Masukan nama pengguna
Langit Jakarta malam itu bukan milik bintang-bintang. Cahaya mereka tenggelam oleh sorot lampu stadion yang membara dan lautan kilat ponsel yang tak henti berkelip, membentuk galaksi buatan di tengah hiruk pikuk manusia. Di episentrum riuh rendah itu, di antara teriakan histeris para penggemar yang memanggil nama L’Arc-en-Ciel, band legendaris asal Negeri Sakura, Aldo berdiri membeku. Tangan terkepal di saku jaket kumalnya, pandangannya kosong menembus gemerlap panggung, namun benaknya terperangkap dalam labirin kelam.
“Aldo! Woi, Aldo! Itu ‘Driver’s High’! Lagu pembuka kesukaan Lo, kan?!” pekik Dimas, sahabatnya, dengan suara serak, tubuhnya melonjak-lonjak seiring hentakan drum.
Seulas senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibir Aldo. Ia mengangguk pelan, mencoba mengikuti irama yang dulu begitu membakarnya. Namun, kini hatinya sedingin es, menolak cair meski oleh api semangat di sekelilingnya.
“Harusnya Lo happy, Do. Sudah berapa purnama kita tidak merasakan euforia konser sebesar ini bersama?” timpal Yudha, menepuk bahunya, suaranya berusaha menembus kebisingan.
Aldo menarik napas panjang, udara malam yang pengap terasa menyesakkan. Ia tahu, kedua sahabatnya bermaksud baik. Namun, mereka tak sepenuhnya mengerti. Dua minggu terakhir ini, dunianya runtuh. Jalan hidupnya yang dulu mulus kini porak-poranda, dipenuhi puing-puing kenangan pahit. Rena, gadis yang mengisi hari-harinya selama dua tahun, telah merenggut separuh jiwanya. Ia pergi, bukan sendiri, melainkan bersama Bagas—sahabat yang pernah ia anggap saudara. Pengkhianatan ganda yang meremukkan hati.
“Lo butuh ini, Do. Lupakan dia sejenak. Malam ini, biarkan jiwa Lo bebas!” Begitu bujukan Dimas kala itu, memaksa Aldo keluar dari kamarnya yang gelap. Aldo mengiyakan, bukan karena siap melupakan, tapi karena energinya habis untuk menolak.
Konser mengalir deras. Satu lagu berganti lagu lainnya, dibawakan dengan energi yang seolah takkan pernah padam. Lautan manusia bernyanyi bersama, tangan-tangan terangkat membentuk hutan bergerak, beberapa wajah basah oleh air mata haru, terhanyut dalam arus nostalgia. Namun, Aldo tetap terpaku. Ia bagai menonton film bisu berwarna-warni di tengah bioskop yang paling berisik. Jiwanya terpisah dari raganya. Hingga lagu kedua belas mengalun lembut, merobek selaput kebas yang membungkus hatinya: "Pieces."
Intro gitar yang meratap pilu, disusul suara Hyde yang serak dan penuh perasaan, seketika mengubah atmosfer stadion. Udara yang tadinya panas membara kini terasa dingin dan menusuk. Lagu ini, sebuah balada tentang kehilangan, tentang serpihan hati yang tak mungkin utuh kembali, tentang luka yang menolak sembuh.
Aldo tersentak. Tenggorokannya tercekat. Namun, bukan hanya karena lirik dan melodi yang seolah menyuarakan isi hatinya.
Di seberang lautan manusia, beberapa meter di depannya, berdiri seorang gadis. Rambut hitam panjangnya tergerai menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk. Bahunya bergetar pelan. Air mata, seperti butiran kristal, mengalir tanpa suara di pipinya yang pucat, memantulkan cahaya panggung. Ia berdiri diam, tak ikut bernyanyi, hanya menggenggam erat ujung syal yang melingkari lehernya, seolah itu satu-satunya pegangan di tengah badai emosi.
Aldo terpaku. Matanya tak bisa lepas.
Ada sesuatu dalam tangisan gadis itu yang berbeda. Bukan tangisan euforia atau haru karena idola. Tangisannya murni dan senyap. Seolah ada sebuah cerita besar yang tengah pecah berkeping-keping dalam diamnya, di tengah riuh yang ironis.
Dan kemudian, seolah ditarik magnet tak kasat mata, pandangan mereka bertaut. Gadis itu mengangkat wajahnya, matanya yang sembap bertemu dengan tatapan Aldo. Waktu seakan berhenti. Riuh rendah stadion mendadak sunyi. Hanya ada sepasang mata itu yang sendu, basah, namun menyimpan sebersit kekuatan yang anehnya terasa akrab. Aldo merasa seakan jiwanya ditarik, tersedot ke dalam kedalaman mata sang gadis. Gadis itu tampak terkejut sesaat, namun tak menghindar. Mereka hanya saling menatap, berbagi kebisuan di tengah alunan "Pieces" yang menyayat.
Lagu berakhir. Lampu panggung kembali benderang, memutus kontak magis mereka. Penonton bersorak, memecah keheningan yang hanya dirasakan mereka berdua. Gadis itu buru-buru menyeka air matanya, lalu berpaling, mencoba membaur kembali dengan kerumunan.
Aldo ingin memanggil. Sebuah nama tanpa suara tersangkut di tenggorokannya, lalu menguap bersama tepuk tangan gemuruh penonton.
Konser berakhir hampir satu jam kemudian. Gelombang manusia mulai bergerak keluar, menyisakan sampah dan gema sorak-sorai. Dimas dan Yudha masih berapi-api membahas aksi panggung dan lagu penutup yang spektakuler. Tapi Aldo hanya diam, pikirannya tertinggal di lagu "Pieces" dan misteri gadis yang menangis itu.
Ia berjalan gontai menuju area parkir, menyusuri labirin kendaraan yang diwarnai klakson dan tawa sisa euforia. Dan di sanalah, di bawah temaram lampu parkir yang kesepian, gadis itu berdiri seorang diri.
Ia tampak celingukan, seperti menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Saat Aldo memberanikan diri mendekat, gadis itu menoleh. Sekali lagi, pandangan mereka bertemu. Kali ini, ada sedikit keterkejutan yang hangat di matanya.
Aldo mengumpulkan sisa keberaniannya. "Hai," sapanya, suara sedikit bergetar.
Gadis itu tersenyum tipis, senyuman yang rapuh namun tulus. "Hai."
"Kamu... yang tadi di dalam, kan?" tanya Aldo, merasa canggung.
"Sepertinya aku juga melihatmu," jawab gadis itu, suaranya lembut. "Yang hanya diam membatu dari awal sampai akhir konser?"
Aldo tertawa kecil, sedikit lega. "Ya, itu Aku."
"Hmm, kukira kau salah masuk acara," ujarnya, kali ini senyumnya sedikit lebih lebar, memperlihatkan lesung pipi yang samar.
Aldo menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Mungkin begitu, atau mungkin Aku memang butuh tersesat dulu untuk menemukan sesuatu yang tak terduga."
Gadis itu menatapnya sejenak, memiringkan kepala, lalu tertawa pelan. "Puitis sekali untuk seseorang yang membatu."
"Hanya keluar saat bicara dengan orang yang tepat, kurasa," balas Aldo, berusaha terdengar santai, meski jantungnya berdebar hebat.
Hening sejenak. Lalu Aldo menatapnya lebih dalam. "Boleh aku bertanya sesuatu?"
Gadis itu mengangguk.
"Kenapa kamu... menangis begitu hebat saat lagu ‘Pieces’ tadi?"
Gadis itu menunduk, jemarinya kembali memainkan ujung syalnya. "Karena seseorang... pernah mengirimiku lagu itu, tepat setelah kami memutuskan berpisah. Dia bilang... lagu itu adalah perasaannya untukku." Suaranya bergetar.
"Masih belum bisa melangkah?" tanya Aldo hati-hati.
"Kupikir sudah," jawab gadis itu pelan, mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca. "Tapi ternyata, kenangan yang sudah susah payah kukunci rapat dalam peti besi di dasar hati, bisa dibongkar paksa hanya dengan sebuah lagu."
Aldo mengangguk, merasakan getaran yang sama. "Aku mengerti. Mungkin lebih dari yang kamu kira."
"Kamu sendiri?" tanya gadis itu, tatapannya menyelidik lembut. "Kenapa begitu... hampa di tengah kemeriahan?"
Aldo menarik napas dalam. "Karena Aku baru saja kehilangan. Kekasihku... maksudku, mantan. Dia pergi dengan sahabatku sendiri." Kata-kata itu keluar lebih mudah dari yang ia duga.
"Wow... itu pasti sangat berat," ucap gadis itu lirih, penuh empati.
"Ya. Dan sejujurnya, aku nyaris tak datang malam ini. Dipaksa teman-teman. Mereka bilang, musik adalah penyembuh." Aldo tersenyum getir.
"Mereka tidak sepenuhnya salah," sahut gadis itu. "Tapi kadang, musik juga bisa menjadi pisau yang mengorek luka lama hingga kembali berdarah."
Aldo tersenyum, kali ini lebih tulus. "Tapi malam ini aku sedikit lega. Setidaknya... Aku tahu Aku tidak sendirian merasakan ini."
Gadis itu mengangguk pelan, senyum tipis kembali menghiasi bibirnya. "Aku juga."
"Boleh aku tahu namamu?" tanya Aldo, ada harapan baru yang bersemi di hatinya yang layu.
"Ara," jawabnya. "Kamu?"
"Aldo."
"Ara," gumam Aldo, seolah mencicipi setiap huruf dari nama itu. "Senang bisa bertemu denganmu, Ara."
"Sama-sama, Aldo. Terima kasih sudah berani menyapa," ucap Ara, matanya kini memancarkan binar yang berbeda, lebih hidup.
Mereka terdiam lagi. Bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang nyaman, dipenuhi pemahaman tak terucap.
"Boleh Aku... meminta kontakmu?" tanya Aldo akhirnya, memberanikan diri.
Ara tersenyum, lalu mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. Mereka bertukar nomor. Singkat, tanpa janji muluk, hanya sebuah kemungkinan.
"Aku harus pulang," kata Ara setelah beberapa saat. "Tapi... Aku sungguh senang kita bertemu."
"Aku juga, Ara," jawab Aldo, merasakan kehangatan yang lama tak ia rasakan menjalar di dadanya.
Sebelum berbalik pergi, Ara menoleh sekali lagi, senyumnya kini lebih tegar. "Mungkin... luka kita memang belum sembuh. Tapi siapa tahu, dengan berbagi secuil cerita, bebannya jadi tak terlalu menyesakkan lagi."
Aldo mengangguk, membiarkan kata-kata itu meresap. Ia memandang Ara berjalan menjauh, siluetnya perlahan ditelan keramaian kendaraan dan orang-orang yang bergegas pulang.
Ia masih berdiri di sana, terpaku, lama setelah Ara menghilang. Panggilan Dimas dan Yudha dari kejauhan terdengar sayup-sayup. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam dua minggu, beban tak kasat mata yang menghimpit dadanya terasa sedikit terangkat.
Di layar ponselnya, sebuah nama baru bersinar lembut: Ara. Dan untuk pertama kalinya sejak Rena menghancurkan dunianya, Aldo merasakan keinginan tulus untuk memulai percakapan, untuk mengirim sebuah pesan. Kadang, akhir dari sebuah melodi sedih, adalah awal dari sebuah simfoni yang baru.