Masukan nama pengguna
Andre duduk di ruang tunggu Bandara Raden Intan, Bandar Lampung. Ia menatap hampa ke arah deretan kursi kosong yang tersusun rapi di hadapannya. Udara dalam ruangan itu dingin dan tak berperasaan, seolah menyatu dengan kehampaan yang perlahan menjalar dalam dirinya. Penerbangan menuju Jakarta masih satu jam lagi—waktu yang terasa terlalu panjang untuk sekadar menunggu, namun terlalu sempit untuk memulai sesuatu yang baru.
Ia mengangkat gelas kertas berlogo kedai kopi ternama, menghirup aroma Americano yang masih mengepul hangat. Tapi bahkan kopi itu tak mampu mengusir rasa jenuh yang merambat diam-diam. Ia melirik ponsel, mencoba menghibur diri dengan media sosial, namun tak satu pun notifikasi menarik perhatiannya.
Sampai matanya tertumbuk pada sosok wanita yang duduk sekitar tiga kursi darinya. Wanita itu mengenakan gamis sage, hijab lebar, dan cadar warna senada yang menutupi hampir seluruh wajahnya, menyisakan hanya sepasang mata.
Ada sesuatu yang membuat Andre tak bisa mengalihkan pandangan. Bukan karena ingin menghakimi atau merasa aneh, tapi lebih karena ada rasa familiar. Seolah-olah matanya mengenali wanita itu, meskipun otaknya gagal menyebutkan nama.
“Siapa dia? Kenapa sepertinya aku pernah melihatnya?” gumamnya dalam hati.
Setelah beberapa menit menimbang-nimbang, Andre berdiri. Ia sendiri tak yakin kenapa begitu terdorong untuk mendekat. Mungkin karena rasa bosan. Mungkin karena rasa penasaran. Atau mungkin karena takdir memang tengah bermain.
"Maaf, boleh saya duduk di sini?" tanyanya sopan. Suaranya terdengar lebih gugup dari yang ia bayangkan.
Wanita itu menoleh, matanya menatap langsung ke arah Andre. Tidak kaget. Tidak terganggu. Hanya tenang.
"Oh, tentu saja. Silakan," jawabnya. Suaranya lembut, tapi tak kehilangan ketegasan.
Andre duduk perlahan, merasa lega sekaligus kikuk. "Saya merasa seperti pernah melihat Anda sebelumnya. Tapi saya tidak ingat di mana. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
Wanita itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin kita pernah bertemu. Mungkin juga tidak. Dunia ini kecil, bukan?"
Andre tertawa kecil. “Ya, benar juga. Nama saya Andre, boleh saya tahu nama Anda?”
Wanita itu kembali terdiam sesaat, lalu menjawab pelan, “Sebut saja saya Fira.”
"Senang bertemu denganmu, Fira," kata Andre, mengulurkan tangan. Tapi Fira hanya mengangguk tipis, tanpa menjabat. Andre cepat-cepat menarik tangannya kembali. “Maaf, kebiasaan,” ucapnya, sedikit malu.
Fira tersenyum samar, meski senyum itu tak terlihat. Tapi dari matanya, Andre bisa menangkap ketulusan.
Percakapan mereka pun berlanjut—tentang cuaca, tentang keterlambatan penerbangan, bahkan tentang kopi bandara yang terlalu mahal. Obrolan ringan itu tak menghapus rasa penasaran Andre, tapi cukup membuatnya merasa nyaman. Ada ketenangan yang jarang ia temui, terutama dalam diri seseorang yang baru dikenalnya.
Hingga suara pengumuman menggema.
“Penumpang tujuan Jakarta, silakan bersiap menuju gate 3…”
“Sepertinya pesawat kita akan segera berangkat,” kata Fira sambil membereskan tasnya.
Andre ikut berdiri. Namun ia masih ingin melanjutkan percakapan. Entah kenapa, wanita itu membuatnya ingin tahu lebih banyak. Di dalam pesawat, Andre terkejut ketika melihat nomor kursinya: 24A. Dan di kursi 24B, duduk Fira.
Ia sempat menahan tawa. “Mungkin ini memang sudah diatur,” ucapnya saat duduk. “Takdir atau kebetulan?”
Fira menoleh padanya. “Kadang keduanya sama saja.”
Pesawat mulai bergerak, lalu meluncur di landasan dan lepas dari bumi. Suara mesin menjadi latar belakang yang konstan, menutupi keheningan yang kembali mengisi ruang di antara mereka. Andre melirik ke arah Fira. “Kalau kamu tidak keberatan, boleh kita main tebak-tebakan? Biar nggak bosan.”
Fira menoleh, mata yang tenang itu memperhatikan Andre. “Tebak-tebakan seperti apa?”
“Kita tebak pekerjaan masing-masing. Tapi hanya boleh bertanya dengan jawaban ya atau tidak.” Fira tampak berpikir sejenak. “Boleh. Tapi saya tidak akan bertanya. Saya akan menebak langsung.”
Andre mengernyit. “Lho, jadi cuma saya yang tanya?”
Fira mengangguk. “Anggap saja saya pengamat yang baik.”
Andre tertawa kecil. “Baiklah. Apakah pekerjaan kamu... berkaitan dengan kantor?”
Fira menggeleng.
“Di luar ruangan?”
Fira menggeleng lagi.
“Sering bertemu banyak orang?”
Fira mengangguk.
“Pekerjaanmu melibatkan pelayanan publik?”
Fira kali ini diam. Tidak mengangguk, tidak menggeleng. Hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Seolah-olah ada rahasia yang disimpan rapat.
Andre terdiam sesaat, lalu melanjutkan beberapa tebakan lain. Namun semua nihil. Fira tetap tenang dan tak terbaca.
Menjelang akhir penerbangan, Andre mengangkat tangan menyerah. “Oke, saya menyerah. Kamu terlalu misterius.”
Fira tertawa kecil. “Bagaimana kalau kita tuliskan pekerjaan kita? Nanti kita buka setelah tiba di rumah masing-masing.”
Andre menyukai ide itu. Mereka pun menukar secarik kertas. Tak ada nama belakang. Tak ada nomor telepon. Hanya tulisan, dan tatapan terakhir sebelum mereka berpisah di pintu keluar bandara.
Di rumah, Andre meletakkan koper, mengganti pakaian, lalu duduk di sofa dengan secangkir teh. Secarik kertas itu masih terlipat rapi dalam saku jaketnya. Tangan kanannya meraih kertas itu dengan sedikit ragu.
Ia membuka dan membaca tulisan tangan yang rapi dan halus:
"Aku tahu pekerjaanmu, Andre. Kamu seorang Konsultan Manajemen. Kamu pernah menggunakan jasaku setahun yang lalu. Aku adalah wanita yang kamu temui di sebuah kamar hotel di selatan Jakarta."
Dunia Andre seolah berhenti. Nafasnya tercekat. Ia menatap tulisan itu berkali-kali, berharap ia salah baca. Tapi tidak. Kata-katanya jelas.
Kilasan masa lalu menyerbu. Setahun lalu. Malam yang kelam. Sebuah kamar hotel. Waktu itu Andre baru saja kehilangan ibunya. Ia kehilangan arah. Dalam keputusasaan, ia menghubungi nomor yang diberi seorang teman lama. Satu malam. Satu keputusan bodoh yang tak pernah ingin ia ingat.
Tapi Fira mengingatnya. Sementara dia, bahkan tak mengenali Fira tadi.
Andre menggenggam kertas itu kuat-kuat. Rasa malu, syok, bingung, semua berbaur menjadi satu. Ia mencoba menenangkan diri, mengingat wajah Fira yang tenang, tutur katanya yang lembut, matanya yang tak menghakimi.
Apa yang terjadi pada hidup Fira setelah malam itu?
Bagaimana dia bisa berubah—dari sosok wanita penghibur menjadi sosok yang begitu tenang dan anggun? Dan kenapa Fira memilih untuk mengatakan semuanya sekarang? Dengan cara yang begitu lembut, begitu terukur? Ia bisa saja memilih untuk tidak mengatakannya, atau mengaku sebagai orang lain. Dan jika ia melakukan itu, aku tak akan menyadarinya tentu saja.
Malam itu, Andre tidak bisa tidur. Bukan karena rasa bersalah, melainkan karena satu pertanyaan besar: Apakah ini sebuah pertemuan kebetulan, atau sebuah undangan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya?
Satu hal yang ia tahu, hidupnya tak akan sama setelah hari ini. Fira, wanita bercadar yang dikenalnya selama dua jam di bandara dan pesawat, telah mengguncang sisi terdalam dirinya. Bukan karena masa lalu yang mereka bagi. Tapi karena kehadirannya telah membuat Andre melihat hidup—dan kesalahan—dengan cara yang sama sekali baru.