Masukan nama pengguna
Malam itu, hujan turun tanpa suara. Seolah langit sedang menangis perlahan agar tak ada yang tahu. Cahaya lampu jalan memantul di genangan air, membentuk kilau yang menggigilkan. Di bawah halte tua yang catnya mulai mengelupas, seorang wanita berdiri, wajahnya tersembunyi di balik payung hitam besar. Namanya Lira. Ia menunggu, seperti yang telah dilakukannya selama lima tahun terakhir—di halte yang sama, pada tanggal dan jam yang sama, setiap tahun.
Di tangannya, sebuah kotak kecil terbungkus kertas cokelat dan diikat tali rami. Tak ada nama, tak ada catatan. Hanya sebuah kotak kecil yang selalu ia bawa setiap kali menunggu di sana.
Orang-orang yang melewati halte itu sudah mengenalnya. Mereka menyebutnya “Perempuan Halte”. Bukan karena dia gila atau meminta-minta, tapi karena kesetiaannya yang aneh. Ia akan datang saat senja mulai turun, berdiri diam dengan pandangan menerobos jalanan, lalu pergi tepat tengah malam.
Tahun ini tidak berbeda. Namun ada yang berbeda di hati Lira.
Ia tak lagi sekukuh dulu. Usia, penantian, dan kenyataan yang terus menamparnya mulai merapuhkan keyakinan. Tapi tetap, ia datang. Karena ada janji. Bukan janji yang diucapkan secara langsung, tapi janji yang tertulis di secarik kertas, lima tahun lalu, di hari yang sama.
“Kau akan datang, kan?” tanya Lira, lima tahun lalu, di bandara, matanya sembab.
“Aku akan kembali. Tunggu aku di sana, di halte itu. Lima tahun dari sekarang. Tanggal dua puluh empat Mei, pukul delapan malam. Jangan terlambat,” kata Rafka. Dan pergi.
Rafka, lelaki dengan mata seperti rembulan. Tak pernah memberinya kepastian selain janji itu. Tak pernah memberinya pelukan selain tatapan terakhir di balik kaca ruang tunggu. Tapi Lira yakin, ada yang lebih kuat dari kata cinta yang tak sempat diucapkan.
Kini, lima tahun kemudian, halte itu menjadi tempat sakral baginya. Waktu seakan berhenti tiap kali ia berdiri di sana. Ia bisa mendengar ulang percakapan terakhir mereka, bisa membaui kembali parfum yang dipakai Rafka saat itu—maskulin, hangat, dan samar-samar menyakitkan.
Jam tangannya berdetik. Pukul 20.00 tepat.
Tidak ada yang datang.
Ia berdiri lebih tegak. Menyimpan harapan di bawah payung dan menahan dingin yang menusuk tulang.
Hujan turun makin deras. Angin membawa aroma tanah basah dan kenangan yang mulai menyesakkan. Mobil lalu-lalang, sesekali ada yang berhenti dan menawarkan tumpangan, tapi Lira hanya menggeleng. Tidak. Ia tidak menunggu siapa pun, kecuali Rafka.
Pukul 21.30.
Masih tak ada tanda-tanda.
Perasaan waswas menyelinap. Bagaimana jika Rafka lupa? Bagaimana jika ia tidak berniat kembali? Atau, bagaimana jika ia telah tiada?
Tiba-tiba, Lira merasa sangat bodoh. Lima tahun menunggu seseorang yang hanya meninggalkan janji sebaris. Tanpa kabar. Tanpa surat. Tanpa usaha mencarinya.
Tapi sebelum rasa kecewa itu menjadi dendam, ia memejamkan mata dan memeluk kotak cokelat itu.
“Kau harus percaya. Kau harus tetap percaya,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Ketika jarum jam mendekati pukul sebelas, langkah seseorang terdengar dari kejauhan. Perlahan. Berat. Lira membuka mata, menoleh. Seorang pria tua, membawa koper kecil, mengenakan jas yang sudah usang, berjalan pelan menuju halte.
Bukan Rafka.
Lira menghela napas. Ia mengutuk hatinya yang mudah berharap.
Pria tua itu duduk, mengibas sisa hujan dari bahunya.
“Malam yang sepi, ya, Nak?” katanya ramah.
Lira hanya mengangguk.
“Kau menunggu seseorang?”
“Ya,” jawab Lira tanpa menoleh.
“Orang penting?”
“Yang paling penting.”
Pria tua itu diam sebentar, lalu tertawa kecil.
“Ah, penantian. Aku pernah tahu rasanya. Istriku menungguku pulang perang selama lima tahun. Kupikir dia sudah menikah lagi, ternyata dia masih menyimpan foto terakhirku di bawah bantal.”
Lira akhirnya menoleh.
“Dan Anda kembali?”
“Ya. Karena aku berjanji.”
Lira menunduk. Hatinya bergemuruh.
“Kadang, yang membuat kita kuat bukan karena kita yakin. Tapi karena kita tak bisa mengabaikan sesuatu yang pernah membuat kita hidup,” lanjut pria tua itu.
Lira terdiam. Lalu mengangguk.
Setelah pria tua itu pergi, Lira berdiri lagi. Hujan sudah reda. Langit membersihkan dirinya.
Jam menunjukkan pukul 23.50.
Sepuluh menit terakhir.
Ia mendekap kotak cokelat itu lebih erat. Satu kali lagi. Jika Rafka tidak datang malam ini, ia akan menyerah. Ia akan pulang, dan mencoba melupakan segalanya.
Angin malam berdesir pelan. Menyentuh pipinya yang basah.
Tepat pukul 23.59, sebuah mobil sedan tua berhenti di seberang jalan. Lampunya menyilaukan. Seorang pria keluar. Siluetnya tinggi. Rambutnya sedikit acak-acakan. Langkahnya cepat.
Lira tertegun.
“Lira?” suara itu memanggil.
Ia menoleh perlahan.
Dan menangis.
“Rafka?”
Pria itu tersenyum lelah. “Aku datang.”
Tubuh Lira limbung, seolah seluruh penantiannya tak lagi mampu ditahan oleh lututnya. Rafka berlari, memeluknya erat. Hujan yang tersisa jatuh kembali dari langit. Tapi kali ini, membawa kehangatan.
Pelukan itu berlangsung lama. Terlalu lama, seperti ingin menebus waktu yang hilang. Lira tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya merasakan denyut jantung Rafka yang masih sama. Ia tak peduli bahwa pria itu kini tampak lebih kurus, lebih tua, dan lelah. Yang penting, dia datang. Seperti janji yang pernah ia tulis.
"Aku takut kau tidak datang," bisik Lira di dada Rafka.
"Aku takut kau tak lagi menunggu," jawab Rafka.
Mereka sama-sama tertawa kecil. Keduanya tahu betapa besar rindu dan luka yang saling mereka pikul. Hujan kembali turun tipis, namun tak seorang pun bergerak menjauh.
"Maaf," kata Rafka lirih. "Lima tahun... bukan waktu yang pendek. Aku bukan sengaja tak memberimu kabar, tapi aku benar-benar—"
"Aku tahu," potong Lira. Ia menatap mata Rafka, penuh kejujuran. "Kalau aku tak percaya padamu, aku tak akan berdiri di sini malam ini."
Rafka menunduk. Ia terlihat menahan sesuatu. Lira bisa melihat sorot mata yang tak sepenuhnya bahagia. Ada beban yang belum terlepas. Lira merasakannya.
"Rafka... ada apa?"
Rafka menarik napas panjang. "Aku tidak bisa lama, Lira. Mobil itu akan menungguku hanya sampai pukul dua belas lewat lima. Aku harus kembali."
Lira mengernyit. "Kembali ke mana?"
"Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Tapi aku harus pergi malam ini juga. Aku hanya ingin memastikan kau masih di sini. Masih menunggu. Dan... aku ingin mengembalikan ini." Ia mengeluarkan sebuah kalung dari sakunya, dengan liontin kecil berbentuk kunci.
Lira membelalak. Itu adalah kalung miliknya. Yang ia berikan pada Rafka lima tahun lalu sebagai tanda agar dia kembali.
"Kau menyimpannya?"
"Selalu. Bahkan saat aku... dipenjara."
Lira terhenyak. "Apa?"
Rafka mengangguk pelan. "Aku tidak pernah meninggalkan negara ini, Lira. Aku ditangkap sehari setelah meninggalkanmu di bandara. Ada fitnah. Uang perusahaan tempat aku kerja dicuri dan semua bukti mengarah padaku. Aku tak sempat menjelaskan. Tak ada yang mau percaya. Aku dihukum empat tahun. Baru dua bulan lalu aku bebas. Dan aku butuh dua bulan untuk mencarimu, memastikan kau masih di kota ini. Tapi tak ada jejak. Aku hanya punya satu harapan—tanggal dan tempat yang sama, malam ini."
Lira tak bisa berkata-kata. Tenggorokannya tercekat.
"Aku ingin menjelaskan semuanya padamu. Tapi aku tak bisa tinggal lama. Aku harus pergi ke sebuah tempat yang akan membantuku membersihkan namaku. Tapi mereka hanya menungguku malam ini. Jika aku tak datang, aku kehilangan segalanya."
Lira menggenggam tangan Rafka. "Jadi, ini hanya pertemuan sebentar?"
Rafka menatapnya penuh harap. "Tidak. Ini awal dari janji yang baru. Kali ini, aku akan kembali dengan benar. Bukan sebagai orang yang difitnah, tapi sebagai pria yang layak mendampingimu."
Lira menahan air matanya yang sudah jatuh lebih dulu. "Kalau kau pergi lagi... aku harus menunggumu berapa lama?"
"Tak lama. Mungkin satu tahun. Mungkin kurang. Tapi aku janji akan memberi kabar. Aku tak akan diam seperti kemarin."
Mereka berdiri saling berhadapan. Mobil di seberang mulai membunyikan klakson pendek, memberi tanda.
"Aku punya sesuatu untukmu," kata Lira cepat. Ia memberikan kotak cokelat kecil yang sedari tadi ia genggam.
"Apa ini?"
"Isi dari penantian. Tapi bukalah nanti. Saat kau benar-benar merasa sendirian."
Rafka menggenggam kotak itu, lalu menatap wajah Lira seolah ingin mengukirnya dalam ingatan. "Tunggu aku di sana, Lira. Tapi kali ini, tak akan lama."
Ia mengecup dahi Lira. Lalu berbalik dan berjalan menjauh. Lira menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik kaca mobil.
Dan seperti itu... Rafka pergi. Lagi.
Tapi kali ini, Lira tidak menangis.
Ia tahu, penantian bukan lagi luka. Tapi keyakinan.
Hari-hari berlalu, Lira menjalani hidupnya seperti biasa. Ia kembali bekerja di toko buku milik sepupunya, menulis puisi di malam hari, dan sesekali duduk di halte—bukan karena menunggu, tapi mengenang.
Rafka mengirim surat. Bukan elektronik. Tapi surat fisik, ditulis tangan, dikirim lewat pos. Setiap bulan. Selalu tiba tanggal dua puluh empat. Isinya kadang hanya satu kalimat. Kadang puisi. Kadang potongan mimpi.
“Aku melihatmu di taman sore itu, mengenakan gaun putih, dan kau tersenyum. Aku tahu, itu masa depan.”
“Satu bulan lagi. Aku akan pulang. Tidak untuk pergi lagi.”
Lira menyimpan semua surat itu dalam sebuah kotak kayu. Ia membaca ulang tiap malam. Rindu tak lagi menyakitkan. Ia berubah jadi api kecil yang menjaga hatinya tetap hangat.
Hingga akhirnya... surat terakhir datang.
Bukan tulisan tangan Rafka.
Tapi tulisan seorang wanita.
Kepada Lira,
Saya menulis surat ini atas permintaan Rafka. Dia mengalami kecelakaan di daerah perbatasan, saat dalam perjalanan pulang. Ia sempat sadar sebentar dan menyebut namamu. Dia memintaku menyampaikan bahwa dia tetap ingin kau menunggunya di halte itu. Tapi kali ini... bukan untuk bertemu. Tapi untuk mengucapkan selamat tinggal.
Dengan hormat,
Suster Amna, RS Pelita Harapan
Dunia Lira runtuh.
Ia tak menangis. Tidak langsung.
Ia hanya duduk diam, memandang surat itu, dan merasakan hening yang luar biasa.
Beberapa hari kemudian, tanggal dua puluh empat Mei, ia mengenakan gaun putih. Sama seperti yang ditulis dalam surat Rafka. Ia berdiri di halte tua, membawa kotak cokelat yang dulu ia berikan. Yang ternyata tak pernah dibuka.
Ia duduk di bangku yang dingin, dan menatap jalanan kosong.
“Aku di sini, Raf. Seperti janjiku.”
Langit mendung. Angin sejuk menyentuh pipinya. Lira membuka kotak kecil itu.
Isinya adalah sepucuk surat. Surat yang ia tulis lima tahun lalu. Tapi belum pernah dibaca oleh siapa pun. Ia menulisnya sebagai persiapan jika suatu saat ia tak sanggup lagi menunggu.
Dan hari ini, ia membaca suratnya sendiri.
"Kalau suatu hari aku menyerah, bukan karena aku berhenti mencintaimu, tapi karena aku tak sanggup lagi menanggung ketidakpastian. Tapi aku ingin kau tahu... aku tetap akan datang. Ke halte itu. Karena itu bukan tempat menunggu lagi. Tapi tempat kenangan. Tempat doa. Dan tempat kita tetap bersama, meski mungkin tak dalam wujud yang sama."
Lira menutup mata.
Dan tersenyum.
Waktu terus berjalan. Tahun-tahun yang semula dihitung dengan rindu, kini ditandai dengan doa. Setiap tanggal dua puluh empat, Lira datang ke halte itu. Duduk sebentar, menatap langit, lalu berjalan pulang. Kadang membawa bunga. Kadang membawa buku. Kadang hanya membawa diam yang damai.
Orang-orang mengira Lira aneh. Seorang wanita yang setiap bulan datang ke halte tua, duduk sendiri, lalu pergi tanpa bicara. Tapi tak ada yang tahu bahwa di sana, ia sedang berbicara pada masa lalu. Pada cinta yang tak pernah benar-benar pergi.
Lira tidak menikah. Ia tidak menutup hatinya untuk siapa pun, tapi tak pernah ada yang membuatnya merasa perlu membuka pintu. Ia hidup tenang, menulis puisi, menjadi editor lepas, dan mengajar anak-anak di panti baca. Ia tak merasa sepi. Ia hanya merasa penuh dengan kenangan.
Sampai suatu hari, tepat pada ulang tahunnya yang ke-39, ia menerima paket tanpa nama. Hanya bertuliskan:
Untuk Lira. Dari yang pernah kau tunggu.
Dengan tangan gemetar, ia membuka paket itu. Isinya sebuah buku puisi. Di sampulnya tertulis: “Tunggu Aku di Sana – Kumpulan Puisi Rafka S. untuk Lira A.”
Matanya membasah. Ia membuka halaman pertama. Di sana ada surat, ditulis dengan tangan yang goyah.
Lira,
Jika surat ini sampai padamu, maka aku telah menyelesaikan janji terakhirku. Buku ini kutulis selama aku berada dalam sunyi. Dalam luka. Dalam rindu yang memahat setiap malam.
Aku tahu aku tak akan kembali dalam bentuk yang kau harapkan. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak pernah mati di hatimu. Aku hidup di tiap kata yang kutulis untukmu. Dan buku ini... adalah caraku pulang.
Tunggu aku di sana, Lira. Tapi jangan menunggu dalam sedih. Tunggu aku dalam tawa, dalam cerita, dalam pagi yang wangi. Karena saat kau bahagia, aku sampai.
Rafka.
Lira menangis.
Bukan tangis kehilangan. Tapi tangis lega. Karena cinta yang dulu hanya hidup dalam tanya, kini telah mendapat akhir yang utuh.
Malam itu, ia duduk di halte. Dengan buku di tangan. Ia membacakan puisi-puisi itu, seperti sedang bercakap.
Seorang anak kecil duduk di sampingnya. Bocah laki-laki, dengan wajah ceria dan rambut agak ikal.
“Tante baca apa?” tanya si bocah.
“Puisi.”
“Dari siapa?”
“Dari seseorang yang pernah kucintai.”
Anak itu tersenyum. “Cinta itu lucu ya. Bisa bikin orang duduk diam berjam-jam kayak Tante.”
Lira terkekeh. “Iya, lucu. Dan dalam.”
Si anak mengangguk, lalu berlari kecil ke arah ibunya yang menunggu di seberang jalan. Lira memandang mereka. Hatinya hangat. Hidup memang terus berjalan, tapi cinta yang sejati tak pernah kehilangan jalannya.
Dua puluh tahun kemudian.
Sebuah halte tua masih berdiri di sudut jalan kecil. Kini sudah berlumut, catnya mengelupas, bangkunya berkarat. Tapi selalu bersih. Selalu ada bunga di bawahnya. Selalu ada satu buku yang ditinggalkan di bangku—Tunggu Aku di Sana.
Orang-orang menyebutnya Halte Cinta.
Setiap tahun, banyak pasangan datang ke sana. Duduk, membaca puisi, menulis surat, atau sekadar berfoto. Tapi di antara semua yang datang dan pergi, hanya satu nama yang terus disebut: Lira dan Rafka.
Mereka yang tidak sempat bertemu lagi dalam hidup, tapi bertemu dalam kisah yang tak lekang waktu.
Dan di sebuah batu kecil di bawah bangku halte itu, terukir:
“Karena cinta sejati tidak menuntut kepemilikan, hanya ketulusan untuk menunggu. Meski tak tahu akan datang kapan, atau dalam wujud apa.”