Cerpen
Disukai
13
Dilihat
5,869
Senja Dan Bulan Sabit
Romantis


Langit sore itu menyala jingga keemasan, menumpahkan warna hangat ke seluruh penjuru desa. Daun-daun kelapa bergoyang pelan, seolah ikut menari menyambut kedatangan senja. Di tepi dermaga tua, seorang gadis duduk memeluk lutut, rambut hitamnya tergerai panjang, membingkai wajah pucat yang menatap kosong ke arah lautan.

Namanya Laila. Gadis dua puluh tahun yang sejak kecil menyukai dua hal: senja dan bulan sabit. Dua simbol yang menurutnya saling melengkapi, seperti cerita cinta yang tak pernah selesai ditulis. Setiap sore, ia akan duduk di sana, menunggu senja merekah dan bulan sabit perlahan menyembul dari balik langit biru tua.

“Masih mencari dia?” tanya sebuah suara berat dari belakang.

Laila menoleh pelan. Seorang lelaki tua berkain sarung dengan kopiah miring berdiri, membawa dua cangkir teh panas. Pak Yasin, penjaga surau sekaligus kakek angkat Laila sejak ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan kapal lima tahun lalu.

Laila tersenyum tipis. “Aku tak mencarinya, Kek. Aku cuma ingin dia tahu, aku masih di sini.”

Pak Yasin duduk di sampingnya, mengangsurkan satu cangkir teh. “Kau tahu, kadang orang yang kita tunggu tidak akan pernah kembali, tapi menunggu tetap terasa penting.”

Laila menyesap teh perlahan, matanya tetap terpaku ke arah ufuk barat. “Dia berjanji. Saat bulan sabit muncul di langit pertama setelah musim panen, dia akan kembali.”

Pak Yasin menarik napas dalam. “Itu sudah musim panen yang ketiga, Le.”

Laila mengangguk. “Tapi malam ini, bulan sabit akan muncul. Aku yakin... dia akan datang.”

Pak Yasin tak membantah. Ia tahu, tidak ada yang bisa menggoyahkan harapan gadis itu. Bahkan waktu pun tak cukup kuat memudarkannya.

Laila kembali menatap laut. Laut yang menyimpan jejak kepergian Fajar, lelaki yang menjanjikan akan kembali dengan membawa kehidupan baru dari kota. Fajar adalah pemuda miskin, namun matanya selalu bersinar seperti mentari pagi. Ia pergi diam-diam, menyisakan sepucuk surat dan kalimat yang tertulis dengan tangan gemetar: “Tunggu aku saat senja. Saat bulan sabit muncul, aku akan ada di hadapanmu.”

Dan sejak itu, Laila menjadi penjaga senja.

Malam turun perlahan, menggantikan senja yang telah padam. Bintang-bintang mulai berkelip malu-malu, sementara suara tonggeret dari pepohonan mulai nyaring terdengar. Di langit yang mulai kelam, sebuah lengkung putih muncul—bulan sabit. Tipis, namun jelas terlihat menggantung seperti pengingat akan janji.

Laila berdiri, menatap langit dengan tatapan penuh harap. Ia merapikan rambutnya, memeluk shawl tipis di pundaknya, dan menunggu.

Setiap malam seperti ini, imajinasinya menari. Ia membayangkan Fajar datang dari arah jalan setapak, membawa ransel lusuh, senyum lelah namun penuh kerinduan. Ia akan memanggil pelan, “Laila,” dan gadis itu akan menoleh dengan mata berkaca.

Namun malam tetap berjalan sunyi. Jalan setapak itu tetap kosong, tak ada suara langkah, tak ada suara sapaan.

“Sudah larut, Le,” Pak Yasin mendekat, membawa lampu petromaks kecil. “Kalau dia datang, besok pun kau bisa bertemu.”

Laila menggeleng pelan. “Aku ingin tunggu sedikit lagi. Mungkin dia hanya terlambat.”

Pak Yasin ingin berkata sesuatu, namun ia urungkan. Ada ketabahan di wajah Laila yang tak bisa diganggu. Ia hanya meninggalkan lampu di sisi gadis itu, lalu berjalan pelan ke surau.

Angin laut malam mulai menggigit kulit, namun Laila tak beranjak. Bulan sabit di atas sana masih setia, dan itu cukup untuk membuat hatinya bertahan.

Pagi datang tanpa kabar. Fajar menyingsing dengan langit yang merah muda keunguan, namun nama ‘Fajar’ yang dinantikan tak juga muncul.

Laila masih di dermaga, duduk dengan mata sembab. Kantuk telah datang dan pergi, namun ia tak tidur. Ia hanya memandangi lautan yang terus bergelombang, seperti hati yang tak pernah tenang.

Hari itu, desa kembali sibuk dengan rutinitas. Petani menyiapkan ladang untuk panen kedua, anak-anak berlarian ke sungai, dan ibu-ibu mengayun tampah berisi gabah. Namun di dermaga, Laila tetap menjadi lukisan senyap yang tak berubah.

Dari kejauhan, seorang pemuda tiba dengan sepeda motor. Ia berhenti di warung Mak Nah, bertanya sesuatu, lalu matanya tertumbuk ke arah dermaga.

Langkahnya berat saat mendekat. Rambutnya sudah tidak serapi dulu, tubuhnya lebih kurus, namun sorot matanya masih sama: menyimpan dunia yang sama dengan Laila.

“Laila…” ucapnya pelan.

Gadis itu terkejut. Ia menoleh cepat, dan matanya membesar. Di sana, sosok yang selama ini hanya ada di bayangan kini berdiri nyata.

“Fajar?” suaranya tercekat.

Pemuda itu mengangguk, langkahnya ragu. “Maaf aku terlambat.”

Laila bangkit, matanya tak bisa menahan air mata. Ia berjalan cepat, memukul dada Fajar pelan. “Tiga tahun, Jar. Tiga tahun!”

Fajar menunduk. “Aku salah. Aku terlalu sombong… Kupikir aku bisa kembali lebih cepat.”

Laila menangis di pelukannya. Di belakang mereka, bulan sabit masih tergantung lemah di langit pagi, seolah tahu janji itu akhirnya ditepati.

Pagi itu, desa kecil di pesisir terasa berbeda. Beberapa warga memperhatikan dari jauh saat Laila dan Fajar berjalan berdampingan menyusuri jalan setapak. Mereka tak bicara banyak, hanya sesekali saling menatap dan tersenyum dengan canggung, seperti dua jiwa yang harus belajar kembali menyatu setelah terlalu lama terpisah.

Mereka berhenti di bawah pohon ketapang besar, tempat biasa mereka mengukir mimpi saat masih remaja. Di batang pohon itu, nama mereka masih tertulis: L+F = bulan sabit + senja.

“Kau masih ingat?” tanya Fajar, menunjuk ukiran yang mulai pudar.

Laila menyentuhnya perlahan. “Aku datang ke sini setiap minggu. Aku pastikan ukiran ini tak hilang.”

Fajar tertunduk. “Aku pergi tanpa pamit, dan itu kesalahan terbesarku. Saat itu… aku terlalu malu menjadi orang yang tak punya apa-apa. Aku ingin kembali sebagai seseorang yang bisa membanggakanmu.”

Laila duduk di akar pohon. “Kau tak perlu jadi siapa-siapa untuk membuatku bangga, Fajar. Kau hanya perlu jadi dirimu sendiri… dan menepati janjimu.”

Fajar menarik napas panjang. “Aku bekerja di kota sebagai buruh pabrik. Sempat sakit, sempat diusir, sempat tidur di jalan. Tapi waktu melihat bulan sabit, aku selalu ingat janjiku. Itu yang membuatku bangkit lagi.”

Laila memandangnya. Mata mereka bertaut. “Lalu kenapa baru sekarang?”

Fajar menggigit bibir. “Karena baru kali ini aku punya cukup keberanian untuk pulang dengan tangan kosong. Tapi aku tahu, aku tak bisa lagi menunda.”

Laila tersenyum kecil. “Kau datang tepat saat bulan sabit muncul. Tepat seperti janjimu.”

Fajar mengangguk, matanya berkaca. “Aku pikir kau sudah melupakan aku.”

“Dan aku pikir kau sudah mati.”

Mereka tertawa pelan. Tawa getir yang membawa sisa-sisa luka, namun juga harapan.

Hari-hari berikutnya, Fajar menjadi topik hangat di warung kopi dan balai desa. Orang-orang bertanya ke mana dia pergi, mengapa baru kembali, dan apa rencananya sekarang. Fajar menjawab dengan sopan, tak banyak membual, hanya berkata bahwa ia ingin menetap dan memperbaiki hidup dari awal.

Pak Yasin memandang Fajar dari kejauhan, lalu memanggilnya ke serambi surau. “Kau sudah kembali. Bagus. Tapi kau tahu, tak cukup hanya datang untuk memperbaiki yang rusak.”

Fajar menunduk. “Saya tahu, Pak Yasin. Saya ingin memperbaiki segalanya—terutama kepercayaan Laila.”

Pak Yasin mengangguk perlahan. “Dan jangan buat dia menunggu lagi. Hatinya terlalu dalam untuk disia-siakan.”

Hari itu, Fajar memutuskan untuk membantu di sawah milik warga, memperbaiki rumah ibunya yang terbengkalai, dan setiap sore—ia datang ke dermaga, duduk di tempat yang dulu hanya ditempati Laila seorang diri.

Kini mereka duduk berdampingan. Senja menyapa mereka dengan warna yang sama, namun rasanya jauh berbeda. Ada kelegaan, ada kehangatan, dan ada rasa yang tumbuh kembali—seperti benih yang lama terkubur hujan.

Hubungan Laila dan Fajar kembali terjalin, namun tidak semudah membalikkan halaman buku. Banyak hal yang berubah. Laila kini lebih tenang dan dewasa, sementara Fajar membawa beban rasa bersalah yang dalam. Namun mereka sepakat untuk mulai dari awal—perlahan tapi pasti.

Setiap sore mereka duduk di dermaga, berbagi cerita kecil. Tentang hari yang panas, tentang anak-anak yang bermain lumpur, tentang mimpi-mimpi yang sempat tertunda.

Suatu senja, Laila membawa sebuah kotak kecil berbalut kain putih.

“Apa ini?” tanya Fajar.

“Buka saja,” jawab Laila.

Fajar membuka perlahan. Di dalamnya, ada tumpukan surat-surat yang terlipat rapi. Beberapa sudah pudar, sebagian lainnya masih terlihat baru.

“Aku menulis surat untukmu, setiap bulan sabit muncul. Tapi tak pernah kukirim. Aku tak tahu ke mana.”

Fajar terdiam. Ia membuka satu surat, dan membaca pelan.

"Fajar, ini senja pertama tanpa suaramu. Laut tetap sama, tapi aku tahu aku berbeda. Aku lebih sunyi, dan lebih rindu."

Matanya memanas.

“Laila… aku tak pantas…”

Laila menyentuh tangannya. “Aku tidak pernah menyesal menunggumu.”

Malam itu, mereka duduk lebih lama. Bulan sabit muncul kembali, seolah tahu bahwa ceritanya belum berakhir. Di sela ombak dan desir angin, Fajar menggenggam tangan Laila.

“Aku ingin membangun rumah di sini. Di tepi laut. Kita bisa tinggal dekat senja, dekat bulan sabit.”

Laila menoleh dengan mata berbinar. “Kau yakin?”

Fajar mengangguk mantap. “Aku tak akan pergi lagi.”

Hari-hari berlalu, dan Fajar benar-benar menepati ucapannya. Ia menyewa tanah dekat dermaga dan mulai membangun rumah kayu sederhana. Warga desa pun mulai menerima kehadirannya kembali. Pak Yasin, yang selama ini menyimpan waspada, akhirnya menepuk bahu Fajar dengan bangga.

“Jadilah lelaki yang tak hanya datang, tapi juga tinggal.”

Fajar mengangguk. “Saya belajar dari senja, Pak Yasin. Ia datang setiap hari tanpa gagal.”

Laila tersenyum mendengar itu. Ia tahu, kali ini bukan hanya kata-kata.

Namun tak semua hal berjalan mulus. Pada suatu malam, badai besar datang dari selatan. Angin menggila, laut mengamuk, dan dermaga tua mulai retak. Rumah yang baru separuh berdiri dihantam gelombang. Fajar berlari ke sana, mencoba menyelamatkan yang bisa ia selamatkan.

Laila mengejarnya. “Fajar! Jangan! Bahaya!”

Fajar tak peduli. Hatinya terlalu dalam pada rumah kecil itu—bukan karena bangunannya, tapi karena janji yang tertanam di dalamnya.

Saat ombak besar datang menghantam sisi rumah, Laila menjerit. Fajar terseret air, tubuhnya terhempas ke tiang dermaga.

Pak Yasin dan warga berlari menolong. Beberapa jam kemudian, Fajar ditemukan terbaring di pinggir pantai, tubuhnya lemah namun masih bernapas.

Laila menangis di sampingnya, memegang tangannya erat.

"Bodoh! Kenapa kau nekat?”

Fajar tersenyum lemah. “Aku sudah janji… aku tak akan pergi lagi.”

Setelah malam badai itu, Fajar terbaring selama tiga hari. Tubuhnya demam, luka di kepalanya dijahit oleh bidan desa. Selama itu pula, Laila nyaris tak beranjak dari sisinya. Ia menggantikan kompres, menyuapi bubur, dan sesekali membacakan surat-surat yang dulu ia tulis, kini menjadi nyanyian pengantar tidur Fajar.

Pada hari keempat, Fajar membuka mata. Cahaya pagi menelusup ke sela jendela rumah Pak Yasin yang sederhana, tempat ia dirawat.

“Laila…” bisiknya lemah.

Laila menoleh cepat, menahan napas. “Aku di sini.”

Fajar mencoba tersenyum. “Senja... sudah datang?”

Laila mengangguk, air matanya jatuh. “Ia selalu datang. Seperti janjimu.”

Fajar menatap langit-langit. “Aku bermimpi... kita duduk di dermaga, dan bulan sabit menggantung sangat rendah. Aku pikir aku sedang mati.”

“Kau tidak mati, Fajar,” ucap Laila, menggenggam tangannya. “Kau hanya kembali.”

Fajar tersenyum lemah, lalu matanya terpejam kembali. Namun kali ini, ia tertidur dengan damai. Bukan karena luka, tapi karena cinta yang merawatnya.

Dua bulan setelah kejadian itu, rumah di tepi laut berdiri kembali. Tak besar, tapi cukup untuk dua hati yang ingin tinggal selamanya. Dindingnya dari kayu kelapa, atapnya dari ijuk, dan di halaman kecilnya tumbuh bunga kertas merah muda yang dulu ditanam Laila saat remaja.

Hari itu, warga desa berkumpul. Ada hajatan kecil—pernikahan sederhana antara Laila dan Fajar. Mereka duduk di pelaminan yang menghadap ke laut. Senja menjadi saksi, dan bulan sabit perlahan muncul di langit senja, menggantung indah seperti tak ingin terlambat.

Pak Yasin yang memimpin doa. Dalam suaranya yang parau, tersimpan haru dan restu.

“Semoga kalian seperti senja dan bulan sabit. Meski berbeda waktu, tak pernah berhenti mengejar satu sama lain.”

Tahun-tahun berlalu. Di dermaga tua yang kini diperbaiki, sering terlihat seorang lelaki kecil duduk sambil memegang buku gambar. Anak laki-laki berumur lima tahun itu bernama Senja. Ia sering menggambar laut, langit jingga, dan bulan sabit yang tergantung rendah.

“Kenapa kamu suka bulan sabit, Senja?” tanya seorang anak lain.

Senja menjawab polos, “Ayah bilang, bulan sabit itu jembatan doa antara dia dan Ibu.”

Di belakangnya, Fajar dan Laila duduk di bawah pohon ketapang. Mereka saling bersandar, menikmati angin laut dan suara burung camar.

“Laila,” bisik Fajar, “kita sudah tua ya.”

Laila tertawa pelan. “Tapi janjimu tetap muda. Masih hangat sampai sekarang.”

Fajar mengangguk. “Karena setiap kali aku lihat bulan sabit… aku ingat, aku pernah hampir kehilangan segalanya hanya karena menunda pulang.”

Mereka memandang langit. Senja kembali mewarnai cakrawala, dan di antara warna jingga yang lembut, bulan sabit perlahan muncul.

Dan seperti dulu—ia tetap setia menggantung. Sebuah lengkung cahaya tipis, tapi cukup kuat untuk menerangi hati yang percaya.








Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)