Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,617
Lipstick Letter Ghost
Horor

Andai Aku tak butuh uang untuk menuntaskan kuliahku, sudah kutinggalkan pekerjaan ini. Kau mau tahu apa pekerjaanku? La Viola namanya. Malu sebenarnya aku mengakuinya, tapi harus kukatakan bahwa itu adalah nama tempat hiburan. Karaoke, club, dan spa adalah unit usaha dibawah manajemen La Viola. Tempatku mengais rupiah adalah spa. Lebih spesifik lagi, spa khusus pria. Jujur saja aku malu bila keluarga atau kawan-kawanku tahu, aku berkerja disini. Tapi yang terpenting bagiku sekarang adalah bagaimana mempertahankan kuliahku. Disini, selain gaji aku juga mendapatkan tempat tinggal gratis.

Kau mau tahu apa yang membuatku tak betah? Hampir setiap malam Aku diganggu oleh hal-hal aneh. Mulai dari suara nyanyian dari speaker yang dalam posisi off, suara isak tangis wanita, bau amis darah, sampai pesan-pesan yang ditulis dengan lipstik di cermin. Semuanya terjadi di room 309 yang letaknya persis disebelah kamarku.

Kuceritakan apa yang kualami pada Koh Akew selaku owner. Lelaki paruh baya itu tak banyak komentar, namun Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu. Kutanya para crew yang biasa disebut terapis, tak ada yang peduli. Hanya kudapati beberapa dari crew senior terlihat tak ingin membahas hal yang kutanya. Sebenarnya Gendis, salah satu dari mereka ingin bersuara, namun dicegah oleh yang lain. Sepertinya Aku harus menyibak misteri ini seorang diri.

Akhirnya kutemukan titik terang. Adalah Bang Japra, satpam kompleks ruko yang berani membuka suara. Ternyata tiga tahun lalu, ada peristiwa tragis terjadi di room 309. Seorang crew bernama Donna ditemukan tewas bunuh diri dengan cara memotong urat nadinya. Bang Japra tak tahu apa motifnya dan bagaimana kelanjutan kasusnya. Kasusnya sendiri ditutup rapat karena dikhawatirkan mempengaruhi bisnis di kompleks ruko itu. Satpam bertubuh gempal itu menyarankan agar Aku menanyakan lebih lanjut pada Gendis.

Kuikuti saran Bang Japra. Minggu siang itu aku menyeret Gendis yang sedang duduk santai di sofa selasar menanti tamu. Ia tampak bingung, namun beruntungnya dia tidak berteriak yang mungkin menarik perhatian crew lain. Kuseret Gendis ke café sebelah. Kupesan dua Vanilla milkshake dan tiramisu untuk teman mengobrol.

“Jangan menyangkal! Ceritakan sejujurnya tentang Donna.” Aku menatap tajam Gendis. Ini adalah obrolan rasa interogasi. Gadis cantik asal Semarang itu tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia melihat kiri dan kanan, seperti tak ingin keberadaannya diketahui orang lain.

“Mas Andra harus janji dulu, bahwa semua ini hanya akan menjadi rahasia kecil kita,” bisik Gendis nyaris tak terdengar. Aku mengangguk. Setelahnya, Gendis bercerita tentang kasus di room 309 itu. Gendis bercerita tentang Donna dan apa yang menyebabkannya bunuh diri. Ia juga bercerita bahwa kadang sosok Donna sering menampakkan diri dan keanehan lain yang Aku juga mengalaminya. Namun Koh Akew meminta agar itu semua ditutup rapat, agar tidak mengganggu bisnisnya. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kuajukan, namun Gendis harus melayani tamu. Malam ini Aku bertekad untuk mendatangi sosok Donna.

***           

Untuk kesekian kali Aku terbangun oleh suara itu. Nyanyian merdu yang keluar dari speaker di room 309. Aku tak tahu siapa penyanyi dan judul lagunya, yang jelas selalu membuatku merinding. Musiknya hanya petikan gitar dan liriknya berbahasa Inggris. Belakangan kutahu, lagunya berjudul Donna Donna. Penyanyi aslinya adalah Joan Baez, namun yang kudengar adalah versi Sita Nursanti. Liriknya so deep and touching. Namun mendengarkannya sendirian saat dini hari, aura mistisnya begitu terasa. Silahkan dengarkan sendiri di keheningan malam kalau tak percaya. Berani?

Setelah lagunya tak terdengar lagi, kuseret langkah keluar kamar. Perlahan kusibak tirai room 309 dan memberanikan diri masuk ke dalam. Nafasku tercekat melihat penampakan sesosok gadis berambut panjang kecoklatan membelakangiku. Sosok itu berdiri di depan cermin namun tak ada pantulan bayangan dirinya. Gaun hijaunya tampak lusuh memberi kesan angker. Semerbak wangi melati mengelus indera penciumanku dan cukup membuatku merinding. Tangan kirinya memegang lipstik sedang tangan kanannya memegang cutter. Dari benda tajam itu menetes darah segar. Seketika bau anyir darah menyeruak.

“Namamu..., Donna, kan?” tanyaku dengan suara bergetar. Sosok itu lalu berbalik dan menatapku. Sebagian wajahnya tertutup rambut hitam panjangnya. Bibirnya berhias lipstik dengan warna yang pudar. Walau pun terlihat pucat, masih terlihat sisa-sisa kecantikan dari wajah ovalnya. Sekilas kulihat ada rajah di dadanya. Tulisannya terlalu kecil untuk kubaca. Sosok itu lalu berjalan gontai mendekatiku. Ia lalu menyeringai memperlihatkan barisan giginya yang rapi lengkap dengan dua taring layaknya drakula.

Aku mundur selangkah. Hawa jahat dari sosok di depanku semakin kuat kurasa. Seperti ada aura dendam atau obesesi yang tak tersalurkan. Kuucap ta’awudz berulang kali dalam hati. Aku memohon perlindungan pada Allah SWT dari kekuatan jahat makhluk dihadapanku.

Sosok itu menjatuhkan cutter dan lipstiknya, lalu dengan gerakan cepat ia mencekik leherku dengan kedua tangannya. Kurasakan hawa dingin menyergap. Ia lalu mengangkat tubuhku dan membenturkan tubuhku ke dinding. Matanya berubah menjadi merah menyala dan menatapku tajam. Aku berusaha memberontak dengan mencengkram kedua tangannya, namun sia-sia. Kedua tangan dingin itu tak bergeser sedikit pun. Aku mulai kesulitan bernafas. Bahaya!

 “Pergi! Cepat pergi dari sini! Atau seseorang akan mati bersimbah darah!” sergah sosok itu dengan nafas memburu. Suaranya terdengar seperti suara nenek-nenek yang sedang marah.

Sebelum Aku mencerna apa yang dikatakannya, kurasakan tubuhku semakin lemas. Sosok itu lalu menghempaskan tubuhku ke lantai. Kepalaku membentur lantai dengan keras. Kurasakan darah mengalir dari kepalaku. Antara sadar dan tidak, kulihat sosok itu menuliskan sesuatu di cermin dengan lipstik.

Kurasa sakit luar biasa pada leher dan kepalaku. Setelah itu pandanganku semakin kabur. Dengan sisa-sisa tenaga, coba kuraih gagang telepon. Aku coba menghubungi seseorang untuk meminta pertolongan. Belum sempat kuraih, segalanya menjadi gelap.   

***

Saat kesadaranku pulih, sayup kudengar suara Gendis. Sepertinya dia sedang berbicara dengan seseorang. Ah, kepalaku terasa seperti baru saja dihantam palu gada. Kucoba membuka mata namun tak bisa. Kucoba menggerakkan badan, namun tak ada tenaga. Baiklah, tak banyak yang bisa kulakukan sekarang selain mendengarkan pembicaraan mereka. Dari obrolan mereka, Aku bisa mengenali suara Gendis, mba Lesti, dan Wulan.

 “Udah deh, Dis. Ngaku aja kalau Lo cinta sama Andra,” sergah Lesti, crew paling senior dan paling judes dengan suara soprannya. Aku tidak akrab dengannya, namun tidak juga benci.

“Ngga ada apa-apa antara Gue dan mas Andra, mba Lesti. Kita memang dekat, tapi diantara kita ngga ada perasaan cinta,” ujar Gendis dengan suara lembut.

"Atau mungkin Lo, Wulan. Gue sering lihat Lo kasih uang tips ke mas Andra. Hayo, ngaku aja!" Kali ini giliran Gendis yang menyerang.

"Nah, koq urusan uang tips dihubungkan dengan cinta. Lo semua kan paham kalau Gue dari dulu royal sama semua OB, bukan cuma mas Andra. Gue orangnya senang berbagi, makanya rezeki Gue lancar." Wulan sang bintang di La Viola membela diri. Setelahnya mereka terus berdebat. Selagi mereka berdebat, pikiranku berusaha menyusun kepingan-kepingan puzzle yang berserakan.

Keping puzzle pertama: cerita Gendis bahwa Donna bunuh diri karena depresi ditinggal pergi oleh tamu yang dicintainya. Keping puzzle kedua: perkataan sosok hantu Donna yang menyuruhku pergi atau akan ada yang mati. Keping puzzle ketiga: pesan berulang kali dari lipstik di cermin room 309 yang bertuliskan "Love me I'm perfect". Masih ada kepingan puzzle yang hilang.

Ah, sial! Deduksiku tak bisa menjelaskan ini semua. Saat kebuntuan itu, kudengar suara pintu dibuka. Tak lama kudengar suara koh Akew bertanya tentang apa yang terjadi. Kembali terdengar perdebatan antara Gendis, mba Lesti dan Wulan.

"Cukup! Kalian harus selesaikan masalah ini seperti sebelumnya. Bila tidak, kalian bertiga harus angkat kaki," ancam pria paruh baya itu. Seketika suasana menjadi hening.

Seperti sebelumnya? Berarti hal ini pernah terjadi sebelumnya. Dan mereka tahu solusinya. Satu lagi kepingan puzzle Aku dapatkan. Aku hanya butuh bertanya tentang kejadian sebelumnya agar puzzle ini bisa kurangkai.

Perlahan energi pada tubuhku mulai kembali. Kubuka mata dan Aku menyadari diriku terbaring di ranjang rumah sakit. Selang infus terpasang di lengan kiriku. Kupegang bagian kepalaku yang terbentur sudah dipasang perban. Sepertinya ada beberapa jahitan disana.

Gendis yang pertama menyadari Aku siuman. Gadis ayu itu menghambur ke arahku. Ia duduk disampingku dan memegang tanganku. Ah, Gendis.... Jika saja.... Ah sudahlah, Aku tak mau berandai-andai.

"Mas Andra sudah sadar? Bagaimana keadaan mas Andra?" tanya Gendis seraya mendekatkan wajahnya pada wajahku. Wangi Issei Miyake Gendis layaknya tonik bagiku. Dengan payah dan dibantu oleh Gendis, Aku akhirnya bisa duduk. Mba Lesti, Wulan, dan koh Akew mendekatiku dan berdiri disisi ranjang.

“Jadi..., semua ini bukan yang pertama kali terjadi? Tolong ceritakan semuanya. Kali ini jangan ada yang disembunyikan,” kataku seraya menatap mereka satu persatu. Semuanya memalingkan wajah, kecuali koh Akew. Pria berkumis tipis itu menatapku dingin.

“Baiklah..., sepertinya tidak ada alasan lagi untuk menutupi kejadian yang sebenarnya,” ujar koh Akew. Ia lalu menceritakan kejadian sebelumnya. Kejadian yang sama dengan yang Aku alami saat ini. Dan semuanya makin jelas kini. Walau solusinya akan merugikan posisiku, Aku bisa sedikit bernafas lega. 

“Masalahannya kini, belum ada yang mengaku. Mereka bertiga menyangkal. Bagaimana menurut Lo?” tanya koh Akew. Benar apa yang dibilang koh Akew, kepingan puzzle terakhir belum ditemukan.    

***

Tak mungkin mengetahui isi hati seseorang dengan pasti. Kita hanya bisa menduga dari apa yang ia katakan dan apa yang ia perbuat. Dan satu lagi: intuisi, indera ke enam, ikatan batin atau apalah namanya. Namun bagiku semua itu tak bekerja dengan baik. Atau mungkin Aku yang kurang peka. Hey, itu wajar saja. La Viola hanya pekerjaan bagiku. Pekerjaan yang terpaksa kuambil, lebih tepatnya. Urusan pekerjaan dan kuliah sudah menyita waktu dan pikiranku. Tak ada waktu bagiku untuk mengurusi asmara. Lagi pula, siapa yang mau punya kekasih yang saban hari melayani hasrat lelaki.

Bagi para crew, sudah menjadi aturan tak tertulis untuk tidak membawa cinta dalam profesi ini. Layanan kepada tamu hanyalah SOP yang harus dijalani sebagai konsekuensi dari transaksi. Tak lebih tak kurang. Aneh rasanya membicarakan cinta di sini. Kau mungkin berpikir, koq ada orang-orang yang seperti itu. Aku pun baru mengetahuinya setelah bekerja disini.

“Ngga ada titik terang, Koh. Semuanya saya serahkan pada koh Akew untuk membereskan masalah ini,” ujarku setelah meminum segelas air yang disodorkan Gendis.

“OK, siang ini sebelum La Viola buka, bakal Gue kumpulin semua crew.” Koh Akew lalu mengambil gawainya. Sepertinya ia mengirim pesan kepada seluruh crew-nya untuk berkumpul siang ini juga. Kulirik jam dinding, sudah pukul sembilan pagi. Hanya tersisa waktu dua jam sebelum jam operasional La Viola dimulai. Berarti Aku tak sadarkan diri selama hampir enam jam.

“Seluruh crew  sudah Gue suruh kumpul jam sepuluh. Semoga ada titik terang. Gue pamit, Ndra. Kalau Lo sudah boleh pulang, hubungi aja, nanti Gue yang urus semuanya.” Koh Akew menepuk pundakku dan menyerahkan gawaiku. Ia lalu berlalu meninggalkan ruangan. Setelah beberapa saat, Gendis, Wulan, dan mba Lesti pun pamit juga.

Tengah hari, masuk pesan dari koh Akew. Bukan kabar yang ingin kudengar. Tak ada titik terang katanya. Sialnya, koh Akew memintaku untuk kembali menemui sosok Donna. Ah sudahlah, mungkin memang itu jalan yang terbaik. Sambil menunggu izin dari dokter untukku pulang, Aku masih menunggu kemungkinan lain.

Pukul tujuh malam, seorang crew La Viola menjengukku. Begitu melihatku, matanya berkaca-kaca. Ia lalu menghambur dan memelukku erat. Tangisnya pun pecah dipangkuanku. Aku sama sekali tak menduganya. Aku juga bingung hendak berkata apa.

“Mas Andra jangan pergi. Aku ngga mau mas Andra pergi. Apa pun yang terjadi, mas Andra ngga boleh pergi,” tuturnya sambil menangis sesenggukan. Aku membelai rambutnya yang bergelombang berwarna coklat. Semerbak Chanel Chance Eau Tendre mulai membius otakku. Kusingkirkan dahulu berbagai tanya yang menanti jawab dari gadis asal Subang ini. Kubiarkan ia menghabiskan tangisnya.

“Aku harus pergi..., atau seseorang akan celaka,” kataku. Agak canggung menggunakan aku-kamu, karena saban hari bertemu biasanya menggunakan gue-lo.

“Kalau begitu, Aku akan ikut juga kemana pun mas Andra pergi,” balasnya.

“Mengapa harus seperti itu?” tanyaku sejurus kemudian. Gadis berlesung pipi itu tak menjawab. Ia hanya menunduk sambil tangannya menggenggamku erat.

“Kenapa kamu tidak cerita pada koh Akew?” tanyaku lagi dan hanya disambut gelengan kepala.

“Ya sudah kalau belum mau cerita. Besok mas Andra sudah boleh pulang. Besok malam, mas Andra akan kembali menemui sosok Donna. Semuanya harus selesai besok malam,” kataku. Ia mengangguk. Setelah beberapa kalimat, gadis itu pamit.

***

Malam itu agak sedikit berbeda. Aku tak terbangun oleh suara nyanyian. Aku terbangun oleh suara hujan deras yang mengguyur. Suara air hujan beradu dengan atap dan kilat yang menyambar, membuat suasana semakin mencekam. Kulirik jam dinding, baru pukul dua dini hari.

Aku mengumpulkan nyali sejenak. Kejadian yang lalu masih menyisakan sedikit trauma bagiku. Bukan tak mungkin reaksi sosok Donna akan sama, atau bahkan lebih murka. Tapi sekali lagi, rasa penasaranku melebihi rasa takutku. Kuseret langkah dengan sedikit keraguan.

Tirai room 309 sedikit terbuka. Aku mengintip sejenak dan terkejut. Gadis yang menjengukku kemarin malam sedang berbincang dengan sosok Donna. Situasinya persis sama seperti yang Aku alami. Kuputuskan untuk tak langsung masuk. Aku merapatkan tubuh pada dinding, berusaha mencuri dengar pembicaraan mereka.

“Jangan bawa cinta disini. Abaikan perasaan hatimu.... Atau kau akan bernasib sama seperti diriku.” Kudengar suara khas sosok Donna yang membuatku merinding.

“Aku sudah berusaha mengingkari rasa cinta ini. Semakin Aku mengingkari, semakin tersiksa hati ini.” Kali ini terdengar suara lirih gadis itu.

“Tak mungkin pria baik-baik akan mencintai wanita kotor sepertimu. Cintamu akan bertepuk sebelah tangan. Lalu kau akan habiskan sisa hidupmu bagaikan mati. Kamu harusnya sadari itu!” Suara sosok Donna kali ini semakin meninggi.

“Aku sadari hal itu. Tapi Aku tak bisa membohongi hati nurani. Aku cinta mas Andra.” Gadis itu membuat pengakuan dengan suara bergetar yang beresonansi pada hatiku. Gadis itu sehari-harinya begitu pemalu kepadaku. Kami jarang berbicara. Bahkan aku sama sekali tidak menangkap isyarat apa pun darinya. Gadis itu bernama Sukma atau lebih dikenal dengan nama Stella disini.  

Tangis Sukma memecah lamunanku. Aku paling tak tega melihat tangis wanita. Perlahan Aku masuk ke dalam room 309. Kulihat Sukma menangis sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia tak menyadari kehadiranku.

“Kalau begitu, laki-laki ini malang harus mati!”

Sosok Donna lalu bergerak cepat ke arahku. Tangan kirinya mencengkram leherku dan mendorong tubuhku ke dinding. Matanya membelalak merah menguar amarah yang luar biasa. Aku berusaha memberontak dengan kedua tanganku namun sia-sia. Tangan kanan sosok Dona teracung memegang cutter. Benda tajam itu dilekatkan pada leherku.

Perlahan sosok Donna menggerakkan  cutter melintang menggores leherku. Rasa sakit mulai menjalar seiring menetesnya darahku. Aku memejamkan mata dan berserah pada Allah SWT. Teringat pula wajah kedua orangtuaku yang belum sempat aku bahagiakan.

“Hentikan! Biar Aku saja yang mati!” Tiba-tiba Sukma berteriak sambil menahan tangan sosok Donna yang memegang cutter. Ajaib! Tindakan Sukma itu menghentikan aksi sosok Donna menggorok leherku. Pandangan sosok Donna beralih menatap Sukma.

“Kau rela mati untuk dia?” tanya sosok Donna.

“Kalau mas Andra mati, hidupku tak akan ada artinya lagi. Jadi lebih baik Aku saja yang mati,” teriak Sukma.

Aku tak menangkap ada gertakan dalam ucapannya. Sebenarnya Aku merasa tersanjung ada orang yang rela mati untukku. Namun situasinya sungguh tak tepat.     

Sosok Donna membanting tubuhku ke lantai, membuat kepalaku membentur lantai. Dalam kondisi kesadaran yang makin lemah, kulihat sosok Donna memegang leher Sukma. Sosok Donna lalu melekatkan cutter yang hampir saja membunuhku. Tak lama kemudian kudengar suara teriakan lalu segalanya gelap.

***     

Atas bantuan koh Akew, Aku mendapat pekerjaan baru. Déjà vu sebenarnya. Pekerjaan yang sama, hanya beda tempat. Fantasia, itu nama tempat kerjaku yang baru. Kuharap tak ada hal-hal aneh disini. Dan ini malam pertama Aku tidur di tempat kerja yang baru. Tempatnya lebih besar dari kamarku di La Viola. Goodnight Andra, have a nice dream.

Aku terbangun oleh suara air yang mengalir dari room sebelah kamarku. Dalam kantuk yang masih mendera, Aku berjalan menuju room sebelah. Kusibakkan tirai dan seketika rasa kantukku lenyap. Sosok siapa lagi ini!   

 

 

 

        


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)