacarnya, ibu boleh berbelanja dan berjalan-jalan dengan uang itu. Sekali lagi, ibu memberikan pelukan pada pacarnya. Aku semakin marah.”

“Ternyata, ibu bisa jadi bahagia kalau ada pacar yang memberinya uang. Kalau hanya ada aku dan ibu, ibu tidak bahagia. Aku tidak bohong. Sungguh. Karena setelah ibu putus dengan pacarnya itu, ibu kembali jadi ibu yang suka marah-marah, membentakku, dan meminta uang nenek.” bu guru menarik nafas panjang. Kerutan di dahinya semakin banyak.

“Setelah itu, aku melihat pacar ibu yang lain datang ke rumah. Saat itu, ibu kembali bahagia. Tapi aku tetap tidak suka pada pacar baru ibu. Sampai sekarang, ibu sudah empat kali punya pacar. Aku selalu disuruh memanggil pacar-pacarnya itu ayah. Aku tidak pernah mau dan ibu selalu memarahiku. Katanya, kalau aku tidak bisa menyenangkan ayah baruku, aku tidak akan dapat uang jajan. Aku tetap tidak mau. Aku rindu ayahku. Ayahku yang sudah meninggal.” bu guru membaca lebih cepat, karena tulisan itu sudah mendekati akhir.

“Sekarang, aku mengerti. Ibu akan bahagia kalau ada pria kaya yang memberinya uang. Bukan kalau ada aku, anak perempuan yang merepotkan ibu. Walaupun aku sudah mencuci piringku setelah makan, merapikan kamarku, belajar, dan melakukan semua hal yang disuruh ibu ketika di rumah, ibu masih tetap tidak bisa bahagia. Jadi, aku memutuskan, supaya nanti waktu besar, aku menjadi pria kaya. Aku akan jadi pria yang lebih kaya dari pacar-pacar ibu, dan memberi ibu uang yang sangat banyak. Supaya ibu bisa bahagia walaupun hanya bersamaku. Supaya ibu tersenyum waktu melihatku, bicara dengan hangat ketika aku mengajaknya bicara, memelukku, dan mengatakan kalau ibu menyayangiku.”

Tangan bu guru yang memegang kertas ujian, bergetar hebat. Air matanya menetes. Dadanya berdebar tak karuan karena perasaan yang campur aduk. Apalagi setelah bu guru membaca lagi siapa nama muridnya yang membuat tulisan ini.

Nama: Anita Kusuma

Kelas: 3A

No. absen: 5

Tubuh bu guru, membeku di kursinya. Emosinya meluap tak terkendali. Rasanya dia ingin melemparkan semua barang yang ada di sekitarnya sampai hancur berkeping-keping. Tangannya yang mengepal erat hingga buku jarinya putih, bergetar hebat, berusaha menahan amarahnya.

“Bu Sukma!!” suara satpam sekolah mengejutkan bu guru. Tumben sekali satpam sekolah masuk ke dalam kelas di jam pelajaran seperti ini. Apalagi, wajah pak satpam terlihat khawatir.

“Ada apa pak?”

“Anak anda, Anita, dipukuli kakak kelasnya karena mencuri uang.” Bu guru segera beranjak dari kursinya, berlari mengikuti pak satpam ke ruang kepala sekolah.

Di dalam ruang kepala sekolah, sudah ada dua anak kelas enam dan seorang anak kelas tiga yang wajahnya memar, seragamnya kotor, dan rambut panjangnya berantakan. Dialah Anita Kusuma, anak yang tulisannya baru dibaca oleh bu guru. Anak perempuan bu guru.

“Ya Tuhan! Anita!”

Bertolak belakang dari keterkejutan ibunya yang dipenuhi amarah, siap memarahi dan menghukum anaknya, Anita di sisi lain, tersenyum lebar menatap ibunya yang masuk ke ruang kepala sekolah dengan nafas memburu.

“Ibu! Ini lihat! Aku punya uang! Ini uangnya untuk ibu, supaya ibu senang melihatku dan tidak marah-marah lagi. Nanti, aku akan jadi pria kaya waktu besar, supaya bisa memberi ibu lebih banyak uang, jadi ibu akan semakin sayang padaku.” Anita yang luka memar di wajahnya mulai mengeluarkan darah, menyerahkan uang dalam genggaman tangannya yang juga terluka, pada ibunya yang jatuh terduduk di lantai sambil meraung tak terkendali.

“Anak anda tidak mau membuka genggaman tangannya yang memegang uang meskipun sudah dipukuli oleh kakak kelasnya. Bahkan saat saya melerai mereka dan membawanya ke sini, dia juga bersikeras tidak mau menyerahkan uang yang dia ambil.” suara kepala sekolah teredam oleh raungan bu guru.

“Ibu! Ini, ini uangnya. Ibu kan biasanya senang kalau pacar ibu memberi uang. Kenapa kalau aku yang memberi uang, ibu malah menangis?” Anita duduk di lantai, meletakkan uang yang dia curi ke pangkuan ibunya yang sedang memukul-mukul dada sambil berteriak-teriak dalam raungan tangisnyanya. Anita pikir, uang yang dia berikan masih kurang banyak.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)