Cerpen
Disukai
30
Dilihat
14,727
Biarkan Aku Pulang
Drama

Aku tidak tahu bagaimana sebuah pernikahan akan digelar tanpa restu dari orangtua. Saputra seringkali menyuruhku pulang, tapi aku tak tega mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa ibuku adalah orang dengan gangguan jiwa. Dan ibuku sering relapse akhir-akhir ini, seperti mengalami waham dan berbicara sendiri di tempat umum. Aku tak bisa membayangkan itu akan terjadi di pesta pernikahanku. 

Tapi, hanya dia sekarang satu-satunya orangtuaku. Walaupun, pernikahanku akan disaksikan oleh paman dari pihak ayahku, aku masih harus mendapatkan restu dari ibuku. Sebelum aku memutuskannya, aku sempat meminta persetujuan Tanteku, Kumbini yang sering merelakan anak-anaknya merawat ibuku, apakah aku lebih baik pulang menemui ibuku. Tapi, jawabannya malah, "ibumu itu wanita kejam, itulah sebabnya dia mengalami gangguan jiwa. Kamu tak perlu mendapat restu darinya. Langsungkan saja pernikahan kalian dan hidup dalam rumah tanggamu dengan bahagia!"

Dan keputusanku semakin bulat dari mendengarnya, aku harus pulang. Aku harus menghadapi semua ini sekali saja, mungkin ini yang terakhir. Aku harus mendapat restu dari ibuku untuk pernikahanku dengan Saputra. 

Panggilan telepon dari ibuku hari ini benar-benar membuat nyaliku ciut. Dia sudah mendengar rencana kedatanganku dari Tante Kumbini, dan rupanya dia belum rela bertemu denganku, anak yang dititipkan di rumah mertuanya sejak masa usia 7 tahun. Jika saja dia tidak mengucapkan kata-kata itu, aku tak akan punya pikiran kalau ucapan Tante Kumbini itu memang benar. Atau aku tidak akan berpikir dua kali untuk melangsungkan rencanaku pergi menemuinya. Tapi, kata-kata itu seperti terlontar dari hatinya.

"Kamu adalah bunga yang layu! Tidak mungkin laki-laki itu benar-benar mencintaimu. Akulah bunga yang sebenarnya. Kamu adalah orang yang merebut kebahagiaanku!"

Sejenak aku mencoba menyerap ucapannya yang seringkali ngelantur itu. Bagaimana sampai hati dia menyakitiku dengan mengatai seperti itu dan mengatakan bahwa dialah bunga yang sebenarnya? Bunga untuk siapa? Mengapa dia harus menyangsikan Saputra segala? Apa yang dia tahu tentang Saputra memangnya? 

Dulu, waktu aku masih kecil, aku pernah mendengar cerita tentang laki-laki yang pernah sama-sama jatuh cinta dengannya, dan laki-laki itu telah menyantet ibuku menjadi gila. Tapi, aku tak tahu bagaimana ibuku jadi menyalahkan segalanya padaku. Aku jadi kalut dan disulut oleh rasa amarah yang mendalam hingga aku sendiri mengalami ketidaknyamanan. 

"Kenapa kamu jadi insecure begitu?" kata Saputra, di tengah-tengah percakapan itu. "Kenapa kamu menatapku seperti itu?"

Aku menggeleng lemah, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku menggenggam henpon itu dengan kuat, sambil memelas, "ibu... Biarkan aku pulang dengan Saputra, kami akan menikah sebentar lagi. Kami akan bagaimanapun menemui ibu. Paling tidak sekali ini saja."

"Kalau bapakmu tidak pernah ingin membesarkanmu dengan caranya sendiri, tentu dia tidak akan menggadaikan rumah untuk membeli mobil-mobil angkutan umum itu. Dan, aku tidak akan berakhir di kamar kecil seperti ini. Kamu adalah orang yang merenggut kebahagianku. Aku tidak peduli kamu akan bahagia atau tidak!"

Ibuku tinggal di rumah Tanteku yang sukses dengan pertanian bawang merah di Probolinggo. Ia diperbolehkan untuk tinggal di rumahnya sembari membantu-bantu toko kelengkapan petani bawang. Aku menelan ludah, membayangkan semua duka laranya selama hidup di sana. Tapi, aku tidak menerima begitu saja apa yang diucapkannya. Bapakku adalah seseorang yang sangat berambisi dengan mobil. Ada sesuatu dalam dirinya tentang mobil yang membuatnya pernah mencuri mobil ayahnya sendiri untuk belajar menyetir hingga menabrak dinding rumah. Dan kecelakaan mobil sebelum menikahi ibuku disebabkan kegemarannya dalam balapan mobil. Pembelian mobil angkutan umum itu jelas saja bukan untukku, tapi untuknya sendiri. 

Saputra menatapku dengan lekat, mencoba membaca apa yang terlintas dalam kepalaku. Ingin rasanya aku menyela ucapan ibuku, tapi kutahan sebab kupikir Saputra tidak harus mendengar semuanya. Dan ibuku sudah membanting percakapan itu. 

Tatapan itu semakin lekat ketika air mata bergulir di pipiku, aku mengusapnya secara perlahan. 

"Aku akan tetap pulang, Mas...," kataku pada Saputra. 

"Tidak. Kamu tidak usah. Paling tidak, tidak sekarang-sekarang. Kita masih bisa pulang lain kali, kalau kita sudah punya momongan, misalnya. Dia tentu tidak akan menolak anak-anak manis buah dari dalam rahimmu itu," kata Saputra sambil sedikit menggoda. 

Aku semakin dibuat menangis oleh ucapan Saputra. Ketulusannya dalam mencintaiku dan membangun rumah tangga denganku membuatnya menjadi tujuan hidupku. Saputra adalah rumahku yang sebenarnya. Tapi, untuk sekali ini saja aku ingin pulang ke tempat ibuku. Walaupun itu hanyalah sebuah kamar berukuran kecil di samping gudang bawang.

"Aku akan tetap pulang, Mas...," kataku sekali lagi pada Saputra. 

"Baiklah, Triya... Aku akan mengantarmu. Sebaiknya, kita lekas mempersiapkannya."

"Baik, Mas..."


Sore itu kami tiba di bandara Ir. Juanda. Setelah menempuh perjalanan kurang dari 2 jam, kami tiba di kota Probolinggo. Melewati lahan pertanian bawang di desa Mentor, kami disuguhkan pemandangan yang begitu mengesankan dari para petani yang sibuk memanen. 

Tanteku datang tergopoh dari dalam toko saat melihat mobil yang kutumpangi berhenti. 

"Di mana ibu, Tante?" tanyaku setelah kami saling berpelukan dan bertukar kabar. 

"Dia tidak mau keluar kamar sejak percakapan kalian di telepon," katanya sambil menjinjing tas yang kubawa. "Tante sudah siapkan kamar tidur untuk kalian berdua. Maaf, kalian belum menikah, jadi kamarnya Tante pisah, ya?"

Tante Kumbini adalah seorang yang taat, dia sudah berhaji dua kali. Itu adalah salah satu alasan dia menyiapkan dua kamar untuk kami. Rumahnya sangat luas, di dalamnya terdapat 10 kamar tidur yang sudah diisi oleh 6 orang putra-putrinya. Tinggal dua kamar tidur tamu yang kosong untuk kami tempati. Ibuku mendapatkan sebuah kamar di ujung rumah, yang dekat dengan gudang dan memiliki pintu keluar halaman sendiri. Ketika mendengar kami datang, dia membuka pintu itu dan duduk di bangku luar sendiri. 

Tante Kumbini segera menyeretku ke ruang makan, kami disuguhi makanan yang sudah disiapkan sejak pagi oleh seorang putrinya. Sambil makan, dia bercerita ibunya pernah mengalami waham, berhari-hari lamanya mengalami halusinasi seakan-akan dia berbincang dengan seseorang dari alam kematian tanpa jelas apa yang dibicarakannya. 

"Bicaranya tidak masuk akal. Semua orang dia keluhkan dari mulai si bungsu Alia yang baru lulus SMA dengan nilai sangat baik, sanak keluarga yang mendapat warisan, sampai tetangga yang sukses panen bawang. Semuanya jadi masalah untuknya. Sampai suatu hari dia kabur dari rumah tapi kemudian besoknya pulang lagi diantar oleh petugas polisi. Tante harus gimana lagi, coba? Kalau Tante rumahkan di RSJ, kasihan juga. Di sana nanti dia ketemu orang-orang yang sama-sama berpenyakit dan merasa itu hal yang lumrah. Tante sudah undang banyak Kiyai untuk memberi tindakan ruqiyah, tapi hasilnya sama. Ibumu merasa dirinya waras, itu semakin menjadikan penyakitnya lebih parah dari sebenarnya."

"Kapan saya bisa bicara dengannya, Tante...?"

"Besok pagi saja... Sekarang sudah terlalu sore. Biarkan dia sedikit terbiasa dulu dengan kehadiranmu di sini. Biar tidak shock."

"Tante benar. Biar dia tidak shock," kata Saputra. 

Tiba-tiba, ibuku muncul dari dalam kamarnya. Dia mengacungkan tangannya di ambang pintu sambil berteriak. 

"Apa yang membuatmu merasa berhak mengunjungiku? Aku tak punya anak sepertimu, yang hanya membuatku jadi orang pesakitan! Melihat rupamu yang kamu curi dariku saja sudah membuatku menggigil kesakitan! Aku tak sudi berbicara denganmu!"

"Ibu...?" panggilku dengan rasa rindu. 

"Aku tak sudi kamu panggil ibu!" katanya sambil membanting pintu. 

Sebenarnya, aku merasa lucu. Sebab kupikir wajahku lebih mirip dengan Tante Kumbini yang halus daripada wajang ibuku yang tajam. Entah bagaimana, tapi dibanding putra-putrinya, aku memiliki raut wajah khususnya sorot mata yang lebih mirip dengan Tante Kumbini. Paling tidak, Tante Kumbini pernah mengatakannya sewaktu aku kecil. Bahwa akulah keponakan favoritnya. Mungkin perasaanku saja yang berlebihan, tapi aku benar-benar tidak kecewa dianggap mencuri rupa dari wajah cantik ibuku. 

Esoknya, wajah itu kutemukan tengah menunduk. Ibuku baru bangun tidur, terduduk di kursi makan, belum mandi. Rambutnya masih acak-acakan. Tante Kumbini menyuruhnya mandi, tapi ibuku malah terkekeh. 

"Ah, biasanya juga cuci muka sudah cukup."

Ada sesuatu yang menyakitkan dari caranya terkekeh, seperti nada yang sangat dingin. Tentu saja ibuku masih cantik kalaupun hanya cuci muka saja, pikirku sambil menghangatkan diri dengan secangkir kopi.

Tapi, tatapannya yang dingin masih menusuk ke dadaku. Aku seperti menemukan energi lain dari yang kuterima ketika aku masih kecil menengok ibuku di kampungnya. Ibuku yang kukenal dulu, walaupun sudah mengalami gangguan jiwa dan dingin sikapnya, tidak pernah sampai sedingin ini. Senyumnya terkembang dengan wajah sendu ketika melihat Saputra muncul dari pintu kamarnya.

"Kamu seharusnya menikah dengan si Sensen," kata ibuku sambil kemudian terkekeh kecil. Zen-zen adalah anak tiri dari Tante Kumbini. Tante Kumbini menikahi seorang keturunan Cina mu'alaf. Zen-zen menderita autisme sehingga tidak bisa bersosialisasi dengan anak biasa. Keinginannya menikahkanku dengan si Zen-zen ini sudah menjadi cerita usang sejak aku kecil, ibuku memang selalu sibuk dengan niatnya menikahkanku.

"Apa kabar, ibu?" sapaku dengan nada rendah. Saputra berdiri di sampingku sambil merengkuh kepalaku dan mengelus pipiku dengan lembut. 

"Cerita cinta kalian sudah semestinya habis tayang, sebab hanya berlangsung selama beberapa detik. Kamu sudah akan mati kuracun, dan pangeranmu itu datang untuk menjemputku dengan kuda putihnya! Itulah bayaran sepadan untuk kelancanganmu lahir ke dunia!"

Saputra melepaskan usapannya dari pipiku. Lalu menatap wajahku dengan penuh tanda tanya. "Apakah dia sadar apa yang tengah diucapkannya? Dia tidak hanya marah padamu, Triya. Dia baru saja mengkhianatimu dengan kata-katanya."

Aku menelan ludah kelu. 

"Sudah Tante bilang, jangan dulu bicara dengannya... Kamu sarapan saja dulu. Menakshi! Jangan buat ulah dengan putrimu sendiri, ya! Mereka datang ke sini dengan baik-baik untukmu!" sergah Tante Kumbini.

Aku hanya bisa menangis. Ternyata benar, ibuku bahkan ingin membuatku cemburu dalam hubunganku dengan Saputra. 

"Sebaiknya, kita sarapan di luar, Triya," kata Saputra. "Biarkan ibumu duduk dengan enak di kursinya."

"Sebaiknya begitu...," kata Tante Kumbini. "Ibumu tidak akan pergi mandi atau membiarkanmu enak sarapan di sini. Kalian pergilah dengan mobil Tante ke rumah makan di luar. Ini kuncinya," kata Tante Kumbini.

"Kalau ibu memang tidak mau mandi, tidak apa-apa. Saya ingin bicara dengannya sekarang."

"Aku tidak mau bicara dengannya, Triya," kata Saputra tiba-tiba.

"Kenapa?!" tanyaku sambil mengerangkan tangisan.

"Dia membuatku merasa gila!"

Aku menelan ludah lagi. "Please... Sekali ini saja. Aku ingin pulang besok. Ini harus segera berakhir," kataku dengan tegas.

"Dengarkan, Triya... Selalu ada pengecualian untuk kasus-kasus tertentu yang membuatmu tidak harus mendapatkan restu dari orangtua yang sakit. Persaksian dari pamanmu saja sudah cukup buatku menikahimu."

"Tante dan Paman akan hadir untuk memberkati pernikahanmu," kata Tante Kumbini.

"Pernikahan abal-abal yang tak akan berakhir dengan bahagia. Sebab, hatinya tak akan memungkiri sebagai seorang pencuri."

"Tolong, ibu. Hentikan ucapan seperti itu. Saya datang ditemani Saputra untuk meminta restu agar kami berdua bahagia, bukan untuk menjadi pengkhianat ibu," kataku di sela tangisan.

"Ada banyak kriteria seorang wanita untuk bisa dinikahi seorang pria, kamu sama sekali tidak memilikinya. Kamu berwajah buruk, perilakumu jahat pada orangtua, kamu tidak akan memiliki anak yang manis, dan pekerjaanmu adalah sesuatu yang sia-sia," kata ibuku.

"Menakshi!" kata Kumbini dengan keras, hampir membentak. "Tidak pantas untukmu bicara seperti itu sebagai orangtua! Sadarlah, kamu tak pernah membesarkannya dengan baik. Sekarang ada seorang laki-laki yang akan merawatnya dengan baik. Restuilah mereka."

"Harus kukatakan, bahwa apapun yang akan menjadi hak miliknya dalam perkawinan ini adalah sebenar-benar hak milikku sendiri! Terserahlah, kalau dia memaksa melakukannya. Karena semuanya, semuanya adalah milikku."

"Kamu wanita gila!" kata Saputra tiba-tiba. "Aku akan tetapi menikahi putrimu, dengan atau tanpa persetujuanmu. Ucapanmu barusan yang mengklaim segalanya darinya, adalah sebuah bentuk penolakan bagiku. Dan satu hal yang pasti, aku bukan budakmu. Kamu adalah wanita penyakitan yang paling mengerikan dalam hidupku."

Aku langsung merangkul Saputra, membenamkan wajahku yang bersimbah airmata ke dalam dadanya. Saputra membungkuk menciumi kepalaku.

"Ya. Aku adalah sebenar-benar rumah baginya. Dan aku tidak akan biarkan dia pulang ke rumahnya, hahaha...," kata ibunya semakin kalap dengan nada gertakan. "Sebab, memilikinya adalah sesuatu yang paling menyakitkan dalam hidupku. Aku masih harus menanggung semua kebahagiannya yang semakin memperburuk keadaanku. Cuih, cuih... Semua kehidupannya adalah hutang yang harus dia bayar padaku," Ibuku lalu meludah ke arahku.

Saputra dengan cepat menghalangiku dari cuihan ibuku. Aku memeluk Saputra dengan kuat. Aku belum pernah dibuat sakit oleh manusia manapun seperti itu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, sepertinya tak ada penawar yang bisa menyembuhkan ibuku. Aku seperti tersuruk ke dalam api neraka yang menyala abadi. Aku hanya bisa membuat diriku merasa dingin dengan do'a untuk ibuku. 

"Triya... Sebaiknya kita pulang sekarang juga," kata Saputra. "Tante Kumbini... Maafkan kami, tapi..."

"Triya...," kata Tante Kumbini mulai menangis. "Maafkan ibumu yang menyakitimu. Kamu boleh pulang ke Jakarta sekarang juga, kalau itu maumu."

Kami akhirnya berpelukan bertiga. Ibuku dengan perlahan meninggalkan tempat itu ke kamar tidurnya.


Acara pernikahan di dalam Mesjid Al Ikhlas berlangsung dengan syahdu. Semua kalimat syahadat dan ijab kabul diucapkan oleh Saputra sekali saja dengan syah. Kami saling berangkulan dan mencium kening masing-masing diiringi tepuk tangan semua hadirin. Tiba-tiba, semua perhatianku tertuju pada kedatangan Tante Kumbini. 

"Kamu cantik sekali, Triya... Maafkan, Tante sengaja datang terlambat karena tidak ingin mengacaukan acaramu. Tapi, kamu lihat siapa yang datang?" katanya sambil menangisi kecantikanku dalam pakaian kebaya yang indah. Dia lalu menunjuk pada seseorang yang berdiri di luar Mesjid. Ibuku berdiri dalam balutan kebaya warna violet dan scarlet yang cantik.

Sebelum aku sempat bicara, ibuku berkata, "kamu masih akan tetap berterima kasih padaku atas semua yang kukatakan."

"Apa maksud ibu?" kataku tak mengerti.

"Kalau kamu memang orang yang baik, kamu akan semakin terpicu untuk semakin berbuat baik. Hidup dalam ketakutan sepertiku adalah sebuah kehidupan yang menjerakan. Itu tidak pantas ditiru oleh siapapun, semestinya kamu bercermin dari kata-kataku!"

Aku mengerjap untuk beberapa saat. Ucapan itu adalah ucapan paling waras yang pernah kudengar dari ibuku. Aku tak pernah tahu ketakutan hidup seperti apa yang dialami oleh ibuku, dan tidak bisa membayangkan dia hidup dengan ketakutan selama ini. 

Aku menangis bersimpuh di bawah kakinya. "Ibu, terima kasih sudah datang di acara pernikahanku... Aku sangat bahagia menemukan ibu di sini."

Ibuku menghentakkan kakinya agar aku melepaskan tanganku dari lututnya. "Sudah kusabdakan padamu, apa yang harus kusabdakan agar kamu selalu menjadi orang yang tahu diri! Aku hanya merestuimu dari luar Mesjid saja."

"Ibu, masuklah..."

Aku merasa ibuku diliputi oleh ketakutannya sendiri. Mungkin ibu takut kehadirannya akan mengganggu acara pernikahanku, pikirku.

"Aku tidak akan masuk... Cepat, kembali ke dalam!" katanya sambil berlalu menghampiri mobil. Ia lalu duduk sendiri di dalam mobil.

Seperti itulah yang terjadi. Ibuku akhirnya datang di hari pernikahanku. Walaupun hanya sampai di teras mesjid saja. Tapi, itu sudah cukup membahagiakanku. Mungkin dia tidak merasa benar-benar nyaman dengan keramaian, atau mungkin dia memang sengaja hanya ingin memperingatkanku dalam rumah tanggaku. Karena itu, aku kembali ke dalam dengan rasa bahagia dan sebuah janji untuk mempertahankan rumah tanggaku dengan baik.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)