Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,020
Jeda di Kilometer Sunyi
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jalan tol Jakarta-Merak dini hari itu tampak sedikit lengang. Hanya suara desiran ban di aspal yang menembus sunyi. Lampu jalan menyala malas. Beberapa bahkan padam, menyisakan siluet cahaya di antara kabut dan debu. Pras menyetir pelan, tangannya menahan setir dengan santai. Dasi dan lanyard sudah ia lepas dan tergantung di kaca spion tengah. Jam di dashboard menunjukkan pukul 03.12.

Dia baru saja menghadiri jamuan kantor di Serpong yang penuh formalitas dan basa-basi yang melelahkan. Kepala cabang baru, target kuartal, KPI, semua membuatnya butuh pelarian sementara. Akhirnya ia pun luruh bersama Chivas Regal yang mengalir di gelas kristal. Menyisakan kesadaran untuk membuatnya tetap bisa menyetir.

Saat mobilnya melintasi daerah Meruya, ia melihat sebuah sedan Brio RS merah berhenti di bahu jalan. Lampu hazard berkedip pelan. Ada sosok wanita berdiri di sampingnya, menelpon sambil sesekali menendang kecil ban depan.

Tanpa pikir panjang, Pras menepi.

“Halo,” katanya keluar dari kaca jendela, “Perlu bantuan?”

Wanita itu menoleh. Rambut panjang, jaket kulit, dan mata tajam yang tampak kelelahan tapi tidak kehilangan siaga.

“Gue rasa iya. Mobil Gue mogok. Sepertinya masalah kelistrikan.”

Pras keluar dari mobil, menutup pintu dengan hati-hati. “Boleh Gue lihat?”

Wanita itu mengangguk. “Gue Laura.”

“Pras.”

Laura membuka kap mesin. Pras menyalakan senter dari ponselnya. “Kayaknya alternatornya bermasalah. Akinya udah sekarat. Gue punya kabel jumper. Kita bisa coba nyalain lagi pakai aki mobil Gue.”

Laura mengangguk lega. “Tuhan mengirim bankir sebagai malaikat jalanan. Lucu juga.”

Pras tersenyum tipis. “Bankir, ya. Dari mana Lo tahu?”

“Tampang Lo klimis, mobil lumayan mewah, jam tangan mahal. Dan Gue liat ada lanyard di mobil Lo.”

Pras tertawa kecil. “Pantesan aja tepat.”

Mereka melakukan jumper, dan mobil Laura berhasil menyala kembali, meski masih lemah. Untuk memastikan, Pras meminta Laura mematikannya dulu, menunggu beberapa menit, lalu mencoba lagi.

Mereka duduk bersisian di pembatas beton, ditemani angin dini hari dan suara jangkrik entah dari mana.

“Jadi, Lo beneran bankir?,” tanya Laura sambil membuka botol minuman dari tas kecilnya. “Aku DJ.”

“Disc Jokey?”

“Iya. Female DJ. Barusan main di Cilegon, sekarang mau balik ke Jakarta. Tapi mobil sialan ini malah ngambek.”

Pras melirik botol di tangan Laura. “Yoghurt?”

Laura tersenyum. “Nggak semua DJ minum vodka setelah manggung. Ini Greek yoghurt. Tinggi protein, rendah ekspektasi.”

Pras tertawa lagi. “Lo lucu juga ternyata.”

“Maklum, DJ juga harus bisa intermezzo. Lo kenapa masih di jalan jam segini? Urusan bank nggak selesai jam lima sore?”

“Jam kerja bank memang selesai jam lima. Tapi jam kerja otak bankir nggak pernah selesai.”

Laura memandang Pras cukup lama. “Lo terdengar lelah.”

Pras menarik napas panjang. “Kadang hidup terasa seperti neraca. Ada aktiva, ada pasiva. Ada tuntutan, ada janji. Tapi sering kali Gue merasa kehilangan kendali. Itu seperti Gue terus memberi pinjaman waktu kepada orang lain, sementara diri Gue sendiri bangkrut emosional.”

“Wah, Lo filusuf juga rupanya.” Laura meminum seteguk yoghurt-nya. “Tapi Gue paham maksud Lo. Gue juga begitu. Dari luar, hidup Gue kelihatan seru. Lampu-lampu, musik, panggung, sorak penonton. Tapi...”

“Tapi?”

“Setelah semua lampu mati, dan Gue pulang ke apartemen yang dingin, Gue cuma perempuan biasa yang memanaskan mie instan dan menonton sitkom tua sendirian.”

Sunyi. Suara mobil truk melintas di kejauhan.

“Lo tahu, Laura,” Pras berkata pelan, “Gue baru aja menghadiri jamuan kantor. Banyak tawa, banyak toast. Tapi entah kenapa, Gue merasa seperti boneka yang tersenyum karena ditarik talinya. Gue berdiri di sana, mendengarkan rencana-rencana besar tentang target bisnis, tapi yang Gue pikirkan cuma satu: Kapan Gue benar-benar hidup?”

Laura menatapnya lekat. “Gue juga pernah merasa seperti itu. Terjebak di dunia yang penuh suara tapi kosong makna.”

“Lalu apa yang Lo lakukan?”

“Gue pergi. Dulu Gue kerja di agensi. Gaji tetap, karier jelas. Tapi tiap hari rasanya seperti... hidup orang lain. Sampai suatu malam, Gue main lagu-lagu untuk teman di rooftop party, dan ada yang bilang, ‘Lo itu punya soul.’ Sejak itu, aku jadi DJ.”

Pras mengangguk pelan. “Berani juga.”

Laura tersenyum. “Orang bilang nekat. Tapi, hidup ini terlalu pendek untuk jadi orang yang tidak kita kenali di cermin.”

Pras diam. Kata-kata itu menamparnya lembut. Ia melihat pantulan wajahnya di kaca spion mobil—pria 36 tahun dengan dasi lepas, mata lelah, dan senyum tipis yang jarang muncul belakangan ini.

“Tapi jangan salah,” kata Laura. “Jadi DJ juga nggak se-glamour yang orang pikir. Kadang dibayar telat. Kadang harus tidur di sofa studio. Dan sering kali dinilai dari tampang, bukan musik.”

“Mungkin kita cuma dua orang dari dunia berbeda yang sama-sama tersesat.”

“Atau sama-sama mencari.”

Hening lagi. Tapi kali ini hening yang hangat.

“Mobil Lo udah bisa dicoba lagi deh kayaknya,” kata Pras, berdiri dan menepuk-nepuk celananya.

Laura ikut berdiri. Mereka menyalakan mesin. Mobil menyala pelan, lebih stabil dari sebelumnya.

“Terimakasih, Pras. Tanpa Lo, mungkin Gue bisa tidur di dalam mobil semalaman.”

“Anggap saja ini... bunga dari pinjaman waktu yang selama ini Gue pinjamkan ke orang lain.”

Laura tertawa pelan. “Lo harus mulai menulis puisi, bukan laporan kredit.”

“Gue pernah menulis puisi.”

“Oh ya? Tentang apa?”

Pras berpikir sejenak. “Tentang kehilangan. Tentang rasa yang dipendam. Tentang... sesuatu yang tak bisa dibayar dengan uang.”

“Lo lebih rumit dari kelihatannya.”

Pras membuka pintu mobilnya. “Lo juga. Seorang DJ peminum yoghurt yang suka ngobrol soal eksistensi jam tiga pagi. Itu cukup langka.”

Laura menyandarkan tubuhnya ke kap mobilnya sebentar. “Lo tahu, kita mungkin nggak akan bertemu lagi. Tapi pertemuan ini... mengingatkan Gue bahwa hidup itu bukan cuma tentang tujuan. Tapi juga tentang jeda.”

“Dan obrolan di tengah jalan tol.”

Laura menatapnya. “Boleh Gue jujur?”

“Tentu.”

“Chivas Regal itu keras. Hangat, tapi bisa membakar pelan dari dalam. Sementara yoghurt... dingin, lembut, dan kadang terasa hambar. Tapi baik untuk tubuh.”

Pras mengerutkan dahi, lalu tertawa. “Perumpamaan yang menarik.”

“Lo Chivas, Gue yoghurt. Dua hal yang tak mungkin dicampur, tapi malam ini... kita menyatu dalam percakapan.”

Pras membuka dompet, mengeluarkan kartu nama, lalu menyelipkannya ke kaca spion Laura.

“Kalau suatu hari butuh bankir yang bisa mengganti alternator, hubungi saja.”

Laura mengeluarkan stik USB kecil dari sakunya. “Kalau suatu hari Lo mau mendengar musik yang tak ada di playlist Spotify mana pun, putar ini.”

Mereka tersenyum. Lalu saling melambaikan tangan saat mobil mereka menjauh perlahan, masing-masing melanjutkan hidup dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, sedikit lebih nyata.

Dan malam pun kembali sunyi, seperti menyimpan rahasia tentang dua orang asing yang saling menemukan dalam jeda hidup mereka—antara Chivas Regal dan yoghurt.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)