Masukan nama pengguna
Ada satu hal yang membuatku tetap waras setelah seharian menjadi budak korporasi: menatap para bidadari berkemeja kerja di dalam Transjakarta. Iya, hanya menatap. Karena Aku tak punya keberanian hanya untuk sekedar menyapa mereka. Aku tahu ini adalah sikap pengecut, tapi mau bagaimana lagi.
Dari mana pun Aku duduk atau berdiri, Aku menikmati parade wanita karier yang naik turun dari halte ke halte. Mereka semua tampak lelah, tapi tetap menawan dengan make up yang mulai luntur, rambut yang sedikit kusut, dan lanyard perusahaan yang menjuntai di leher mereka. Lelah yang anggun, kataku dalam hati.
Setiap sore, dari halte Matraman hingga halte Kalideres, Aku menyaksikan dunia dalam versi paling jujur: orang-orang yang hidup untuk bekerja dan bekerja agar bisa tetap hidup. Dunia orang-orang biasa yang menyimpan mimpi diam-diam. Dunia kelas menengah yang tidak istimewa.
Dan di antara mereka, Aku punya tiga daftar favorit.
Yang pertama, Cantika Rahayu. Pegawai bank asing. Rambut sebahu, selalu mengenakan setelan biru navy. Ia sibuk dengan ponsel dan catatan kecil. Aku tahu namanya dari ID card-nya yang selalu tergantung rapi di dada.
Kedua, Emilia Fransisca. Tinggi semampai, berwajah tegas. Selalu mengenakan blazer abu-abu dan sepatu hak rendah. Ia naik di halte Balai Kota, sepertinya kerja di hotel atau perusahaan swasta.
Lalu yang ketiga, Aku tak tahu siapa namanya.
Dia berbeda. Tidak pernah memakai ID card. Tidak pernah mengenakan seragam. Wajahnya datar, nyaris selalu tanpa ekspresi. Tapi entah kenapa, justru itu yang membuatnya paling menarik. Ia naik di halte Pal Putih, turun di halte Sumur Bor. Selalu bersama dua wanita lain yang tampaknya teman sekantornya.
Aku tak tahu siapa namanya. Maka untuk sementara, Aku memanggilnya Bella. Kenapa Bella? Tidak ada alasan khusus, Aku hanya menyukai nama itu saja. Terdengar indah.
Entah sejak kapan Aku mulai memperhatikannya. Mungkin sejak pertama kali melihatnya menatap jendela dengan pandangan kosong. Ada sesuatu dalam sorot matanya—semacam sunyi yang dalam. Bella jarang bicara. Hanya mendengarkan dua temannya mengobrol. Tapi saat ia tersenyum, walau hanya sekejap, waktu seolah berhenti. Suara klakson kendaraan berubah jadi simfoni yang lembut. Aneh ya, betapa cinta bisa datang dari sekadar tatap diam dan ketidakberanian.
"Aku serius, Rif. Lo nggak bisa terus begini," kata Reno, sahabatku, suatu malam di warung kopi dekat kantor. "Lo harus mulai belajar buka diri. Lo pikir cinta datang kalau lo cuma duduk manis nunggu keajaiban?"
Aku mengangkat bahu, lesu.
"Makanya ikut Gue ke kelas ini. Namanya Confidence for Men. Lo pikir ini kelas gombal? Bukan. Ini soal belajar berani. Belajar jadi versi terbaik Lo."
Dan akhirnya Aku mengikuti saran Reno. Di dalam kelas itu, kami diajari banyak hal: cara membaca bahasa tubuh, membuka percakapan yang sopan dan menyenangkan, dan yang paling penting—menghargai diri sendiri. Bukan jadi buaya, tapi jadi pria yang utuh. Di kelas itu juga diajarkan bagaimana seni mendekati wanita, tapi yang paling penting di kelas itu adalah bagaimana meng-install kepercayaan diri.
Dan kau tahu apa? Reno benar tentang tentang kelas itu. Selepas dari sana, Aku merasakan dan menemukan versi terbaik dari diriku. Sialnya, setelah tiga kali pertemuan yang menguras tabungan, Bella justru menghilang.
Sudah seminggu lebih Aku tak melihatnya di Transjakarta. Hanya dua temannya yang masih setia naik di halte Pal Putih.
Sore itu, kerinduanku sudah tak tertahankan. Begitu dua wanita itu duduk di bangku dekat pintu belakang, Aku pun mendekat dengan jantung berdebar.
“Permisi…. Saya mau tanya soal teman kalian yang biasanya bareng naik Transjakarta,” ucapku sedikit gugup.
Salah satu dari mereka menoleh dan menatapku heran, lalu tersenyum samar.
“Eh, nama kamu Rifan, ya?”
Aku tercekat. “Kok… tahu?”
“Kami sering lihat kamu. Bella juga sering cerita tentang kamu,” ujar wanita itu lembut.
“Bella?” Aku melafalkan nama itu perlahan. Seolah menikmati setiap hurufnya. “Namanya memang Bella?”
“Iya. Bella Amelia,” jawabnya sambil menatapku dalam. “Kami harus cerita sesuatu.”
Ia membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku kecil berwarna biru tua. Tangannya gemetar saat menyerahkannya padaku.
“Ini milik Bella. Dia minta kami memberikannya padamu kalau suatu hari kamu menyapa.”
Aku menerimanya perlahan. Halaman pertama berisi tulisan tangan rapi: Untuk laki-laki berkemeja biru dan tas punggung hitam yang selalu duduk dekat pintu belakang. Aku selalu menunggu sapamu. Tapi kalau kamu terlalu malu, tak apa. Aku akan terus mendoakanmu dari diamku.
Tanganku gemetar. Aku menatap mereka berdua dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Dia kemana?” tanyaku dengan suara tercekat nyaris tak terdengar.
“Bella... sudah berpulang tiga hari lalu,” ucap salah satunya lirih. “Ia mengidap kanker darah stadium akhir. Sudah lebih dari setahun. Ia menyembunyikannya dari orang-orang.”
Aku menunduk. Rasa sesal seperti tsunami yang menghantam dadaku.
“Dia tahu kamu pemalu. Tapi dia selalu berharap suatu hari kamu akan menyapanya. Setiap sore dia berdandan khusus, walau tubuhnya makin lemah. Dia bilang, selama kamu masih naik bus yang sama, dia akan tetap kuat.”
Air tak lagi bisa membendung air mataku. Di tengah hiruk pikuk Transjakarta, semuanya terasa hening. Aku membuka halaman-halaman selanjutnya. Isinya puisi-puisi sederhana tentang rindu, diam, dan harapan. Tentang rasa yang tumbuh dalam diam, yang mekar dalam keterbatasan waktu.
“Dia titip satu kalimat,” kata salah satu dari mereka. “Kalau suatu hari kamu bicara pada kami, dia minta kami bilang, 'Aku juga menyukaimu.'”
Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Hari ini, genap satu tahun sejak kejadian sore itu. Aku duduk di halte Pal Putih. Bukan untuk pulang kerja, tapi untuk mengenang. Di halte ini Bella biasa naik ketika pulang kerja. Aku masih ingat rambut hitam panjangnya yang tergerai. Bibirnya yang tipis selalu menarik pandanganku selama beberapa detik. Dengan kemeja warna peach, rok konservatif dan menenteng tas warna hitam, ia melangkah anggun. Aku bahkan ingat wangi parfumnya yang selalu membuatku membeku saat menghirupnya.
Buku kecil miliknya masih kusimpan. Sampulnya mulai pudar. Tapi setiap kata di dalamnya abadi dalam kepalaku.
Seorang perempuan duduk di sebelahku. Ia memakai kemeja putih dan rok midi hitam. Wajahnya lelah, tapi matanya ramah.
Aku menoleh dan tersenyum. “Pulang kerja juga, Mbak?”
Ia tampak terkejut sejenak, lalu mengangguk perlahan.
“Iya. Baru hari pertama kerja.”
Kami naik Transjakarta yang sama. Aku tak tahu siapa dia. Tapi untuk pertama kalinya, Aku membuka percakapan lebih dulu. Bukan karena ingin mencari pengganti Bella. Tapi karena Aku tahu, cinta yang baik seharusnya diungkapkan sebelum terlambat. Dan dalam hati, Aku merasa Bella sedang tersenyum melihatku.