Masukan nama pengguna
Usman bangun dengan mata pedih, ingin digapainya itu mimpi, tangisan-tangisan kedamaian tapi ia tidak mampu. Sekali lagi ia berkata “Ah, itu hanya mimpi”.
Menunggu, menatap jauh ke arah jendela, cahaya pagi yang cerah dan tidak menyilaukan, biru. Mimpi itu seakan menarik Usman untuk pergi bersamanya, menangis penuh kedamaian. Ia harus bangun menemui hari ini, mimpi.
“Ah itu hanya mimpi. Hidup ya hidup, tetap seperti ini, penuh kekecewaan atas semuanya, hingga para ibu-ibu lari ke telenovela”, begitu ucap Usman membatin.
“Kalau kita menonton sinetron, ceritanya hanya itu-itu saja. Pasti kita sudah tahu akhirnya”. Begitu kata salah seorang ibu yang kecewa, pada Usman suatu sore.
“Setelah dipikir-pikir benar juga, apa yang bisa dibanggakan jadi seorang Indonesia ? Negara militer ini. Dulu ketika Sekolah Dasar, aku begitu bangga menonton film-film perjuangan melawan Belanda dan Imperialis lainnya, para pejuang tak kenal menyerah menghadang tank-tank kolonial padahal mereka hanya bermodal senjata rampasan”, Begitu batin Usman lagi.
“Sekarang? Rasa kebanggaan itu telah hilang. Entahlah, mungkin ini karena pengaruh sedikit perubahan yang terjadi di negeri ini yang sekarang belum berubah sepenuhnya, sehingga chauvinisme itu perlahan hilang atau karena perubahan wacana yang kuterima lewat media-media dan sikap orang-orang yang kutemui, hampir semuanya kecewa dengan bangsa ini”, Usman membatin sembari memandangi jendela kamarnya.
“Kita dibodohi bangsa asing” atau “Buat apa bicara politik Indonesia, bisa sakit gigi dibuatnya”. Begitu perkataan orang-orang yang sudah jenuh akan semua ini, yang terdengar oleh Usman. Bagi mereka, semua yang terjadi ini hanya sandiwara, yang sudah diatur sebelumnya. Begitu juga,perebutan di mana-mana, perkelahian antar manusia yang (katanya) manusiawi, semua sudah direkayasa, sehingga seolah terlihat seperti itu.
***
“Bagaimana kabarnya Jang ? baik-baik sajakah ?”. Sapa Usman pada seorang laki-laki yang ditemuinya siang itu. Dengan celana penuh tambalan, kumuh dan wajah peot akibat usianya yang sudah semakin menua. Kata orang-orang dia gila tapi sejujurnya ia bisa nyambung ketika bicara dengan Usman, walaupun kadang-kadang tidak. Bagi Usman, yang penting dia tidak mengganggu, tidak melukai sesama manusia dan oleh karena itu, Usman menyebutnya “Orang Waras”.
Ujang, begitu namanya, hanya tertawa aneh, ketika Usman menyapanya, celananya yang melorot sehingga memperlihatkan apa yang seharusnya disembunyikan oleh manusia normal. Ia berkata kemudian, setelah membetulkan celana jeans belel yang melapisi celana pendek coklat terbuka ritsleting dan celana yang terbuka kancingnya, yang dipergunakannya untuk menutupi bagian rahasianya.
“Mau kemana kau? Minta rokoknya, punya rokok, tidak?”. Ucap Ujang bertanya pada Usman.
Kebetulan Usman sedang tidak ada rokok, jadi dijanjikannya kepada Ujang untuk memberinya sebungkus rokok sekembalinya Usman dari pasar. Lama Usman bercakap-cakap dengan Ujang di pinggir jalan kecil dekat jalan raya itu. Mereka duduk di atas sebuah sisi jalan yang terbuat dari semen yang mengeras. Memang Ujang agak kurang serius dibanding orang normal, lebih banyak tertawa tidak pada tempatnya dengan refleks dan daya tangkap yang menurun seiring dengan usia yang sudah semakin tua. Usman tidak tahu pasti, berapa usia Ujang menurut angka tapi jika ia lihat dari tampilan luarnya yang mirip kakek-kakek dengan gigi yang sudah ompong, Usman menduga paling kurang ia seangkatan dengan ayahnya kalau tidak neneknya, yang jelas lebih tua dari Usman.
Walaupun begitu Ujang tidak minta dituakan. Tidak minta dipanggil abang, mas atau uda –panggilan untuk yang lebih tua- apa saja orang memanggilnya maka ia akan tersenyum ramah pada orang itu.
Sepintas ia mirip Gandhi kalau rambutnya botak dan berkain putih serta berkulit lebih hitam sedikit maka ia akan mirip seratus persen. Tapi sebuah perkataannya tiba-tiba pada Usman agak mengejutkan dirinya.
“Orang-orang kaya selalu membuat sengsara. Dengan pedang kita bisa menyudahi kesengsaraan yang dibuatnya. Tidak ada yang baik yang dibuat oleh orang kaya pada orang miskin”. Katanya pelan setelah agak lama kami bercakap-cakap.
Mendengar itu Usman agak bergidik dibuatnya. Terbayang olehnya, Ujang menggenggam pedang tajam meyembelih orang-orang kaya.
“Orang-orang kaya seharusnya dipotong lehernya”. Katanya dengan wajah serius.
Mendengar itu Usman coba mengalihkan pembicaraan kehal-hal yang lain, hingga kemudian Ujang bisa tersenyum aneh dan polos lagi hingga rasa takut Usman akan kata-katanya mulai hilang.
Usman pamit untuk pergi ke arah terminal dekat pasar. Matahari bersinar terik menyilaukan pada siang hari yang kering ini.
***
Keesokan paginya, sosok itu kembali mendatangi Usman dalam mimpi tadi malam, dengan wajah manis dan garang. Mencoba membujuk, merayu-rayu Usman untuk pergi. Pergi memasuki lorong-lorong gelap panas, penuh api menyala-nyala garang.
Usman menggenjot sepedanya menembus angin dingin pagi dan bukit serta jurang-jurang curam, dengan mata merah setengah mengantuk.
Pagi bagi Usman, adalah suatu hal yang indah dengan kabut-kabut dingin yang apabila menerpa wajah maka akan terasa segar serasa terkena uap pembersih. Tapi, Usman juga pernah mengalami suatu masa, ketika pagi berubah menjadi kejam dan tidak berperikemanusiaan ketika matahari yang menyilaukan itu datang dan bertahta sampai senja di muka bumi ini.
Usman menjerit lelah di depan besi hitam melengkung. Kembali menghadapi pagi yang mencengangkan. Ia kemudian menatap kosong ke arah langit biru abu-abu, serasa hanya tubuhnya yang hidup sementara jiwa pergi entah ke mana. Melayang terus ke awan, menari.
Ia kemudian tersadar di atas lantai beton yang dingin dengan teriakan dan pekikan histeris seorang musisi legendaris. Usman tidak puas dengan keadaan terbangun tapi jiwa masih tidur.
Hidup bagi Usman, merupakan kehampaan tanpa ujung, sebuah perjalanan di atas padang pasir putih, dan manusia tidak tahu kapan akan berakhir semua kelelahan dan keringat yang terus mengalir ini. Tidak ada yang tahu apa atau siapa yang akan mengakhirinya, entahlah.
Masa lalunya yang kelam, dan masa depannya yang kemungkinan buram, membuat Usman saat itu patah arang. Mungkin kalau tidak ada motivasi dari keluarganya, ayahnya, ibunya, dan neneknya, ia tidak akan melanjutkan hidupnya.
Sebuah pilihan berat dilakukannya dengan kembali ke Jogja, setelah hampir setahun tinggal di Kampuang, berteman dengan Ujang yang berbeda pola pikir dan gaya hidupnya dari manusia pada umumnya.
Linangan air mata neneknya melepas kepergian Usman, pada suatu pagi yang terik. Mungkin beliau tahu bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Usman.
***
Duapuluh dua tahun kemudian, Usman terduduk memandang jendela rumahnya. Hari sudah hampir senja. Mendung menggantung, padahal sudah musim kemarau. Ujang sudah lama meninggal, entah kapan, Usman tidak begitu tahu pasti, yang jelas dari Abu Bakar, ia mendapat cerita bahwa Ujang tiba-tiba saja meninggal, tanpa sakit penyerta apa pun. Begiru juga neneknya dan ayahnya, yang telah berpulang beberapa tahun yang lalu. Usman berdoa, semoga di alam berikutnya, mereka semua bahagia dan tidak kurang suatu apa.
Yogyakarta, Suatu Kali