Masukan nama pengguna
AKU DAN ARIADNE
“Kamu tuh, kenapa sih? Kok, dari tadi Uwa perhatiin, mukanya cemberut…aja. Kayak abis perang saudara aja?”
“Kok, Uwa bisa nebak?”
“Ya, nggak tahu juga… Tapi, bener, yah? Kamu lagi clash?”
“Iya, sih, Wa…”
“Alasannya kenapa, kalau Uwa boleh tahu?”
“Aku cuman ngerasa, selain Uwa, nggak ada orang dalam keluargaku yang ngerti dan bisa menghargai karya tulisanku.”
“Mungkin mereka memang kurang suka membaca, basically they don’t have feeling for reading.”
“Nah… Kurasa bukan. Mereka cuman takut, aku mengada-ngada.”
“Tapi, bukannya itu bakat pengarang? Mereka bisa mengada-ada sesuatu yang mengilhami atau paling tidak menghibur pembaca?”
“Well, they think I am making up something, like I am crazy or something. Kayak adik iparku misalnya, you know who, lah, dia mengira aku psikotik karena membuat konteks dan ide tertentu dalam ceritaku.”
“You’re not crazy, you just see and think of something people don’t,” katanya sambil menyentuh sebuah link di Laman Fan Facebook dengan antusiasme yang khas.
Aku seringkali melihatnya seperti anak kecil, yang ketika mengerjakan sesuatu, seperti terinspirasi oleh kekuatan yang agung. Patuh, bersemangat dan melakukannya dengan ikhlas.
“Aku emang nggak gila, tapi seringkali orang lain mengucapkan hal-hal yang membuatku melihat hal-hal di luar kewarasan.”
“Uwa tahu maksudmu, tapi kamu tahu apa yang waras untukmu. Kewarasan adalah kesadaran jiwa dan kemampuan diri untuk menerima segala sesuatu seperti adanya. Itu menjadi tolak ukur kewajaran kamu dalam menyikapi sesuatu, bahkan ketidakwarasan itu sendiri. Saran Uwa, berhati-hati aja dan jangan terpicu oleh mereka,” katanya lagi.“If you let the anger consume you, you will let the fire burn you.”
“Ungkapan dari siapa, tuh?”
“My own quote, from my own experience,” katanya ketus, tapi tetap saja, wajah itu berbinar-binar cantik. “I married your Uncle with his dramatic family for years. Kalau Uwa nggak tahu adanya Rumah Sandiwara yang melatarbelakangi keluarga kalian, Uwa nggak akan sampai punya 3 anak laki-laki darinya.”
“I’m not mad… I just can’t tolerate ignorance,” kataku dengan nada malas. “Aku nggak mau menanamkan bibit-bibit yang dapat merusak habitat tanaman kebunku sendiri.”
“Mad is not always bad. Your inability to tolerate ignorance is mad ini its own form. Tapi, itu lebih seperti topi untuk menutupi kepala.”
“Uwa lagi ngejelasin karakter Mad Hatter, nih?”
“Dengerin aja dulu… Kamu, tidak salah kalau membuang semua pikiran yang mengganggu pertumbuhan otak kamu. Sesekali, kamu harus membasminya dengan semprotan mematikan.” Aku bisa mengatakan bahwa dengan nadanya bicaranya yang khas itu, dia tidak hanya sedang menasehatiku tapi membuat gambaran umum untuk semua manusia.
“Tentu saja aku selalu menanamkan bibit pikiran terbaik, tapi aku juga selalu memastikan bahwa bibit itu dalam kondisi bisa merawat dirinya sendiri. Kalau tidak, aku akan pastikan kalau lahan itu adalah lahanku sendiri.”
“Jika kamu memang mengarungi alam kejiwaan seperti itu, dan kamu bertarung di dalamnya, maka kamu mengalami apa yang disebut dengan jihad nafsi.”
“Nah… Tidak juga. Because, the devil is in the details.”
“Sometimes, you learn a lot when you’re winning. But, most of the time, when you lose. Jangan biarkan orang memegang cermin untukmu melihat pribadi kamu yang sebenarnya. Dan jangan biarkan orang menggoreskan pulpen pada kertas hidupmu! Periode!”
Akhir dari percakapan kami ini membuatku tercenung sendiri malam ini.
Jika dilihat dari tahi lalat yang kami miliki saja, sebenarnya kami ini adalah seperti doppelganger. Tempatnya sama di pipi kanan. Hanya punya dia lebih besar. Apalagi dari karakter wajah kami yang cenderung androgini, kami memiliki sifat dan kepribadian yang sama, yaitu ceria, mau bekerja sama dan mandiri dalam berpikir. Darinya, aku belajar sesuatu yang tidak didapatkan orang lain, yaitu kepercayaan diri. Aku melihatnya seperti cermin untuk melihat apa yang aku sembunyikan dan aku coba raih dalam diriku. Walau begitu, aku masih terkejut saat Ariadne, mantan wartawan koran Pikiran Rakyat yang kini jadi Tendik Ilmu Komunikasi di salah satu Universitas paling bergengsi di Bandung itu, menjadi reader pertama karangan ceritaku dan tak tanggung-tanggung mengekspresikan kekagumannya akan teknik penulisanku. Aku masih berusia 13 tahun waktu itu. Aku menjadikannya role model, seseorang yang aku hormati dan aku petik buah-buah pikirannya yang ranum dari sifat, pengetahuan dan pengalaman profesionalnya.
Sebagai seorang pengarang, aku masih tak habis pikir, bagaimana tahi lalat yang kami miliki ini, sebenarnya memang berkaitan dengan bakat menulis kami. Namun, sebagai orang Sunda, yang aku tahu secara pasti bahwa kata-katanya berakar kuat dan bisa dijadikan sandi, tentu aku sudah terbiasa menyebut tahi lalat dengan karang. Sebab, memang logis untuk menyamakan bintik coklat kehitaman yang berakar kuat pada kulit itu dengan batu karang. Batu karang merupakan simbol kekuatan karakter yang layak diangkat oleh pengarang ke dalam berbagai cerita. Ia tak hanya menatap laut, ia juga menyelaminya. Ia bisa melihat dan menjadi objek yang patut dilihat dari laut. Ia rela mendapat hantaman dan deburan ombak, namun ia diam karena ia tahu laut membutuhkanya. Ia akan tetap pada pendiriannya, walau pun ombak menyeretnya. Ia tetap berkembang seperti bunga, walau sebenarnya ia adalah batu yang diterobos sampai keropos dan menjadikan kehidupannya sebuah taman yang indah bagi mereka yang senang mengarungi kedalaman alam.
Semele, begitulah namaku. Ariadne pernah memberikan satu pujian lagi padaku, ‘you actually have a nice smile’. Tapi, aku merasa ia seperti terdorong oleh keharusan untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri. Sebab, kalau dia tertawa, dia tertawa seperti orang yang kerasukan setan. Dan sebagai istri kedua Uwaku, seorang Walikota di Kota Kembang, ia sesekali memperlihatkan wajah garang, seakan dia tidak menyukai gambaran diri dari yang dipantulkan oleh kaca. Aku pikir, aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia baca di sana. Tak jarang, aku mengandaikan, bahkan menuliskan cerita tentang dirinya sebagai wanita yang pantas mendapatkan laki-laki idaman setiap wanita. Akan tetapi, di luar perkiraanku, setelah bercerai dengan Uwaku, dia malah menikahi laki-laki yang jauh lebih tua dan, maaf, lebih jelek dari suami pertamanya itu.
Sekarang, aku jadi berpikir, bahwa aku ini pengarang, yang artinya lebih kepada pengembang cerita. Semua orang bisa menuliskan apa aja, cerita yang dikabarkan angin, yang dikicaukan burung, atau yang disampaikan orang lain. Aku tidak bisa mengharapkan semua endingnya menjadi kenyataan, akan tetapi, aku memiliki pembaca-pembaca sendiri yang punya karakter dan lakon yang identik dalam karangan-karanganku. Aku tidak bisa menyamakan, mengharap apalagi mengorbankan idealisme tulisanku sendiri untuk seorang Ariadne. Sebab, bagaimanapun, semua orang memiliki lidah yang sama, akan tetapi selera yang berbeda. Aku suka keripik kentang, dan Ariadne suka kerupuk udang. Aku bicara lantang, dan dia suka terus terang. Sampai saat ini, aku cukup bisa mengatakan bahwa aku memegang cerminku sendiri dan menggenggam penaku sendiri. Dalam hati kecilku, aku mengandaikan dirinya menoleh sedikit ke dalam cerminku yang kupantulkan pada dirinya, dan penaku yang kugoreskan untuk kertas hidupnya.