Masukan nama pengguna
Angin malam menggeliat pelan, menari bersama suara kayu-kayu yang terbakar di dalam perapian. Api kecil menjilat udara, memercik cahaya oranye yang hangat ke seluruh penjuru ruang kayu itu. Di balik jendela, bulan tampak seperti setengah tertelan awan, seolah ikut menyimpan separuh rahasia malam itu.
Ardi berdiri diam. Tubuhnya tegak, tapi pikirannya melayang-layang. Besok adalah hari pernikahannya. Gaun putih sudah dijahit, pelaminan sudah dirakit, undangan sudah tersebar. Wedding Organizer sudah dua pekan ini berjibaku mempersiapkan segalanya. Tapi malam ini, hanya ada dia dan tiga benda yang pernah menyimpan bagian dari hatinya.
Tiga memento.
Tiga cinta yang tak menjadi takdir untuk bersama.
Tiga potongan waktu yang pernah ia kira abadi.
Ia meletakkan benda pertama di hadapannya: sebuah bola basket Molten GG7X berwarna oranye kusam, dengan tanda tangan memudar di permukaannya. Valencia, gadis semampai keturunan Tionghoa dengan rambut ekor kuda dan tatapan setajam busur panah. Bintang basket kampus. Sekaligus, cinta pertama yang datang secepat dentuman buzzer akhir pertandingan.
Mereka bertemu di tribun kampus, ketika Ardi memotret pertandingan basket untuk tugas kuliah jurnalistik. Saat itulah Valencia melesakkan bola tiga angka di detik terakhir—mengunci kemenangan untuk timnya. Satu sorotan kamera, satu sorotan mata, dan dunia berubah seketika.
Malam itu, Ardi memberanikan diri mengirim hasil fotonya ke Valencia lewat direct massage Instagram. Balasannya singkat: “Nice shot. Tapi kamu bisa ambil angle yang lebih bagus kalau mau motret aku lagi minggu depan.”
Dan benar saja, minggu depan mereka bertemu lagi. Dan minggu-minggu selanjutnya, mereka tak hanya bertukar foto. Tapi juga cerita, rencana, bahkan mimpi. Layaknya fastbreak dalam basket, serangan kilat cinta tak dapat dibendung oleh mereka berdua.
Hubungan mereka bergulir seperti bola yang tak pernah diam. Dinamis. Penuh adrenalin. Penuh ambisi. Tapi seperti pertandingan, mereka punya waktu habisnya. Terlalu banyak benturan. Terlalu sering ingin menang sendiri. Valencia mengejar karier sebagai pelatih. Ardi tenggelam dalam dunia jurnalistik olahraga. Mereka saling dorong, saling tarik, lalu tumbang karena saling ingin jadi yang lebih kuat.
Bola itu, dulu Valencia berikan usai pertandingan nasional terakhir sebelum lututnya cedera. “Kalau aku nggak bisa main lagi, aku ingin kamu pegang ini. Supaya kamu ingat, pernah ada Aku yang jatuh bukan karena kalah... tapi karena cinta.”
Ardi menatap bola itu lama. Lalu meletakkannya di perapian.
Api menyambarnya perlahan. Layaknya semangat yang membakar habis, sebelum akhirnya menjadi abu yang tenang.
Benda kedua ia ambil dari ransel yang ia bawa malam ini. Sebuah novel lusuh berjudul Antologi Rasa karya Ika Natassa. Dinda bukan gadis lapangan. Ia gadis perpustakaan. Wajah teduhnya tenggelam di balik kacamata bulat dan rambut panjang berponi yang sering ia sematkan pensil di belakang telinganya. Suaranya tenang, seperti hujan sore hari di kota yang penuh buku.
Mereka bertemu dalam diskusi sastra kampus. Ardi terpesona pada caranya meresensi kalimat, dan Dinda tertarik pada diam Ardi yang tak banyak komentar tapi tajam menatap. Tak lama, mereka mulai bertukar buku, mencoretkan catatan di pinggir halaman, dan kadang bertemu hanya untuk membaca dalam diam.
Satu malam, Dinda menulis di halaman depan novel Antologi Rasa:
“Kalau kamu bosan membaca kenyataan, kita bisa tulis cerita sendiri.”
Dan mereka pun menulis cerita bersama—cerita yang berjalan perlahan, tenang, tanpa drama. Tapi kadang cinta tanpa konflik bukan berarti cinta yang tenang. Diam mereka menyimpan banyak tanda tanya. Ada cinta yang tak cukup kuat untuk tumbuh jika terlalu hati-hati menjaganya.
Hubungan mereka terhenti perlahan. Tak ada perpisahan yang dramatis. Tak ada tangis. Hanya pesan terakhir dari Dinda: “Aku rasa kita terlalu takut menyakiti, sampai akhirnya lupa mencintai.”
Novel itu adalah hadiah dari Dinda saat ulang tahun Ardi. Halamannya penuh stabilo dan catatan kecil: “Ini aku banget,” “Bagian ini harus kamu baca ulang,” “Jangan lupakan kalimat ini.”
Ardi membuka halaman terakhir. Ada tulisan tangan kecil di sana:
“Kadang yang terbaik bukan yang berakhir di pelaminan. Tapi yang mengajari kita cara mencintai dengan tidak tergesa-gesa.”
Ia menatapnya sejenak, lalu meletakkannya ke dalam perapian.
Api melumatnya pelan. Seperti kenangan yang tak ingin pergi, tapi tahu diri untuk pamit.
Benda ketiga adalah yang paling sulit dilepaskan. CD album A Moon Shaped Pool dari Radiohead. Jika Valencia adalah kobaran, dan Dinda adalah hujan gerimis, maka Aluna adalah kabut. Tak bisa digenggam, tapi membekas di kulit. Ia datang tanpa suara, dan pergi tanpa aba-aba.
Ardi bertemu Aluna di sebuah toko musik kecil. Mereka sama-sama meraih album Radiohead di rak paling atas. “Kamu suka Daydreaming?” tanya Aluna. Dan sejak hari itu, mereka terjebak dalam mimpi panjang yang tak pernah sepenuhnya bangun.
Aluna memperkenalkan Ardi pada dunia yang gelap tapi jujur. Musik, puisi, malam-malam penuh obrolan di atas kap mobil, dan tangis tanpa sebab. Keduanya terluka, dan mereka pikir bisa saling menyembuhkan. Tapi luka yang belum sembuh tak seharusnya mencari pelukan, tapi kesembuhan.
Cinta mereka terlalu dalam, terlalu hening, terlalu menggantung.
“Aku tahu kamu cinta aku,” kata Aluna suatu malam. “Tapi kamu cinta dengan caramu. Dan aku butuh seseorang yang tahu caraku.”
Seminggu setelah itu, Ardi menerima pesan suara:
"Maaf, Ardi. Aku nggak bisa terus begini. Aku bukan bagian dari masa depanmu, dan kamu tahu itu."
Album itu tetap ada. Menjadi hantu dalam setiap perjalanan. Menjadi lagu yang tak lagi terdengar sama.
Kini, untuk terakhir kalinya, Ardi menyentuh bagian pinggir CD itu. “True love waits,” katanya pelan, menyebut salah satu lagu yang paling menghancurkan hati. Dan ia membiarkan api mengambilnya. Ada letupan kecil, sama seperti yang hatinya rasakan saat itu.
Perapian itu kini penuh abu. Tiga memento telah berubah menjadi abu yang menyatu, tapi tak ada penyesalan. Hanya kelegaan. Ardi tahu, mencintai masa lalu tidak salah—yang salah adalah membiarkannya menahan langkah menuju masa depan.
Dia menutup jaketnya lalu melangkah keluar. Udara dingin menyambut. Tapi di hatinya, ada kehangatan baru. Seseorang menunggunya besok di pelaminan. Bukan dari masa lalu. Tapi dari masa depan yang mereka bangun bersama. Gita namanya, foto model cantik yang menawan hatinya. Yang bisa menjadi mentari pagi, pelangi, bahkan badai sesekali. Tapi dengannya Ardi yakin bahwa inilah wanita yang akan menemaninya hingga ia tua nanti.
Ia menatap langit dan tersenyum. Lalu membisikkan kata yang hanya bisa terdengar oleh dirinya sendiri: “Kenangan adalah nyala kecil dalam hati. Tak perlu dipadamkan, hanya perlu kita biarkan redup… agar cahaya baru bisa tumbuh di tempatnya.”