Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,026
Aku butuh tuhan
Religi
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Langit Jakarta malam itu muram. Lampu-lampu jalan berpendar samar, menyinari trotoar yang dipenuhi asap rokok dan langkah kaki yang tak pernah berhenti. Di sudut Jalan Sabang, berdirilah seorang perempuan bertubuh mungil dengan gaun merah menyala. Namanya Vina.


Hanya mereka yang jeli bisa membaca kepedihan dari matanya. Di balik senyum dan sapaan genitnya, ada gelombang luka yang tak terlihat. Vina bukanlah pelacur sejak lahir, tidak pula terlahir untuk menjadi objek syahwat malam. Tapi hidup—kejam seperti biasa—telah membawanya ke sini.


Dulu, ia adalah anak tunggal dari pasangan pedagang kecil di Solo. Ibunya menjual gorengan, ayahnya tukang tambal ban. Mereka tak punya apa-apa selain cinta dan harapan. Tapi sejak ibunya meninggal karena stroke, dan ayahnya mulai sakit-sakitan, Vina terpaksa putus sekolah dan merantau ke Jakarta. Awalnya ia jadi penjaga toko, lalu kasir, lalu... pelayan bar. Hingga pada suatu malam, dengan linangan air mata dan tubuh yang menggigil, ia menjual dirinya untuk pertama kali.


"Itu hanya sekali," katanya waktu itu.


Tapi "sekali" adalah pintu yang tak lagi bisa ditutup setelah dibuka. Dunia malam menyambarnya cepat. Uang datang deras, tapi juga racun, hinaan, dan kehampaan yang terus menggerogoti jiwanya.


Namun di malam itu, sesuatu berbeda.

Seorang pria tua berpakaian sederhana, jubah putih dan peci lusuh, menghampirinya. Bukan untuk membeli dirinya. Tapi menatapnya dengan tatapan yang belum pernah ia rasakan: tatapan iba dan kasih, bukan nafsu.

"Anak muda," katanya lembut, "kau tampak tersesat. Tapi Tuhan tak pernah lelah menunggumu pulang."

Vina tertegun. Kata-kata itu membentur hatinya seperti palu. "Aku? Pulang? Pulang ke mana? Aku bahkan tak tahu siapa diriku lagi..."

Pria itu tersenyum. "Kau butuh Tuhan."

Air mata yang selama ini hanya menetes dalam sunyi, malam itu mengalir di tengah keramaian.

Malam itu, hujan turun pelan. Lampu-lampu jalan seperti redup, kalah bersinar oleh gemerlap toko dan klub malam yang berjejer sepanjang jalan. Vina masih berdiri di sana, termangu, menatap langkah pria tua yang perlahan menjauh. Kata-katanya terus bergema dalam benaknya:

> “Kau butuh Tuhan...”

Ia berjalan ke sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, duduk sendiri, dan memesan teh manis. Tangannya gemetar saat mengangkat cangkirnya. Entah karena dingin, atau karena isi kepalanya yang tak berhenti meninju kesadarannya.

“Bu, bapak tua itu siapa ya? Yang barusan lewat sini...” tanyanya lirih pada pemilik warung.

Wanita itu melirik ke arah jalanan. “Oh, itu Kyai Mahmud. Dia sering keliling malam-malam, bukan untuk berdakwah, tapi untuk mengingatkan orang-orang—bahwa kita masih punya Tuhan.”

Vina terdiam.

“Mereka bilang dia dulu orang berada. Tapi sejak kehilangan anak dan istrinya karena kecelakaan, dia berhenti dari dunia usaha, dan memilih hidup untuk bantu orang-orang seperti kita.”

“Seperti kita?”

“Orang-orang yang terluka dan berusaha bertahan.”

Hening. Vina menggigit bibir bawahnya. “Dia bilang... aku butuh Tuhan.”

Pemilik warung tersenyum. “Kita semua butuh Tuhan, Nduk. Tapi tak semua dari kita menyadarinya.”

Pagi harinya, Vina bangun di kamar kos sempitnya yang pengap. Dindingnya berjamur, kipas angin tua di atas kepala berdecit setiap beberapa detik. Di meja, tersisa satu bungkus roti tawar dan uang receh di toples kecil. Ia duduk, menatap cermin kecil di dinding.

Tatapannya sendiri membuatnya takut.

“Siapa kamu, Vin...?” bisiknya pelan. “Kamu ini apa, sebenarnya?”

Ia meraih ponsel tua, membuka Google, dan mengetik: “cara kembali ke jalan Tuhan”.

Halaman demi halaman ia baca. Sebagian berat, sebagian tak dimengerti. Tapi satu tulisan mencuri perhatiannya:

> “Tuhan tidak menunggu kamu suci untuk datang. Dia menunggu kamu sadar, lalu datang dengan niat memperbaiki diri. Hidayah bukan untuk yang sudah sempurna, tapi untuk yang merasa hancur.”

Tangannya bergetar. Ia menangis lagi.

Siang itu, ia mendatangi sebuah masjid kecil dekat terminal. Ia ragu, berdiri di luar pagar cukup lama. Orang-orang lalu-lalang menatapnya, sebagian mencibir, sebagian mengernyit.

Seorang ibu dengan gamis lusuh menghampirinya. “Nduk, kamu nyari siapa?”

“Saya... saya mau tanya... apa boleh saya masuk ke sini?”

“Masuk masjid? Ya boleh, sayang. Masjid rumah semua orang. Tapi kamu udah wudhu?”

“Belum, Bu.”

Ibu itu menggandeng tangannya. “Sini, Ibu ajarin.”

Di tempat wudhu, Vina terdiam saat air menyentuh wajahnya. Sudah lama ia tidak menyentuh air dengan niat bersuci. Dulu, di sekolah dasar, ia masih salat. Masih ikut ibu mengaji di musholla dekat rumah. Tapi sejak ibunya meninggal, semua itu perlahan hilang. Kini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, air itu terasa seperti embun di padang gersang.

Di dalam masjid, ia duduk di pojok, menyembunyikan wajah. Lalu menangis... lama.

Hari-hari berikutnya, Vina mulai berubah. Ia mulai meninggalkan dunia malam, walau tidak semudah itu. Pelanggannya marah, mucikari tempatnya bekerja mengancam.

“Lo pikir dunia ini punya malaikat yang mau ngasih lo makan gratis?” bentak bosnya. “Gue yang angkat lo dari lantai dua jadi VIP room, Vin. Jangan sok suci di depan gue!”

Vina menunduk. “Saya minta maaf. Saya cuma... saya capek, Bang. Saya mau berhenti.”

“Berhenti? HAH! Lo pikir dunia ini bisa lo tinggal kapan aja lo mau? Udah banyak duit yang keluar buat lo! Mau lo ganti pake ayat-ayat Tuhan lo?!”

Ia diusir, dipukul, diancam akan disebar video lamanya. Tapi Vina tetap pergi. Dengan pakaian yang hanya muat di satu tas kecil, dan uang sisa yang bahkan tak cukup untuk dua minggu hidup. Ia duduk di halte, menangis diam-diam.

Tapi sore itu, langit cerah. Dan Kyai Mahmud kembali datang.

“Kau ingin lari dari neraka?” tanyanya pelan.

Vina menatapnya dengan mata merah. “Saya... saya cuma ingin hidup, Pak. Tapi saya juga gak mau mati hina.”

Kyai Mahmud duduk di sampingnya. “Kalau kau benar ingin berubah, Tuhan akan beri jalan. Tapi jalannya bukan karpet merah. Kau akan terluka, dicaci, dan diuji. Masih mau?”

Vina mengangguk pelan. “Saya gak punya siapa-siapa lagi. Tapi saya punya kehendak.”

“Kalau begitu, ikut saya.”

Kyai Mahmud membawanya ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Rumah itu dihuni oleh lima orang perempuan muda, dengan latar belakang yang sama: masa lalu kelam.

Mereka adalah mantan penari klub malam, mantan pengguna narkoba, mantan pencopet. Tapi kini, mereka semua memakai jilbab, menyulam kain, dan belajar Al-Qur’an.

“Di sini bukan panti, bukan pesantren,” jelas Kyai Mahmud. “Ini rumah hijrah. Tempat orang-orang yang ingin pulang. Tapi dengan syarat: kamu harus jujur pada niatmu, dan sabar.”

Hari pertama, Vina tak bisa tidur. Suara lantunan Qur’an dari kamar sebelah menusuk hatinya. Ia merasa kotor, hina, dan tak pantas.

Tapi malam itu, ia kembali mengingat kata-kata di internet:

> “Hidayah bukan untuk yang sudah sempurna, tapi untuk yang merasa hancur.”

Ia bangun, mengambil mukena yang diberikan penjaga rumah, dan mencoba shalat. Gerakannya kikuk, bacaannya terbata. Tapi untuk pertama kalinya, Vina berbicara langsung kepada Tuhan, dengan air mata dan dada sesak.

> “Ya Allah... Aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi aku ingin pulang. Ajari aku mengenal-Mu...”

Dua bulan berlalu. Vina belajar banyak hal. Tentang sabar, tentang menahan diri, tentang membaca Qur’an dan mencintai diri sendiri. Ia mulai menulis jurnal harian, mengisi lembarannya dengan pengakuan dan harapan.

Suatu hari, seorang ustaz muda datang ke rumah itu sebagai relawan. Namanya Ustaz Hilmi. Sopan, santun, dan ramah.

Awalnya, Vina hanya menyapa seperlunya. Tapi Ustaz Hilmi sering memberikan catatan kecil di balik kitab yang ia pinjamkan.

> “Semua daun kering pernah hijau.”

“Tuhan tidak mencintai yang sempurna. Tuhan mencintai yang terus mencoba.”

“Jika kamu mencari Tuhan, temukanlah Dia dalam sujud.”

Kata-kata itu menyentuh Vina. Ia tak berani bicara banyak, tapi hatinya mulai bergetar. Ia tahu perasaannya tumbuh, pelan tapi pasti.

Ustaz Hilmi pun tak menutupi rasa hormatnya pada Vina. Suatu hari, di hadapan Kyai Mahmud, ia berkata:

> “Kyai, saya ingin meminang Vina. Bukan karena masa lalunya. Tapi karena keberaniannya meninggalkan itu semua.”

Vina menangis. Air mata yang bukan karena sedih, tapi karena keyakinan: bahwa ketika seseorang sungguh-sungguh mencari Tuhan, maka Tuhan akan memeluknya, bahkan dengan seluruh luka yang ia bawa.

Mereka menikah sederhana di halaman rumah hijrah. Tidak ada gaun mahal, tidak ada gemerlap. Hanya doa, sajadah, dan senyum tulus dari mereka yang dulu pernah merasa hina... tapi kini merasa disucikan.

Hari itu, langit Jakarta terang. Tak ada hujan, tak ada asap. Hanya langit biru... dan pelukan hangat Tuhan yang turun dari segala arah.

Pernikahan itu menjadi awal baru, bukan hanya bagi Vina, tapi bagi banyak perempuan lain yang melihat kisahnya sebagai cahaya di ujung gelap. Tak ada yang menyangka bahwa seorang yang dulu hidup di lorong kelam dunia malam, bisa duduk bersimpuh di depan penghulu, dengan air mata penuh harap dan keikhlasan.

Ustaz Hilmi menerima Vina dengan hati lapang. Ia tidak pernah menyinggung masa lalu istrinya, bahkan tidak pernah menanyakan apa yang telah terjadi. Baginya, Vina yang ada di hadapannya adalah Vina hari ini—perempuan yang kembali pada Tuhan dengan luka dan keberanian.

Rumah tangga mereka sederhana. Sebuah kontrakan kecil di ujung kampung yang dikelilingi pohon pisang dan suara burung pipit setiap pagi. Tapi bagi Vina, rumah itu adalah istana. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia bangun setiap pagi dengan hati damai.

Ia mulai mengajar anak-anak kampung mengaji, meski bacaannya belum fasih. Ia juga rajin menulis kisah hidupnya di sebuah blog sederhana. Tulisannya menyentuh, penuh kejujuran dan getir. Salah satu tulisannya yang viral berjudul: "Aku Tak Pantas, Tapi Tuhan Menantiku Pulang".

Komentar-komentar pun datang, ada yang mendukung, ada pula yang mencaci.

> “Dulu pelacur, sekarang sok alim. Dunia ini penuh drama.”

> “Malu dong, ustaz kok nikah sama sisa lelaki hidung belang?

Namun Vina tidak membalas. Ia menuliskan satu kalimat singkat:

> “Yang kamu caci mungkin masa laluku. Tapi aku dan Tuhan sedang bicara tentang masa depanku.”

Tapi seperti kata Kyai Mahmud dulu, jalan menuju Tuhan tidak mulus. Suatu hari, masa lalu datang mengetuk.

Seorang perempuan muda, berpakaian mewah, datang saat Vina sedang mengajar anak-anak di surau kecil kampung. Perempuan itu mengenakannya kacamata hitam dan lipstik mencolok.

“Vina, lama tak jumpa,” katanya dengan nada mengejek.

Vina menatapnya dengan pelan. “Rika...”

“Masih ingat? Ini aku. Yang dulu serumah sama kamu di apartemen. Gimana, nyaman hidup sok suci?”

Anak-anak mulai membisu. Rika mendekat, lalu membisikkan kata-kata tajam di telinga Vina.

> “Dunia tahu kamu siapa, Vin. Sekeras apa pun kamu berdoa, dosa kamu gak akan ilang.”

Hati Vina seperti diiris. Tapi ia hanya menunduk. “Aku tahu, Rika. Aku tahu betapa kotornya aku. Tapi kamu tahu gak? Justru karena itu... aku makin butuh Tuhan.”

Malam itu, Vina menangis lagi. Di hadapan suaminya, ia mencurahkan semuanya. Tentang ketakutannya, tentang rasa bersalah yang masih menghantuinya, dan tentang keinginan untuk lari dari semua cacian itu.

Ustaz Hilmi memegang tangan Vina. “Sayang, kita tak bisa menghapus masa lalu. Tapi kita bisa menulis ulang masa depan. Allah tidak melihat siapa kita kemarin. Tapi siapa yang kita pilih hari ini.”

Vina memeluk suaminya. Ia tahu, hidup bukan dongeng. Akan selalu ada orang yang melempar batu. Tapi ia memilih menjadi jendela—membiarkan cahaya masuk, meski retak di sana-sini.

Setahun berlalu. Blog Vina semakin dikenal. Ia diundang ke beberapa kajian untuk berbagi kisah. Awalnya ragu, tapi dorongan dari suaminya dan Kyai Mahmud membuatnya melangkah.

Di satu kesempatan, ia berbicara di hadapan puluhan perempuan. Ia berdiri di atas panggung kecil, dengan gamis putih dan jilbab sederhana.

“Aku bukan ustazah. Aku bahkan belum hafal semua doa wudhu. Tapi aku tahu rasanya tidur dalam pelukan dosa dan bangun dengan rasa ingin mati,” katanya. Suaranya bergetar, tapi wajahnya tegas.

“Lalu, aku sadar. Bahwa hidup ini terlalu berharga untuk dibunuh oleh penyesalan. Dan Tuhan... tidak pernah membenci kita. Kita saja yang sering lari, terlalu jauh.”

Tangis pun pecah di ruangan itu. Seorang ibu, mantan pengguna narkoba, bangkit dari kursinya dan memeluk Vina sambil berkata, “Terima kasih sudah jujur. Aku juga ingin pulang.”

Hidup Vina semakin bermakna. Ia dan suaminya membuka rumah tahfiz kecil untuk anak-anak yatim dan perempuan yang ingin hijrah. Ia mengisi waktunya dengan mengajar, menulis, dan sesekali berbicara di podcast Islami.

Namun malam adalah waktu favoritnya. Saat semua telah tidur, Vina sering duduk di sajadah, menatap langit-langit dan berbisik lirih.

> “Ya Allah... dulu aku perempuan yang dicaci, diraba, dibuang... Tapi Kau bawa aku ke jalan ini. Aku tak paham kenapa Kau pilih aku. Tapi aku bersyukur... Kau tak biarkan aku mati dalam gelap.”

Suatu malam, di depan rumah mereka, Vina melihat seorang gadis muda duduk menyendiri. Tubuhnya gemetar, bajunya sobek. Vina mengenali tatapan itu—tatapan yang pernah ia miliki dulu.

Ia mendekati gadis itu, menyelimuti bahunya.

“Kamu lapar?” tanyanya lembut.

Gadis itu mengangguk sambil menangis. “Aku... aku gak tahu harus ke mana. Aku kabur dari mucikari.”

Vina tersenyum, menggenggam tangannya erat.

“Kalau begitu... kamu sudah di tempat yang tepat. Kamu gak sendiri. Aku pun dulu begitu. Tapi di sinilah aku bertemu Tuhan.”

Dan malam itu, Vina menambahkan satu nama lagi ke dalam daftar penghuni rumah hijrah.

Waktu terus berjalan. Rumah hijrah yang dulu kecil, kini semakin ramai. Vina dan suaminya menyulap halaman belakang menjadi ruang terbuka tempat duduk-duduk, mengaji, dan berdiskusi. Tak hanya perempuan, beberapa pemuda yang pernah terjerumus dalam kriminalitas pun datang mencari cahaya di rumah itu.

Vina tak pernah menyangka, hidup yang dulu hanya dikejar malam kini diterangi fajar dari segala sisi. Setiap malam ia sujud, bukan lagi dengan tangis luka, tapi dengan syukur.

Tapi tak semua perubahan diterima dengan tangan terbuka oleh dunia luar. Suatu hari, rumah hijrah mereka didatangi aparat. Ada laporan masyarakat bahwa tempat itu adalah pusat “pencucian dosa para kriminal.”

“Masyarakat resah,” kata seorang petugas, “Banyak yang menganggap rumah ini tempat para mantan sampah masyarakat, yang pura-pura tobat tapi tetap membawa dosa.”

Vina menatapnya dengan tenang. “Pak, mereka bukan sampah. Mereka luka, dan sedang berobat. Haruskah kita buang orang sakit hanya karena mereka belum sembuh?”

Petugas itu terdiam. Tapi laporan tetap dicatat, dan pengawasan meningkat.

Beberapa warga bahkan memprovokasi: melemparkan bangkai ke depan pagar, mencoret tembok dengan tulisan:

> “Munafik, pelacur berjubah!”

“Ustaz najis, nikah bekas!”

Hilmi, suaminya, menenangkan. “Biarkan. Itu ujian. Kita bukan sedang mencari tepuk tangan manusia, Vin. Kita sedang berjalan pulang ke Tuhan.”

Vina mengangguk. Tapi malam-malamnya kembali menjadi medan pertempuran batin. Ia mulai dihantui pikiran lama: “Apakah aku pantas menjadi istri ustaz? Apakah aku pantas bicara tentang Tuhan?”

Namun di tengah kegundahan itu, datang pesan singkat dari seseorang yang pernah membaca blognya:

> “Mbak Vina, saya adalah transgender yang sedang belajar hijrah. Kata-kata Mbak menyelamatkan saya dari bunuh diri minggu lalu. Terima kasih karena sudah jujur.”

Air mata Vina kembali mengalir.

Bukan karena luka, tapi karena pengakuan itu menyadarkannya: bahwa Tuhan tak memilih orang suci untuk menyampaikan cahaya-Nya. Tuhan memilih orang yang pernah tersesat, agar mereka bisa memimpin yang masih gelap.

Hari itu, Vina dan Hilmi duduk di bawah pohon mangga di halaman rumah. Angin sore berembus lembut, menyapu kerudung Vina yang kini selalu ia kenakan ke mana pun.

“Bang,” bisiknya, “kalau semua orang tahu masa laluku, dan menjauhiku... apa Abang akan tetap di sini?”

Hilmi tersenyum. “Aku tahu siapa kamu. Aku tahu kamu perempuan yang pernah jatuh. Tapi aku juga tahu... kamu perempuan yang tak berhenti bangkit.”

“Kadang aku masih dengar suara-suara masa lalu di kepalaku.”

“Itu wajar. Luka tidak lenyap, Vin. Tapi luka bisa jadi jendela. Kita tak bisa menghapus bekasnya. Tapi kita bisa mengubah maknanya.”

Vina menggenggam tangan suaminya. “Terima kasih... sudah tidak menyerah padaku, saat aku sendiri hampir menyerah.”

Waktu berlalu. Suatu hari, rumah hijrah mendapat undangan dari sebuah pesantren besar di Yogyakarta. Mereka diminta berbicara dalam sebuah seminar bertema “Menyambut Hidayah dari Jalan Paling Gelap.”

Vina gugup. Ia belum pernah bicara di hadapan ratusan orang, apalagi para ulama. Tapi dorongan dari Hilmi dan Kyai Mahmud membesarkan hatinya.

Di atas panggung, Vina membuka jilbab wajahnya. Wajah yang pernah terpampang di situs gelap malam kini berdiri dengan cahaya baru.

“Saya tahu, sebagian dari Anda mungkin kenal wajah saya. Tapi hari ini saya bukan datang untuk memamerkan luka, melainkan untuk mengatakan: bahwa Tuhan masih memberi kesempatan, bahkan pada orang seburuk saya.”

Ia bercerita. Tentang malam-malamnya dulu. Tentang klien, ancaman, hinaan. Tentang bagaimana ia pernah berpikir bunuh diri dengan overdosis. Dan tentang satu malam ketika ia duduk di warung, dan seorang lelaki tua berkata:

> “Kau butuh Tuhan.”

Tangis memenuhi ruangan.

Vina menutup dengan kata-kata yang kini tertulis besar di dinding rumah hijrah:

> “Tuhan tidak menunggu kita bersih. Tapi menunggu kita sadar bahwa kita kotor dan ingin kembali.”

Setelah acara itu, sebuah stasiun televisi nasional menghubungi Vina untuk mengangkat kisahnya menjadi film dokumenter. Awalnya ia menolak. Ia takut masa lalunya kembali dibuka dan disalahgunakan.

Tapi kemudian ia berpikir: jika satu cerita bisa menyelamatkan satu jiwa dari jalan gelap yang sama... maka biarlah ia menjadi jendela, meski retak.

Film itu tayang. Judulnya sederhana: “Pulang.”

Vina tak menyangka, dalam sebulan, ratusan surat dan email datang dari seluruh Indonesia. Sebagian dari mantan PSK, mantan narapidana, pecandu, hingga remaja putus sekolah.

Isi pesan mereka hampir sama:

> “Saya kira Tuhan tidak akan pernah menerima saya kembali. Tapi cerita Mbak membuat saya berani mengetuk pintu-Nya lagi.”

Dan Vina menulis satu kalimat dalam blognya yang menjadi penutup film:

> “Jika kamu masih bernapas, maka Tuhan masih menunggumu.”

Hari-hari setelah tayangnya film “Pulang” menjadi titik balik bagi banyak orang, termasuk Vina. Ia tak pernah menyangka bahwa suara kecil dari sudut gelap bisa bergema ke penjuru negeri. Tapi justru di situlah ia semakin merunduk. Ia semakin sadar bahwa tanggung jawab dari sebuah hidayah bukanlah kemuliaan, melainkan amanah yang berat.

Suatu pagi, saat ia sedang menyapu halaman rumah hijrah, seorang perempuan berjilbab rapi datang menghampiri. Ia membawa tas besar dan mata yang sembab. Namanya Syila.

“Aku... aku nonton film Mbak,” katanya. “Aku juga mantan pekerja malam. Aku udah coba kabur tiga kali, tapi selalu balik lagi. Aku... aku gak kuat sendirian.”

Vina langsung memeluknya. Tanpa banyak tanya. Ia tahu rasa itu. Rasa ditolak. Rasa bersalah. Dan rasa ingin mati karena tak tahu ke mana harus pulang.

“Di sini kamu gak sendiri, Syila. Tuhan sayang sama kamu karena kamu masih berani datang,” bisik Vina.

Sejak hari itu, rumah hijrah kembali bertambah satu jiwa yang ingin sembuh. Dan seperti Vina dulu, Syila mulai belajar wudhu, belajar mengenal huruf hijaiyah, dan menangis setiap kali tak mampu menyelesaikan satu ayat pun.

Vina sabar mendampingi. Bukan sebagai guru, tapi sebagai sesama penempuh jalan pulang.

Namun badai datang dari arah yang tak disangka.

Salah satu pemilik klub malam tempat Vina pernah bekerja mengirimkan somasi. Ia merasa difitnah karena dalam film “Pulang”, ada penggambaran tempat yang mirip dengan klub miliknya.

“Kamu kira kamu bisa main bersih dari dosa? Kamu pikir orang-orang lupa siapa kamu? Saya punya video kamu, Vin. Lengkap! Kalau kamu gak mau dunia tahu, kamu tahu harus bayar apa,” begitu isi pesan singkatnya.

Vina terdiam.

Tangannya gemetar saat menunjukkan pesan itu ke Hilmi. Sang suami tak banyak bicara. Ia justru mengajaknya sujud malam itu, shalat tahajud dalam sunyi.

Air mata Vina jatuh deras.

> “Ya Allah... jangan biarkan langkahku mundur. Jangan biarkan aku terjerat kembali oleh masa laluku... Aku butuh Engkau, lebih dari siapa pun di dunia ini...”

Keesokan harinya, Vina membuat pernyataan di media sosial:

> “Jika ada rekaman masa laluku yang dibuka, aku tidak akan menyangkal. Karena itulah aku. Tapi hari ini, aku bukan lagi Vina yang dulu. Aku bukan sempurna. Tapi aku sedang berjuang. Jika kalian ingin menjatuhkanku dengan membuka luka lamaku, silakan. Tapi ingat, Tuhan yang kusembah... tidak pernah mempermalukan hamba yang sedang pulang.”

Pesan itu viral. Ribuan komentar masuk. Dan yang paling mengejutkan, seorang tokoh agama terkenal membagikan postingan itu sambil menulis:

> “Saya mengenal Vina. Ia bukan ulama. Tapi ia hamba yang jujur. Dan kejujuran lebih berat dari seribu khutbah.”

Ancaman dari pemilik klub itu pun mereda. Tak lama, ia justru dilaporkan dalam kasus perdagangan manusia dan kehilangan izin usaha. Dunia seperti membalas dengan caranya sendiri.

Vina tak bersorak. Ia justru menangis dalam sujud. “Aku tak ingin dia hancur. Aku hanya ingin dibiarkan sembuh...”

Kehidupan rumah hijrah kembali tenang. Anak-anak semakin banyak. Para ibu belajar menjahit, membuat sabun herbal, dan membuka warung kecil hasil kerja gotong royong.

Vina mulai menulis buku. Judulnya sederhana: "Aku Butuh Tuhan".

Ia menulisnya bukan untuk dipuji. Tapi agar kelak, jika ia wafat, ada satu warisan yang bisa dibaca perempuan-perempuan luka yang sedang mencari cahaya.

Penggalan dari Bab Pertama buku itu:

> “Aku pernah menjual tubuhku demi makan. Pernah menjual air mataku demi bertahan. Tapi kemudian aku sadar, semua itu karena aku tak pernah mengenal siapa diriku. Dan ketika aku mulai mengenal Tuhan... aku baru tahu bahwa hidup ini tak seharusnya dibayar dengan kehinaan. Tuhan adalah tempat pulang. Bahkan bagi orang yang seluruh kota ingin usir...”

Buku itu dicetak terbatas, hanya seribu eksemplar. Tapi dalam tiga minggu, habis terjual. Keuntungan buku itu 100% digunakan untuk membangun rumah hijrah kedua—di Cirebon.

Saat peresmian rumah hijrah kedua, Vina kembali berdiri di podium kecil. Di depannya ada ratusan wajah perempuan: sebagian berjilbab, sebagian belum, sebagian memeluk anak-anak yang masih kecil.

“Kalau kalian tanya, bagaimana caranya kembali ke Tuhan?” kata Vina.

> “Mulailah dengan mengatakan satu kalimat jujur:

'Aku butuh Tuhan.'

Dan sisanya... biarkan Dia yang memegang tanganmu.”

Tangis membanjiri aula kecil itu. Hari itu, dua puluh lima perempuan mendaftar menjadi bagian dari program pembinaan rumah hijrah.

Musim hujan datang lebih cepat tahun itu. Rumah hijrah Cirebon yang baru saja berdiri beberapa bulan mulai bocor di sana-sini. Dindingnya masih dari triplek, dan alasnya belum sepenuhnya ubin. Tapi bagi para penghuni, rumah itu adalah surga kecil. Tempat mereka bisa menangis tanpa takut dikutuk. Tempat mereka bisa berkata: “Aku ingin berubah,” dan disambut pelukan, bukan cemoohan.

Vina sering bolak-balik Jakarta–Cirebon bersama Hilmi. Ia mulai diundang menjadi narasumber tetap di beberapa forum perempuan dan pengajian hijrah. Meski belum sepenuhnya fasih dalam ilmu syariat, ia tak pernah mengaku alim.

“Aku bukan ustazah,” katanya di setiap pembukaan. “Aku hanya perempuan yang pernah tersesat jauh... dan sedang pulang.”

Satu hari, sebuah surat datang dari penjara wanita. Ditulis tangan, lengkap dengan noda tinta yang terlihat dibuat terburu-buru:

> “Mbak Vina, saya napi kasus pembunuhan. Saya bunuh suami saya karena saya muak disiksa. Tapi setelah baca kisah Mbak, saya ingin hidup kembali. Saya ingin kenal Tuhan. Saya ingin... pulang.”

Vina menangis membacanya. Ia menghubungi pengelola rumah hijrah dan memulai program baru: “Surat Untuk Yang Terpenjara.”

Program itu sederhana. Setiap bulan, perempuan-perempuan di rumah hijrah akan menulis surat pada para napi wanita di beberapa penjara—surat yang tidak menghakimi, tapi menguatkan.

Surat-surat itu berisi doa, kisah, dan harapan.

> “Kita semua pernah luka, Mbak. Tapi Tuhan kita sama. Dan Dia tak pernah tutup pintu, bahkan untuk kita yang pernah salah besar.”

Dalam beberapa bulan, puluhan balasan datang. Rumah hijrah tak lagi sekadar tempat fisik, tapi telah menjadi jembatan harapan dari satu gelap ke terang lainnya.

Namun seperti biasa, setiap langkah terang akan selalu dibuntuti bayangan gelap. Suatu malam, Vina menerima undangan misterius dari sebuah organisasi perempuan nasional.

Mereka mengundangnya untuk menerima Penghargaan Pejuang Kemanusiaan, atas peran rumah hijrah membantu rehabilitasi perempuan marjinal. Tapi di balik acara itu, ada skenario lain.

Di tengah pidatonya, seorang pembicara menyelipkan sindiran tajam:

> “Kita mengapresiasi perubahan. Tapi kita juga tidak boleh lupa siapa yang sedang kita beri panggung. Apakah kita sedang memberi ruang bagi pertobatan? Atau memberi panggung bagi kebohongan yang dibungkus hijrah?”

Tepuk tangan terdengar... hampa. Wajah Vina menegang. Tapi ia tidak berdiri. Ia tetap duduk, menunduk, dan tersenyum kecil.

Ketika gilirannya berbicara, ia tidak membalas. Ia justru mengucapkan terima kasih.

“Aku tak akan menyangkal masa laluku. Karena masa lalulah yang membawa aku mengenal Tuhan. Aku berdiri di sini bukan karena aku suci. Tapi karena aku terus mencoba. Dan kalau itu masih salah di mata kalian... maka biarlah aku tetap salah, asalkan aku benar di mata-Nya.”

Kali ini, tepuk tangan berdiri memenuhi ruangan.

Beberapa minggu kemudian, Vina menerima undangan dari seorang gadis bernama Nadya, seorang mahasiswi tingkat akhir yang hendak menjadikan kisah Vina sebagai tema skripsinya: “Rehabilitasi Sosial Berbasis Spiritualitas: Studi Kasus Rumah Hijrah Vina.”

Nadya datang langsung ke rumah hijrah di Jakarta. Ia muda, cerdas, dan sedikit galak. Tapi ia menangis ketika mendengar kisah Vina langsung dari mulutnya.

“Saya kira ini cuma branding,” katanya jujur. “Saya kira rumah hijrah ini seperti yayasan-yayasan yang cari simpati. Tapi... saya baru tahu, bahwa kalian semua sungguh-sungguh.”

Vina tersenyum. “Hidayah tak butuh panggung. Ia cukup singgah di dada yang mau terbuka.”

Nadya ikut menjadi relawan. Dan kelak, skripsinya itu dinobatkan sebagai skripsi terbaik fakultasnya. Ia bahkan menulis pengantar yang menyentuh:

> “Aku datang dengan niat mengukur, tapi aku pulang dengan luka yang sembuh. Rumah hijrah bukan tempat suci. Tapi tempat di mana orang yang pernah patah memilih untuk tidak menyerah.”

Suatu sore, Kyai Mahmud datang ke rumah hijrah. Usianya kini renta, tongkatnya semakin berat, tapi senyumnya tetap sama—senyum yang dulu menghampiri Vina saat ia berdiri di pinggir jalan.

“Vina,” katanya sambil menepuk bahu, “terima kasih sudah tidak membiarkan cahaya itu mati.”

Vina memeluknya erat. “Kyai, kalau dulu Kyai tidak berkata, ‘Kau butuh Tuhan’, mungkin saya sudah mati.”

“Tidak, Nak. Tuhan yang memanggilmu. Aku hanya mengulang suara-Nya.”

Beberapa bulan kemudian, Kyai Mahmud wafat dalam tidur. Pemakamannya dihadiri ribuan orang dari berbagai latar belakang. Vina menangis di atas makamnya, lalu berbisik:

> “Doakan aku kuat sampai akhir, Kyai. Karena jalan ini... panjang.”

Malam-malam selanjutnya, Vina menulis buku keduanya: “Mencintai Diri Sendiri Setelah Dihancurkan Dunia.” Buku itu bukan hanya kisah, tapi panduan emosional dan spiritual untuk perempuan yang pernah trauma, dilecehkan, atau dikhianati.

Ia menulisnya dengan jujur, dan memasukkan satu kalimat yang menjadi nyawa dari semua usahanya:

> “Yang paling Tuhan suka... bukan kita yang tak pernah jatuh. Tapi kita yang jatuh seribu kali, dan tetap memilih bangkit.”

Dua tahun berlalu sejak rumah hijrah pertama berdiri. Kini, telah ada empat cabang rumah hijrah yang tersebar di Jakarta, Cirebon, Pekalongan, dan Padang. Setiap rumah dihuni oleh perempuan-perempuan yang datang dengan luka, lalu belajar menyulam harapan dari sisa-sisa keyakinan yang hampir musnah.

Vina menjadi simbol. Tapi ia tidak pernah meminta dipuja.

“Aku ini cuma saksi bahwa Tuhan bisa mengangkat siapa pun, dari titik paling rendah, ke jalan terang. Asal orang itu jujur mengakui: ‘Aku butuh Tuhan.’”

Satu hal yang Vina selalu tekankan pada semua penghuni baru rumah hijrah: jangan menolak masa lalu, tapi berdamai dengannya. Jangan menyangkal bahwa kamu pernah jatuh, tapi jangan biarkan jatuh itu jadi identitas.

Ia menulis di papan besar aula utama:

> “Hijrah bukan melupakan masa lalu, tapi mengubah cara kita memaknainya.”

Namun, kehidupan rumah hijrah tidak selalu berjalan indah. Suatu malam, Syila—salah satu penghuni yang dulu datang dalam kondisi trauma—ditemukan pingsan karena percobaan bunuh diri. Ia menenggak obat tidur terlalu banyak.

Vina menggigil saat mendapat kabar itu. Ia berlari ke rumah sakit, wajahnya pucat, napasnya tak teratur.

Syila selamat. Tapi saat sadar, ia menangis dan berkata, “Aku... gak sanggup, Mbak. Bayangan itu datang terus. Wajah lelaki yang dulu... menghancurkan aku. Bahkan saat aku salat, aku lihat wajahnya.”

Vina duduk di tepi ranjangnya. “Kamu tahu, Syil? Aku dulu juga begitu. Setiap sujud, aku lihat wajah laki-laki yang membayar tubuhku. Sampai akhirnya aku sadar... Tuhan itu bukan lihat wajah. Dia lihat hati. Dan saat aku bilang ‘Ya Allah, aku ingin pulang’, Dia peluk aku. Dan sekarang Dia juga sedang peluk kamu.”

Syila menangis dalam pelukan Vina. Hari itu, Vina kembali diingatkan: bahwa hijrah bukan hanya perihal jilbab dan tadarus, tapi juga tentang trauma, luka, dan perang batin yang tidak semua orang bisa lihat.

Beberapa bulan kemudian, Vina dan Hilmi berangkat umrah.

Bagi Vina, ini lebih dari sekadar perjalanan spiritual. Ini adalah titik temu antara dirinya dulu—yang pernah menjual tubuh di lorong gelap Jakarta—dengan dirinya kini, yang bersujud di hadapan Ka'bah, menangis dalam doa yang hanya bisa dimengerti oleh Tuhan.

Di Masjidil Haram, Vina sujud lama sekali. Air matanya membasahi sajadah. Ia tidak meminta kekayaan, atau kemudahan. Ia hanya berkata:

> “Ya Allah... jangan biarkan aku lepas dari-Mu. Jangan biarkan aku kembali ke lubang itu. Pegang tanganku... sampai akhir hidupku.”

Setelah pulang dari umrah, Vina mulai menulis lagi. Tapi kali ini bukan buku.

Ia menulis naskah untuk anak-anak perempuan muda. Cerita pendek tentang gadis bernama Sera, yang hampir terjerumus, tapi diselamatkan oleh kalimat sederhana: “Tuhan mencintaimu lebih dari kamu membenci dirimu sendiri.”

Naskah itu diadaptasi menjadi film pendek oleh komunitas remaja hijrah. Dan lagi-lagi, Vina tidak mencari panggung. Ia hanya ingin satu hal:

> “Kalau aku dulu butuh satu orang untuk menyelamatkanku—Kyai Mahmud—maka aku ingin menjadi satu orang itu bagi orang lain.”

Tapi di puncak segala perubahan itu, ujian paling besar datang.

Vina hamil.

Itu bukan kabar buruk. Bahkan itu adalah kabar paling membahagiakan dalam hidupnya. Tapi kehamilan itu lemah. Dokter berkata, ada risiko tinggi. Rahim Vina yang pernah mengalami kerusakan akibat aborsi saat masa kelam dulu, membuat kehamilan itu penuh risiko.

Hilmi tenang. “Kalau Allah izinkan kita punya anak, berarti Dia juga akan izinkan kamu kuat, Vin.”

Selama kehamilan, Vina memperlambat aktivitas. Ia lebih banyak duduk di rumah, mengajar via online, dan menulis jurnal kehamilan yang indah:

> “Setiap kali aku merasa nyeri, aku ingat masa laluku. Dan aku tahu... anak ini adalah bukti nyata bahwa Tuhan sedang membalas air mataku dengan kehidupan.”

Tapi pada bulan ketujuh, komplikasi terjadi.

Vina harus menjalani operasi darurat. Kondisinya kritis. Dan selama hampir dua hari, ia tidak sadarkan diri.

Dalam koma itu, ia merasa berada di sebuah lorong gelap, seperti lorong-lorong hotel yang dulu sering ia lalui. Tapi dari kejauhan, ia melihat cahaya... dan seorang pria tua—berjubah putih, memegang tasbih.

“Kyai Mahmud...” bisik Vina dalam mimpi itu.

Kyai Mahmud tersenyum.

> “Kau sudah jauh melangkah, Vina. Tapi tugasmu belum selesai. Banyak perempuan yang belum tahu jalan pulang. Bangunlah, dan ajak mereka...”

Vina terbangun dengan air mata mengalir.

Anaknya selamat. Perempuan. Mereka menamainya Kirana—yang berarti cahaya yang menuntun pulang.

Beberapa tahun kemudian, Kirana tumbuh menjadi anak ceria. Rambutnya ikal, matanya terang, dan setiap malam ia meminta ibunya membacakan kisah—bukan dongeng putri, tapi kisah nyata: tentang seorang perempuan yang dulunya gelap, dan akhirnya kembali menemukan Tuhan.

“Siapa perempuan itu, Bunda?” tanya Kirana suatu malam.

Vina tersenyum, membelai rambut putrinya.

> “Perempuan itu... Bunda dulu, sayang. Tapi sekarang... Bunda milik Allah.”

Dan malam itu, di bawah cahaya lampu kamar yang temaram, Vina menulis di akhir jurnal hidupnya:

> “Tuhan, dulu aku hanya ingin berhenti merasa kotor. Tapi sekarang aku ingin menjadi jalan bagi siapa pun yang ingin bersih. Izinkan aku tetap kuat. Karena aku tahu... aku akan selalu butuh Tuhan."

Setelah kelahiran Kirana, hidup Vina dan Hilmi terasa semakin lengkap. Rumah kecil mereka kini tidak hanya dihuni oleh bekas luka dan pelajaran hidup, tetapi juga tawa kecil yang mengisi setiap sudut ruang. Kirana adalah pelipur lara. Setiap tangisnya, setiap pelukannya, menjadi jawaban atas doa-doa lama yang dulu terdengar mustahil.

Vina kini bukan hanya istri, bukan hanya pembina rumah hijrah, tapi juga ibu. Dan dalam peran baru ini, ia menemukan makna yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Aku dulu tak tahu seperti apa rasanya dicintai dengan tulus,” katanya pada Hilmi suatu malam, saat Kirana tertidur di antara mereka. “Tapi melihat Kirana... aku tahu. Cinta itu suci. Dan aku ingin Kirana tumbuh tanpa takut. Tanpa bayangan kotor masa lalu ibunya.”

Hilmi menggenggam tangan Vina erat. “Dan dia akan tumbuh dalam cahaya, karena ibunya adalah lentera yang tetap menyala, meski pernah hampir padam.”

Vina mulai menulis untuk ibu-ibu muda yang pernah punya masa lalu kelam. Buku barunya berjudul: “Menjadi Ibu Setelah Menjadi Luka.” Di dalamnya, ia berbagi bagaimana menghadapi rasa malu, rasa bersalah, dan rasa takut bahwa anak-anak mereka kelak akan tahu siapa mereka dulu.

> “Jangan sembunyikan masa lalumu dari anakmu. Tapi tunjukkan bagaimana kamu berubah. Anakmu tak perlu malu punya ibu yang pernah jatuh—selama ibunya kini berdiri dengan iman.”

Buku itu menjadi viral di komunitas parenting Islami. Banyak yang awalnya meragukan Vina, kini justru menjadikan kisahnya sebagai sumber kekuatan. Ia diundang mengisi webinar, kelas bunda hijrah, bahkan diminta membuat kurikulum khusus rehabilitasi spiritual ibu mantan narapidana oleh lembaga negara.

Namun, Vina tetap rendah hati.

“Aku cuma ingin menjadi suara untuk perempuan yang dulu seperti aku—yang diam dalam malam dan mengira Tuhan sudah tidak mau mendengarkan mereka lagi.”

Suatu hari, saat mengisi pelatihan di kota Malang, seorang ibu menghampiri Vina sambil membawa anak laki-lakinya.

“Ibu Vina,” katanya dengan suara serak, “anak saya ini lahir dari pemerkosaan. Saya hampir aborsi dulu. Tapi setelah baca kisah Ibu... saya urungkan. Saya tahu, Allah bisa mengubah luka jadi cahaya.”

Vina memeluk mereka berdua. Dalam hati ia menangis.

Ia tahu, tidak semua orang punya kekuatan untuk bertahan. Tapi jika kisahnya bisa menyelamatkan satu nyawa saja dari penghabisan... maka seluruh luka masa lalunya bukan sia-sia.

Hari demi hari, rumah hijrah semakin kuat. Para perempuan yang dulu hanya datang untuk menghapus air mata kini menjadi pengurus cabang, fasilitator program, mentor trauma healing, dan penggerak komunitas.

Vina tak lagi mengerjakan semuanya sendiri. Ia mulai berbagi tugas dan mempercayai banyak tangan. Tapi satu hal yang tak pernah ia tinggalkan: malamnya.

Malam selalu menjadi tempat ia bicara dengan Tuhan.

Di atas sajadah, di sudut kamar, Vina selalu memulai dengan kalimat:

> “Ya Allah, aku tahu... tanpa-Mu aku bukan siapa-siapa. Jangan biarkan aku merasa cukup. Jangan biarkan aku merasa pantas. Karena aku tahu... aku akan selalu butuh Tuhan.”

Pada tahun keempat sejak rumah hijrah berdiri, Vina mendapat kesempatan umrah kedua. Kali ini ia berangkat bersama Hilmi dan Kirana yang sudah berusia tiga tahun. Kirana kecil menggenggam erat tangan ibunya saat mereka pertama kali melihat Ka’bah.

“Bunda,” bisik Kirana, “itu rumah Allah, ya?”

Vina mengangguk, matanya berkaca-kaca.

“Bunda dulu pernah hilang jauh, Kirana. Tapi Allah panggil Bunda pulang. Dan sekarang Bunda ingin Kirana tumbuh... tanpa harus tersesat dulu.”

Mereka bertiga sujud bersama. Suami, istri, dan anak—di hadapan Allah yang telah mengubah reruntuhan menjadi taman cahaya.

Setelah pulang, Vina membuka program baru: “Pelatihan Ibu & Anak Hijrah.” Ia percaya, bahwa generasi yang kuat dimulai dari ibu yang sembuh. Banyak perempuan yang pernah hancur dalam hidup, tetapi bertekad agar anak-anak mereka tidak mengikuti jejak kelam yang sama.

Dan dalam kelas pertama program itu, Vina mengajak para ibu untuk menulis surat kepada anak mereka. Surat yang tak dikirim hari ini, tapi disimpan... untuk dibaca suatu hari nanti, saat mereka dewasa.

Ia pun menulis surat untuk Kirana.

“Untuk Kirana, cahaya hidup Bunda.

Maafkan Bunda, Nak, karena Bunda bukan perempuan yang bersih sejak awal.

Tapi ketahuilah... Bunda berubah karena mencintaimu, bahkan sebelum kamu lahir.

Bunda ingin kamu tumbuh tahu, bahwa Tuhan kita selalu menerima,

Selalu membuka tangan... bahkan untuk orang seperti Bunda.

Jangan takut jatuh, Kirana.

Tapi jangan lupa bangkit.

Dan bila kamu merasa lelah, ingatlah satu hal:

Kita semua akan selalu butuh Tuhan.”**

Tahun kelima sejak rumah hijrah berdiri menjadi tahun yang penuh cahaya sekaligus ujian. Program demi program berkembang. Lembaga resmi pemerintah mulai mengakui peran rumah hijrah dalam pemberdayaan perempuan korban kekerasan, prostitusi, narkoba, hingga trauma agama.

Vina dan Hilmi bahkan dijadikan duta nasional untuk kampanye “Pulang Adalah Hak Semua Orang.” Di layar televisi, Vina bicara dengan suara tenang dan mata penuh keyakinan:

> “Negara tidak bisa memaksa orang jadi baik. Tapi negara bisa memberi ruang agar orang yang ingin berubah... tidak ditolak.

Tidak semua orang punya masa lalu yang indah,

Tapi semua orang berhak atas masa depan yang bercahaya.”

Kalimat itu disambut antusias. Tapi juga dibalas dengan hujatan dari kelompok yang merasa “taubat mantan pelacur tak boleh jadi panggung agama.”

Komentar-komentar pedas membanjir:

> “Hijrah bukan alasan untuk mencuci aib.”

“Jangan beri mikrofon pada orang yang pernah hina.”

“Islam tidak butuh mantan maksiat sebagai ikon.”

Vina hanya diam. Ia menulis satu kalimat di beranda sosial medianya:

> “Aku bukan ikon. Aku hanya seseorang yang bersyukur masih diberi waktu pulang. Jika kalian merasa terganggu dengan aku, tak apa. Tapi izinkan aku tetap melayani mereka yang belum tahu jalan pulang.”

Sore itu, Vina duduk bersama Kirana di taman kecil depan rumah. Daun-daun jatuh, angin semilir. Kirana menggambar masjid, dan menulis di bawahnya: “Rumah Allah – tempat Bunda pulang.”

Vina mengusap air mata yang menetes pelan. Ia sadar, Kirana mulai tumbuh besar. Dan cepat atau lambat, ia akan bertanya tentang masa lalu ibunya.

Malamnya, saat Hilmi menyiapkan teh, Vina bicara pelan.

“Bang... kalau suatu hari Kirana tahu siapa aku dulu, bagaimana kita menjelaskannya?”

Hilmi menjawab tanpa ragu. “Kita tak akan berbohong. Tapi kita akan mengajarkan padanya: bahwa kesalahan bukan akhir, dan bahwa ayahnya memilih ibunya karena perubahan, bukan karena kesempurnaan.”

Vina menunduk. Hatinya gemetar, tapi dalam gemetar itu ada keteguhan.

Beberapa bulan kemudian, rumah hijrah membuka cabang kelima di Lombok. Kali ini, tidak hanya perempuan yang datang. Laki-laki muda, korban eksploitasi seksual, bahkan beberapa mantan narapidana ikut bergabung.

Salah satu di antaranya, Rizal, mantan gigolo, yang diam-diam mengikuti setiap tulisan dan video Vina sejak dulu.

“Saya belajar sholat dari Mbak. Bukan dari ustaz. Tapi dari seorang perempuan yang pernah hancur,” katanya sambil menunduk. “Kalau Mbak bisa berubah, saya juga yakin saya bisa.”

Vina menepuk bahunya. “Tuhan tidak pernah membandingkan kita, Rizal. Dia hanya ingin tahu... apakah kita mau kembali. Kalau kamu hari ini datang, itu artinya Dia sudah lebih dulu mendekat.”

Rumah hijrah berkembang pesat. Tapi Vina tetap menjadi pribadi sederhana. Ia menolak dibayar mahal, menolak kontrak sponsorship dari produk-produk komersial.

“Aku bukan jual cerita,” katanya pada manajer salah satu brand besar. “Aku hanya ingin... satu orang, terselamatkan.”

Sampai pada satu malam, saat semuanya seolah sempurna—rumah, program, keluarga, nama baik—datanglah ujian terakhir.

Vina pingsan di tengah pelatihan parenting.

Setelah diperiksa, dokter menemukan tumor jinak yang menekan otaknya. Operasi bisa dilakukan, tapi ada risiko kehilangan sebagian fungsi ingatan.

Kirana menangis. Hilmi mencoba tegar.

“Kalau nanti aku lupa semua, Bang... apa yang harus aku lakukan?” tanya Vina lemah di ranjang rumah sakit.

Hilmi memeluknya erat. “Kalau kamu lupa siapa aku... tak apa. Kalau kamu lupa rumah hijrah, atau buku-bukumu... tak apa. Tapi jangan lupa satu kalimat, Vin...”

> “Kamu butuh Tuhan.”

Vina tersenyum, air matanya menetes. Ia menggenggam tangan suaminya erat.

“Kalimat itu... akan ku tanam paling dalam.”

Operasi berlangsung sembilan jam. Vina selamat. Tapi setelah itu, ingatannya kabur.

Ia tidak mengenali Kirana, tidak mengenali rumah hijrah, tidak mengenali dirinya sendiri. Tapi anehnya, setiap kali adzan berkumandang, Vina meminta sajadah.

Dan setiap selesai shalat, ia selalu berkata:

> “Ya Allah... walau aku lupa segalanya, jangan biarkan aku lupa pada-Mu. Karena aku... butuh Tuhan.”

Air mata Hilmi jatuh. Kirana memeluk ibunya, sambil berbisik, “Bunda, kamu adalah orang yang paling berani yang pernah aku tahu.”

Setahun berlalu. Ingatan Vina perlahan kembali.

Tidak semua. Tapi cukup untuk mengingat jalan pulang.

Di ulang tahun ke-40, Vina berdiri di hadapan para penghuni rumah hijrah. Dengan suara yang masih lemah tapi penuh keyakinan, ia berkata:

> “Aku lupa siapa aku. Tapi aku tidak pernah lupa siapa Tuhanku. Dan karena itu, aku tahu... hidupku belum selesai.”

Lima tahun setelah operasi besar yang sempat menghapus sebagian ingatan Vina, ia kembali pulih secara perlahan. Tapi tubuhnya tidak lagi sekuat dulu. Sesak sering datang tiba-tiba, dan kepalanya kadang berdenyut hebat hingga tak bisa berdiri. Namun, ia tetap bersikeras hadir dalam setiap forum, meski hanya sebagai pendengar, duduk di kursi roda, menyimak wajah-wajah baru yang datang ke rumah hijrah dengan luka yang sama seperti dulu ia punya.

Vina tahu waktunya tidak lama. Tapi ia tak pernah takut.

“Setiap kita akan mati,” katanya pada Kirana. “Tapi tak semua kita bisa memilih... mati dalam pelukan Tuhan.”

Di tahun ke-10 rumah hijrah, digelar Reuni Nasional Perempuan Hijrah Indonesia. Acara itu dihadiri ribuan perempuan dari seluruh Indonesia—yang pernah tinggal di rumah hijrah, mengikuti program, atau bahkan hanya membaca buku-buku Vina. Aula besar di Jakarta dipenuhi kerudung warna-warni dan wajah-wajah yang bersinar oleh cerita masing-masing.

Tapi Vina hanya menonton dari layar kaca di rumah sakit.

Tubuhnya tak kuat lagi menghadiri acara besar itu. Tapi ia masih menulis surat, dengan tangan yang bergetar:

Untuk kalian yang sedang mencari jalan pulang...

Jangan menunggu suci untuk datang kepada Tuhan.

Datanglah dalam keadaan kotor, karena hanya Tuhan yang bisa membersihkanmu.

Kalau aku—perempuan yang dulu dijual dan menjual diri—bisa berdiri hari ini dengan nama yang bersih,

Maka kamu juga bisa.

Karena cahaya Tuhan... datang bahkan pada yang paling gelap.

—Vina

Surat itu dibacakan langsung oleh Kirana, yang kini berusia 17 tahun. Ia berdiri tegak di atas podium, suaranya jernih, penuh wibawa, seperti ibunya dulu—tapi dengan ketegasan yang lebih muda dan tajam.

“Nama saya Kirana,” katanya, “Putri dari almarhumah Vina—seorang perempuan yang bukan hanya ibu, tapi guru bagi ribuan jiwa.”

Para hadirin terdiam.

“Saya tahu siapa ibu saya dulu. Saya tahu ia pernah tersesat. Tapi saya juga tahu... ia mati dalam keadaan sedang pulang. Dan hari ini... saya berdiri, untuk meneruskan langkahnya.”

Tepuk tangan bergemuruh.

Kirana melanjutkan:

> “Hari ini, saya akan mendirikan Yayasan Nasional Aku Butuh Tuhan, yang tidak hanya membangun rumah hijrah, tapi juga klinik psikologis untuk trauma spiritual, sekolah keterampilan, dan pusat dakwah untuk perempuan jalanan.

Karena saya percaya, seperti kata ibu saya:

'Tuhan tidak menunggu kamu bersih. Tapi menunggu kamu jujur bahwa kamu kotor dan ingin kembali.'”

Dan hari itu, Kirana resmi diangkat sebagai Duta Nasional Pemberdayaan Perempuan Marginal Indonesia. Ia bukan hanya pewaris darah, tapi pewaris jiwa dari perjuangan panjang ibunya.

Seminggu setelah acara itu, Vina meninggal dunia.

Ia wafat dalam tidur, di rumah sakit, dengan posisi sujud di atas sajadah kecil yang selalu ia bawa sejak umrah pertama.

Hilmi menggenggam tangannya hingga dingin.

Kirana mencium keningnya dan berkata pelan, “Bunda... aku akan teruskan semua ini. Aku akan jadi suara buat mereka yang masih diam. Dan aku akan selalu ingat... bahwa aku pun butuh Tuhan.”

Pemakaman Vina dihadiri ribuan orang. Mereka datang dari penjuru kota dan desa. Dari rumah hijrah Jakarta, Cirebon, Lombok, Makassar, hingga perwakilan dari luar negeri. Sebagian adalah mantan PSK, mantan napi, transgender, ibu tunggal, bahkan eks pecandu.

Di nisan Vina, ditulis dengan sederhana:

> Vina binti Mahmud

1978 – 2015

“Aku butuh Tuhan.”

Dan di bawahnya, satu baris yang diukir oleh Kirana sendiri:

> “Ia pulang... bukan sebagai perempuan sempurna. Tapi sebagai hamba yang terus mencari.”

Tahun-tahun berlalu. Tapi kisah Vina tak pernah hilang. Buku-bukunya diterbitkan ulang. Namanya diabadikan menjadi nama sekolah vokasi dan pusat trauma healing pertama di Indonesia khusus untuk perempuan korban prostitusi dan kekerasan.

Dan setiap 10 Ramadhan, diadakan Malam Doa Nasional Pulang Untuk Tuhan—di mana ribuan perempuan di seluruh negeri membaca surat-surat dari Vina, menyalakan lilin, dan mengulang satu kalimat bersama-sama:

> “Aku butuh Tuhan.”

Dan di antara semua suara itu, Kirana duduk di tengah, memegang mushaf milik ibunya yang telah lusuh, lalu membacakan kisah hidup Vina...

...dari awal,

hingga akhir.

Tahun demi tahun berlalu.

Indonesia berubah. Dunia berubah. Tapi satu hal tetap hidup dalam suara-suara yang tumbuh dari lorong-lorong gelap, gang-gang kecil, dan mata-mata perempuan yang dulu takut bercermin: kisah Vina.

Di usianya yang ke-25, Kirana berdiri di Gedung Merdeka, Bandung. Sebuah forum internasional diselenggarakan di sana: Konferensi Perempuan Marginal Asia Tenggara. Kirana diundang sebagai pembicara utama.

Gaun hitam sederhana membungkus tubuhnya. Tanpa makeup berlebih. Ia membawa dua benda ke atas podium: sebuah mushaf tua yang nyaris lepas sampulnya, dan satu buku lusuh dengan judul "Aku Butuh Tuhan" di sampul depannya.

Ruang aula sunyi saat Kirana membuka pidatonya.

> “Selamat pagi.

Nama saya Kirana.

Saya lahir dari rahim seorang perempuan yang pernah dianggap sampah masyarakat.

Seorang perempuan yang dulu dipanggil pelacur, hina, najis, dan kotor.

Tapi saya di sini hari ini, bukan untuk membersihkan nama ibu saya.

Saya di sini untuk meneruskan suaranya.”

Ia mengangkat buku itu tinggi-tinggi. “Buku ini... ditulis bukan oleh seorang akademisi. Bukan oleh ulama. Tapi oleh seorang perempuan yang dulu menjual tubuhnya untuk makan, lalu suatu hari menulis dalam tangis:

> 'Aku butuh Tuhan.'

Dan dari kalimat itu, lahirlah gerakan yang menyelamatkan ribuan jiwa.

Suara tepuk tangan mengisi ruangan, tapi Kirana belum selesai.

> “Ibu saya meninggal dalam keadaan tak banyak orang tahu. Ia wafat bukan dalam sorotan. Tapi dalam sujud. Dan ia meninggalkan pada saya... bukan harta, bukan nama, tapi warisan yang tak bisa dibeli: jalan pulang.”

Ia menatap ke arah langit-langit, menahan air mata.

> “Setiap hari saya membaca ulang tulisan ibu saya. Dan setiap kali saya ragu, saya ulang satu kalimatnya:

> 'Kirana... kamu tidak perlu menjadi sempurna. Kamu hanya perlu tahu bahwa kamu butuh Tuhan.'

Dan saya di sini hari ini... karena saya tahu, saya butuh Tuhan.”

Setelah pidato itu, yayasan "Aku Butuh Tuhan" resmi menjadi organisasi lintas negara. Cabangnya kini ada di 11 kota besar Indonesia, 2 kota di Malaysia, dan mulai dirintis di Filipina dan Kamboja. Setiap cabang tak hanya menyediakan tempat tinggal, tapi juga psikoterapi, pelatihan kerja, sekolah informal, hingga pendampingan hukum.

Di dinding utama setiap rumah hijrah, digantungkan foto besar Vina. Di bawahnya tertulis:

> "Pulang bukan soal waktu. Tapi soal keberanian."

Dan di sudut aula kecil di pusat yayasan Jakarta, terdapat ruang memorial bernama "Lorong Vina."

Di dalamnya, setiap pengunjung bisa membaca surat-surat asli Vina, naskah tulisan tangannya, sajadah yang ia gunakan saat wafat, serta potongan video dokumenter perjalanannya.

Di pintu keluar lorong itu, hanya ada satu kalimat tertulis dengan huruf besar:

> "Kita semua, pada akhirnya, akan butuh Tuhan."

Tahun berikutnya, Kirana menikah. Ia memilih seorang pria sederhana, guru pesantren yang dulu menjadi relawan di rumah hijrah cabang Padang. Pernikahan itu disiarkan terbatas, hanya untuk keluarga dan pengurus yayasan.

Dalam ijab kabul itu, Kirana tak menangis karena bahagia. Ia menangis karena haru: sebab ibu yang seharusnya menyematkan kerudung pengantin untuknya, kini hanya hadir dalam bentuk doa.

Namun ia tidak merasa sendirian.

Sebab dari barisan tamu, duduk puluhan perempuan yang dulu pernah menjadi “anak-anak” ibunya. Mereka kini berdiri kuat—sebagai guru, pengusaha, bahkan satu di antaranya menjadi anggota dewan. Semua berangkat dari luka, tapi berdiri dengan cahaya.

Dan mereka semua berkata dalam hati:

> “Kami pulang... karena Vina pernah membukakan pintu.”

Beberapa tahun kemudian, Kirana menulis buku sendiri. Judulnya:

> “Pulang Bersama Ibu.”

Di bab terakhir, ia menulis:

> “Ibu saya bukan wali. Tapi ia lebih berani dari banyak orang suci. Ia bukan sempurna. Tapi ia jujur. Dan dari kejujuran itu... ribuan perempuan menemukan jalan pulang.

Hari ini aku teruskan langkahnya,

Tidak karena aku hebat,

Tapi karena aku, seperti ibu...

Akan selalu butuh Tuhan.”






















Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)