Cerpen
Disukai
2
Dilihat
4,814
Wine Wine Solution
Drama

“Apa itu, Beb?” tanya Galih pada Ghea yang menenteng shopping bag berukuran besar. Ghea tak menyahut dan meletakkan bawaannya itu di kursi baris kedua. Raut wajah Ghea nampak seperti ingin menerkam seseorang. Hmm... sepertinya ada yang kedatangan siklus bulanan, batin Galih. Tapi seingatnya, baru pekan kemarin tamu bulanan itu berkunjung.

Galih lalu memacu Honda CRV hitamnya meninggalkan lobby kantor Ghea. Mereka meretas kemacetan kawasan Meruya menuju arah Tangerang. Sore itu langit mendung, tapi belum ada tanda-tanda hujan turun. Dalam kabin mobil, keheningan menguasai. Ghea hanya memandangi jalanan dengan pandangan kosong, sementara Galih mencuri-curi pandang, berharap menemukan petunjuk dari wajah kekasihnya itu.

“Kamu tahu hari ini hari apa?” tanya Ghea sejurus kemudian, masih dengan nada ketus.

Galih menatap Ghea dengan tatapan heran. Pertanyaan itu seharusnya ringan, tapi dari nada suaranya, ada beban yang jauh lebih besar terselip di sana.

“Hari Rabu. Memangnya kenapa sih, Beb?” jawab Galih sambil menyalakan audio mobil. Tak lama kemudian terdengar suara jazzy Eva Celia menyanyikan Kala Senja. Lagu yang membuatnya tetap waras menghadapi kemacetan sepulang kerja sebagai budak korporasi.

“Salah! Hari ini adalah winesday,” kata Ghea sambil mengganti playlist lagu dengan musik breakbeat dari gawainya dan menaikkan volumenya. Dentuman musik memenuhi kabin, seakan menegaskan mood-nya yang sedang kacau.

Galih hanya menggeleng pelan dan tersenyum tipis. Sekarang ia sudah mengetahui apa isi bungkusan yang dibawa oleh gadis berlesung pipi itu.

Mobil pun memasuki jalan tol Jakarta-Merak yang ramai lancar. Sepanjang perjalanan Galih berkali-kali mencuri pandang ke arah Ghea yang masih merengut. Ia menduga-duga masalah apa yang sedang dialami gadis cantik di sampingnya itu. Bisa jadi karena baru saja dimarahi atasan, mendapat klien yang menyebalkan, atau gagal dalam pitching. Entahlah, Galih hanya bisa menerka.

Tapi ia tahu satu hal: jika Ghea sudah menyebut "winesday", maka ada luka yang sedang ia bungkus rapat-rapat.

Sesampainya di unit apartemen di lantai 8, Ghea langsung membersihkan diri. Galih memilih untuk bersantai menonton TV ditemani sekaleng softdrink dingin. Ia melirik jam dinding, hampir pukul tujuh malam. Perutnya mulai keroncongan. Ia lalu memesan beberapa menu makan malam via aplikasi daring.

“Makan malam dulu, Beb. Ini sudah aku pesankan yakiniku rice bowl dan salad,” tawar Galih begitu melihat Ghea keluar dari kamarnya.

Ghea yang kini mengenakan baju terusan warna pastel tampak tak berselera untuk makan. Ia hanya menggeleng. Walau tampak lebih segar, namun raut wajahnya belum banyak berubah.

“Ayolah, kalau kamu telat makan, nanti kamu sakit. Aku nggak mau lihat kamu sakit. Makanlah, sedikit aja,” rayu Galih dengan suara lembut, setengah memelas.

Ghea pun luluh, walau dengan setengah hati. Disuapnya beberapa sendok rice bowl, lalu lanjut menyantap sedikit salad. Setelah selesai makan, Ghea lalu mengambil bungkusan yang baru sore tadi ia beli. Dibukanya perlahan, dan isinya sudah seperti yang Galih duga: sebotol red wine asal New Zealand, dua gelas kristal, dan camilan keju.

“Beb, aku bisa mengerti bila emosi kamu meledak-ledak. Aku bisa memahami bila kamu tiba-tiba uring-uringan nggak jelas. Aku rela menjadi tempat sampah buat kamu. Tapi jujur, aku tak mengerti ritual kamu yang satu ini,” ujar Galih seraya menatap dalam mata Ghea. Nada bicaranya pelan tapi intonasinya tegas.

“Kamu tak akan pernah mengerti,” kata Ghea datar. Ia lalu membawa isi bungkusan itu ke balkon dan meletakkannya di atas meja kecil. Galih menyusul, membawa gelas wine dan wine screw lalu meletakkannya di meja. Galih dan Ghea lalu duduk berhadapan.

Ritual bertajuk wine wine solution pun dimulai.

Galih membuka segel dan penutup gabus botol red wine itu dengan pelan, seolah tengah membuka sesuatu yang sakral. Ia menuangkan cairan merah keunguan ke dalam gelas wine yang ada di hadapan Ghea. Sayup-sayup terdengar musik jazz instrumental dari perangkat home theatre mengalun lembut. Angin malam pun lembut menerpa kedua insan itu.

Ghea memegang tangkai gelas wine lalu menggoyangkannya perlahan dengan gerakan memutar. Ia lalu menghirup dan menikmati aromanya sejenak. Ghea memulai tegukan pertama setelah berkumur. Minuman dari anggur berjenis *Pinot Noir* itu pun memenuhi rongga mulutnya. Rasa anggur, kayu manis dan mint membelai lidahnya. Teksturnya medium dengan sedikit rasa masam ceri dan sepat. Minuman seharga ratusan ribu itu juga meninggalkan sedikit rasa cola pada *after taste*-nya.

“Setiap masalah selalu datang dengan solusinya, Beb. Tapi bukan dengan cara seperti ini,” tutur Galih sambil memegang botol dan membaca labelnya.

Ghea yang sedang menikmati wine tampak acuh. *Kamu tidak tahu kalau masalah yang aku alami ini tidak ada solusinya, paling tidak untuk saat ini*, begitu benak Ghea.

Ghea terus menenggak minuman berkadar alkohol 14% itu. Semakin lama kesadarannya makin tergerus, tapi ia tak ingin berhenti. Saat setengah mabuk, ia mulai meracau. Kalimatnya tak jelas, tetapi menyiratkan kesedihan yang dalam. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

Galih hanya menatap tanpa bisa berbuat apa-apa. Mungkin ini yang dibutuhkan oleh Ghea malam ini, pikirnya.

Tak berapa lama, Ghea pun ambruk. Beruntung Galih dengan sigap menahannya. Ia membopong Ghea ke kamar dan membaringkannya di ranjang. Ia duduk di samping dan membelai rambut panjang Ghea, yang mulai mengering setelah mandi. Setelah yakin Ghea terlelap, Galih menatap wajah Ghea dan berkata lirih:

“Jangan pikir aku tak tahu apa alasanmu berbuat seperti ini, Ghea. Kamu memiliki segalanya yang bisa membuatku terpesona. Tapi… maafkan aku yang belum bisa seperti yang kamu mau.”

Galih mengecup kening Ghea dan kembali menuju balkon. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya. Ia duduk di kursi yang tadi ia tempati bersama Ghea, menatap gelas kosong yang masih ada bekas bibir kekasihnya.

Sudah hampir tengah malam, lalu lintas jalan M.H. Thamrin Tangerang masih saja ramai. Dari lantai 8 apartemen Kota Ayodhya, pikiran Galih bertamasya ke masa lalu. Saat sendiri seperti ini, ada satu wajah yang selalu menghampirinya. Satu nama yang tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Bukan, bukan Ghea.

Bunyi nada dering Twinkle memutus lamunan Galih.

Siapa pula yang menelpon di waktu seperti ini, batinnya. Ia meraih gawainya. Satu nama tertera di sana. Nama yang selama ini menjadi lamunan dirinya. Nama yang selalu ia hapus dari kontak, tapi selalu kembali ia simpan.

Ada rasa bahagia bercampur waswas ketika Galih menerima panggilan itu.

“Hallo?” suaranya nyaris tak terdengar.

Raut wajah Galih berubah suram setelah menerima panggilan itu. Ada rasa yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Ada kata yang tak pernah bisa ia ucapkan. Ada rindu yang tak pernah ia sampaikan. Dan itu terasa lebih meremas-remas hatinya.

Ia menggenggam ponselnya erat, seolah sedang menggenggam masa lalu yang tak ingin dilepas.

Diliriknya botol wine yang masih menyisakan setengah isinya. Galih menghela napas dalam, lalu menuang isi wine ke gelasnya sendiri.

Sepertinya malam ini aku juga butuh wine wine solution, batin Galih.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)