Masukan nama pengguna
Hidup di dunia yang modern untuk orang sepertiku tidaklah mudah, mengapa? Pertama-tama, mari berkenalan denganku.
Namaku adalah Shafi, aku berumur 15 tahun, hobiku ini yang membuat hidupku susah di dunia modern sekarang, apalagi dengan kondisi beberapa masyarakat dan negara yang tidak mendukung hobi dan bakatku. Jika kalian menebak hobiku adalah menggambar. Ya, kalian sangatlah benar.
Saingan terbesarku adalah Artificial Intelligence atau orang-orang menyebutnya sebagai AI, mengapa hal itu menjadi saingan terbesarku? Ah lebih tepatnya saingan semua seniman baik tradisional atau digital. Tentu saja karena AI merugikan beberapa orang seperti kami.
Ah cukup basa-basinya, aku ingin bercerita tentang kehidupanku yang dikelilingi oleh individu pendukung AI.
Siang hari, aku pergi bersekolah, di tasku ada buku pelajaran, kotak pensil dan jangan lupakan buku sketsa kesayanganku. Siapa tahu aku akan kebosanan saat sedang istirahat nanti. Untuk jaga-jaga saja.
Sesampainya di sekolah, seperti biasa, aku akan disambut teman terdekatku, lalu memasuki kelas bersama.
"Eh Lai, tugas kemarin udah kamu kerjain belum?" tanyaku sembari mengeluarkan buku tulis juga buku sketsaku. Temanku yang bernama Laila tersebut hanya mengangguk, lalu dia melihat buku sketsaku dan mengambilnya.
"Wuih, kamu gambar ini semua sendiri? Lucu lho, bagus-bagus," pujinya, tentu saja aku tersipu, tapi kata-kata selanjutnya membuatku sedih. "Kenapa gak pake AI aja? Lebih mengurangi tenaga."
"AI? Kupikir itu hanya untuk menulis atau buat chatbot? Ada yang bisa nge-generate gambar juga ya?" tanyaku berpura-pura tidak tahu, aku hanya ingin mendengarkan pendapat Laila tentang karya AI.
"Ya bisa dong, malah lebih bagus lagi. Kita cuman butuh nulis prompt, terus jadi deh gambarnya," Laila menjelaskan sambil mencoret-coret di buku sketsaku, tanpa izin, ya itu sudah biasa.
"Benarkah? Memangnya bisa sesuai dengan yang kita mau?" tanyaku lagi, karena jujur saja, beberapa kali aku mencoba menciptakan gambar dengan kepintaran buatan ini. Aku sangat tidak puas.
"Ya tergantung bagaimana kamu mengetik promptnya sih... yang jelas gambar AI ini bagus deh, kalau kubandingkan dengan seniman-seniman manusia lainnya," ujar Laila, menggeser buku gambarku ke arahku lagi. "Ada apa? Jangan bilang kamu tidak pernah memakai AI."
Suka sekali dia ini menyimpulkan hal yang tidak-tidak. Pikirku, ya mau bagaimana lagi, dia pikir aku tidak punya sosial media dan hal-hal seperti itu. Dan satu lagi, apakah dia baru saja menyebut karya AI lebih bagus daripada karya seniman manusia lainnya?
Ugh, itu sangat melukai harga diriku yang juga seorang seniman, walau karyaku tak sebagus milik orang. Setidaknya karya-karyaku adalah original karya tanganku.
Tapi aku tau menjawab perkataan Laila akan memperpanjang masalah, karena dapat dipastikan Laila akan menceritakan seluk-beluk kehebatan AI yang menurutku biasa saja.
"Yasudah, sebentar lagi guru masuk, ayo siap-siap," finalku sambil mengobok-obok kotak pensilku, mencari pulpen favoritku untuk menulis. Dan Laila juga bersiap untuk menyiapkan buku dan pulpen.
Baiklah, selama pembelajaran ini suasana hatiku sudah tak nyaman karena terus terpikirkan kata-kata Laila.
Sepulang sekolah, aku langsung pergi ke kamarku, menutup pintunya lalu menjatuhkan diri ke kasur. Alisku bertaut dalam sembari aku mengingat-ingat tujuanku berada di kamar ini.
"Tadi mau ngapain ya?" gumamku, dan setelah aku ingat, aku langsung mengambil ponselku dari kantong seragam, dan membuka aplikasi yang kuandalkan dalam mencari informasi tentang apapun yang ada di dunia.
Mencari-cari tahu aplikasi mana yang dapat membuat gambar AI paling nyata dan bagus, akhirnya aku menemukan lamannya, gratis juga. Aku mulai berpikir mungkin Laila benar, maksudku, kebanyakan seniman menjual karya mereka dengan harga tinggi.
Jadi aku mencoba mengetikkan prompt yang benar dan detail sesuai dengan yang kuharapkan. Mengetuk tombol 'generate', dengan sabar aku menunggu hasil AI yang katanya bagus ini selesai. Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya keluar juga hasilnya.
Jujur saja, melihat karya AI yang hampir sempurna ini membuatku merinding. Gambarnya memang terlihat kurang dan tidak sesuai ekspetasi, tetapi detail dari gambar tersebut sangatlah... manusia dan nyata. Saking terlihat nyata dari gambar tersebut, aku menjadi ketakutan, dan perasaan lainnya yang membuatku merasaa campur aduk.
Langsung saja kumatikan ponselku, kulempar jauh-jauh dari tempatku berbaring. Menghela nafas panjang, aku mengusap wajahku dengan kasar, lalu bangkit untuk meraih sketchbookku yang terletak di tas di kursi.
"Shafi harus latihan banyak-banyak, ayolah Shafi," gerutuku sambil membuka halaman-halaman buku gambarku yang mulai penuh dengan coretan-coretan dan hasil karya tanganku sendiri. "Pokoknya, aku tidak rela karya hasil susah payahku dapat dikalahkan dengan kepintaran buatan."
Dan ya, pada akhirnya aku meneruskan untuk latihan menggambar. Agar aku bisa mengalahkan karya kepintaran buatan!
Hari demi hari dan minggu demi minggu berlalu. Jujur saja, perasaan tidak tenang selalu mengahantuiku, aku selalu merasa gelisah dan juga tidak fokus kepada hal yang sedang kulakukan. Saat di tengah-tengah pelajaran aku selalu kesulitan untuk fokus, pikiranku tetap saja kembali untuk mengumpulkan inspirasi-inspirasi juga bahan untuk latihan menggambar nanti.
Nilaiku anjlok, tapi aku sudah tidak peduli, biarlah nilaiku anjlok, aku butuh memperbaiki sesuatu yang kurang.
Laila yang menyadari perubahan sikapku akhirnya memutuskan untuk berbicara padaku. Laila sudah sangat merasa ganjal pada sikapku sepertinya.
"Shafi! Kamu ini kenapa?" tegur Laila yang sedang melihatku menunduk untuk menggambar di bukuku. Mengerutkan kening dalam-dalam, Laila memperhatikan setiap goresan pensil yang kubuat, memperhatikan bagaimana tanganku bergemetar, dan beberapa bagian jariku mulai membengkak karena terlalu keras memegang pensil.
"Shafi, astaga, tanganmu kapalan tuh! Jangan sering-sering memegang pensil dengan kuat makanya," ujar Laila sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.
Aku tentunya kesal dengan kata-kata Laila yang menurutku itu menyakitkan. Aku hanya menghela napas dan menjawabnya dengan singkat. "Tidak apa, jangan khawatir, ini sudah biasa."
Tapi ya namanya Laila, dia sangatlah keras kepala. Jadi Laila langsung merebut pensilku dari tanganku, lalu melemparnya ke sembarang arah. Aku tentu terkejut, baru saja aku hendak protes namun tindakan Laila menghentikanku.
"Lihat! Jari-jarimu sudah merah juga bengkak, kulitnya menebal juga! Shafi jangan memaksakan diri untuk terus berlatih menggambar, aku tau kamu pasti jarang menghabiskan waktu denganku karena itu kan?" Laila sedikit membentakku, murid-murid lain yang tersisa di kelas langsung menatap kami.
Aku terdiam, ternyata aku juga sadar kalau mungkin aku terlalu berlebihan, terlalu khawatir dan cemas bahwa aku akan digantikan. Tetapi tetap saja, akalku masih menolak untuk digantikan dengan kecerdasan buatan, walaupun itu hanyalah masalah sebuah lukisan.
"Terserahku, sekarang kembalikan pensilku, jangan banyak membuat drama," bisikku dengan tidak sabar, kakiku sudah bergetar di bawah meja dan tanganku tak berhenti bergerak.
Laila tidak mendengarkanku, dia hanya merotasikan mata lalu duduk di kursinya dan berucap dengan nada dingin. "Ambil saja sendiri."
Uh oh, dia terdengar sangat marah, Laila tak biasanya begini, jika dia marah suaranya akan tinggi dan dia akan merengek, bukannya malah diam dan sangat cuek seperti ini. Terserahlah, aku hanya butuh memikirkan urusanku sendiri, lagipula Laila tidak mempengaruhi apa-apa di kehidupanku.
Sekolah berlanjut begitu saja, tanpa ada yang memulai pembicaraan antara aku dan Laila, bahkan setelah aku pulang sekolah, tidak ada lagi salam perpisahan dari Laila dan pelukan usil yang kuberikan.
Hah... itu bukan saatnya untuk memikirkan hal itu, aku punya hal lain yang harus kuurus di rumah.
Sesampainya rumah, aku membuka laptopku, sekarang aku akan mulai latihan menggambar digital, karena menurutku lukisan dan gambaran tradisionalku sudah cukup. Setidaknya cukup untuk anak umur 15 tahun sepertiku.
Sebelum membuka aplikasi menggambar, aku membuka aplikasi pesan, melihat-lihat status teman-teman dan keluargaku. Rata-rata temanku juga seorang seniman sepertiku, hanya beberapa saja yang bukan, salah satunya Laila.
Saat asik melihat-lihat status kerabatku, aku terdiam, menyaksikan status salah satu keluargaku menggunakan gambar AI, jujur saja ada apa dengan orang ini? Apakah dia tidak tau bahwa salah satu dari keluarganya memiliki bakat menggambar?
Ah aku makin frustrasi dibuatnya, langsung saja aku membuka aplikasi menggambar, dan mulai mencoret-coret di kanvas kosong.
Terlalu asyik dan larut dalam pekerjaan, aku tidak menyadari dari tadi ada seseorang melihatku dari pintu kamarku. Aku membalikkan wajah ke arah pintu dengan ekspresi terkejut dan ingin marah karena sangat terkejut. Tapi amarahku langsung reda setelah menyadari itu adalah ibuku.
"Shafi... bunda dengar nilai Shafi di sekolah menurun, mau jelasin kenapa?" tanya bunda dengan lembut, menurutku, bunda adalah tempat terbaik untuk bercerita, karena bunda sangat paham denganku, bunda juga memiliki hobi yang sama denganku, yaitu melukis dan menggambar.
"Jadi bunda... itu... Shafi..." ucapku tergagap, aku sangat bingung bagaimana menjelaskannya ke bunda, dan kuharap bunda akan paham dengan ucapanku walau aku agak berbelit menjelaskannya.
"Itu, bunda tau AI kan? Nah Shafi liat banyak teman-teman dan keluarga kita yang masih memakai AI, padahal kan kita ada, mereka kan bisa aja minta tolong ke kita dan bayar," keluhku sambil menaruh pulpen khusus menggambar digital di meja.
Bunda tersenyum, lalu bersandar di kusen pintu sambil melirik sketsaku yang ada di layar laptop. "Itu Shafi yang gambar?"
Aku hanya mengangguk, lalu bunda tersenyum dan menggusak rambutku dengan lembut.
"Shafi, bunda tau kamu pasti kesulitan menerima faktanya bahwa AI lebih bagus daripada karya manusia. Bukannya bunda bilang AI itu yang terbaik, cuman kadang kita perlu ngalah di suatu kondisi," nasehat bunda, lalu mengambil buku sketsaku dan melihat-lihat halaman demi halaman yang sudah penuh gambaran.
"AI itu gak sepenuhnya sampah, tapi memang mereka bisa mengamcam karir kita sebagai seniman komisi. Lagian, dengan kehadiran kepintaran buatan kita dapat sisi positifnya lho! Coba lihat dari halaman pertama ke halaman berikut-berikutnya," ucap bunda sambil menyodorkanku buku sketsa milikku yang sudah hampir lepas-lepas.
Aku melihat karya-karyaku sendiri, memang benar halaman-halaman awal di buku ini membuatku bergidik geli karena gambaranku yang aneh, namun semakin kubuka dan kubuka, gambaranku meningkat, semakin bagus dan detail. Aku sangat senang tentunya.
"Tapi tetap aja bun, nanti kalau misalnya mau cari kerja gimana?" keluhku lagi sambil menaruh buku sketsaku ke meja.
Bunda tersenyum, lalu mendekatiku dan mengambil alih laptopnya, membuka suatu aplikasi yang mungkin bisa kubuat untuk menaruh harapan.
"Kalau Shafi memang khawatir gak bisa nyari kerja karena tersaingi AI, coba deh buka ini, terus jual karya-karya Shafi di sini. InsyaAllah ada yang mau beli, biasanya orang luar negeri yang anti AI pasti ngelirik karya-karya simple tapi buatan tangan manusia buat dibeli, kok."
Ah, bunda memang yang terbaik. Aku pun mulai melihat-lihat laman di mana orang-orang sepertiku menjual karyanya, dengan harga yang ditentukan pembeli-pembelinya. Dan kabar baiknya, jika orang itu adalah orang luar negeri, dan dibayar pakai dolar... wah! Aku langsung termotivasi!
Aku jadi teringat aku tadi sempat membuat Laila sangat marah, aku malu juga menyesal, namun kurasa aku tak sepenuhnya salah! Aku hanyalah manusia yang memiliki perasaan.
"Ah iya, terimakasih bunda, bunda memang yang terbaik!" ucapku dengan senyuman lebar, lalu terkekeh dan mulai memilah-milah karya yang berpotensi memiliki banyak pembeli.
Pokoknya, besok aku akan meminta maaf pada Laila karena sudah membuatnya marah.
Keesokan harinya, setelah aku sampai di sekolah, aku menemukan Laila sudah di tempat duduknya, mengobrol dengan teman-teman yang lain.
Aku tau meminta maaf pada Laila seperti meminta maaf pada anak kecil. Susah dan harus diberikan sesuatu dulu.
Seperti biasa, aku duduk di tempat dudukku yang bersebelahan dengan bangku Laila, menunggunya selesai berbicara dengan teman-temannya.
Hampir 4 menit aku menunggu, melamun dan mengukir meja kayu di depanku dengan jarum. Laila akhirnya selesai berbicara dengan temannya, wajah masih dingin dan cuek, membuatku agak kesal.
"Jadi, Laila, aku mau minta soal kemarin," ujarku sambil menggeser kursiku mendekat. Laila sempat memberiku tatapan tajam, tapi aku tidak akan goyah.
"Maaf ya kemarin aku gak banyak bicara sama kamu, jujur aku nyesal, maaf ya Laila cantik, baik hati, rajin menabung dan tidak sombong? Please..." pintaku sambil agak mendekat padanya.
Dan di luar dugaanku, Laila mengangguk dan menyetujuinya begitu saja! Memaafkanku tanpa persyaratan di luar nalar yang dulu sering dia lontarkan.
"Iya aku maafin, asal jangan cuekin aku lagi, kasihan aku, gak punya teman," ujarnya dengan cemberut.
Aku tertawa melihat wajah cemberut Laila yang dibuat-buat, lalu aku mengangguk dan tersenyum, menepuk punggung Laila dengan lembut. "Ya, ya, aku janji, eh, Insya Allah deh, hehe."
Dan begitulah kisahku saat menghadapi sesuatu yang menyerupai manusia sempurna namun tidak terlalu sempurna, orang bilang itu adalah salah satu efek Uncanny Valley.