Masukan nama pengguna
Aku masih ingat betul aroma kamper dan kayu jati tua dari kamar bapak. Sejak kecil, kamar itu terasa seperti ruangan suci yang tidak boleh disentuh sembarangan. Ibu selalu bilang, “Jangan ganggu bapak kalau dia di kamar. Itu waktunya sendiri.” Dan aku, anak satu-satunya, selalu menurut.
Tapi semua berubah sejak bapak meninggal.
Ia pergi begitu saja dalam tidur, tanpa tanda-tanda. Tubuhnya ditemukan ibu pagi-pagi, dengan posisi menyamping ke kanan, tangan melingkar seperti sedang memeluk sesuatu. Tapi anehnya, tak ada yang dipeluk. Cuma udara hampa.
Sejak itu, kamar bapak dikunci. Ibu bilang, “Biarkan dulu, jangan diapa-apain. Bapak pasti masih ingin tenang.” Aku nurut, lagi-lagi. Tapi rasa penasaran yang lama kupendam sejak kecil mulai menggerogoti pikiranku.
Hari keempat puluh setelah kematiannya, aku pulang ke rumah besar kami di pinggir kota untuk menghadiri selamatan. Saudara-saudara datang, para tetangga ikut membaca yasin, dan ibu tampak lebih tenang dari biasanya. Tapi ada satu hal yang membuat aku terus gelisah: kunci kamar bapak hilang.
Aku tahu, karena aku mencarinya. Di meja rias, di laci tempat biasa ia menyimpan buku dan kacamata. Semua nihil. Dan saat aku tanyakan pada ibu, jawabannya membuat bulu kudukku merinding.
“Bapak membawa kuncinya sampai mati.”
Aku tak tahu harus tertawa atau takut.
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan ibu tidur lebih dulu, aku berdiri lama di depan pintu kamar bapak. Ada sesuatu di balik pintu kayu tua itu. Bukan sekadar ruangan penuh kenangan. Aku bisa merasakannya. Sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang… menunggu.
KUNCI
Malam-malam berikutnya aku gelisah. Aku menginap seminggu lebih di rumah ibu, dengan dalih menemaninya, padahal diam-diam aku terus mencoba mencari cara membuka kamar bapak.
Kunci cadangan? Tidak ada. Tukang kunci? Nanti dulu. Ada semacam perasaan bersalah yang membuatku enggan sembarangan membuka paksa kamar itu. Tapi rasa penasaran jauh lebih besar.
Pada malam ketujuh, hujan deras turun. Petir menyambar pohon jambu di belakang rumah dan membuat listrik mati sebentar. Dalam gelap, aku menyalakan lilin dan duduk di ruang tengah. Ketika menoleh ke arah lorong, aku melihat sesuatu yang membuatku nyaris menjatuhkan lilin itu.
Pintu kamar bapak… terbuka.
Perlahan, seperti diseret angin, atau… tangan tak terlihat?
Aku berdiri terpaku. Suara detak jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya. Aku mendekati lorong itu, lilin bergetar di tanganku. Pintu benar-benar terbuka. Sedikit saja. Tapi cukup untuk membuatku merasa seperti ada mata yang sedang mengintip balik dari dalam.
Aku menelan ludah.
“Pak?” Aku bahkan tak sadar kenapa aku memanggilnya.
Tak ada jawaban.
Aku dorong pintunya pelan-pelan. Ciiiit… suara engselnya seperti jeritan tua. Kamar itu gelap, hanya diterangi cahaya lilin. Tapi tidak ada debu. Tidak ada sarang laba-laba seperti kamar kosong lainnya. Bahkan ranjang bapak masih rapi. Selimut dilipat di ujung ranjang. Di meja kecil dekat jendela, ada cangkir kosong dan buku catatan tua.
Aku masuk.
Aroma itu kembali. Kamper dan kayu jati. Tapi lebih dalam, lebih menyengat. Ada sesuatu seperti bau… besi karat. Aku dekati meja kecil itu. Buku catatan tua itu ada di sana. Kulitnya sudah retak-retak, ada inisial di pojok kanan bawah: S.A.—inisial nama bapak: Sudarma Arifin.
Kukesek perlahan debu dari permukaannya dan kubuka lembar pertama.
“Hari ke-5. Sudah mulai bicara dalam tidur. Suaranya seperti… bukan aku.”
Aku menggigil.
CATATAN
Aku habiskan semalaman membaca buku catatan itu. Isinya seperti jurnal harian bapak, tapi bukan sekadar curhatan biasa. Halaman demi halaman, tulisannya semakin kacau, isinya semakin ganjil.
“Aku dengar suara dari balik lemari.”
“Mereka bilang akan menggantikan posisiku kalau aku tidak berhenti menulis.”
“Setiap malam aku lihat bayangan di cermin, dan itu bukan wajahku.”
Yang paling membuatku mual adalah gambar-gambar di sela tulisan. Coretan kasar wajah-wajah tanpa mata. Lingkaran-lingkaran gelap seperti simbol kuno. Dan satu lembar terakhir yang hanya bertuliskan besar:
“JANGAN BUKA LEMARI.”
Aku menoleh ke sudut kamar. Lemari kayu tua berdiri diam, seperti menyaksikan aku membaca rahasia yang seharusnya terkubur. Aku berjalan pelan ke arahnya. Jantungku berdetak liar, keringat dingin merambat di punggung. Tangan kiriku masih memegang lilin, tangan kanan menggenggam gagang lemari.
Aku tarik perlahan.
Kosong.
Cuma pakaian bapak yang tergantung rapi. Tapi saat aku menoleh ke bawah, aku melihat satu papan kayu di lantai bagian dalam lemari… agak terangkat.
Dengan hati-hati, aku congkel.
Di balik papan itu ada kotak besi kecil. Berkarat. Tapi masih terkunci rapat. Aku angkat dan membawanya ke meja. Di bagian depan kotak itu tertulis angka: 1987. Tahun aku lahir.
Aku terdiam.
KOTAK RAHASIA
Membuka kotak itu bukan perkara mudah. Kuncinya tak ada, dan aku tak ingin merusaknya sebelum tahu isinya. Jadi aku kembali menyelidiki kamar bapak. Di bawah kasur. Di balik lukisan. Bahkan di dalam ventilasi. Hingga akhirnya aku menemukan benda kecil itu: kunci besi tua, tergantung di balik jam dinding yang sudah mati sejak kematian bapak.
Pas.
Dalam kotak itu ada tiga benda:
1. Foto seorang perempuan muda, bukan ibu. Ia duduk di bangku taman, memegang tangan seorang anak kecil. Di balik foto tertulis: “Untuk Dita, maafkan aku—S.”
2. Sepucuk surat yang tak pernah dikirim. Isinya pengakuan. Tentang anak di luar nikah. Tentang “dosa lama” yang tak pernah bisa ditebus.
3. Satu gulungan kain putih yang jika dibuka, memperlihatkan belasan kertas bertuliskan simbol dan mantra. Beberapa dalam bahasa Jawa kuno. Satu kalimat terus berulang: “Yang tersembunyi akan menuntut kembali.”
BAYANGAN
Sejak malam itu, suasana rumah berubah. Ibu semakin pendiam. Saat aku tanya siapa Dita, ia hanya menatap kosong.
“Kau… sudah buka kamar itu?”
Aku mengangguk.
Ia menghela napas. “Kau seharusnya tak usah tahu.”
“Tapi aku anaknya.”
Ia menatapku dalam-dalam. “Tidak hanya kamu.”
Aku terpaku.
Malamnya aku terbangun karena mendengar suara tangisan. Tapi bukan dari ibu. Dari dalam kamar bapak. Suara perempuan. Lirih. Seperti meratap. Aku mengendap ke arah pintu. Terbuka sedikit. Dan saat mengintip ke dalam, aku melihat seorang perempuan duduk di tepi ranjang. Rambutnya panjang menutupi wajah. Pakaiannya seperti kebaya tua. Dan di pangkuannya… ada anak kecil.
Mereka menoleh.
Dan wajah mereka… kosong. Tidak ada mata. Tidak ada mulut.
Aku menjerit dan jatuh mundur.
Ketika aku membuka mata, kamar itu kosong. Tapi aroma kamper dan darah menyelimuti seluruh ruangan. Dan di meja… buku catatan bapak terbuka sendiri. Di halaman terakhir, tulisan baru muncul:
“Mereka sudah kembali.”
PENUTUP
Besoknya aku meninggalkan rumah ibu. Tak kuat. Tapi rahasia sudah terbuka. Dan aku tahu, bukan cuma kamar itu yang menyimpan misteri. Tapi seluruh hidup bapak.
Aku mencoba mencari Dita. Lewat media sosial, catatan sipil, bahkan forum misteri. Tapi tak ada jejak. Seolah-olah ia tak pernah ada.
Tapi seminggu kemudian, sebuah surat datang ke alamat kantorku. Tanpa nama pengirim. Hanya secarik kertas, dengan tulisan tangan halus:
“Terima kasih sudah membukakan pintu.”
Dan saat aku balik kertas itu, ada foto.
Foto diriku, tidur di kamar kos. Tapi… dari sudut atas… seperti diambil dari langit-langit.
Dan aku tahu… misteri kamar bapak belum selesai. Hanya… berganti bentuk.