Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,953
Yang Terlupakan
Sejarah

G30SPKI. Apa yang ada di pikiranmu saat mendengar kata itu? Sejarah yang tak pernah mati.

Dahulu, sebelum akhirnya gerakan itu menjadi satu sejarah yang tidak hanya disimpan bangsaku, tapi juga aku, G30SPKI yang aku ingat hanya subbab dalam buku mata pelajaran sejarah pada masa orde lama. Aku bahkan lupa kelas berapa aku mulai mengetahuinya, aku hanya tahu. G30SPKI menjadi satu jawaban yang aku punya dalam pertanyaan penyebab runtuhnya orde lama dalam ujian mata pelajaran sejarah.

Hingga aku sampai pada satu masa. Tangisan dalam diam, patah-patah kata yang terucap, hingga terangkum dalam kisah yang membawa luka.

Aku lupa pada titik mana aku tertarik cerita lama. Sejarah bukanlah keahlianku. Melupakan adalah bagian yang harus aku lakukan. Mengungkit luka lama adalah hal yang paling aku benci. Tapi hari itu, aku menguak satu masa yang telah terkubur oleh waktu, tersimpan sebagai cerita pahit yang wajib dienyahkan.

Adalah Nur, nama bibiku. Seorang perempuan tangguh berusia senja. Perawakannya kecil, tubunya kurus dibalut kulit hitam legam terbakar oleh surya yang tak bersahabat. Di antara semua saudara ayahku, aku paling dekat dengan beliau. Wajahnya ramah, semangatnya kuat, dia adalah potret seorang ibu terhebat yang ada. Meski nasib sering kali mengkhianatinya, dia hanya punya satu anak yang tak kunjung kembali setelah merantau jauh, bahkan kabar berita hilang dari peredaran. Begitu si anak kembali, hanya untuk menikah dan pergi lagi.

Hari itu, dibawah rindangnya kebun pohon karet dan semilir angin, kami menatap hamparan padi yang mulai menguning. Siang masih terik, di gubuk tanpa dinding di tak jauh dari pematang sawah kami bercengkerama tentang hidup dan hal-hal di antaranya.

Banyak cerita yang telah terucap, tentang tetangga yang menyebalkan, tengkulak yang mematok harga sedemikian murah, pacat yang mulai menginvasi daerah persawahan, irigasi yang mulai tak tentu airnya datang kapan, serta cerita demi cerita yang mengalir dengan tenang. Hingga sampai pada cerita itu, tentang ayah Bibi, tentang Kakek.

Kejadiannya di akhir tahun 60-an. Bendera kuning lebih ramai daripada merah putih. Hanya ada satu kebijakan, satu ultimatun dan satu keputusan. Nur masih kecil, sekitar tujuh tahun. Baru genap membaca, masih asyik sekali berlarian di halaman rumah bersama kedua adiknya.

Malam itu Nur terjaga, suara gerusuk di dapur membangunkannya dari mimpi indah. Ia berjalan pelan ke dapur, lalu melihat ayah dan ibunya yang sedang sibuk membungkus bekal. Nur kecil hari itu masih bingung, ia tidak tahu jika di hari berikutnya ialah yang menyiapkan bekal itu.

Besoknya kampung lebih rusuh dibanding kejadian di dapurnya. Anggota berseragam datang, dilengkapi senjata yang akhirnya Nur tahu sebagai senapan. Nur kecil bersembunyi bersama kedua adiknya, itu titah sang ibu. Ibunya maju di kerusuhan itu, berteriak keras yang Nur tak bisa dengar jelas. Nur baru memahaminya bertahun-tahun kemudian, kenapa ayahnya pergi dan ibunya seperti orang gila di hadapan anggota berseragam.

Itu adalah awal, hingga akhirnya orang-orang berseragam itu rutin mendatangi kampung mereka. Ibu di mata-matai. Orang sekampung berbisik-bisik, mata-mata mereka penuh tanya dan tak jarang penuh tuduhan. Berganti hari, berganti minggu hingga kampung itu sunyi tapi ayahnya belum kembali.

Setiap hari begitu fajar menyingsing, Nur selalu mendapati ibunya kembali dari satu tempat, yang perlahan bisa ia terjemahkan sebagai tempat pertemuan ayah dan ibunya. Nur tak pernah bertanya, tak ingin menambah beban sang ibu. Ia bahkan mengajari kedua adiknya untuk tak bertanya ayah mereka berada.

Sampailah tugas itu pada Nur. Mengantar bekal.

Nur menerima titah itu. Adiknya secara bergantian menemaninya menjalankan tugas itu. Melewati rimbunnya hutan, lolongan anjing liar kala itu masih bisa didengar, auman harimau yang terdengar sekali dua kali.

Berkilo-kilo dari perkampungan, memasuki hutan diantara bukit barisan. Di sanalah ia bertemu ayahnya, seorang diri, tanpa teman. Nur butuh tersesat berkali-kali hingga akhirnya ia terbiasa mengenali jalan lintas. Ia hanya sekali dibawa sang ibu. Saat tugas itu berpindah ke pundaknya Nur harus terjatuh berkali-kali hingga akhirnya ia tahu, ayah menunggunya.

Sebelum azan subuh ibunya sudah menyiapkan tiga bungkus nasi dan lauknya dengan daun pisang, Nur akan dibekali dengan senter kecil. Ia akan melewati perkebunan warga hingga memasuki hutan yang masih perawan, tempat di mana mereka tak pernah dibolehkan bermain di sana karena konon katanya masih berkeliaran beruang yang bisa merobek tubuh hingga berpisah kulit dan dangingnya.

Nur kecil hari itu tak paham, ia hanya melaksanakan tugas. Tapi bertahun sejak itu ia mulai mengerti kejamnya hidup.

Kakek adalah seorang yang terpercaya di kampung. Dihormati juga disegani. Keirian juga dengki dalam persaudaraan membawa petaka. Kakek difitnah oleh seseorang yang ia anggap sebagai teman sebagai antek-antek PKI. Pemberantasan PKI tahun itu dijadikan alat. Kakek diburu hingga bersembunyi di dalam hutan di kaki bukit barisan.

Tahun 70-an anggota berseragam menyerah, tapi fitnah itu tak pernah ada habisnya. Kakek kembali ke kampung. Beberapa sahabatnya menghilang. Kejadian itu tak hanya menimpa kampung kami tapi juga kampung tetangga dan kampung sekitar lainnya.

Aku tak tahu bagaimana persisnya sejarah. Banyak pihak yang katanya memanipulasi, katanya katanya dan katanya. Kalau jika begitu bukankah lebih baik tak mempercayai sejarah?

Aku tak tahu persis bagaimana kejamnya PKI. Tak tahu pula bagaimana kejamnya anggota berseragam yang memberantas partai komunis itu. Yang aku tahu hanya sejarah yang berkata, pembunuhan, pemerkosaan, pemberontakan dan segala jenis kekejaman. Yang aku tahu betapa banyaknya darah yang tumpah, katanya demi kedaulatan negara, tapi bagiku terdengar untuk kebiadaban.

Aku tak pernah tahu kisah itu lebih detail. Cerita ditutup hanya dengan perjuangan bibi mengantar bekal ke dalam hutan. Mata merah bibi yang berkaca-kaca menyurutkan keinginantahuanku lebih jauh.

Cerita itu berakhir menyisakan tanya juga menjawab tanya untukku.

Sebodoh itukah? Tanpa bukti, bermodal kecurigaan dan kata seseorang mereka menyerang, membunuh, memperkosa. Apa saat itu banyak binatang bertubuh manusia?

Kampungku sangat terisolasi di tahun itu, hingga sekarang. Pendatang hanya bisa memasuki kampung di hari minggu, tak ada kendaraan, mereka hanya bisa menaiki truk angkutan yang mengantarkan dagangan penduduk ke pasar. Bagaimana mungkin sebuah pergerakan maha dahsyat berada di sana? Tak ada petinggi di sana, tak ada ulama besar, tak ada pahlawan yang namanya tertulis, tak ada pejabat kecuali kepala desa yang pergerakannya pula hanya sebata mengatur desa, bahkan rumah masih terhitung jari.

Entahlah, aku tak pernah tahu sejarah.

Lirikan mata, bisik-bisik, tawa meremahkan, sebutan yang katanya bercanda, akhirnya aku tahu jawabnya. Keturunan PKI. Bahkan hingga saat ini fitnah itu tetap hidup. Kuat sekali fitnah itu, keterusiran, pengucilan, fitnah berikutnya dan berikutnya.

Aku tak pernah tahu, semua yang aku pikir hanya sekedar karena mereka orang kampung jadi punya kebiasaan berguncing, ternyata tak sesederhana itu.

Lima puluh tahun telah berlalu. Kakek telah lama pergi, bahkan sebelum aku terlahir. Tapi tirani itu hingga kini.

G30SPKI. Apa yang ada di pikiranmu saat mendengar kata itu?

Sejarah yang tak pernah mati.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)