Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,766
Senja Dan Bulan Sabit (part 2)
Romantis


Senja dan Bulan Sabit – Part 2

“Karena kenangan yang tak selesai selalu mencari tempat untuk kembali.”


Senja itu, langit di atas kota masih merah-oranye seperti terbakar pelan. Cahaya matahari yang terakhir menyentuh gedung-gedung tua, membuat semuanya tampak seperti lukisan usang yang belum sempat selesai. Di balkon kecil rumahnya yang menghadap barat, Nayla duduk dengan secangkir teh yang hampir dingin. Matanya menatap jauh, ke arah tempat matahari perlahan tenggelam di antara deretan rumah tua.


Di kursi di seberangnya, tak ada siapa-siapa. Tapi Nayla seperti sedang bercakap dengan seseorang yang tak terlihat. Seseorang yang dulu pernah duduk di sana. Dengan senyum yang tak pernah Nayla lupa, dan suara yang selalu hangat ketika menyebut namanya.


Rafi.


Sudah hampir tiga tahun sejak Nayla kehilangan kabar dari Rafi. Bukan karena kematian. Bukan juga karena pertengkaran besar. Mereka hanya… diam. Seperti dua orang yang terlalu lelah menjelaskan perasaan yang tak pernah sama waktunya.


Dulu, ketika malam datang dan bulan sabit menggantung di langit, Nayla selalu mengirimkan pesan:


"Lihat ke atas. Bulan sabitnya cantik malam ini. Seperti janji yang belum selesai.”


Dan Rafi akan membalas:


"Aku sedang melihatnya juga. Mungkin kita tidak di tempat yang sama, tapi kita melihat cahaya yang sama, Nay.”


Itu cukup. Dulu. Sekarang hanya jadi potongan pesan yang Nayla baca ulang diam-diam.



---


Hari itu, langit senja seperti mengajak Nayla untuk berjalan. Entah kenapa langkahnya membawanya ke taman kecil di tengah kota. Taman tempat mereka dulu sering duduk diam-diam. Tempat pertama kali tangan Rafi menggenggam tangannya.


Di bangku paling pojok, ada anak kecil sedang duduk sambil menggambar. Nayla berhenti.


“Kamu gambar apa?” tanyanya.


Anak itu menoleh. “Bulan. Tapi belum penuh. Kayak bulan sabit,” jawabnya polos.


Nayla tersenyum.


“Kenapa suka bulan sabit?”


“Karena bulan sabit itu kayak janji. Belum utuh. Tapi pasti akan jadi bulat nanti, asal sabar nunggu.”


Jawaban itu membuat hati Nayla seperti diremas pelan. Anak sekecil itu bisa berkata sesuatu yang selama ini ia sendiri tak mampu ucapkan.


“Namamu siapa?” tanya Nayla.


“Reyhan. Tante sendiri?”


“Nayla.”


“Namanya bagus,” ujar anak itu sambil menatap langit.


“Terima kasih.”


Mereka duduk sebentar dalam diam. Langit makin merah. Udara mulai dingin. Tapi hati Nayla justru hangat. Seolah sore itu, semesta sedang menghiburnya lewat mulut seorang anak kecil.



Sesampainya di rumah, Nayla membuka kotak tua di sudut lemari. Di dalamnya ada kartu pos-kartu pos kecil yang dulu Rafi kirimkan. Ia mengoleksi semuanya. Bahkan yang hanya berisi satu kalimat:


"Aku melihatmu dalam senja yang lewat.”


Atau:


"Bulan sabit malam ini seperti senyummu waktu aku lupa bawa payung.”


Dunia mungkin menyebut itu klise. Tapi bagi Nayla, semua kata itu punya detak. Detak yang berbeda. Detak yang dulu menumbuhkan cinta tanpa suara.


Ia tak pernah benar-benar tahu mengapa Rafi berhenti mengirim. Tak ada kata putus. Tak ada kabar hilang. Hanya diam. Dan diam itu yang membunuh pelan-pelan keyakinannya.


Seminggu kemudian, Nayla kembali ke taman. Anak kecil itu tidak ada. Tapi di bangku tempat mereka duduk, ada kertas gambar yang terlipat rapi. Di dalamnya ada gambar bulan sabit dan senja. Di pojok kanan bawah tertulis:


"Untuk Tante Nayla. Semoga janji bulan sabitnya cepat jadi bulat."


Nayla nyaris menangis. Ia tidak tahu siapa anak itu sebenarnya. Tapi sore itu ia merasa ditemani oleh semesta yang sedang berusaha bicara dengan caranya sendiri.


Ia simpan gambar itu di buku puisinya. Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia menulis puisi lagi:


Senja memang tak pernah kembali

Tapi ia selalu menitipkan sisa warnanya pada langit

Seperti kamu, yang tak kembali

Tapi selalu ada dalam detak pelan di antara hujan dan kopi pagi





Malam itu langit bersih. Tak ada awan, hanya bulan sabit menggantung seolah tahu bahwa seseorang sedang menatapnya dengan mata lembab.


Nayla duduk di kursi balkon. Di tangannya, secangkir teh melati, dan di pangkuannya, sebuah buku puisi miliknya sendiri. Ia buka halaman pertama, lalu menyelipkan gambar Reyhan di sana.


Entah kenapa, sore itu terasa seperti pintu yang terbuka pelan. Seperti Rafi sedang mengintip dari celah waktu, ingin mengatakan sesuatu tapi belum berani.


Dan tepat saat jarum jam menunjuk pukul sembilan malam, ponsel Nayla bergetar.


Nomor tak dikenal.

Pesan masuk:


> “Aku tak tahu apakah kamu masih menatap bulan sabit malam ini. Tapi aku tahu, aku masih menyesal karena tak pernah menjelaskan apa yang membuatku berhenti.”




Hening. Jantung Nayla berdegup pelan namun keras. Ia membaca ulang pesan itu tiga kali. Tangannya gemetar.


Ia balas:


> “Rafi?”




Tiga menit. Tak ada balasan.


Lima menit.


Sepuluh.


Lalu akhirnya:


> “Ya. Tapi aku tak berharap dimaafkan. Aku hanya ingin kamu tahu: diamku dulu bukan karena aku berhenti mencintai. Tapi karena aku terlalu takut kamu pergi jika kamu tahu kenyataan.”



Nayla tak langsung membalas. Matanya panas. Dadanya sesak. Semua perasaan yang dulu ia bungkam muncul seperti ombak yang datang tanpa henti.


Lalu ia jawab:


> “Aku menunggu. Sampai tubuhku berhenti bertanya. Sampai malam tak lagi mencarimu. Tapi kamu tetap tinggal di antara senja dan bulan sabit. Jadi, kalau kamu benar-benar ingin bicara... temui aku. Jangan jadi bayangan lagi.”



Beberapa menit kemudian, pesan terakhir dari Rafi:


> “Besok. Jam lima sore. Di taman tempat pertama kali kita bertemu. Aku akan duduk menunggumu... di bawah pohon kamboja yang dulu.”




Nayla menatap langit. Bulan sabit belum bergerak. Tapi jiwanya, perlahan—bergerak.


---

Keesokan harinya, langit agak mendung. Tapi senja tetap menyelinap di sela-sela awan, memberikan warna oranye keemasan yang tak sempurna, tapi cukup hangat.


Nayla mengenakan gaun sederhana berwarna krim. Rambutnya ia biarkan terurai, dan langkahnya pelan menuju taman. Di tangannya, ia membawa puisi terakhir yang ia tulis tadi malam, di balik gambar Reyhan.


Saat ia tiba di taman, matanya langsung mencari ke sudut bangku di bawah pohon kamboja. Dan di sana... duduklah sosok lelaki yang membuat jantungnya berhenti sejenak.


Rafi.


Lebih kurus. Rambutnya mulai beruban di sisi. Tapi sorot matanya masih sama. Tatapan yang membuat Nayla merasa pulang.


Rafi berdiri. Tak banyak kata. Mereka hanya saling menatap.


“Sudah lama,” katanya pelan.


Nayla mengangguk. “Tiga tahun.”


“Dan kamu masih menyimpan senjanya.”


“Kamu masih jadi bagian dari langit itu, Raf.”


Hening. Daun kamboja gugur satu per satu.


“Aku... tak bisa bicara lama,” ujar Rafi. “Aku harus jujur.”


Nayla menatapnya.


“Aku sakit, Nay. Sudah lama. Dulu aku tahu aku tak punya banyak waktu. Dan aku pikir dengan menjauh, kamu akan lebih mudah melanjutkan hidup.”


Air mata Nayla jatuh. Tapi tak ada amarah. Hanya luka yang terungkap.


“Raf... itu bukan melindungi. Itu menghukum.”


“Aku tahu. Aku salah. Tapi aku di sini sekarang. Karena aku ingin pulang. Meski hanya sebentar.”


Nayla mendekat. Ia ulurkan kertas puisi di tangannya. Rafi membacanya, lalu tersenyum pahit.


“Puisi ini seperti aku.”


“Bukan,” kata Nayla. “Puisi ini seperti kita. Tak selesai, tapi abadi.”


Mereka duduk berdua di bawah pohon kamboja. Tak banyak kata. Tak ada janji. Tapi hati mereka akhirnya berbicara tanpa suara.


Matahari turun. Malam menyapa.


Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nayla dan Rafi menatap bulan sabit... bersama.



Tiga hari setelah pertemuan itu, hujan turun dengan derasnya di kota. Bukan hujan badai, hanya gerimis panjang yang tak juga reda, seperti tangisan langit yang pelan-pelan meresap ke dalam hati.


Nayla kembali ke taman. Kali ini sendiri.


Di tangannya, seikat bunga kamboja putih, dan secarik kertas kecil. Ia duduk di bangku yang sama, di bawah pohon yang sama, tempat ia dan Rafi terakhir kali saling menatap dalam diam yang penuh isi.


Kemarin malam, Rafi mengirim pesan terakhir.


> “Terima kasih sudah menungguku di dalam puisi. Aku pergi lebih tenang karena tahu kamu tetap menyimpan senja kita, Nay. Sampai nanti.”




Tak ada pesan lanjutan. Tak ada balasan. Hanya diam.


Dan pagi tadi, dari seorang teman lama Rafi, Nayla menerima kabar bahwa lelaki itu telah pergi. Diam-diam. Seperti biasanya. Tanpa keributan. Seperti senja yang lenyap perlahan di pelupuk mata.



---


Di bangku taman itu, Nayla menangis. Tapi tangisnya bukan luka yang menuntut. Hanya kesedihan yang tahu batas. Kesedihan yang menerima.


Ia meletakkan bunga dan kertas di bangku. Angin menerbangkan rambutnya pelan.


Isi kertas itu:


> *“Rafi,

Aku tak akan bertanya lagi kenapa kamu memilih pergi diam-diam.

Aku tahu, cinta tak selalu datang untuk dimiliki,

kadang hanya untuk dikenang.


Tapi kamu pernah menjadi senja paling hangat dalam hidupku.

Dan bulan sabit malam ini,

akan terus jadi tanda bahwa kita pernah saling menunggu.


Sampai nanti, Raf.

Di sisi langit yang berbeda.”*




Nayla bangkit. Ia tak menoleh lagi. Ia berjalan meninggalkan bangku itu, tapi tidak meninggalkan kenangannya. Ia akan menyimpannya, bukan sebagai luka, tapi sebagai cahaya kecil—seperti bulan sabit—yang tak pernah benar-benar hilang.


Langit mulai gelap. Tapi malam tidak menyeramkan.


Karena di suatu tempat, seseorang pernah mencintainya dengan cara yang begitu tenang, meskipun dalam diam.


Dan itu cukup.


TAMAT.




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)