Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,778
Luka di ujung senja
Romantis

Bab 1: Ombak yang Mengantar Kenangan


Mentari menggantung rendah di langit timur, mewarnai permukaan laut dengan semburat emas yang memantul di antara riak gelombang kecil. Di salah satu sudut Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, seorang perempuan berdiri di dermaga kayu, matanya menatap jauh ke laut. Namanya Mareta. Usianya tiga puluh tahun, rambutnya dikepang sederhana, dan di wajahnya terlukis kerinduan yang dalam.


Mareta telah tinggal di Jakarta selama hampir sepuluh tahun. Kini, ia kembali ke kampung halamannya, menjawab kabar bahwa ibunya jatuh sakit. Namun bukan hanya sakit ibunya yang membawanya pulang. Ada luka lama yang belum sembuh, dan pulau ini menyimpan bagian terbesar dari luka itu.


"Mareta, itu kamu, nak?" Suara tua dari balik rumah panggung menyambutnya. Mareta menoleh dan melihat ibunya, Mama Ina, berdiri dengan tongkat kayu, tersenyum lemah.


Mareta segera berlari memeluknya, air mata membasahi pipi mereka. Senja mulai turun perlahan, membalut pelukan itu dalam cahaya jingga yang menenangkan.


Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Sebuah nama kembali bergema dalam pikirannya: Dion.


Bab 2: Jejak yang Tertinggal di Pasir


Dion adalah masa lalu yang manis sekaligus pahit. Mereka tumbuh bersama, berlarian di pantai saat kecil, belajar di sekolah yang sama, dan pada akhirnya saling jatuh cinta saat remaja. Namun mimpi dan kenyataan tak selalu berjalan beriringan. Dion memilih bertahan di Lembata menjadi guru, sementara Mareta mengejar cita-cita di Jakarta.


"Kalau kau pergi, kita tidak akan bisa kembali seperti dulu," kata Dion waktu itu, di bawah pohon kelapa yang tumbuh miring di tepi pantai.


"Aku harus pergi, Dion. Tapi aku akan kembali." Jawaban itu kini terdengar hampa di telinga Mareta sendiri.


Dan dia benar. Setelah Mareta pergi, komunikasi mereka perlahan terputus. Dion tidak pernah datang ke Jakarta. Mareta tidak pernah pulang. Hingga satu surat datang bertahun-tahun lalu, undangan pernikahan Dion dengan perempuan lain.


Bab 3: Luka yang Tak Diundang


Kini, saat Mareta berjalan melewati pasar kecil di kampungnya, ia tak sengaja melihat Dion. Wajah itu tak berubah banyak. Kulitnya semakin legam, rambutnya mulai memutih di pelipis, namun sorot matanya masih sama.


Dion menatap Mareta dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan.


"Mareta...?"


"Halo, Dion," jawabnya pelan.


Mereka duduk di warung kopi kecil, hanya suara debur ombak dan obrolan warga yang terdengar samar.


"Aku dengar kau di Jakarta."


"Iya. Baru seminggu ini aku kembali. Mama sakit."


"Aku turut sedih mendengarnya. Aku sering melihat Mama Ina di gereja dulu."


"Terima kasih."


Ada jeda yang panjang di antara mereka, penuh kata-kata yang tak terucapkan.


"Kau... bahagia, Dion?"


Dion menatap jauh ke laut sebelum menjawab, "Kebahagiaan itu kadang bukan soal apa yang kita pilih, tapi bagaimana kita menerima."


Bab 4: Angin dari Bukit Ile Ape


Keesokan harinya, Mareta bangun pagi dan menatap Gunung Ile Ape yang berdiri kokoh di kejauhan. Udara pagi masih segar, dan bau garam laut samar-samar menguar dari jendela. Ia memutuskan berjalan kaki menuju bukit kecil di belakang kampung, tempat biasa ia dan Dion menghabiskan sore saat mereka masih muda.


Di sana, angin bertiup pelan, membawa suara lonceng dari gereja tua di desa. Ia duduk di atas batu besar, membuka buku catatan kecil yang selalu ia bawa sejak di Jakarta. Ia mulai menulis:


> "Di pulau ini, kenangan tidak pernah hilang. Ia hanya tertimbun waktu. Tapi waktu bukan penyembuh. Ia hanya membuat luka tampak diam."




Tiba-tiba suara langkah terdengar dari belakang. Dion.


"Kau masih suka tempat ini rupanya," katanya sambil duduk di samping Mareta.


"Selalu."


"Aku ke sini tiap Minggu. Anakku suka melihat burung-burung yang terbang di atas jurang itu."


"Anakmu...?" Mareta menatapnya, terkejut.


"Namanya Mikael. Umurnya lima tahun. Ibunya, Retha... meninggal dua tahun lalu."


Hening.


"Maaf, aku tidak tahu..."


"Tak perlu. Aku juga tak tahu banyak tentang hidupmu di Jakarta. Tapi aku selalu berharap kau bahagia."


Bab 5: Malam dan Doa-doa yang Sunyi


Malam di Lembata datang tanpa suara. Di rumah panggung yang sederhana, Mareta duduk di samping tempat tidur ibunya. Mama Ina tidur pulas setelah minum ramuan daun gatal dan akar serai yang dibuatkan dukun kampung.


Mareta membuka album tua di lemari kayu. Foto-foto masa kecilnya, foto Dion saat masih SMA, surat-surat lama. Di antara semuanya, ada satu foto robek. Setengahnya memperlihatkan wajah Dion, setengahnya kosong.


Ia teringat hari saat ia merobek foto itu. Hari ia menerima undangan pernikahan Dion.


Air matanya jatuh, perlahan membasahi halaman foto itu.


"Mungkin aku yang salah," bisiknya. "Aku pergi, dan aku berharap semuanya menunggu."


Dari luar, suara gamelan bambu terdengar samar. Anak-anak muda sedang latihan untuk pesta panen. Dunia terus berjalan, meski luka di hati tak kunjung sembuh.


Bab 6: Di Antara Senyum Anak Kecil


Keesokan harinya, Dion datang ke rumah Mareta bersama seorang anak laki-laki kecil. Wajah anak itu mirip Dion, hanya matanya yang lebih bulat, menyiratkan rasa ingin tahu yang besar.


"Ini Mikael," kata Dion.


Mikael mengulurkan tangan kecilnya. "Tante Mareta?"


Mareta tersenyum dan mengangguk. "Iya, sayang."


Anak itu duduk di pangkuan Mareta dengan cepat, tanpa ragu, seolah mereka telah saling mengenal lama.


Mareta memandang Dion dengan mata berkaca. "Ia... seperti kamu dulu, Dion."


"Dan seperti kamu juga. Suka tanya banyak hal."


Hari itu mereka bermain di halaman rumah. Mikael tertawa ketika Mareta mengajarinya menyanyi lagu daerah. Bahkan Mama Ina ikut tersenyum dari tempat tidurnya, menyaksikan pemandangan yang telah lama hilang dari rumah mereka.


Bab 7: Hujan di Tengah Upacara


Beberapa hari kemudian, desa bersiap untuk upacara adat Lewa Pulo, ritual ucapan syukur kepada leluhur. Mareta diajak ikut oleh tetua adat, karena ibunya selama ini adalah salah satu penari utama dalam ritual tersebut.


Di tengah upacara, langit mendadak mendung dan hujan deras mengguyur. Namun tak satu pun warga beranjak. Mereka melanjutkan nyanyian dan tarian dalam guyuran air. Mareta berdiri di tengah lapangan, pakaiannya basah, namun hatinya hangat.


Di seberangnya, Dion berdiri menatapnya. Pandangan mereka bertemu, lalu tersenyum.


Dalam momen itu, mereka seolah kembali menjadi dua remaja yang saling percaya, sebelum perpisahan dan waktu memisahkan mereka.


Bab 8: Surat yang Tak Pernah Dikirim


Malam itu, Mareta duduk di bawah pelita redup. Di tangannya, selembar kertas tua berisi surat yang tak pernah ia kirimkan kepada Dion bertahun-tahun lalu. Tulisan tangannya sedikit bergetar, namun tiap kata memuat rasa yang tak pernah padam:


> "Dion, aku pikir waktu akan membuat kita lupa. Tapi aku salah. Setiap pagi, senyummu terpantul dalam secangkir kopi, dan setiap malam, bayanganmu menari di balik tirai jendela kamarku. Aku mencintaimu, bahkan setelah semuanya berlalu."


Mareta menggenggam surat itu erat, lalu meletakkannya dalam kotak kayu kecil bersama foto-foto lama. Kotak itu ia tanam di bawah pohon kenari di samping rumah—sebuah simbol bahwa kenangan tetap ada, tapi tak harus terus menghantui.


Bab 9: Badai dan Cahaya Pelita


Beberapa hari kemudian, badai menghantam Lembata. Angin kencang merobohkan beberapa rumah dan perahu warga karam. Mareta dan Dion bekerja sama membantu pengungsi di balai desa. Mikael digendong Mareta sepanjang malam, sementara Dion sibuk mendirikan dapur darurat.


Di tengah kekacauan, ada keheningan batin yang baru tumbuh di hati Mareta. Ia tak lagi hanya melihat Dion sebagai masa lalunya, tapi sebagai bagian dari hari ini—dan mungkin, masa depan.


"Kau berubah, Dion," ujar Mareta di sela hujan.


"Mungkin karena waktu mengubah cara kita mencintai. Dulu aku mencintaimu dengan harap, sekarang... dengan ikhlas."


Bab 10: Luka di Ujung Senja


Senja terakhir Mareta di Lembata tiba. Ia harus kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaannya dan merawat jenjang karier yang ia bangun bertahun-tahun. Di dermaga, Dion dan Mikael mengantarnya. Angin pantai mengibarkan syal tenun di leher Mareta.


"Kau akan kembali?" tanya Dion pelan.


Mareta memandang Mikael, lalu Dion.


"Aku tidak tahu kapan. Tapi aku tahu ini bukan perpisahan."


Dion mengangguk, mencoba tersenyum meski matanya basah. Mareta memeluk Mikael, lalu Dion. Kali ini tidak ada janji. Hanya saling percaya.


Ketika kapal perlahan menjauh dari dermaga, matahari mulai turun ke ufuk barat. Cahaya senja menyapu laut dengan warna merah keemasan. Mareta berdiri di atas geladak, menatap pulau yang makin jauh.


Ia tahu: luka di ujung senja itu belum sepenuhnya sembuh. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak takut lagi melihatnya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)