Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,419
THE LAST DAY I LOVED YOU
Romantis

Hujan turun pelan di sudut kota yang dulu menyimpan banyak kenangan. Aku berdiri di halte tua dekat taman, tempat pertama kali kita berbincang, tempat pertama kali kamu tertawa karena lelucon canggungku. Hari ini, setelah sekian lama, aku kembali ke sana. Bukan untuk menemuimu. Tapi untuk mengenang hari terakhir aku mencintaimu.

Namamu masih sama di dadaku: Livia. Tapi rasanya sudah berbeda. Dulu kau adalah alasan aku menulis puisi, kini kau adalah jeda. Dulu kau adalah awal dari pagi yang penuh harap, kini kau adalah sisa-sisa bayangan malam yang sulit kutepis.

Kami bertemu di sebuah pameran seni kampus. Waktu itu aku berdiri terpaku di depan lukisan abstrak, mencoba mengartikan warna-warna kacau yang justru terasa dalam.

"Menurutmu, ini lukisan tentang apa?" suara itu datang dari samping, ringan dan penuh rasa ingin tahu.

Aku menoleh. Dia. Livia. Mata bening, rambut sedikit berantakan, dan aroma buku yang melekat pada tubuhnya.

"Tentang kehilangan, mungkin," jawabku.

Dia tersenyum. "Atau tentang seseorang yang terlalu takut jatuh cinta."

Sejak hari itu, kami tak pernah benar-benar berpisah. Bersama kami menulis cerita, dari secangkir kopi di pagi hari hingga jalan-jalan tak tentu arah saat senja. Kami tumbuh. Kami bermimpi. Kami saling mencintai tanpa syarat, setidaknya waktu itu.

Sampai hari itu datang. Hari ketika dia berkata, "Aku diterima di universitas di luar negeri. Dua tahun. Mungkin lebih."

Aku tersenyum, menutup buku di tanganku. "Selamat. Itu impianmu, kan?"

Dia mengangguk pelan. Tapi matanya berkabut. "Tapi aku takut kehilanganmu."

Aku menahan napas. Dunia seolah berhenti sebentar. "Livia, kita akan baik-baik saja. Cinta ini cukup kuat untuk menunggu."

Dia tidak menjawab. Tapi pelukannya malam itu begitu erat, seolah tahu waktu takkan memberi kita kemewahan kedua.

Hari-hari menjelang keberangkatannya adalah hari-hari paling sunyi. Kami masih bersama, tapi tak lagi bicara tentang masa depan. Kami seolah tahu, akhir sedang menunggu di ujung.

"Bisa nggak kita buat satu hari saja, di mana kita mencintai tanpa khawatir besok?" tanyanya.

"Hari ini?"

Dia mengangguk. "Anggap saja ini... the last day I loved you."

Aku diam. Kalimat itu menyakitkan, tapi juga penuh kejujuran. Cinta yang tak bisa bertahan bukan karena tak cukup besar, tapi karena kita tahu, mempertahankannya akan menyakiti lebih lama

Hari itu kami berjalan di taman, makan es krim, tertawa, dan bernyanyi pelan lagu-lagu yang dulu sering kami putar di kamar kos. Tidak ada janji. Tidak ada air mata. Hanya cinta, dalam bentuk yang paling tulus: sementara.

Keesokan harinya aku mengantarnya ke bandara. Dalam keramaian, kami tetap sepi. Dia menggenggam tanganku untuk terakhir kalinya.

"Terima kasih sudah mencintaiku," katanya.

Aku menatapnya. "Terima kasih juga sudah jadi rumah."

Dia melangkah pergi. Dan aku tidak menahannya. Karena aku tahu, ini bukan tentang siapa yang salah. Ini tentang bagaimana cinta juga bisa memilih untuk pergi.

Bulan pertama dia sering mengirim pesan. Foto-foto, cerita kuliah, dan musik-musik baru yang ditemukannya. Tapi perlahan pesan itu berkurang. Lalu hilang. Tanpa penjelasan. Tanpa perpisahan yang layak.

Aku sempat mencoba bertahan. Menulis email, mengirim surat. Tapi hatiku lelah mencintai sendirian. Maka pada suatu pagi, di antara sisa kopi dan buku yang belum selesai kubaca, aku berkata pada diriku sendiri:

"Hari ini, aku berhenti mencintainya.

Itu hari terakhir aku mencintainya. Bukan karena aku membencinya. Tapi karena aku mencintai diriku lebih dari rasa rindu yang terus menggigit.

Tiga tahun berlalu

Hari ini aku duduk kembali di halte tua itu. Seorang perempuan duduk di sampingku, tak kukenal, tapi wajahnya hangat.

"Kamu sering ke sini?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan. "Dulu. Sekarang hanya kadang-kadang."

Dia tersenyum. "Aku juga suka tempat ini. Rasanya... penuh kenangan."

Aku menoleh padanya. Mengangguk. Tapi kali ini aku tak lagi mencari Livia dalam wajah orang lain.

Karena cinta yang sudah pergi, tak harus selalu ditunggu. Kadang cukup dikenang, dihormati, dan dilepaskan.

Dan pada akhirnya, aku sadar..

Cinta terbesar bukan yang bisa bertahan selamanya. Tapi yang mampu membuatmu merelakan. Bahkan saat masih sayang.

Hari-hari menjelang keberangkatannya adalah hari-hari paling sunyi. Kami masih bersama, tapi tak lagi bicara tentang masa depan. Kami seolah tahu, akhir sedang menunggu di ujung

Malam itu, kami duduk bersebelahan di bangku taman, dengan jarak yang lebih lebar dari biasanya. Hening. Bahkan jangkrik seperti ragu untuk berbunyi.

“Aku nggak tahu harus senang atau sedih,” kata Livia pelan.

Aku menoleh padanya. “Kenapa?”

“Karena aku tahu ini baik untukku… tapi terasa seperti kehilangan bagian paling penting dari hidupku.

Aku menarik napas panjang. “Kamu nggak kehilangan aku, Liv.”

Dia tersenyum miris. “Tapi kamu tahu, semua ini nggak akan sama lagi, kan?”

Aku diam. Angin malam meniup rambutnya yang mulai memanjang, dan aku ingin sekali menyelipkannya di balik telinga seperti dulu. Tapi tanganku ragu.

“Kita bisa coba… tetap seperti ini,” kataku. “Komunikasi. Video call. Surat. Aku bisa menunggu.”

Matanya menatapku lama. Ada air di sana. Tapi tidak jatuh.

“Kamu tahu nggak?” katanya, “Cinta yang dipaksa bertahan kadang justru menyiksa.”

Aku tertegun. “Kamu menyerah?”

“Bukan menyerah. Tapi aku takut kita berubah jadi orang asing yang hanya saling menagih kabar. Aku takut kita saling menyakiti karena kita terus berusaha mempertahankan sesuatu yang semestinya dilepaskan.”

Aku menggeleng pelan. “Jadi ini akhir?”

Dia menunduk. “Aku nggak tahu. Tapi aku ingin, sebelum semua ini rumit… kita punya satu hari saja. Hari terakhir di mana kita mencintai tanpa menyimpan rasa takut.”

Aku menatapnya, dan hatiku patah dalam diam.

“Kalau begitu,” kataku akhirnya, “besok adalah hari kita. Hari terakhir aku mencintaimu seperti hari pertama.”

Dia menatapku penuh rasa yang tak terucap. “Besok, biarkan semuanya indah… agar kalaupun kita harus saling melupakan, kita punya satu hari yang layak dikenang selamanya.”

Hari itu adalah hari terakhir aku mencintaimu, Livia. Bukan karena kau tak layak. Tapi karena aku akhirnya memilih diriku sendiri.

“Hari itu kami berjalan di taman, makan es krim, tertawa, dan bernyanyi pelan lagu-lagu yang dulu sering kami putar di kamar kos…”

Hari Terakhir yang Paling Indah]

Kami memulai hari itu sejak matahari belum sepenuhnya terbit. Livia datang ke kosku membawa dua bungkus nasi uduk dan kopi susu dalam termos kecil. Kami sarapan di atap gedung tua belakang kampus, tempat kami biasa menulis jurnal dan mimpi

“Kamu tahu?” katanya sambil menyendok nasi. “Aku suka suara kamu ngeluh soal hidup sambil ngunyah gorengan.”

Aku tertawa pelan. “Dan aku suka cara kamu marah-marah ke diri sendiri karena terlalu keras pada orang lain.”

Dia menatapku lama. “Kamu orang pertama yang ngerti aku, bahkan sebelum aku ngerti diriku sendiri.”

Kami tak banyak bicara setelah itu. Kami hanya duduk berdampingan, menyaksikan matahari perlahan naik, seolah waktu tahu harus berjalan pelan hari itu.

Setelahnya kami ke toko buku tua di ujung jalan — tempat di mana kami pertama kali berdebat soal siapa penulis puisi terbaik

“Pilih satu buku,” katanya sambil mendorongku ke rak puisi.

“Untuk apa?”

“Untuk aku bawa. Biar nanti saat aku baca, aku inget kamu.”

Aku memilih satu buku berjudul Sepi yang Tak Bisa Mati. Livia tersenyum. “Kamu benar-benar drama,” katanya sambil memeluk buku itu.

“Kamu juga. Tapi aku tetap cinta.”

Kami pergi ke taman kota, menyewa sepeda tua, lalu menyusuri jalan setapak yang dulu sering kami lewati saat cari udara segar setelah kelas. Kami menyanyi. Kami berlari. Kami berfoto dengan kamera analog yang tak kami pedulikan hasilnya.

Lalu sore datang. Di bawah pohon besar dekat danau kecil, kami duduk bersisian. Livia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya.

“Aku tulis ini semalam,” katanya. “Mau kubacakan?”

Aku mengangguk. Dan dia membaca pelan, suara kecilnya bersaing dengan gemercik air.

> Jika ini hari terakhirku mencintaimu,

maka biarlah ia penuh,

tidak dengan janji,

tapi dengan pelukan yang diam-diam memohon waktu berhenti. \n\n Jika ini hari terakhir kita,

jangan tangisi besok,

cukup tatap aku,

dan percaya,

kamu akan selalu hidup dalam puisiku.\n\n

Aku tak bisa bicara. Air mataku jatuh, tapi bukan karena sedih. Tapi karena indah.

“Bolehkah aku peluk kamu untuk terakhir kali?” tanyaku.

Dia mengangguk. “Peluk aku sampai aku lupa dunia ini terus berjalan.”

Kami berpelukan lama. Dunia kami mengecil jadi suara napas, detak jantung, dan keheningan yang paling hangat.

Malamnya, kami menulis satu catatan terakhir di jurnal bersama yang sudah penuh coretan selama dua tahun. Di halaman terakhir, aku menulis:

> Cinta ini pernah hidup. Dan jika suatu hari kau meragukannya, buka halaman ini, dan temukan aku di antara huruf-hurufnya.

Dia membalas dengan:

> Dan jika suatu hari kamu lupa pernah dicintai, bacalah puisi terakhirku. Di sana, namamu tetap utuh, meski aku sudah pergi.

Hari itu, kami mencintai tanpa menyimpan. Tanpa bertanya apakah akan bertemu lagi. Tanpa berpura-pura bahagia. Kami hanya… mencintai.

Karena itulah satu-satunya hal yang bisa kami lakukan untuk mengucapkan selamat tinggal tanpa benar-benar mengatakannya.


[Epilog – Lima Tahun Kemudian]

Lima tahun berlalu sejak hari terakhir aku mencintainya.

Banyak hal telah berubah. Kota ini tumbuh, jalanan yang dulu kami lewati kini dipenuhi gedung tinggi. Toko buku tua tempat kami memilih puisi kini tutup, digantikan kafe dingin beraroma kopi mahal.

Tapi jurnal kami masih kusimpan. Di rak buku paling tersembunyi. Halaman terakhirnya sudah mulai menguning, tapi tulisan Livia masih utuh, seperti hatiku yang belum sepenuhnya pudar.

Hari ini, aku kembali ke danau kecil itu — pohon tempat kami duduk masih berdiri, meski sebagian rantingnya kini rapuh.

Aku membuka buku yang baru saja kubeli, dan dari sela halamannya, selembar surat terjatuh.

Aku mengernyit. Surat itu tertulis dengan tulisan tangan yang tak asing. Livia.

> Hai, kalau kamu membaca ini, mungkin aku sudah lama tidak ada di hidupmu. Tapi aku ingin kamu tahu: aku bahagia. Dan aku harap kamu juga. Jika takdir mempertemukan kita lagi, biarlah itu karena semesta tahu, kita sudah selesai menjadi luka bagi satu sama lain.

Aku tersenyum. Entah bagaimana surat itu ada di buku ini — mungkin dia menitipkannya pada waktu.

Hari mulai senja. Di bangku taman, seseorang duduk tak jauh dariku. Seorang perempuan muda dengan wajah ramah. Dia tersenyum saat mata kami bertemu.

“Maaf, ini tempat dudukmu?”

Aku menggeleng. “Tidak. Tempat ini milik siapa pun yang ingin mengenang.”

Dia tertawa kecil. “Aku sering ke sini kalau sedang ingin menulis. Katanya, tempat ini dulu saksi banyak kisah cinta.”

Aku tersenyum.

“Ya,” kataku. “Tempat ini tahu cara menyimpan cinta, bahkan saat orang-orang sudah lupa caranya.”

Dia mengulurkan tangan. “Namaku Raya.”

Aku menjabat tangannya. “Aku Damar.”

Dan saat kami saling menatap, aku tahu — mungkin cinta tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengetuk pintu lagi.

Dan untuk pertama kalinya sejak hari itu, aku membuka hati. Bukan untuk mengganti, tapi untuk mengenang dengan lebih damai.









Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)