Masukan nama pengguna
“Nak, kamu harus ingat, kalau ibu hanya bisa menyekolahkan kamu sampai SMA. Itu pun dengan mengandalkan semua hutang yang bisa ibu dapatkan. Selebihnya, nanti itu adalah tanggung jawab kamu sendiri sebagai orang yang sudah dewasa. Akan lebih baik kalau kamu bisa bertemu dengan pria baik dan kaya, dan langsung menikah. Supaya kamu bisa hidup dengan nyaman, tidak perlu susah-susah lagi seperti ibu sekarang. Malah, kalau kamu bisa menikah dengan pria yang kaya dan loyal ke kamu, kamu bisa membantu ibu melunasi hutang, membahagiakan ibu di masa tua, dan membalas budi pada ibu karena sudah bekerja keras membesarkan dan menyekolahkanmu.”
Itu adalah satu-satunya nasehat paling serius yang pernah diucapkan ibunya kepada Dian ketika dia masih SMP. Sebelumnya, sang ibu selalu memperlakukan Dian sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan tidak perlu ikut campur urusan orang dewasa. Yang harus dilakukan Dian hanyalah menuruti setiap kata dari ibunya. Kalau melawan atau tidak patuh, dia akan dimarahi habis-habisan. Kalau ibunya lelah dia juga akan mudah dimarahi karena alasan apa pun. Kalau ibunya tidak punya uang, dia juga akan dimarahi. Sejak kecil, Dian sering dimarahi sampai rasanya, hanya itu yang bisa dia ingat kalau orang bertanya tentang sosok ibunya.
Ah, ada satu hal lain yang bisa Dian ingat tentang ibunya selain marah-marah dengan kata-kata kasar. Uang. Ibunya, sangat suka pada uang. Meskipun sering marah-marah, sang ibu selalu membawanya pergi liburan ke tempat yang bagus, mengajaknya makan makanan enak yang mahal, membelikannya baju dan aksesoris baru yang sudah pasti menghabiskan banyak uang. Ibunya juga selalu mengantar dan menjemputnya menggunakan mobil meskipun itu bukan mobilnya sendiri, tapi mobil neneknya. Setiap kali ulangtahun, ibunya akan menghabiskan banyak uang untuk mengadakan pesta, mengundang teman-temannya dan orang tua mereka untuk makan-makan bersama, juga teman-teman lain ibunya. Ibunya, tak pernah membiarkan Dian hidup dengan sederhana apalagi kekurangan. Meskipun selalu mengeluh karena tak punya uang dan bingung bagaimana caranya memenuhi semua kebutuhan hidup mereka, karena ibunya adalah seorang janda, tapi pada akhirnya, sang ibu selalu menemukan cara untuk menjaga gaya hidup mereka yang seperti itu.
Setelah nasehat serius itu diucapkan oleh sang ibu, Dian mengingatnya sepenuh hati.
Sayangnya, tak berapa lama setelah pembicaraan serius antara ibu dan anak tersebut, Dian jatuh cinta pada teman sekelasnya. Mengingat temperamen sang ibu yang luar biasa meledak-ledak kalau ada hal yang tak sesuai keinginannya, Dian memilih untuk diam. Dia tak pernah menceritakan isi hatinya pada sang ibu. Tak pernah pula mereka punya percakapan tentang rencana masa depan yang diinginkan Dian selain keinginan ibunya agar Dian menikah dengan pria kaya dan baik.
Cinta pertama Dian itu bernama Dewa. Dia seorang siswa biasa-biasa dengan kisah hidup normal tanpa ada yang bisa dibanggakan secara berlebihan. Dewa tidak kaya dan juga tidak terlalu pintar. Namun dia sangat baik. Hatinya selalu tulus dan caranya menjalani hidup dipastikan bertanggungjawab. Meskipun tak pintar, dia selalu berusaha menyelesaikan semua tugas sekolahnya, belajar sebaik mungkin, dan serius mengerjakan semua soal ujian. Walaupun tidak kaya, dia berusaha untuk bisa mendapatkan uang jajan tambahan dengan bekerja sebagai kuli di pasar sejak sebelum subuh, barulah berangkat sekolah. Tutur katanya sopan, sikapnya tak pernah kurang ajar, caranya memperlakukan orang lain penuh rasa hormat dan menghargai. Seburuk apapun kondisi yang dia hadapi, dia berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain apalagi sampai menimbulkan masalah.
Dian yang berpacaran dengan Dewa, meski sembunyi-sembunyi dari ibunya, mau tak mau jadi belajar banyak hal dari cara hidup Dewa yang sederhana tapi penuh perjuangan. Dewa ingin menjadi seorang dokter. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Dewa harus menabung banyak uang karena tidak ada universitas kedokteran di tempat mereka tinggal. Dia harus pergi merantau setelah lulus SMA. Dia juga harus lulus tes masuk universitas maka dia harus belajar lebih giat lagi. Tujuan hidupnya jelas. Hal-hal yang dia perjuangkan untuk masa depannya pun sudah dimulai dari sekarang. Ketika Dian sibuk menikmati hidup yang nyaman di bawah naungan ibunya, Dewa menjalani genre hidup yang berbeda.
Malangnya, hubungan cinta monyet sembunyi-sembunyi itu, ketahuan juga.
Sang ibu, marah bukan main. Ledakan amarahnya melontarkan berbagai macam kata makian dan teriakan histeris yang bisa didengar seluruh kampung. Dian yang awalnya menjadi anak perempuan kebanggaan sang ibu, tempatnya menggantungkan harapan masa depan yang indah, berubah menjadi anak bodoh tidak tahu diri yang tidak bisa berpikiran jernih.
“Kamu mau jadi apa kalau pacaran dengan anak itu?!” teriakan amarah sang ibu, sekarang telah menjadi fokus pendengaran penghuni rumah-rumah lain di sekitar mereka.
“Dia itu tidak punya apa-apa. Berprestasi di sekolah juga tidak. Orangtuanya hanya petani yang bekerja di sawah milik kepala desa. Kamu pikir, kamu punya masa depan seperti apa dengan dia?!”
“Tapi Dewa nanti akan jadi dokter, bu. Dia sekarang sedang berjuang untuk masa depannya. Nanti, dia akan merantau untuk kuliah kedokteran. Dewa juga anak baik bu. Siapa tahu nanti dia benar-benar akan jadi dokter dan sukses? Kan itu seperti yang ibu mau. Supaya aku menikah dengan pria baik dan kaya.”
Dian mengumpulkan keberaniannya untuk membela sang kekasih di hadapan sang ibu. Ini adalah pertaruhan nyawa baginya. Dia sedang menuang minyak ke dalam api amarah ibunya yang sedang membara tak terkendali.
Plak!
Wajah Dian terbanting ke samping, pipinya perih, kemudian rasa nyeri memenuhi wajahnya. Air matanya menetes. Rasa sakit paling besar dirasakan di dalam hatinya.
“BODOH!”
“Kamu pikir, untuk jadi dokter sukses itu butuh waktu berapa tahun? Lalu selama bertahun-tahun itu, bagaimana kamu akan hidup? Menunggu dia sukses sambil hidup susah? Iya kalau dia sukses, kalau tidak? Kamu bagaimana? Saat itu semua terjadi, kamu sudah tua dan tidak ada lagi pria yang mau denganmu. Jangan bodoh dengan percaya pada impian laki-laki untuk sukses! Kamu itu perempuan! Kamu harus mendapatkan pria yang sudah sukses! Bukan yang sedang berusaha sukses!”
Dian membeku.
“Putus sekarang juga!”
Itu adalah hukum yang tak bisa dilawan oleh Dian. Kisah cinta pertamanya berakhir.
Dua tahun kemudian, dua bulan sebelum ujian kelulusan SMP, sang ibu memperkenalkan Dian pada seorang pria muda bernama Teo.
“Dian, ini Teo. Dia sekarang kuliah di kota sebelah. Itu loh, universitas paling mahal yang bagus. Dia kuliah manajemen bisnis supaya bisa mengurus warisan dari ayahnya.” Senyuman di wajah sang ibu begitu lebar. Suaranya pun lembut, penuh kasih sayang seakan tak sekalipun pernah keluar kata-kata kasar dari mulut yang sama.
“Hai,” sapa Dian ramah, mengikuti perintah sang ibu yang disampaikan lewat sorot matanya.
“Kalian kan seumuran, jadi kalian bisa ngobrol sendiri.” Satu lagi perintah tak langsung dari sang ibu yang disampaikan sambil menatapnya. Lalu tatapan sang ibu beralih pada Teo, “Tante siapkan makan dulu ya.” Lembut sekali bicara ibu pada orang ini, kebingungan Dian tak pernah terucapkan.
“Tadi, tante sudah minta ijin ke papa kamu. Supaya kamu makan malam saja di sini. Sekalian tante bayar tagihan bulan ini ya.” Suara ibunya masih terdengar lembut meski sibuk menyiapkan makanan di dalam dapur.
“Oh, iya tante. Terima kasih.” Teo bersikap sopan dengan tidak menolak tawaran makan malam di rumah salah satu orang yang selalu ditagih oleh ayahnya. Sejak kuliah, dia diserahi tugas untuk membantu ayahnya menagih uang ke orang-orang yang menunggak pembayaran dari ayahnya. Sebagai pemilik sawah dan perkebunan, ayahnya menjual hasil panennya pada warga sekitar dan pasar. Di antara mereka, ada orang-orang yang langsung menyelesaikan pembayaran, dan ada orang-orang yang harus didatangi secara khusus agar pembayarannya diselesaikan. Salah satu contohnya adalah ibu dari Dian. Ini kali ketiga Teo ditugaskan menagih pembayaran ke toko milik ibu Dian. Bedanya, kali ini, dia diminta makan malam dulu baru dibayar. Pikirnya, tak masalah kalau hanya makan malam. Asalkan dia pulang membawa uang pembayaran.
“Kamu datang untuk menagih uang pembayaran dari ibuku ya?” tanya Dian dengan suara pelan. Dia tidak suka kalau pembicaraannya didengar oleh ibunya.
“Iya.”
“Berapa?” Dian membayangkan, kira-kira, berapa yang harus dibayar ibunya untuk toko kecil peninggalan ayahnya.
“Lima juta.”
“Ha?” meskipun belum pernah dipercaya ibunya untuk ikut mengurus toko, Dian tahu betul kalau jumlah barang yang bisa dijual ibunya tak sampai setengah dari uang yang ditagihkan.
“Ibumu juga meminjam uang ke ayahku. Jatuh temponya bulan ini. Sekalian dengan beras, jagung, dan sayuran yang diambil ibumu dari pekerbunan kami untuk dijual di toko.” Teo menjelaskan tanpa diminta. Rasanya tidak adil, ditatap dengan tatapan menghakimi dari anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
“Berapa uang yang dipinjam ibuku?”
“Empat juta.”
Lihat kan? Barang yang bisa dijual ibu di toko tidaklah banyak. Apalagi sejak ayah meninggal, bertahun-tahun lalu, toko itu tidak pernah berkembang. Malah semakin sepi dan semakin sedikit barang-barang yang dijual.
“Memangnya ibumu bisa punya uang dari mana untuk membayar hutangnya? Tokomu kan sepi.” Kejujuran Teo menyinggung perasaan Dian.
“Entahlah.” Dian menahan rasa marahnya. Walaupun dia tidak suka dengan sikap Teo yang terang-terangan meremehkan ibunya, tapi dia tahu kalau kata-kata Teo benar. Jadi dia tidak bisa melawan. Lebih baik diam saja.
“Lho, kok kalian tidak saling mengobrol? Masih malu-malu ya?” sang ibu masuk lagi ke ruang tamu, dengan senyuman lebar. Dalam hati, Dian sendiri kagum pada kemampuan ibunya untuk bersikap begitu manis sampai selama ini. Sudah hampir satu jam, dan tidak ada nada tinggi satu pun yang terucap dari mulut ibunya. Senyumnya juga selalu ada, tak seperti biasanya, dimana wajah ibunya selalu dihiasi kerutan marah dan frustasi.
“Ayo makan. Makanannya sudah siap. Kita ngobrol sambil makan bersama ya.” Teo tak lagi bicara apa-apa. Dia mengikuti peminjamnya, lalu duduk di salah satu kursi di meja makan. Saat Dian mendekati meja makan, dia terkejut dengan sajian yang disiapkan ibunya. Ayam goreng yang jelas-jelas dibeli ibunya dari salah satu restoran terkenal. Tumisan sayur dan bakmie yang sudah pasti dibeli di kedai Chinesse food dekat rumahnya. Lalu masih ada sepiring sate ayam dengan bumbu kacang yang tidak mungkin dibuat sendiri oleh ibunya. Semua orang yang mengenal ibunya tahu, kalau ibunya tidak pandai memasak. Jadi, jamuan makan malam ini ternyata sudah dipersiapkan oleh ibunya sejak lama.
“Silahkan dimakan. Tante tidak tahu selera kamu, jadi tante siapkan saja apa yang menurut tante enak. Semoga kamu suka ya Teo.”
“Terima kasih tante, ini banyak sekali.”
“Ah, tidak kok. Ini tidak seberapa kalau untuk menyambut kamu.”
Dian melihat senyuma tidak nyaman di wajah Teo. Ketika Teo menatapnya, Dian langsung memalingkan wajah.
“Tante harap, Teo bisa dekat dengan anak tante, Dian. Sekarang Dian masih SMP, tapi dua bulan lagi sudah lulus dan mulai SMA. Tante ingin sekali Dian bisa sekolah dan kuliah dengan baik seperti Teo. Tante harap, Teo mau membimbing Dian ya. Anggap saja adik perempuan Teo sendiri. Kalau lebih juga tidak apa-apa. Tante malah senang.”
Teo dan Dian sekarang saling tatap.
“Ibu!” tegur Dian malu.
“Ah, Dian memang pemalu. Dia tidak pernah pacaran. Tidak pernah dekat dengan teman laki-laki, jadi kalau tante kenalkan pada anak-anak dari teman tante, dia selalu malu-malu seperti ini.” suara tawa cekikikan ibunya semakin membuat merah wajah Dian.
“Iya, tante.” Memangnya Teo bisa bilang apa lagi selain iya?
“Ayo-ayo, makan. Silahkan makan yang banyak. Tante memang tidak pintar masak, tapi tante pintar beli makanan yang enak. Jadi semua ini sudah pasti enak rasanya.”
Dian menunduk, tak merasa ingin makan satu butir nasi pun.
Sementara di sisi lain, Teo mulai memperhatikan Dian. Tubuhnya tinggi, pasti karena gen dari ayahnya. Rambutnya panjang, hitam legam, dan kulitnya sawo matang. Khas orang-orang di daerah sini. Sebagai remaja yang sedang tumbuh, tubuh Dian bisa dibilang proporsional. Wajahnya juga lumayan. Kalau dibandingkan dengan anak-anak seusianya di desa ini, Dian bisa dibilang sedikit di atas rata-rata. Tidak buruk juga. Sudut bibir Teo terangkat sedikit. Sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya, dia mulai memahami maksud dari ibunya Dian.
“Ingat ya Dian, kamu harus bersikap yang baik pada Teo. Dia itu salah satu investasi masa depan yang sangat baik untukmu.” Semua sikap manis dan lemah lembut ibunya langsung lenyap setelah Teo pergi meninggalkan rumah mereka. Sambil membereskan sisa makan malam, Dian terus-terusan dinasehati oleh ibunya agar mulai menjaga sikapnya dan memberikan perhatian lebih pada Teo.
“Kalau kamu mau pacaran, carilah laki-laki seperti Teo itu. Masa depannya jelas. Keluarganya jelas. Hidupmu tidak akan berakhir menderita kalau bisa berhubungan dengannya.”
“Tapi dia itu tua, bu. Lima tahun lebih tua dariku.”
“Lima tahun itu bukan apa-apa! Kalau ada pria sepuluh atau belasan tahun lebih tua dan dia mau mennikah denganmu, juga tidak apa-apa. Yang penting itu bagaimana kondisi pria itu. Perempuan itu harus pintar-pintar memilih pasangan supaya hidupnya tidak menderita. Yang perlu kamu lakukan sebagai perempuan itu hanya pintar-pintar melayani laki-laki dan menyenangkan hati mereka. Kalau mereka sudah nyaman dan senang denganmu, kalau mereka puas denganmu, mereka akan memanjakanmu. Apa pun yang kamu minta akan mereka berikan.”
“Maksud ibu, sekarang ini, ibu menyuruhku untuk mendekati Teo supaya bisa berpacaran dengannya?” Dian meletakkan piring kotor terakhir yang baru selesai dia cuci di rak, lalu berdiri menghadap ibunya yang sedang duduk sambil mengangkat kaki di atas kursi.
“Iya. Kalau bisa sampai menikah.”
“Ibu, aku kan masih SMP.”
“Sebentar lagi sudah SMA. Selesai SMA, kamu sudah dua puluh tahun. Sudah bisa menikah itu.”
“Ibu!”
“Apa?!”
“Kenapa ibu seperti ini? Aku kan ingin kuliah. Aku juga punya cita-cita. Aku ingin kerja di kantor yang besar, pakai pakaian kerja yang rapi, punya teman kerja yang banyak, bisa jalan-jalan dengan teman-temanku setelah kerja, bisa keluar dari desa ini dan hidup di kota besar, …”
“Cukup!”
Dian menatap ibunya sambil menahan air mata.
“Kamu pikir, kamu itu siapa? Kamu tidak sadar dengan kondisi hidupmu sendiri? Hidup ini fakta, kenyataan, bukan impian macam itu! Ibu kan sudah bilang, kalau ibu hanya bisa menyekolahkan kamu sampai SMA!”
“Aku akan kerja supaya bisa kuliah!”
“Bodoh!”
“Aku ingin keluar dari desa ini dan hidup lebih baik, bu.”
“Makanya ibu menyuruhmu menikah dengan pria kaya! Dasar sialan! Anak bodoh! Sudah berkali-kali ibu ajari masih tidak mengerti juga!”
“Bukan dengan cara seperti itu!”
“Memangnya kamu pikir kamu bisa?! Kamu pikir, kamu punya kemampuan?! Hah?!?”
Dian menggigit bibirnya. Dia ingin sekali mengatakan banyak hal, tapi tak satupun yang bisa dia pikirkan. Di saat seperti ini, terbersit dalam pikirannya, sosok anak lain, yang hidupnya bertolak belakang darinya.
“Memangnya kamu pintar?! Nggak kan? Kamu pernah berprestasi di sekolah? Tidak pernah, Dian! Kamu punya kemampuan apa untuk kerja sambil kuliah? Kamu pikir, merantau ke kota besar, mencari pekerjaan, lalu melakukannya sambil kuliah, itu hal yang mudah? Tidak sama sekali!!! Untuk mendapat pekerjaan dengan kemampuanmu saja itu susah! Apalagi pekerjaan dengan gaji yang cukup besar supaya kamu juga bisa membiayai kuliahmu. Itu tidak masuk akal! Kamu pikir, hidup semudah itu?! Semudah yang kamu katakan barusan?!”
“SADARLAH, DIAN! DASAR ANAK SIALAN! SIA-SIA IBU MEMBESARKANMU DENGAN SUSAH PAYAH! Hal seperti ini saja kamu tidak bisa mengerti sendiri. Harus ibu yang menjelaskannya kepadamu.”
“Contohlah ibu!” Dian melihat ibunya memukul-mukul dada, menunjuk dirinya sendiri dengan frustasi. Nafasnya memburu. Kedua matanya menyala karena rasa sebal. Kemudian, rentetan kata makian paling buruk yang bisa didengar Dian di seumur hidupnya, terlontar begitu lantang.
Mau sehancur apa lagi hati dan jiwa Dian? Entahlah. Sepertinya pertanyaan seperti itu tak pernah ada di dalam benak sang ibu.
“Pokoknya, lakukan seperti apa yang ibu ajari. Bersikap baik pada pria yang menjanjikan. Yang bisa menjamin hidupmu menjadi nyaman dan mudah. Memuaskan pria itu mudah. Selama kamu merawat diri dan berpenampilan menarik, lalu bicaramu manis, lemah lembut, sering manja, pria pasti akan luluh. Kamu pikir, selama ini, kamu bisa sekolah dan hidup nyaman, bisa menikmati liburan dan berbelanja, itu uang darimana? Ibu mendapatkannya dengan menyenangkan pacar ibu. Kamu masih muda. Jadi, kamu pasti bisa melakukan yang lebih baik dan mendapatkan lebih banyak dari ibu.”
Dian tak ingin bicara lagi. Dia tak ingin mendengar apa pun lagi.
Sejak malam itu, nurani Dian mati.
Dia berubah menjadi sosok yang diinginkan sang ibu. Karena hanya dengan mematuhi semua keinginan sang ibu, barulah hidupnya di dalam rumah itu bisa terasa damai. Mulai dari memanggil pacar ibunya yang sudah berganti entah berapa kali sebagai ayah, lalu menjaga penampilannya tetap prima, mengiyakan setiap pertemuan yang diatur ibunya agar dia dan Teo bisa berduaan, sampai pada akhirnya, tahun-tahun SMA Dian, berlalu begitu saja. Sang ibu tak lagi memperhatikan nilai rapornya. Juga tak pernah peduli pada pelajaran Dian di sekolah. Saat sang anak kesulitan memahami satu materi, sang ibu berlalu begitu saja, sambil berkata bahwa apa yang dia pelajari sekarang di sekolah, tidak akan dipakai di kehidupan nyata setelah lulus, jadi tak perlu bersusah payah.
Jalan dua orang itu berseberangan, tapi keduanya hidup bersama, menuju tujuan yang sama. Keinginan sang ibu.
“Berusahalah lebih keras. Pastikan Teo mau menikahimu. Sekarang, dia sudah secara resmi mengurus semua deretan ruko di pinggir jalan. Semua penyewa, langsung berurusan dengannya. Ayahnya juga sudah bertambah tua dan cepat lelah. Jadi, semakin banyak urusan ayahnya yang diserahkan ke Teo. Dia juga sudah lulus kuliah. Ini waktu yang tepat untuk menikah.” Itu adalah nasehat serius kedua dari sang ibu, sejak yang pernah dilakukannya ketika Dian SMP.
“Bagaimana caranya? Teo sepertinya tidak punya niat untuk menikah.” Dian mengingat bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama selama ini. Selain kegiatan kencan seperti yang biasa dilakukan orang lain, Teo tak pernah bersikap lebih. Sentuhan-sentuhan fisik yang diajarkan ibunya, tak berpengaruh pada Teo. Status mereka juga tak pernah jelas. Entah teman dekat atau kekasih. Kadang, Teo terasa begitu dekat hingga menghangatkan hati, tapi di waktu lain, Teo terasa begitu jauh dan asing.
“Kamu sudah mau lulus SMA. Usiamu sudah hampir dua puluh tahun. Kamu sudah boleh menikah secara hukum sebentar lagi. Jangan sia-siakan.” Dian memang lebih tua dibanding teman sekelasnya karena dia pernah tidak naik kelas. Tapi, bukan hal seperti ini yang ingin dia lakukan setelah lulus SMA. Padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin. Dia belajar setiap hari meski tak ada yang mendukungnya. Dia berusaha meski hasilnya tak sesuai yang dia harapkan.
“Kita kan tidak bisa memaksa orang lain untuk menikah.” Protes Dian. Sepertinya, hari-hari damainya di dalam rumah akan segera berakhir. Desakan sang ibu untuk secepatnya memastikan pernikahan dengan Teo, membuat Dian kesal dan marah. Tetapi dia tak punya kuasa apa pun untuk mengungkapkan perasaannya. Ingat, kalau mau hidup dengan tenang di dalam rumah ini, satu-satunya cara adalah dengan menyenangkan sang ibu. Sekarang, satu hal yang bisa menyenangkan ibunya, adalah menikah dengan Teo.
“Gunakan tubuhmu. Kalau perlu jebak dia supaya mau tidak mau, dia harus menikahimu. Kamu boleh bodoh di sekolah, tapi jangan bodoh kalau menghadapi laki-laki.” Hujaman demi hujaman menusuk hati Dian tanpa ampun. Rasa sakitnya tak pernah berkurang, lukanya tak pernah sembuh. Setelah membusuk pun, luka itu ditusuk lagi dengan cara yang lebih menyakitkan.
“Kita terdesa, Dian. Ini kesempatan kita untuk membalikkan keadaan. Kalau sampai kamu menikah dengan Teo, kehidupan kita akan berubah. Semua masalah akan selesai.”
“Masalah apa?” Dian teringat bagaimana ibunya marah-marah hebat di telepon ketika kakak laki-lakinya yang tinggal di pulau lain, menelepon. Setelah telepon panjang penuh cacian dan makian dari sang ibu, malam itu berlalu dengan pertengkaran hebat antara ibu dan pacarnya. Entah sudah yang keberapa.
“Om kamu akan menuntut ibu dengan penggelapan warisan.” Petir menyambar kesadaran Dian.
“Bagaimana bisa?”
“Karena ibu menjual tanah warisan kakek dan nenek tanpa sepengetahuan om kamu.”
“Kenapa?”
“Ya karena kita butuh uang, dasar bodoh.”
“Kapan?”
“Sudah lama, sebelum kamu lulus SMP.”
“Waktu itu, kita butuh uang untuk apa sampai ibu menjual tanah warisan kakek dan nenek?”
“Kamu pikir, darimana kita bisa punya mobil, rumah, dan semua makanan enak yang kamu makan tiap hari, belum lagi baju, sepatu, tas, semua merk mahal itu, memangnya bisa dibeli dengan pendapatan dari toko kecil peninggalan ayahmu?”
“Kata ibu, ibu dapat uang dari pacar ibu?”
“Uang dari mereka masih kurang. Jadi, ibu menjual tanah warisan. Selama ini, om kamu itu tidak pernah peduli dengan warisan. Tiba-tiba dia menanyakan tanah warisan dan ingin membagi dua sama rata. Waktu dia tahu kalau tanah itu sudah ibu jual, dia marah besar. Dia sampai menuntut akan melaporkan ibu. Karena ahli waris untuk tanah itu adalah dia, bukan ibu. Padahal selama ini dia selalu baik pada ibu karena kasihan dengan kondisi kita. Ibu selalu berhasil membuatnya melunak dan tidak marah tiap kali ibu minta uang padanya, karena ibu ini janda beranak satu. Tapi sekarang, dia tidak mau lagi mendengar kata-kata ibu. Dia benar-benar serius mau melaporkan ibu.”
Oh, jadi karena ini. Dian sudah mendapatkan penjelasan dan jawaban.
“Kamu juga tahu kalau terakhir kali ibu bertengkar hebat dengan pacar ibu dan dia tidak mau lagi memberi ibu uang. Waktu dia tahu ibu menjual tanah warisan diam-diam dan harus mengganti rugi pada kakak ibu, dia semakin marah. Sepertinya kami akan putus sebentar lagi. Kalau itu terjadi, kita tidak punya lagi sumber pemasukan untuk bertahan hidup.”
“Apa uang dari menjual tanah itu sudah habis?”
“Tentu saja. Sudah habis dari dua tahun lalu. Sebenarnya, ibu juga sudah menggadaikan sertifikat rumah kita, dan mobil kita ke bank. Selama ini, uang cicilannya bisa dibayar karena pacar ibu memberi uang. Sekarang, ibu tidak tahu bagaimana harus melunasi hutang di bank. Kalau tidak bisa membayar, kita tidak akan punya tempat tinggal, Dian. Sekarang kamu mengerti kan? Kenapa kamu harus menikah secepatnya dan harus dengan Teo.”
“…”
“Pokoknya, siapkan dirimu. Ibu sudah mengatur agar Teo menemuimu besok sore. Ibu tidak akan pulang ke rumah. Ibu akan menginap di rumah teman ibu. Jadi, buat Teo menginap. Besok malam, harus berhasil, Dian. Kalau tidak, hidup kita hancur.”
Memangnya Dian bisa melawan?
Sekarang, dia harus melakukannya untuk bertahan hidup. Untuk menyelamatkan ibunya.
“Dian?” suara Teo terdengar dari balik pintu tepat setelah langit mulai menggelap. “Kata tante, kamu sakit, ini aku bawa obat. Tante masih sibuk, jadi tidak bisa pulang sekarang.” Teo masih berdiri di depan pintu, menunggu Dian muncul.
“Apa kamu sakit sekali? Tidak bisa bangun? Aku masuk ya?” ini pertama kalinya Teo dimintai tolong seperti ini. Biasanya, pertemuannya dengan Dian selalu karena kencan. Ada saja alasan dari Dian dan ibunya supaya bisa bertemu Teo lalu menghabiskan waktu bersama. Selama hampir tiga tahun ini, mau tidak mau, Teo jadi dekat juga dengan Dian. Meskipun bukan dengan perasaan yang diinginkan oleh ibu Dian, Teo mulai menganggap Dian sebagai seorang teman atau adik. Setidaknya, dia tahu, kalau Dian bukan orang yang jahat.
Jadi, saat diberi tahu kalau Dian sakit dan butuh obat tapi ibunya tidak bisa datang, Teo tidak menolak untuk membantu. Sekarang, bahkan dia mulai khawatir. Separah apa sakitnya sampai tidak bisa membukakan pintu? Untungnya pintu masuk tidak dikunci. Teo membukanya, lalu mendapati rumah yang sepi, tanpa suara.
“Dian? Kamu tidak apa-apa? Apa perlu ke dokter?” Teo berjalan menuju kamar tidur Dian, mengira dia sedang tidur.
Benar saja, Dian sedang berbaring di atas tempat tidur, tersembunyi seutuhnya di balik selimut. Kamarnya pun hanya diterangi oleh lampu tidur redup.
“Dian? Kamu tidur?” Teo mendekat ke tempat tidur, menepuk pelan permukaan selimut.
“Ini obat untuk kamu. Minumlah dulu. Nanti kamu bisa tidur lagi.” Teo duduk di sisi tempat tidur, menarik sedikit selimut yang menutupi wajah Dian.
Ternyata Dian tidak tidur. Kedua matanya menatap Teo ketika selimut tak lagi menutupi wajahnya.
“Apa sakit sekali? Bagian mana yang sakit? Mau ke dokter? Biar kuantar.” Kekhawatiran Teo, dijawab dengan gerakan pelan tangan Dian, yang meraih tangan Teo. Dian menggenggam tangan Teo dengan lembut, lalu menariknya pelan, supaya tangan Teo masuk ke dalam selimut. Setelah itu, tangan Teo yang masih ada dalam genggamannya itu, diarahkannya ke bagian dadanya.
Tubuh Teo berjengat. Nafasnya terhenti sesaat. Seluruh saraf tubuhnya aktif tanpa bisa dia kendalikan.
“Di sini, sakit.” Ucap Dian lirih, hampir seperti bisikan.
“Dian, ini, …” Teo berdeham, menggeser duduknya dengan gelisah, dia merasakan tangannya digenggam lebih kuat, kemudian dengan tangannya sendiri, Dian mengarahkan telapak tangan Teo ke dada sebelah kirinya, memandunya begitu perlahan, untuk merasakan seluruh permukaannya sambil memberikan tekanan-tekanan lembut.
“Ini tidak benar, Dian.” Teo akhirnya bisa menyelesaikan kalimatnya meski seluruh kulitnya sekarang memanas.
“Aku datang, karena kamu sakit dan butuh obat.” Penjelasan Teo dijawab dengan gerakan tangan Dian yang mengarahkan tangan Teo menelusuri perutnya, lalu berhenti di ujung bawah perutnya. Dian mengeluarkan suara tercekat, kaget sendiri dengan sensasi yang dirasakan oleh tubuhnya. Padahal dia melakukan ini karena perintah ibunya. Bukan karena keinginannya. Namun kedatangan Teo dengan kepedulian yang tulus, membuatnya tersentuh. Mungkin sekarang, Dian benar-benar menyukai Teo. Sebagai laki-laki. Bukan sebagai orang yang akan menjamin hidupnya. Sebagai laki-laki. Bukan sebagai penyedia uang berlimpah untuknya. Sebagai laki-laki, yang membuatnya memiliki hasrat sebagai seorang perempuan.
“Tapi, ini yang kuinginkan. Boleh?” Dian menggerak-gerakkan tangan Teo di atas permukaan tubuhnya yang begitu sensitif. Teo menundukkan kepala, memejamkan mata, menggigit bibir, mencubit pahanya dengan tangan yang lain, tapi godaan di tangannya yang dibawah pengaruh Dian, ternyata berkuasa lebih kuat.
“Kamu yakin?”
“Malam ini, ibu tidak akan pulang.” Bisik Dian, dengan suara penuh tuntutan untuk dipuaskan.
“Jangan menyesal.”
“Tidak akan.”
“…”
“…”
Semua yang telah diajarkan sang ibu, menguap bersama setiap helaan nafas Dian. Setiap kali tangan Teo menyentuh tubuhnya yang sudah siap di balik selimut, semua kata-kata sang ibu, tentang bagaimana memuaskan laki-laki, menghilang tanpa jejak. Dian menemukan caranya sendiri.
Kali ini, dia yakin, kalau dia sudah jatuh cinta pada Teo. Dia telah kalah. Semua keegoisannya dan tujuan sang ibu, telah lenyap.
Malam mereka berlalu tanpa tidur.
Keduanya menjadi satu berkali-kali.
Dian, telah menemukan kehidupan baru yang dia inginkan. Bersama Teo. Setiap hari. Seperti ini.
“Bagus, Dian. Pintar kamu.” Pujian sang ibu tak dihiraukan Dian. Pikirannya masih tertuju pada malam itu. Rasa rindunya pada Teo semakin menjadi. Rasanya hampir gila ketika bayangan dan rasa dari malam itu masih terasa nyata sementara dia tidak bisa bertemu dengan Teo karena Teo harus bekerja. Dian pun sekarang tak lagi peduli dengan ujian kelulusan SMA nya. Imajinasi hidup bersama Teo, terlalu menggiurkan untuk diabaikan.
Satu minggu kemudian, Teo yang baru menyelesaikan pekerjaannya di kota sebelah, datang menemui Dian. Kali ini, Teo menjemput Dian di rumahnya, lalu mengajaknya ke hotel di luar desa. Tempat dimana tak seorang pun dari desa tempat mereka tinggal, bisa melihat apa yang dilakukan keduanya. Tentu saja sang ibu mengijinkan Dian untuk menginap. Bayangan tentang masa depan penuh kekayaan, membuat sang ibu begitu bahagia hingga berubah menjadi sosok ibu peri bersayap emas.
“Aku ingin hidup bersamamu seperti ini,” ucap Dian dengan keberanian penuh setelah mereka meluapkan rasa rindu di atas tempat tidur hotel.
“Benarkah?” Teo menatap Dian yang bergelung di dalam dekapannya.
“Iya.”
“Bagaimana dengan ibumu?”
“Aku tidak peduli.”
“Kupikir, kamu mendekatiku karena disuruh oleh ibumu.”
“Awalnya begitu. Tapi sekarang, tidak. Sekarang, aku hanya ingin bersamamu. Seperti ini. Setiap hari.”
“Ibumu pasti tidak suka.”
“Biar saja.”
“Sekarang kamu sudah berani ya?” Teo mencubit pipi Dian lalu meremas bagian tubuhnya yang lain.
“Sekarang, aku sadar kalau perasaanku padamu itu sungguh-sungguh. Ini bukan karena ibuku. Tapi karena aku memang menginginkanmu.” Dian mendorong tubuhnya ke arah tangan Teo, menyerahkan sebanyak yang diinginkan Teo.
“Jadi, bagaimana?” tanya Dian sambil mengangkat tubuhnya hingga naik ke atas tubuh Teo. “Maukah kamu, bersamaku, setiap hari, seperti ini?” Teo belum menjawab, dia hanya menyunggingkan senyum. “Sebentar lagi, aku sudah boleh menikah secara hukum. Kamu tidak tergoda untuk menikahiku?” keahlian alami Dian muncul begitu saja. Dia berhasil membuat Teo mengangguk, menerima tawarannya untuk menikah.
“Tapi aku punya syarat.” Ucap Teo setelah sekali lagi mereka saling mengkonfirmasi persetujuan perrnikahan mereka.
“Apa?” Dian mengangkat tubuh bagian atasnya, hingga posisinya menjadi duduk. Tentu saja dia memilih tempat paling menggoda untuk duduk, tepat di bagian tengah Teo. Pemandangan di depan Teo, membuatnya hampir tidak bisa berpikir jernih, tapi dia ingat harus memastikan hal ini untuk kebaikannya sendiri.
“Aku tidak akan memberi uang pada ibumu.”
“Hm?” Dian memiringkan kepala, tak menyangka Teo akan mengatakan hal itu sebagai syarat.
“Aku tahu kalau ibumu terlilit hutang dan sudah dilaporkan ke polisi karena penggelapan warisan. Kamu juga sudah mengaku kalau tujuanmu mendekatiku pada awalnya karena disuruh oleh ibumu.”
“Iya, kamu benar.”
“Sekarang, kalau kita memang akan menikah, aku mau memastikan dulu denganmu, bahwa aku tidak akan memberi uang ke ibumu. Aku tidak mau menjadi mesin atm pribadinya.”
Seringai Dian terbentuk. “Tentu saja,” ucapnya sambil bergoyang pelan ke depan lalu ke belakang.
“Kamu yakin?” Teo meremas selimut di sisinya. Pikirannya harus fokus. Ini pembicaraan penting.
“Iya. Setelah aku menjadi istrimu, aku akan tinggal bersamamu dan meninggalkan ibuku. Saat itu, aku tak peduli lagi pada hutang-hutang dan keinginannya.”
“Benarkah kamu bisa melakukan hal itu? Bagaimana kalau ibumu memaksamu?”
“Dia tidak berhak, aku kan sudah menjadi istrimu. Kamu yang berhak atasku.” Gerakan Dian semakin provokatif. Kali ini tangannya ikut menggoda.
“Baguslah.” Ucap Teo lega. Dia tidak mau kehilangan kekayaannya karena orang serakah.
“Sekarang, urusan pernikahan sudah selesai.” Suara Dian terdengar lagi, “Bagaimana kalau sekali lagi?”
“Tentu saja boleh.” Jawaban Teo mengakhiri percakapan mereka.
Sebulan kemudian, pernikahan mereka dilangsungkan. Perayaan meriah karena anak kepala desa menikah membuat penduduk desa terus membicarakannya. Di hari pernikahan, bukan hanya sepasang pengantin yang berbahagia. Satu orang lebih berbahagia dibanding siapapun.
“Dian, kirim uang ke rekening ibu sekarang juga. Kalau tidak, rumah kita akan diambil bank. Mobil juga. Belum lagi om kamu. Dia terus mendesak ibu untuk bertanggung jawab. Ibu sangat terdesak sekarang.” Sudah berbulan-bulan setelah pernikahan berlangsung, kehidupan pernikahan Dian tak juga tenang. Sang ibu terus meminta uang meski sudah berkali-kali ditolak. Akhirnya Dian memutuskan untuk mengatakan dengan tegas. Bahwa ibunya tidak bisa lagi memaksanya melakukan sesuatu. Uang milik Teo tak akan pernah diberikan pada sang ibu. Setelah menikah, Dian akan hidup tenang bersama suaminya dan sang ibu tidak diperbolehkan untuk mengganggu.
Rasa sakit hati dan amarah sang ibu meluap.
“Memangnya kamu pikir, ibu tidak bisa hidup tanpa bantuanmu?” ancaman itu diabaikan oleh Dian. Baginya, yang terpenting sekarang adalah kehidupan rumah tangga yang tenang dan damai bersama Teo. Pria yang sekarang membuatnya tergila-gila.
Malangnya, Dian mengabaikan kemampuan sang ibu.
Ketika berita bahwa ibunya yang terlilit utang tak bisa membayar dan rumah serta mobilnya disita bank tersebar di desa, Dian menemukan sang ibu ada di dalam kamar tidur ayah mertuanya, berada di balik selimut sang ayah mertua, sambil tersenyum lebar.
“Sekarang, ibu juga punya pria milik ibu sendiri. Pria milik ibu, adalah pemilik sah dari semua kekayaan suamimu. Akan ibu pastikan, mulai sekarang, semua itu menjadi milik ibu. Silahkan kamu hidup berdua dengan suamimu itu, seperti yang kamu inginkan. Sementara hartanya, akan menjadi milik ibu.”
“Ini hukuman untukmu, anak tidak tahu diri.”