Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,186
tulisan terakhirku
Drama

Awali pagi dengan Bissmillah berharap menutup hari dengan Alhamdulillah, Jan, seorang mahasiswa tingkat akhir yang bangun lebih pagi dari biasanya dan berangkat ke kampus mendahului sang fajar bangkit dari pelukan malam. Sudah tiga hari berlalu, Jan membiasakan diri dengan rutinitasnya yang baru. Bangun lebih pagi, berolahraga, sarapan pagi, membaca quote dan berangkat ke kampus.

Jan yang berusaha dengan gigih melakukan rutinitas barunya, membuat dosen pembimbing tugas akhirnya pun terkejut dengan perubahan drastisnya. Bukan hanya itu saja penampilannya pun ikut berubah, yang biasanya datang ke kampus bak warga korban bencana alam kini layaknya seorang revolusioner Sebuah perubahan yang sangat mengejutkan alam dan makhluknya.

“Beberapa hari ini, saya perhatikan kamu datang lebih awal Jan. Bahkan mendahului para staf dan dosen di kampus. Ada sesuatu yang menarik? Tapi baguslah, yang jelas saya mau ini bertahan hingga nanti.” ucap bu Witari. “Dan besok, kamu harus daftar sidang. Saya kasih kamu acc hari ini.” ucap bu Witari yang sedang mengecek hardcopy tugas akhir Jan.

“Baik bu, terima kasih.” ucap Jan dengan lirih.

“Berkas-berkas lainnya, pitchdesk, kelengkapan data segera kamu persiapkan biar nggak gelagapan pas mendekati hari H.” ucap bu Witari.

Setelah pengecekan EYD dan analisis data, Jan meninggalkan ruangan bu Witari dan segera turun menemui staf tata usaha guna mengetahui persyaratan pendaftaran sidang. Melihat antusiasme pendaftar, Jan menghindari kerumunan dan pergi mempersiapkan hardcopy lainnya di percetakan langganannya.

“Woi bang, Selamat Pagi,” sapa Jan untuk teman curhatnya sekaligus pemilik percetakan Al-Thalita. “Print ada yang kosong bang?” tanya Jan yang sedang memarkirkan motornya.

“Ah, pasti disuruh print out lembar pengesahan dan lembar persetujuan kan?”

“Nah, tuh abang tau. Gila sih intelnya di kampus sampe tau gini.” ucap Jan bersemangat sambil merogoh flashdisk-nya.

“Siapa dulu Tino nih boss,” Sambil tertawa. “Tunggu bentar bro, gantian sama kakak itu. Ki… dah selesai belum ngeprint-nya soalnya tuan muda percetakan ini mau pake juga.”

“Belum bang, Kiki masih ngecek dulu print-an yang lain.” ucap salah satu pelanggan bang Tino.

“Kalau mau nge-print juga Ki, pake aje print yang di belakang tu.” ucap bang Tino menunjuk ke salah satu print yang baru saja ia beli minggu lalu. “Tuan muda bisa pakai yang di meja.” sambung bang Tino.

“Wah, ini nih yang aku suka. Pagi-pagi jadi tuan muda.” sambung Jan sambil memperhatikan kuantitas kertas di printer. “Ada kendala tak ni printernya bang?”

“Ada, cuma perhatiin tintanya, soalnya suka banjir,”

“Sipp…”

Melihat Jan yang terlalu sibuk dengan bahan sidangnya, sambil menyetel MP3 Muse – Hysteria membuat bang Tino sedikit terabaikan. Biasanya sesibuk apapun Jan masih tetap bisa berbicara atau bercanda. Namun kali ini, Jan terlihat sangat menyibukan dirinya dengan hardcopy dengan tanpa memperdulikan orang disekitarnya.

“Jan, duduk dulu. Nih Floridina, kakak itu yang beli.”

“Sekejap bang, mau ngeburu-buruin ini dulu.”

“Buat apa sih bang, kok harus buru-buru?” tanya pelanggan yang sedari tadi masih menunggu hasil print out-nya. Ia merupakan pelanggan setia bang Tino. “Duduk dulu lah, bagi waktu untuk diri biar lebih tenang.” ucapanya

“Bentar dulu deh, lagi sibuk banget nih.”

“Udahlah Ki, dia lagi ngerjain skripsi. Gitulah kalo kuliah nih, ribet.” jelas bang Tino kepada kakak tersebut.

Di tengah kesibukan Jan yang perlahan-lahan check and recheck setiap lembar print out-nya, pelanggan setia bang Tino menghampiri Jan.

“Kalo aku tekan ini boleh?” tanya kakak itu lagi sambil menyentuh tombol switch pada printer yang lagi on progress.

“Jangan kak, entar aku ngulang lagi satu semester” jawab Jan

“Duduk dulu, minum nih” sambil memberikan sebotol Floridina.

Untuk tidak memperpanjang resiko kerusuhan beliau, akupun langsung menerima Floridina tersebut dan membiarkan printer itu menyelesaikan tugasnya. Jan pun duduk di samping kipas angin tua yang melegenda di Al-Thalita. Kipas angin itu menjadi saksi bisu keberhasilan para mahasiswa meraih gelar sarjana.

“Tak ada jampi-jampi-nya kan?” tanya Jan sambil tersenyum tipis melirik pelanggan setia bang Tino.

“Cukup bismillah aja,”

“Mana tahu setelah minum ini aku langsung jatuh cinta sama kakak, kan” ucap Jan bercanda

“Sedapkan, kakak ini pelanggan setia abang dari dulu-dulu dah.” sambung bang Tino.

Honestly Jan tidak begitu perduli tentang percintaan, ia hanya kepengen lulus dengan segera. Lagipula Jan melihat dia bak wanita dewasa dan alim banget, berbeda dengan para mantannya yang manja dan kekanak-kanakan. Pandangan Jan sedikit tercuri olehnya saat ia ingin meminum Floridina-nya setelah membuka masker yang dikenakannya sambil menunduk. Demi sang Pencipta, Ya Allah dia cantik banget, walaupun agak terlihat berumur dibandingkan dengan Jan.

“By the way, thanks Floridinanya bang” ucap Jan yang kembali fokus dengan print out-nya.

“Iya sama-sama” jawab bang Tino. “Gitu e, kalau orang malu-malu tapi mau. Bukan abang yang beli sal, kakak itu” ucap bang Tino meledek tingkah Jan yang salah tingkah.

“Aiy, sorry lah. Makasih kak.” ucap Jan.

Jan pun kembali ke setelan awal, sambil melakukan tugasnya Jan pun berdialog dengan Kinara dan bang Tino. Pembicaraan Jan dan Kiki pun perlahan-lahan mulai menunjukan arah dan mengungkap keperibadian satu sama lain. Kinara Larasati atau dikenal Kiki merupakan seorang pekerja sosial yang mendedikasikan diri untuk anak-anak disekitar dalam mempelajari agama islam. Ia yang cukup dikenal di kota besar ini membuat Jandika Mahaputra sedikit terkagum-kagum dengan cerita yang dituturkannya dan bang Tino. Bukan perkara mudah gadis yang sudah matang untuk menikah malah memilih untuk bekerja dan membantu anak-anak sekitar.

Berjam-jam kemudian menjelang makan siang tiba, Jan beranjak menuju kampus dan ruangan staf tata usaha. Dengan langkah cepat setelah memarkirkan motor bututnya, Jan pun tiba di lobby staf tata usaha dan menanyakan perihal pendaftaran sidang periode 2019. Mendengar beragam penjelasan dari salah seorang staf, Jan memutuskan untuk mendaftarkan diri siang itu dan esok hari akan ia manfaatkan untuk mempersiapkan kelengkapan berkas dan data yang di maksud bu Witari.

“Bang, jadwalnya rilisnya kapan bang?” tanya Jan kepada staf tersebut.

“Kemungkinan itu Senin depan udah rilis di website fakultas.” jawab salah seorang staf yang menerima berkas registrasi sidang mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.

Waktu istirahat terasa begitu cepat berlalu, Jan yang baru 15 menit berada di kampus turun lagi ke percetakan dan memastikan print out yang ditinggalkannya masih beroperasi dengan baik. Setibanya di Al-Thalita, Kinara sudah tidak ada lagi disana.

“Bang, Floridina aku masih ada disitu nggak bang?” tanya Jan sambil melirik bangku yang diduduki Kinara beberapa saat yang lalu. “Bang, Kak Kiki dah balim ye?” tanya Jan lagi.

“Ada, gawat nih, ternyata bukan cuma nyariin Floridina-nya tapi orangnya juga. Bahaya-bahaya.” ledek bang Tino yang sedang sibuk maintenance mesin fotokopi-nya.

“Eh, eh, eh, takut mubazir bang itu aja sih.” ucap Jan mengelak.

“Kalau iya pun, gak ada masalah bro.” ucap bang Tino yang meledek Jan terus-terusan.

“Skip. Banyak lagi nih bang print-an aku. Nyampe sore kegnya bang.” ucap Jan yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

Kesibukan Jan terus berlanjut hingga malam tiba. Bang Tino yang sedari padi hingga kini pulang sejenak dan menitipkan percetakan dengan Jan sementara. Jan yang semula sendirian kini di temani banyak mahasiswa lainnya yang berebut mengerjakan print out mereka. Sementara Jan sudah menyelesaikannya dan hanya pitchdesk yang perlu dipersiapkan esok hari.

Menjelang shalat fardhu Isya’ , bang Tino dan kak Devi datang untuk berberes-beres di percetakan. Sedangkan Jan hanya membantu mengemasi kertas potongan yang berserakan sedari pagi tadi. Tak berlangsung lama, Jan pun berpamitan untuk pulang kepada bang Tino.

“Bang, aku balik dulu ye. Besok kalo ade can aku datang lagi.” ucap Jan sambil memutar kendaraan butut legendarisnya.

“Iye, hati-hati di jalan. Jangan pula menghilang.” ucap bang Tino meledek kebiasaan Jan yang keluyuran dan tak pulang ke rumah.

Sepanjang perjalanan pulang di malam itu, Jan hanya terfokus memikirkan pitchdesk-nya dan beragam pertanyaan yang akan menerpa persis perkataan kakak tingkat tahun lalu. Bahkan pesan dosen pembimbingnya begitu terngiang-ngiang di ingatan. Sosok yang tak pernah berkeras untuk belajar malah harus dihadapkan dengan tugas akhir dan sidang. Hanya termenung dan fokus pada padatnya kondisi perjalanan membuat semacam kedamaian itu hadir. Sesekali lamunan dan fokus Jan teralihkan pada seruan klakson secara tiba-tiba bak membakar hutan damai dengan dinamit berdaya ledak spektakuler.

Namun kerlap-kerlip lampu jalanan dan rambu lalu lintas mencoba mengisi pikirannya dengan pertemuan Kinara tadi siang. Seperti mengisi ingatan lalu menghilang seiring angin bertiup. Begitukah cinta? Melekat dalam ingatan menghilang jika ada kesempatan. Dalam hati hanya ada pertanyaan dan rencana namun ia hanya tidak percaya jika cinta itu bersemi tak mengenal usia dan tahta. Riuh angin menerpa dahan pohon seolah mengoyak sanubari dan bersabda sosok yang ia temui hari ini adalah cinta yang ia rindukan sejak dahulu. Tanjakan tak lagi ia rasakan hanya jalan datar nan halus yang terus menerus menemani jalan sunyinya yang tak ingin mencintai sesuatu yang salah lagi.

Lelahnya dengan asa yang dahulu hampir terenggut oleh silaunya bidadari yang datang silih berganti menguji tubuh dan hati ini, kini ia biarkan terbaring mengistirahatkan pilu perihnya perjuangan dan percintaan. Mendekati hari yang akan berganti, Jan hanya ingin bersiap menghadapi hari esok dan sidang tugas akhirnya minggu depan.

Keesokan harinya, Jan dengan rutinitas barunya mencoba menghabiskan paginya di sebuah mercusuar yang letaknya berjauhan dengan tempat tinggalnya. Disana ia hanya duduk menikmati matahari yang perlahan meninggi hingga embun yang menyelimuti pantai menghilang perlahan.

“Hufftt… seandainya ia datang dengan serius maka aku akan dua kali lipat lebih serius.” ucap Jan yang berdiri perlahan dan bersiap untuk pulang.

Saat ingin meninggalkan mercusuar, Jan mengabadikan momen itu dan menulis sebait puisi yang ditujukan kepada para bidadari yang ingin datang dan menetap sebagai pengingat bahwa mercusuar ini tempatnya berpikir dan menenangkan diri.

Setelah cukup puas menikmati hangatnya mentari pagi dengan tulisan puitis, Jan bersegera meninggalkan mercusuar dan pulang. Ia mengingat bahwa hari ini adlah waktu baginya untuk membuat pitchdesk dan mengecek kelengkapan data. Bukan hanya itu, ia pun harus mencetak beberapa lampiran untuk keabsahan proses penelitian tugas akhirnya.

“Hari ini, ke tempat fotokopi-an bang Tino ngeprint lampiran, terus ke toko buku, lanjut ke taman atau café buat ngerjain pitchdesk.” ucap Jan sambil merapikan rambutnya yang setelah 3 tahun lamanya tidak pernah sisiran ataupun pomade-an. “Sekaligus ngobrol-ngobrol ama pelatih.” ucap Jan.

Saat tengah bersiap dengan motor bututnya, tiba-tiba awan tampak mendung dan secara perlahan hujan pun turun. Jan pun duduk kembali di ruang tamu dan ngobrol dengan bibinya yang sedang menyiapkan sarapan pagi. Jan pun yang sedari tadi berbicara banyak juga ikut sarapan. Padahal niatnya Jan ingin sarapan di kedai gado-gado dan minum secangkir air tebu hangat di pagi hari.

Semenjak neneknya wafat, Jan tinggal bersama bibinya. Sedangkan kakeknya sering berpergian. Wafatnya nenek Jan memberikan pengaruh signifikan pada kehidupan keluarga besar Amiruddin, terlebih lagi setelah pamannya membawa kabur uang miliaran rupiah hasil penjualan tanah usaha neneknya ditambah lagi hutang perjudian yang diakibatkan oleh pamannya membuat kehidupan keluarga tidak begitu stabil. Bukan hanya kakeknya yang terpukul karena itu, Jan pun mengalaminya. Semua urusan diserahkan kepada Jan.

Hujan pun mulai reda, Jan bersiap untuk pergi. Namun sebuah panggilan masuk dari nomor yang tak dikenali mengusik.

“Halo, Benar dengan kak Jandika?” sapa penelepon. “Aku Nabila, masih ingat kan?” tanya penelepon.

“Iya benar, saya Jandika. Nabila Putri?” sahut Jan.

“Iya, bisa bicara sebentar di Coffee Shop BRC?” tanya penelepon.

“Ada apa lagi ya? bukannya kita udah selesai dan bubar. Kan ini yang elu mau, kita masing-masing aja tanpa harus memikirkan beban satu sama lain. Saat ini aku tenang.” jelas Jan dan segera menutup teleponnya.

Setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya di telepon, Jan segera berangkat dan mengubah rencananya untuk hari ini. Ia akan menemui pelatih judo-nya terlebih dahulu dan dilanjutkan ke fotokopian setelahnya.

Pikiran yang semula aman tentram berubah menjadi sedikit semrawut. Setelah berkirim pesan via Whatsapp dengan pelatih judo-nya, Jan melaju ke Coffee Shop BRC dimana ada pelatihnya dan Nabila yang sedang menunggu kedatangannya.

Beberapa menit kemudian setelah melewati rintik hujan, Jan pu tiba dan berjabat tangan dengan pelatihnya juga Nabila. Nabila Puteri adalah mantan kekasih Jan sekaligus partner bekerja saat di kamp latihan. Mereka berdua telah menjalin hubungan 3,8 tahun lamanya yang dan hampir Jan nikahi. Sambil memesan kopi panas dan cemilan pagi, Jan tak banyak berbasa-basi. Ia langsung mendiskusikan hubungannya yang berakhir dengan Nabila.

“Jujur aja nih coach, Aku dengan Nabila sebenarnya memiliki kesamaan. Kami berdua sama-sama keras kepala, tidak terlalu dekat dengan orang tua, impulsif terhadap sesuatu, suka melanggar aturan. Itulah yang menjadi alasan kami bisa menjalin hubungan 3.8 tahun. Selain itu, aku mengenal keluarganya dengan sangat dekat, adiknya, ayahnya dan neneknya. Bahkan aku pernah berniat mengikrarkan hubungan ini kejenjang yang lebih serius. Ternyata, kami berdua terbuai dengan segala keindahan dan kenyamanan berpacaran. Kami sering berpergian keluar kota berdua-duaan, menikmati weekend di pulau berdua bahkan kami tampak seperti suami istri yang sedang berbulan madu. Namun saya merasa hubungan ini sudah melewati batas keasusilaan dan bisa saja terjebak dalam hubungan yang buruk.” jelas Jan sambil menghela napas panjang seolah Jan bercerita hanya berdua dengan pelatihnya tanpa menganggap keberadaan Nabila.

“Terus karena itu? Nabila menghilang dari camp latihan bahkan saat dihubungi ia terkesan menghindari pembicaraan dengan saya. Lalu dari teman-temanya mengatakan kalau ia sedang tidak dalam kondisi baik apalagi setelah putus dari mu. Saat itu saya juga terkejut bahwa kalian sudah putus sekitar tiga mingguan. Jelas saja ini sangat buruk Jan, terkhususnya pada mental Nabe yang saat ini menginjak 21 tahun. Ia dulu pernah bercerita bahwa ia hanya dekat dengan mu dan ia tidak begitu dekat dengan orang tuanya. Mungkin segalanya digantungkan padamu, tapi kamu meninggalkanya.” terang coach.

“Saya sangat paham coach namun dibalik itu saya juga merasa sangat bosan dengan semuanya. Saya pernah berterus terang dengan Ibu-nya terkait dengan maksud saya untuk memilihnya sebagai istri saya dan kenyataan pahitnya saya terima langsung. Ibunya berkata bahwa ia sebenarnya tidak begitu mengizinkan hubungan kami bahkan menjadikan Nabe istriku. Mereka sangat tidak menyetujuinya. Lalu untuk apa saya bertahan lebih dari 3,8 tahun jikalau saya hanya akan digantungkan? Itulah yang membuat saya bosan dengan hubungan ini seolah tiada penghujung. Lalu salahkah saya coach meninggalkannya?” jelas Jan dengan nada tinggi.

Nabila yang sedari tadi duduk disana hanya terpaku membisu dan terisak tangis mendengar ucapan Jan yang terlalu menusuk. Ia hanya tertunduk menutupi kesedihan dan dukanya.

“Waduh, saya tidak terlalu tahu menahu tentang ini. Saya hanya mengkhawatirkan Nabila yang sedang berproses tumbuh.”

“Sudahlah coach, saya juga akan mengundurkan diri dari camp latihan.” ucap Jan yang bersiap pergi. “Kenapa? Karena saya tidak ingin mengenang kisahku dan perjalananku bersamanya di camp latihan.” pungkas Jan.

“Bisakah kau berpikir jernih untuk urusan ini?” ucap coach sambil menatap tajam ke arah Jan.

Tanpa menjawab pertanyaan coach, dengan segera ia meninggalkan keduanya. Sepanjang pembicaraan tersebut Jan merasa sangat kecewa walaupun itu adalah kisah masa lalu. Tak jauh dari Coffe Shop, Jan kembali dipertemukan dengan teman-teman camp latihannya. Mereka juga menanyakan hal yang sama bahkan terkesan menyalahkan aku dalam hal ini. Mendapati banyak pertanyaan dan penekanan Jan pun berlalu pergi menjauhi mereka dan melaju semampu motor bututnya.

Cukup lama di perjalanan dengan amarah dan kekecewaan, Jan mencoba mengendalikan emosinya setelah pembicaraan tadi sebelum ia sampai ke fotokopian. Soalnya bang Tino mampu menebak dengan tepat apa yang Jan rasakan.

“Ape can? ade firasat baik kayaknya ni?” sapa bang Tino setelah Jan memarkirkan motornya.

“Alhamdulillah. semua aman terkendali bang.” ucap Jan yang berusaha terlihat baik-baik saja.

“Kalau ade hal, tak usah di sembunyikan bro.” ucap bang Tino yang mencoba mendapatkan informasi dari Jan.

“Kakak yang kemarin tu kapan datang lagi bang?” tanya Jan yang duduk sambil menyalakan sebatang rokok.

“Nah ketahuan kan, jatuh cinta rupanya tuan muda kita,” ledek bang Tino.

“Ah mati anak ayam. Nak becakap lebih ade kena step terus. Mane bang nomor WA-nye?” ucap Jan yang to the point. Bang Tino pun yang mendengar ucapan Jan, bersemangat dan memberikan nomr ponsel yang Jan maksud.

“Nah, 085762333959. Ditunggu kabar baiknye.” ucap bang Tino memberikan ponselnya.

Jan yang mengalihkan pembicaraan tersebut berhasil menutupi masalah yang baru saja ia selesaikan bersama pelatihnya dan Nabila. Menjadikan Kinara sebagai alasan ternyata berhasil memperdaya bang Tino.

“Bang, aku nak nge-print bise tak bang?” tanya Jan sambil mengotak atik komputer didepannya.

“Pakai aje yang mane-mane situ.”

Dengan suasana hati yang tidak begitu baik, setelah Jan menyelesaikan printing-nya, ia pun pergi dan berdalih bahwa ia akan ke kampus pada bang Tino. Namun bukannya ke kampus Jan pergi ke salah satu tempat keramaian dan duduk disana menikmati kesendiriannya.

Sambil menyusun data-data yang diperlukan, Jan yang multitasking pun mengerjakan pitchdesk-nya. Baru setengah perjalanan mengatur pichdesk-nya, Jan teringat dengan nomor Whatsapp yang diberikan bang Tino kepadanya.

Dengan situasi yang semrawut, Jan mencoba mengirimkan pesan singkat melalui SMS kepada Kinara. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Nabila menghubungi Jan kembali.

“Ya, halo,” sapa Jan.

“Yah, rupanya masih mau angkat telepon dari aku,” ucap Nabila yang terdengar tertawa kecil. “Aku jujur, aku benci banget sama kau, aku kira kitab isa bertahan lebih jauh lagi dan kau mengerti dengan perlakuan aku. Ternyata cintamu cuma segitu aja. Orang tuaku bilang begitu, kau tak mau memperjuangkan aku dan cinta kita. Kau lebih milih pergi dan menghilang. Pengecut.” ucap Nabila dan menutup teleponnya segera.

“Ah… kampret. Seharusnya aku ga ngomong tadi di BRC. Sial… sial.” maki Jan sambil menghapus nomor nabila dan memblokir nomor whatsapp-nya.

Sesudah menerima kekesalan yang teramat sangat, Jan menerima pesan masuk dari Kinara.

“Dapat dari mana bang nomor aku?” tulis Kinara.

“Dari bang Tino.” balas Jan.

Komunikasi mereka pun perlahan terjalin baik. Bahkan mereka saling bercerita tentang kipas tua seribu umat yang ada di Al-Thalita. Ada kebahagian yang terlihat dari raut wajah Jan selepas membalas dan menerima balasan pesan dari Kinara.

Perjalanan kisah mereka berdua dimulai dari sini. Perlahan dan pasti keduanya saling dekat satu sama lain, bahkan candaan candaan kecil menumbuhkan sesuatu yang berarti yakni kenyamanan. Jan yang dikenal suka bercanda dan membuat lawan bicaranya kesal seringkali menjadi momoknya sendiri ketika berbicara. Terkadang kata-katanya mampu melukai perasaan seseorang tanpa ia rasakan.

Setelah berkomunikasi cukup intens dengan Kinara, ia sering kali membuat Kinara badmood yang diakibatkan oleh candaan Jan yang tak terorganisir dengan baik. Namun apapun yang telah keluar dan menyinggung perasaan Kinara, membuat keduanya tampak semakin dekat. Trelebih lagi, sosok Kinara adalah orang yang usil dan pecicilan. Terpaut selisih satu tahun bukan menjadi sesuatu yang aneh, mereka berkomunikasi dalam media chat layaknya seumuran.

“Selain aku, pasti abang ade cewek lain kan?” tulis Kinara.

“Tak adelah, masa lalu aku yang buruk sudah ku tinggalkan beberapa minggu lalu. Sekarang ade kakak je. Masa lalu aku buruk kak, aku tak pengen sesuatu yang terjadi dulu terulang lagi.” balas Jan.

“Oh yelah. Aku kenal abang yang sekarang jadi apapun masa lalu abang, aku terima abang yang sekarang.” tulis Kinara.

Pesan demi pesan terus berlanjut hingga keduanya lupa jikalau ada perasaan yang ikut berperan diantara keduanya. Secara nyata, Jan mulai menemukan ritmenya dengan Kinara setelah memutuskan hubungannya dengan Nabila. Bak seorang yang lagi kasmaran, semuanya menjadi indah.

Beberapa hari kemudian, Jan yang sudah siap menghadapi ujian sidang tugas akhirnya pergi berkunjung ke Al-Thalita. Dan di hari itu, Jan dipertemukan kembali dengan Kinara.

“Eh… Kiki. ngeprint lagi ke?” tanya bang Tino.

“Assalamualaykum, bang. Kiki cuma mau fotokopi ini aje bang.” sapa Kinara sembari mengeluarkan beberapa lembar kertas.

Jan yang sedang mengutak atik pitchdesk-nya tak begitu memperdulikan kedatangan Kinara. Setelah Kinara menyerahkan berkas yang ingin di fotokopi, ia masuk dan melihat Jan yang sedang sibuk dengan file-file-nya membelakangi Kinara.

“Oi, sibuknye pula.” sapa Kinara.

“Tak usah dulu ganggu kak, ade banyak ni mau disiapkan.” ucap Jan yang terus menatap laptop-nya.

“Jangan Ki, die nak sidang skripsi Selasa depan.” timbal bang Tino.

“Aih, padahal aku nak ngajak makan siang.” ucap Kinara menggoda Jan.

“Apelagi Jan, kode ni. Masa cewek yang ngajak kan,” ledek bang Tino.

Jang tak menggubris apapun, lalu Kinara pun berpaling ke kak Devi yang sedang berbicara padanya. Selang beberapa menit, Kinara kembali dan memberikan snack kepada Jan yang terlihat lebih siapa untuk diajak berkomunikasi.

“Nak bang.” ucap Kinara, “Rejeki tak boleh ditolak.” sambungnya.

“Terima kasih, padahal baru akum au ajak makan siang.” ucap jan dengan nada bercanda.

“Ah, malaslah, dah expired dah, aku dah kenyang liat abang yang sibuk tadi.” ucap Kinara yang sedikit bermuram.

“Yah, tulah engkau Jan. Merajok lah anak orang. Kalau Kiki merajok Jan, susah bujuknye.” sambung bang Tino menakut-nakuti.

“Mane bise die merajok dengan aku bang. Dah terlatih die tu menghadapi aku bang,” ucap Jan sambil menertawakan Kinara yang terlihat kesal.

“Seboklah, abang ni.” ucap Kinara.

Setelah bercengkrama dan bercanda, Jan harus ke kampus terlebih dahulu, untuk mengambil berkas-berkas sidang dan berita acara. Kinara pun masih di Al-Thalita menunggu fotokopian-nya selesai.

Stelah beberapa menit, Jan kembali ke Al-Thalita dan berpapasan dengan Kinara di pertigaan. Mereka hanya melempar senyum tipis satu sama lain.

Jan yang melihat Kinara pun segera melaju ke fotokopi-an. Jan pun beristirahat sejenak dan menyalakan rokok mendapat pesan whatsapp dari Kinara.

“Sombong nye oi. Negur pon tidak.” tulis Kinara. “Semangat bang sidangnya terus jangan lupa berdo’a kepada Allah agar dimudahkan.”

“Bukan sombong, tak sempat aje nak negur. Kakak bawa motor macam pembalap tu. Terima kasih.” balas Jan.

Ahkhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Jan yang sudah bangun sejak pagi sekali telah mempersiapkan segala sesuatunya. Tanpa memberi kabar kepada orangtua dan bibinya bahwa hari ini sidang skripsi, Jan meluncur mendahului matahari bersinar lagi. Ia langsung ke Home Bakery untuk membeli beberapa cemilan dan setelahnya lanjut ke kampus.

“Yah, otw sarjana aku nek.” gumam Jan yang melaju dengan motor bututnya ditengah rintik hujan.

Tibalah saatnya giliran Jan yang masuk ke ruangan sidang tugas akhirnya. Ia masih mempersiapkan segala sesuatunya agar tertata rapi.

Setelah beberapa menit di dalam ruangan sidang, Jan berharap mendapat pertanyaan yang telah ia siapkan jawabannya, namun tanpa disangka-sangka pertanyaan yang keluar adalah pertanyaan tentang masa kelam ku di kampus sebagai seorang pendemo. Betubi-tubi pertanyaan seolah mengorek informasi mengenai alasan Jan membelot ke universitas sebelah dalam menggulingkan kepemimpinan rector universitas tersebut.

Jan yang mendapati dirinya terus di bombardier, terpaksa harus mengatakan dengan jujur dan benar tentang kasus tersebut. Bahkan Jan dicap sebagai pengkhianat kampus saat itu kejadian. Jan yang keringat dingin berharap mendpat pertanyaan akademis malah mendapat pertanyaan ekstrakampus.

Sekitar 1 jam 45 menit berlalu, lima orang penguji melontarkan pertanyaan serupa hingga membuat jan semakin kalang kabut menemui pertanyaan demi pertanyaan yang menyudutkan Jan dan pikirannya. Jan yang jujur tentang kondisi saat itu, dibantah oleh mereka karena dianggap terlalu mendramatisir jawaban bahkan mereka menguji kemampuan pengetahuan Jan dalam berperan sebagai pendemo.

Setelah para pembimbing dan penguji merasa tidak mendapat jawaban yang memuasakan, mereka pun menyudahi sidang tersebut dan berujar bahwa Jan diluluskan saja agar tak terjadi konflik kembali di kemudian hari. Mendengar ucapan penguji dan pembimbing, Jan pun bersyukur bahwa ia akan keluar dari kampus yang ternyata mengangap keberadaanya disana berbahaya.

Sidang pun usai, Jan membereskan berkasnya dan melaju ke Al-Thalita guna menenangkan diri dan merefresh pikirannya yang diajak bergerilya.

“Terok… terok aku bang, masa dosen penguji dan pembimbing nanya masalah diluar kampus. Pans dingin aku jawabnya bang,” curhat Jan pada bang Tino.

“Pantaslah, aku liat engkau kayak orang habis bak bik buk.” ucap bang Tino. “Udah chat Kiki?” tanya bang Tino.

“Belum bang. Besoklah kalo sempat.” ucap Jan.

“Chat lah, mana tau die sakit.” ucap bang Tino.

Jan yang mendengar ucapan bang Tino pun penasran dan mencoba mebuka pembicaraan dengan Kinara. Berselang beberapa menit, Kinara pun membalas chat tersebut dan mengatakan ia baik-baik saja. Namun, ibunya yang sakit.

Setelah Jan merasa cukup baik, ia pun pamit pulang dan berberes untuk healing esok hari. Diperjalanan Jan hanya memikirkan kebenaran yang tejadi di kampusnya. “Pantas saja, setelah aksi itu, teman-teman dan junior kampus semua tampak cuek dengan keberadaan-ku. Seringkali argumenku dianggap tidak ada dan tak berarti. Bahkan setelah aku dicap sebagai pengkhianat, aku malah semakin dijauhi.” pikir Jan.

Setibanya dirumah, Jan pun beristirahat dan bercerita dengan teman ceritanya yakni Chyntia. Chyntia adalah sahabat Jan yang telah bersahabat sejak masih SMA. Jan pun menceritakan segalanya tentang harinya yang dirasa berat, dan Jan pun tak segan untuk bercerita apapun kepada Chyntia.

Hari baru pun dimulai, Jan yang bersiap berada di fase bukan mahasiswa lagi mulai terasa. Ia mulai menyibukan diri dengan mencari pekerjaan dan melakukan hobinya yakni mendaki. Jan pun sesekali berkabar dengan Kinara dimana dan apa yang ia lakukan.

“Oi, bang? Sibuk tak?” tulis Kinara. “Bang, tau tempat jual kurma tak? mamak aku mau makan kurma lah. Kalo bang tak sibuk boleh minta tolong tak, belikan.” sambungnya.

“Tau kak. nak berape kilo?” balas Jan.

“Sedikit aje bang.”

Jan yang bertepatan sedng berada di salah satu masjid yang memiliki pasar kurma di sebelahnya pun segera membelikan untuk Kinara. Kurma dengan bukus rapi itu pun segera Jan bawa ke rumah Kinara. Dikarenakan Jan yang tak tau menau alamat tinggal dan hanya tau secara garis besar Kinara tinggal di Desa itu, ia pun menanyakan ke beberapa remaja yang sedang bermain disana untuk menunjukan lokasi rumah Kinara.

Berjuta detik pun berlalu, Jan yang menemukan lokasi rumah Kinara menjelang maghrib tiba, Jan tak punya waktu yang begitu lama untuk bercengkrama. Bahkan ini adalah perdana Jan datang menemui Kinara dirumahnya. Sedikit canggung terasa setelah Jan dipersilahkan naik dan dijamu oleh Kinara dan memberikan kurma yang Kinara inginkan menjadikan suasana sedikit bertabrakan satu sama lain. Hnaya diam sepanjang panjang perjamuan.

“Gimana keadaan mamak kakak?” tanya Jan yang mencoba memulai pembicaraan.

“Agak mendingan, tapi sedikit flu.” ucap Kinara.

Pembicaraan pun mulai mencair, ada banyak candaan dan tawa setelahnya. Jan pun menceritakan sebagian kehidupannya, karena ia merasakan Kinara adalah orang yang tepat untuk menerima ceritanya. Belum sempat menyelesaikan ceritanya, adzan maghrib berkumandang dan Jan pun segera berpamitan.

“Cepat sembuh, kak, buat mamak kakak.” ucap Jan.

“Iye makasih bang.” jawab Kinara.

Perjalanan pulang pun terasa membahagiakan bagi Jan, terutama setelah ia benar-benar nerjumpa dengan Kinara dirumahnya. Situasi yang sulit terasa lenyap dan pikiranku yang kusut dengan lamaran pekerjaan pun seperti diluruskan olehnya. Seperti membayangkan sebuah musim semi yang indah dimana Jan dan Kinara menikah.

“Aih… kenapa aku mikirin itu sih.” gumam Jan yang mencoba menampik khayalannya.

Jan yang berproses sendiri dan ditemani beberapa wanita membuat hidupnya tak pernah lepas dari bayang-bayang wanita. Berhari-hari sudah ia lewatkan dengan ngobrol dengan beberapa teman pria dan kebanyakan teman wanita menjadikan Jan berubah menjadi sedikit perasa.

Perilakunya yang terkadang mengundnag kekesalan pun perlahan menhilang. Perubahan itupun diakui oleh Kinara yang berujar bahwa Jan yang dikenalnya dulu berbeda dengan sekarang, ia sekarang mengerti apa yang dirasakan wanita dalam beberapa kondisi. Termasuk kondisi saat ia dan Kinara berkirim pesan dan berbicara melalui telepon.

Suatu malam dimana Jan emnanyakan sesuatu yang random kepada Kinara.

“Kak, kalau aku tiba-tiba suka seseorang wajar gak sih?” tanya Jan.

“Abang, punye cewek lain ye? atau abang suka sama cewek lain?” tanya Kinara.

“Tak, Cuma nanya aje.” ucap Jan.

“Malaslah, abang suka sembunyikan sesuatu. Merajok aku!” ucap Kinara yang membisu setelahnya.

“Mak oi, janganlah merajok cepat tue nanti mike.” ucapa Jan meledek Kinara.

Berhari-hari setelah pembicaraannya dengan Kinara, ia tak pernah lagi berbicara dengan Kinara, hanya sesekali berkirim pesan. Pengumuman yudisium dan wisuda pun telah keluar, Jan yang sudah muak dengan keberadaannya yang tak dianggap di kampus, hanya mendaftar wisuda tanpa mengikuti prosesi yudisium.

Berselang tiga hari menjelang wisuda, Jan menghubungi orang tuanya untuk hadir dalam wisudanya, ia berniat mempertemukan Kinara dan orang tuanya. Kinara dan Jan pun telah membicarakan hal tersebut berulang kali dan Kinara memberikan respon yang sangat baik.

Saat hari H, tiba-tiba saja Kinara mendapat tugas sehingga tidak bisa hadir menemui kedua orang tua Jan. Padahal hari itu, Jan ingin beryerus terang kepada orang tuanya untuk menikahi Kinara akhir tahun ini. Hal tersebut membuat Jan sedikit kecewa bahkan ia tampak tak bersemangat menatap wisudanya di depan orang tuanya. Seakan penuh sesal untuk melaksanakan wisudanya. Sesuatu yang terjadi malah tidak sesuai rencananya. Jan yang sedikit murung membuat khawatir kedua orang tuanya. Bahkan orang tuanya menanyai kondisi Jan yang tampak tak bahgia.

Seminggu kemudian, Jan pulang ketempat orang tuanya untuk mengurusi permaslahan yang melibatkan orang tuanya. Permasalahan tersebut semakin menjadi setelah Jan mengambil alih kekuasaan atas segala keputusan, pihak pelapor menginginkan haknya terpenuhi sedangkan Jan menolak dengan alasan dan bukti yang kuat.

Hari-hari yang sulit Jan lalui, pulang pergi ke kantor desa dan kantor kepolisian setempat untuk menindak lanjuti laporan yang ditujukan kepada orang tuanya. Jan bahkan tak pernah lagi berkabar dengan Kinara, ia menghilang seperti ditelan bumi.

Jan yang hanya berfokus pada permasalahan yang terjadi membuatnya sedikit rumit untuk mengatakan bahwa ia ingin menikahi Kinara. Selain itu, tekanan demi tenkanan kian terasa setelah ibunya jatuh sakit. Jan yang dalam situasi kalang kabut, terhimpit oleh keinginannya dan kepentingan keluarganya bahkan keutuhan keluarganya seperti dipertaruhkan disana. Jan hanya menarik diri dari dunia luar, menarik diri dan menghilang dari peredaran Kinara, menghilang dari lingkungan tempat ia biasanya bercerita. Hari-hari Jan dipenuhi dengan kehampaan dan kesedihan.

Bulan November 2019, Jan yang berniat berbicara kepada kedua orang tuanya mengenai Kinara menjadi tertunda kembali, karena Jan mendapat tekanan lainnya. Keluarganya dimaki-maki dan dicaci terkait pergerakan bawah tanah Jan yang telah memvalidasi semua kepemilikan ayahnya ke dirinya sendiri. Jan yang menyangka bahwa ia bisa mengatakan tentang Knara harus kembali pupus.

Beberapa bulan kemudian, Jan menerima pesan dari bsng Tino tentang pernikahan Kinara dengan pasangannya. Jan yang terekjut pun terlihat semakin terpukul bahkan ia tak sanggup berbicara banyak hal tentang apapun yang ia rasakan. Kekecewaan, kekesalan, kehancuran ia rasakan saat mendapat pesan tersebut. Bukan hanya itu, bang Tino yang mengetahui banyak cerita tentang Jan dan Kinara pun tak menyangka bahwa takdir harus seperti ini.

Jan yang hanya terdiam membisu dan sesekali menitikan air matanya hanya mampu berucap “Yah” dan mengikhlaskan Kinara. Namun sesuatu yang begitu sesak Jan rasakan, ia belum sesekalipun mengutarakan cintanya kepada Kinara dan belum sesekalipun menyuarakan cintanya di hadapan Kinara bahkan harus berakhir dengan penderitaan. Terlebih lagi saat sebuah undangan yang dikirimkan bang Tino mebuat hatinya hancur berkeping-keping.

Memasuki awal Februari 2020, Jan mengirimkan pesan pada Kinara.

“Oi, lama tak berkabar?” tulis Jan.

“Abang tu yang hilang entah kemana.” balas Kinara. “Bang, nanti lagi ye. akau ade kerjaan.” tulisnya lagi.

Jan yang membaca itu pun hanya bisa tertunduk dan meratapi, dalam hatinya hanya ada cinta yang belum dia ungkapkan dan masih menjadi hutang yang mendarah daging. Jan yang berusaha untuk bangkit dan memulihkannya hanya bisa sampai pada melupakan Kinara sesaat. Setelahnya Kinara pun kembali dalam ingatan Jan.

Menemukan kesakitan yang teramat sangat, Jan benar-benar akan menghilang dari kehidupanya sendiri juga Kinara. Bertepatan sehari setelah pesan singkatnya dengan Kinara, Jan yang tak kuasa menahan perihnya mencoba menghubungi Kjnara dan panggilan tersebut ditolak berulang kali hingga Kinara pun menjawabnya.

“Halo, Kak, kata bang Tino, kakak nikah hari ini?” tanya Jan.

“Kok abang tau? iya hari ini sekaligus resepsinya.” ucap Kinara. “Abang datang lah, aku tunggu.” sambung Kinara.

“Insya’allah ye kak. Kalo aku tak sibuk.” ucap Jan.

“Sibuk ape bang?” balas Kinara, “Nanti lagi ye bang, aku nak siap-siap.” ucap Kinara.

Panggilan tersebut pun ditutup. Beberapa menit kemudian, Jan menelpon kembali.

“Halo, kak aku mau ngomong sesuatu.” ucap Jan yang tak kuasa menahan kesedihannya. Jan hanya menyeka air matanya perlahan dan mneyembunyikan tangisnya.

“Mau ngomong apa bang? Kalau abang disini abang mau ngomong apa?” tanya Kinara yang meninggikan suaranya. Hal itu pun pertama kalinya Jan mendengarkan suara Kinara yang meninggi.

“Gak ada kak. Cuma mau bilang selamat aja kak, Samawa dan lanjutkan prosesnya.” ucap Jan menahan perasaanya.

“Iya makasih,, kalo abang disini abang mau ngomong apa?” tanya lagi Kinara.

Jan yang tak kuasa menahan semuanya, menutup teleponnya dan berusaha untuk menguatkan diri dan Ikhlas untuk apapun yang terjadi hari ini. Jan yang terlihat uring-uringan dan tak bersemangat mencoba menenangkan dirinya dengan berenang. Namun bukannya tenang, ia malah semakin sedih menjadi-jadi. Malam harinya Jan, hanya terus memantau story demi story dari Kinara di Whatsapp sambil membayangkan seandainya aku yang lebih dahulu bicara pada Kinara.

Keesokan harinya, Jan masih memantau story whatsapp dari Kinara, memperlihatkan kemesraan mereka berdua sambil berpegangan tangan, membuat Jan sedikit tersulut emosi bahkan terfikirkan untuk melakukan sesuatu yang tidak masuk akal.

“Ya Allah, aku tidak menyerah, tapi kau tunjukan aku bahwa aku harus menyerah. Kau buat aku menjauh darinya dan semakin jauh. Dimana aku yang semakin terpuruk hancur dan ia semakin bahagia. Ya Allah, salahakah aku mencintainya? salahkah aku jika ingin memilikinya? katakan Ya Allah. Sakitku kali ini, bukan sakit biasa. Ia akan mendarah daging dan mungkin saja membuatku mati. Ya Allah, ku memohon padamu untuk diriku dan dirinya, namun kau pilihkan orang lain untuknya, kenapa? Aku tau aku punya sejuta dosa yang tak termaafkan oleh mu dan surga, tapi kumohon jangan pula kau hancurkan hati dan impianku Ya Allah. Sungguh inikah mukjizat yang kudoakan kepadamu siang malamnya? inikah Ya Allah? Dimana aku, kenapa aku menghilang, sebab apa aku disini itu semua karena mu. Aku sangat kecewa Ya Allah, kecewa atas diriki, cintaku, dan air mataku. Terima kasih Ya Allah.” ucapku yang berteriak ditengah belantara.

Seminggu berikutnya, aku yang masih terus memantau kehidupan barunya Kinara dan berharap ia akan mengirimkan pesan seolah Jan belum mampu melupakan dan Ikhlas dengan Kinara.

Jan yang bekerja sangat giat kala itu hanya bisa menutup matanya di setiap klub malam dan meratapi hidupnya yang perlahan mulai menemukan kehancuran. Banyak teman dan kerabat yang berujar jikalau ia mengalami masa putus asa dan depresi yang mendalam. Jan seketika berubah menjadi orang lain, ia tak lagi berbicara banyak hal, ia menutup diri, tak menerima cinta dari wanita lainnya.

Keadaan ini turut membuat orang tua Jan bertanya-tanya, bahkan mereka menanyai Jan dan tak mendapatkan jawaban.

“Udahlah ma, aku sibuk. Jangan ganggu aku dulu.” ucap Jan yang menghindari pembicaraan dengan kedua orang tuanya.

Jan yang semakin terpuruk memutuskan untu pergi menjauh dan menghilang lagi. Ia pergi ke Tanah Jawa untuk menghilangkan rasa yang begitu besar dan melupakan Kinara. Bukanya melupakan Kinara, semakin jauh ia dengannya maka semakin terasa dekat pula ia dengan cinta-cintanya Kinara. Jan yang berubah menjadi seorang melankolis dan puitis, ia menciptakan banyak syair-syair dan puisi tentang cintanya yang pedih. Tulisan demi tulisan ia ungkapkan untuk menggambarkan isi hatinya kepada Kinara.

Hampir 3 tahun lamanya, ia di tanah Jawa tanpa pernah berkabar dnegan kerabat atau keluarganya bahkan Kinara pun tak pernah lagi ia ingin lihat, menjadikan ia seorang pujangga yang menyuarakan cintanya lewat tulisan. Selama itu, ia hanya belajar memahami alam dan apa yang telah di takdirkan oleh Allah, ia juga mempelajari seni dalam berkehidupan dan berbahasa. Melalui hal-hal tersebut, Jan perlahan menjadi priabdi yang sangat baik daripada dahulu. Bukan hanya itu, ia juga terlaltih untuk menanggapi cinta yang datang hanya untuk singgah dan untuk menetap.

Perjalanannya yang panjang di Tanah Jawa, juga dibumbui oleh lahirnya cinta-cinta yang baru dan bisa membuat perubahan pada diri Jandika Mahaputra yang baru. Mereka datang bersuara bagaikan suara alam yang menenagkan. Mereka datang dengan hawa-hawa kesejukan yang menentramkan jiwa, mereka datang dengan wangi-wangi surga yang menerjemahkan bahasa kalbu. Jan yang menemukan mereka semakin kuat dalam berpuisi dan syair. Pertemuan dengan berbagai macam karakter manusia, membuat jan perlahan melupakan sakit-sakitnya yang dahulu ia terima.

Setelah terasa cukup lama dan sudah mampu megobati dirinya sendiri, ia memutuskan untuk pulang dan menemui kedua orang tuanya. Jan dan oaring tuanya yang tak begitu dekat setelah kejadian Kinara perlahan mulai menunjukan itikad baik. Jan yang mengalah dengan keegoannya, kembali untuk merawat orang tuanya.

Setibanya ia di kampung halamannya, ia menceritakan keseluruhan cerita cintanya pada ibunya. Jan yang berniat menikahi Kinara kala itu pun perlahan terungkap hingga orang tuanya pun sedikit terkejut dengan cerita yang Jan sampaikan.

“Aku sebenarnya masih mencintai Kinara sampai saat ini ma.” ucap Jan.

“Mama nggak tau bang. Gimana sekarang dengan Kinara?” tanya mamanya Jan.

“Dia sudah menikah dengan pria yang baik dari aku,”

“Mama gak bisa apa-apa kalau dia sudah menikah. Kalau belum menikah mama bakalan lamarin buat kamu.” ucap mama.

“Ya udahlah ma. Aku masih bisa sampai sekarang.” ucap Jan yang tak ingin bercerita terlalu banyak tentang Kinara.

Cerita yang ia katakan kepada ibunya, membuat Jan sedikit lega, bahwa ia sudah mengatakan maksudnya meski takkan mampu memilikinya.

Setahun kemudian setelah Jan kembali ke rumah orang tuanya, ia sering menulis banyak cerita dan puisi yang ia posting di laman Instagram miliknya. Beberapa karya ia publish di blog pribadinya. Hari itu, Jan yang dipenuhi dengan kegembiraan setelah salah satu puisinya masuk kedalam buku yang akan diterbitkan oleh penerbit, membuatnya hilang kendali dan membuat story whatsapp tentang puisi tersebut. Namun sesuatu yang tak terduga kembali ditunjukan oleh sang pencipta.

“Aman bang?” tulis Kinara dalam pesan whatsapp.

“Alhamdulillah aman. Apa kabar?” balas Jan.

“Baik bang.” balas Kinara.

Pesan whatsapp tersebut pun tak berlangsung lama, Jan kembali menyibukan dirinya dengan tulisannya. Namun Kinara membalas pesan yang ia tujukan kepada isi puisiku.

“Entah kenapa, setiap aku baca puisi abang dan cerita yang abang tulis, aku merasa sedih. Padahal mungkin aja itu bukan cerita tentang aku.” tulis Kinara.

Setelah mendapati pesan tersebut, perlahan-lahan, Jan mulai bercerita tentang dirinya dan cintanya yang tak pernah ia ungkapkan. Selain itu ia mulai mengutarakan pikirannya dan isi hatinya secara perlahan.

“Wah, kok bisa abang simpen bertahun-tahun tanpa bilang ke aku? hebat ya?” tulis Kinara.

“Bukan sesuatu yang berarti dan berat bagi aku.” balas Jan yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

Mendengar cerita yang diutarakan Jan, Kinara menjadi merasa sangat sakit dan merasa ia adalah teman yang tak berguna. Ia mengatakan bahwa ia adalah teman yang tak mengerti bahwa temanya yang lain menghilang dikarenakan sebuah situasi yang tak dimengerti. Kinara terus menyalahkan dirinya hingga Jan mengatakan sesuatu.

Bercerita panjang lebar dan mengobrol seperti dahulu, seakan mengulang kisah lama yang belum usai. Namun Jan dan Kinara harus lah paham sesuatu yakni perbedaan kehidupan yang terpaut jauh. Ia seorang bujangan dan Kinara seorang ibu sekaligus istri. Sosok Jan yang telah berubah dan dibentuk menjadi kuat dengan permasalahan cinta di tanah Jawa, kini secara perlahan mulai melemah dan kembali seperti Jan di awal bertemu Kinara.

“Aku mencintaimu hingga kini. Namun aku harusnya lebih mengerti dan paham terkait kita berdua. Aku memiliki rasa yang bertahan sedari dulu, bertahun-tahun bukanlah hal yang sulit bagi aku mengubur cintaku. Saat ini kau begitu lega, akhirnya aku bisa mengatakan dengan segala perasaanku tentang cinta ini. Kita harus saling paham bahwa kita berbeda.” tulis Jan.

“Jadi abang mau ngubur cinta itu dan menghilang lagi? gitu aja?” balas Kinara.

“Aku masih cinta samamu, kapan aku bisa berhenti itu urusanku, kapan aku akan bilang tselesai itu urusanku. Dirimu berfokus sajalah dengan keluargamu.” tulis Jan.

Melihat isi pesan tersebut, Kinara tersulut emosi.

“Aku pernah kehilangan abang satu kali, aku tak ingin lagi kehilangan untuk kedua kali.” tulis Kinara.

Adanya rasa yang dulu pernah hilang antara Kinara dan Jandika memberikan rasa yang berbeda dalam berhubungan sebagai teman. Jandika yang mengerti hal tersebut mencoba untuk memahami situasi dan mementingkan pertemanan ini daripada perasaan. Namun ternyata setiap kali pembicaraan yang terjadi selalu saja melibatkan perasaan, hingga terkadang Jan dan Kinara saling berkhayal lebih andai mereka bersama. Situasi yang sulit dikendalikan oleh oleh logika dan hati. Cinta yang muncul kembali dan harusnya lenyap seakan menumbuhkan cinta-cinta yang hilang dahulu.

Tiga hari berlalu, sebuah perasaan yang sulit ditolerir seperti mengirimkan sinyal-sinyal hubungan Jan dan Kinara akan melewati batas norma. Sebelum situasi itu terjadi Jan megirimkan beberapa pesan yang berisikan “Sebenarnya aku tahu ini salah kak, kita punya sesuatu yang salah, dan ini harus diperbaiki. Namun sedikit lebih sulit, aku mencintaimu sedari dahulu dan belum pernah pudar, aku selalu memimpikan kita akan bersama suatu saat nanti. Namun itu hanya khayalan, terasa sulit membohongi perasaan ini, berbicara seperti teman tanpa ada perasaan yang mencampurinya, sulit sekali, kak. Nmaun saat ini aku sangat lega, cinta yang kusimpan bertahun-tahun akhirnya bisa ku ungkapkan meski tak bisa bersama.”

Sebuah balasan pesan dari Kinara membuat Jan terkejut, “Ya, abang harus benci sama aku. pokoknya harus.” pesan tersebut seakan memberikan kabar bahwa hubungan pertemanan atau cinta-cinta masa lalu antara Jandika dan Kinara akan berakhir. Melalui pesan tersebut, Jan seakan tak begitu yakin apakah bisa ia membenci seseorang yang benar-benar ia cintai atau bahkan memulai untuk membencinya. Jan yang menerima pesan itu pun tersulut emosi dan api kemarahan, hingga Jan memberikan pernyataan yang menyakitkan untuk Kinara.

Hari itu seperti menjadi hari yang begitu buruk dan berat antara keduanya, Jan akan pergi dan menghilang lagi dengan sakitnya dan Kinara akan sangat sakit, apalagi dia adalah seorang ibu. Knara banyak mengirim pesan agar Jan dapat membencinya mulai dengan melakukan sesuatu yang dibenci orang pada umumnya hingga isyarat-isyarat ia bahagia dengan kehidupannya meski dibelakangnya penuh kesakitan. Jan yang menerima banyak pesan tersebut, hanya mengucapkan “Terima Kasih” dan “Terima Kasih”.

Jan yang hancur setelah mendapati kabar pernikahan Kinara harus kembali dihancurkan oleh keinginan Kinara yang ingin dibenci oleh Jandika. Bukan seperti Romeo dan Juliet, bukan seperti kisah Gibran dan Selma, Jan dan Kinara harus melewati masa lalau yang terungkap disaat Kinara bahagia. Apalagi jika teringat akan khayalan Jan dan Kinara yang bersama dan hidup seperti seharusnya. Jan terus menitikan air matanya hingga ia sudah Lelah dan tak sanggup lagi menahan berat tubuhnya.

Keesokan harinya, Jan menghubungi Ibunya dan menceritakan kronologis kejadian antara dirinya dan Kinara yang bersemi di waktu yang tidak tepat.

“Ma, aku ingin cerita tentang Kinara. Kemarin kami bertemu kembali di sosial media dan kami menceritakan kisah kami satu sama lain. Aku mengungkapkan cintaku padanya setelah bertahun-tahun lamanya dan dia terkejut mengetahui penyataan cintaku. Bahkan ia sangat terpukul mengetahui perasaanku yang sebenarnya.” ucap Jan pada ibunya melalui sambungan telepon.

“Jangan bang, Jangan. Dia sudah menikah. Gak boleh, nanti marah suaminya. Tapi kalau dia seorang janda mama bisa izinkan. Tapi ini istri orang.” ucap mama meninggikan suaranya agar melarang Jan berkomunikasi lebih pada Kinara.

Memilih untuk menuruti kenmauan ibunya, Jan yang sebelumnya berkirim pesan untuk bertemu dengan Kinara memutuskan untuk menghilang dan menghindari pertemuan tersebut. Namun ternyata hal tersebut menjadi boomerang untuk Jan, Kinara yang merasa diabaikan dan janji yang tak ditepati setelah mengirim beberapa pesan singkat meski tanpa satu pun balasan dari Jan membuatnya sangat sakit hati dengan perlakuan Jan.

“Aku sakit hati sama abang, aku tepati sesuai permintaan abang, aku datang dengan Eca, panas-panasan. Tak sedikit pun abang kasian dengan aku. Abang punya hutang sama aku dan selamanya.” tulis Kinara dalam pesan Whatsapp terakhirnya.

Jan, yang menerima pesan tersebut merasa sangat bersalah dan seharusnya ia tak melakukan hal itu yang akan merusak apapun antara ia dan Kinara. Jan yang sedang bingung dengan jalan yang ia pilih terus memposting story tentang sesuatu yang menyudutkan dan menyalahkan Kinara. Hal tersebut ternyata direspon dengan Kinara dengan story yang ia post. Saling sindir menyindir antara keduanya membuat situasi dan komunikasi keduanya sulit lagi terjalin.

Sudah hampir seminggu berlalu setelah kejadian itu, Jan pun mulai mencoba berkomunikasi dengan Kinara.

“Masih sakit hati kah sama aku?” tulis Jan. “Aku minta maaf kak, udah buat kakak sakit hati. Ak tau ini kesalahan aku, gak nepatin janji. Aku mohon maaf sebesar-besarnya kak, aku tau situasi ini tidak begitu baik, namun saya memohon maaf kak. Jikalau ini adalah utang maka akan saya tuntaskan dan bayarkan segera.” timpal Jan.

“Aku gak masalah, yang penting sebagai teman aku sudah penuhi permintaan abang, aku datang sama anak aku yang cuacanya masya’allah karena aku menghargai kamu. Aku marah dan sakit hati karena kamu gak datang, tak memberi kabar, dan malah upload story kalo abang ga ketemu aku lagi, buat story sindiran ke aku, sanggup banget kamu lakuin itu ke aku dan hari itu juga aku bilang kamu adlah orang paling jahat yang pernah bilang cinta sama aku. Gak cuma itu, kamu sengaja buat story happy sama temen pdkt-an mu. Hati aku udah kegores sangat dalam dan hari itu gak ada maaf sedikitpun dari kamu, sepekan berlalu baru chat aku masih marah atau nggak? jelas jawabannya sudah kamu ketahui.” tulis Kinara.

Jan yang membaca pesan tersebut hanya membalas pesan tersebut dengan permintaan maaf dan permintaan maaf lalu terima kasih.

“Terserah padamu bang, aku udah lelah mikir. Abang masih mencintai akua tau tidak itu haka bang, apapun itu aku tetap dengan diri aku disini, kalo dibilang aku benci abang, aku gak bisa benci, gak ada hak aku untuk benci sama apapun, yang ada di otak aku sekarang itu semua hak abang, abang mau berhenti cinta sama aku, mau benci, mau permainkan, mau gak berteman, mau apapun itu hak abang. Tapi entah lah semua rasa sakit itu ada di hati aku, sejak saat itu aku bilang sama Allah urusan abang sama aku gak akan pernah selesai dan gak pernah ku anggap selesai. Gak akan pernah selesai.” tulis Kinara.

Jan yang merasa itu kesalahannya yang terbesar terus mengirimkan permohonan maaf dan pengakuan atas kesalahannya.

“Jika setelah memberi luka engkau bisa pergi maka pergilah.” tulis Kinara lagi.

Jan pun yang menerima pesan tersebut, berpikir bahwa ia akan menyelesaikan masalahnya dengan bertemu dengan Kinara dan suaminya. Ia hanya berharap urusan ini mampu selesai tanpa melukai satu sama lain.

Seakan terbakar oleh api asmara dan rasa bersalah, Jan memutuskan untuk berbicara dengan Kinara dan suaminya esok lusa. Ia pun berusaha agar tetap tenang dengan berjalan sejenak menikmati halusnya pasir pantai yang telah lama tak bersentuhan dengannya.

“Kalau dia mau hancurkan aku, dia udah lakuin itu dulu. Kalo mau ngancurin lagi yah silahkan, aku pun ga punya apapun lagi.” gumam Jan yang duduk sambil menenggak minuman beralkohol. “Kalo dia bilang capek mikri, aku bahkan capek hidup hingga sekarang. Dia mau terus seperti dulu tapi gak sadar kalo kit aitu sudah berbeda. Aku bujangan dan kau adalah istri orang lain.” sambung Jan.

Jan hanya terus berpikir bahwa langkah ini akan dipastikan beresiko dan penuh resiko. Jan terus memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya setelah hari tersebut. Mungkin saja ia berakhir atau bahkan Kinara yang berakhir. Ia terus menguatkan hati dan pikirannya untuk benar-benar melakukan aksinya dan bukan hanya terus overthinking yang berlarut-larut.

Hingga sampai sewaktu saat Jan yang tak mampu berpikir jernih tentang permasalahan cintanya, ia menggenggam botol alkoholnya dan duduk di tepi taman yang tak jauh dari bibir pantai. Jan yang dipojokan oleh ucapan orang tuanya, pesan Kinara, pikirannya dan nasihat teman terdekatnya membuatnya hilang kontrol.

“Ya Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, inikah arti cinta yang selalu kudoakan? inikah tafsiran doa-doa yang kupanjatkan? inikah garis tangan yang kau lukiskan untukku? Wahai sang pencipta, maafkan aku atas kelancangan ku, sejujurnya aku sangat kecewa denganmu.” teriak Jan tiba-tiba hingga mengagetkan pengunjung. “Aku Lelah dengan cinta-cintaan ini, kuinginkan yang lain tapi kau kembalikan yang lainnya. Betapa malangnya diriku Tuhan.” teriak Jan lagi hingga tangisannya pecah.

Jan menangis terisak meratapi dirinya yang harus berkutat lebih banyak dengan cinta-cinta yang mengecewakan. Ia terbaring di permukaan taman dan memandang langit malam yang gulita. Jan mencoba menenangkan dirinya sejenak dan menghentikan alkoholnya.

“Ah, sebaiknya aku tidak menemuinya nanti. Aku hanya akan melukai perasaan suaminya, ayah ibunya, mertuanya, dan anaknya. Jika Kinara mengatakan takkan pernah selesai, maka aku harus bilang ini sudah selesai. Cintaku adalah masa lalu untukku dan untuknya, kenanganku akan terus berada dibelakang sana hingga tertimbun oleh kenangan baru lainnya, namanya akan tergantikan dengan nama-nama kaum hawa lainnya, pikiran-pikiranku akan tergantikan oleh impian-impian yang akan kugapai dengan makhluk lainnya. Ya, mungkin ini terdengar seperti pecundang yang berbicara, namun ini harus seperti itu, aku tak ingin mendzolimi diriku lagi, aku tak ingin mebuatnya semakin terluka lagi, aku tak ingin menjadi lebih jahat, aku tak ingin menjadi perusak rumah tangganya, aku tak ingin membuatnya sedih lebih dari ini, aku tak ingin dia melihatku lagi, aku tak ingin dia terus tersakiti oleh ku.” ucap Jan pelan. “Jika kunyatakan selesai, maka akan selesai.”

Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Jan masuk ke kamarnya dan menarik beberapa lembar pakaian kedalam tasnya dan pergi meninggalkan rumah bersama sepedanya.

“Ah, sial. Aku hanya terus berpikir ini salah dan salah. Dia inginkan kehancuran untukku bukan, baiklah akan kutunjukan kehancuran serupa padamu.” gumam Jan sambil mengayuh sepedanya menuju Pelabuhan penyeberangan.

Rasa sakit yang teramat terasa bak membuyarkan pikiran-pikiran untuk menunda pertemuan dengan Kinara. Malam yang begitu dinginnya, ia mengayuh sepedanya menembus malam dan bersiap untuk menemui Kinara. Kecemasan dan kematian tak begitu menakutkan bagi Jan, namun yang hanya ditakutkan olehnya adalah kalah dengan hatinya dan hancur karena pikirannya.

Lampu-lampu jalanan seperti tak lagi berkelap-kelip saat di lalui. Kesunyian tak lagi menakutkan ataupun mengerikan, hanya ada gemericik suara yang menguatkan hati dan pundak Jandika untuk menunaikan permashalatan ia dan Kinara.

Dikarenakan letak rumah Kinara dan Jandika berbeda pulau, maka Jan harus menyeberang malam itu juga untuk mengejar waktu dan jadwal keberangkatan yang tersesuai. Setibanya di Pelabuhan penyeberangan, Jan terhenti di gerbang dermaga setelah perdiskusian panjang antara dirinya, hatinya dan pikirannya.

“Ya Allah, ini benar atau salah, maafkan aku. Mungkin saja aku akan merusak keleurga mereka atau aku akan terbunuh saat itu. Jadi kumohon padamu Ya Allah, jangan hidupkan aku lagi untuk kedua kalinya jika hal itu terjadi.” ucap Jan dan mengayuh sepedanya memasuki kapal penyeberangan.

Beberapa jam kemudian, kapal berangkat menuju pulau tempat Kinara dan keluarganya bersama. Angin malam yang bertiup seakan ingin menerbangkan kenangan-kenangan masa silam perlahan menderu dan menghempaskannya bak cambukan halus namun mengoyak jiwa. Jan yang berdiri menatap pulau yang ia tinggalkan knot demi knot menjauh. Ia dilemma oleh prasangkanya dan kesakitannya, berulang-ulang pikirannya diisi oleh isyarat berhenti untuk melangkah menemui Kinara namun berulang-ulang kali pula pundak yang rapuh menguatkan Jan untuk pergolakan hatinya.

Pagi yang sendu dengan rintik hujan menyambut kedatangan Jandika di tanah tempat ia berpetualang dengan cintanya dan bukunya. Dengan langkah kaki yang berat dan kayuhan sepeda yang lamban mencoba terus membuat Jan maju. “Ayolah kaki,langkahkan terus sejauh-jauhnya, aku Lelah melihat ia hanya terus menangis meratapi kemalangan yang disebabkan Perempuan itu.” bisikan diawal pagi seakan menyemangati langak beratnya.

Jan yang tak perduli hujan yang akan menguji tubuhnya melaju melewati jalan-jalan yang pernah ia lalui dengan gadis-gadis hiasan dan kata-kata manja tiap-tiap gadis layaknya kembali bernostalgia dengan hidupnya di masa lalu sebelum ia bertemu Kinara. Jalanan menanjak dan hujan yang jatuh mengenai wajah perlahan menyusun memori-memori yang hilang kala itu, benaknya yang dipenuhi khayalan dan kecupan manis seperti kado ucapan atas kembalinya raga Jandika di tanah yang sempat membesarkan namanya.

Di siang harinya, Jan belum menuju ke tempat tinggal Kinara. Ia menuju ke pemakaman umum tempat nenek dan tantenya yang terbaring meninggalkan belulang disana. Jan yang mengusap batu nisan tantenya yang sejak kecil mengerti apa yang Jan inginkan, pecah tangisannya mengingat beraynya hidup yang harus ia jalani dan proses-proses lain yang lebih lagi beratnya seakan Jan tak menemukan tempat bercerita ternyaman selain tante dan neneknya.

Membacakan surah Yasiin dan menyiramkan air diatas makam keduanya membuat Jan tak henti-hentinya mengharapkan kembalinya mereka berdua untuk mendengarkan keluh kesahnya di dunia nyata ini. Setelah melantunkan doa-doa agar jasad beliau ditempatkan di tempat terbaik, Jan berangsur meninggalkan makam keduannya dan segera menemui Kinara.

Malam harinya, pukul 18.27, Jan menyusuri jalan panjang dan menanyakan sesekali alamat tempat tinggal Kinara dan suaminya. Setelah mendengar penjelasan dan kesediaan seorang remaja menemani pencarian menjadikan perjalanan ini akan mudah dan hal berat akan segera ditemui.

“Assalamu’alaikum, bang, ade orang nak jumpe kak Kiki.” ucap remaja yang menemani Jan.

Beberapa menit kemudian seorang lelaki yang kemungkinan suami Kinara muncul dan menanyakan maksud kedatangan Jan pada malam itu.

“Cari siape bang? Ade perlu ape ye?” tanya lelaki tersebut.

“Bisa bicara dengan kak Kiki, Saya Jandika Mahaputra.” jawab Jan dan lelaki itu pun kembali masuk. Semenit kemudian, lelaki yang lainnya keluar, yakni adim dari Kinara.

“Masalah paket ye bang?” tanya adiknya Kinara sambil mempersilahkan masuk.

“Bukan bang, Cuma ada kepentingan saya dengan kak Kiki.” jawab Jan,

“Kepentingan apa kalo boleh tau?” tanya lelaki pertama yang muncul dan bertanya/

“Cuma ingin berbicara dengan kak Kiki secara langsung, bisa?” ucap Jan,

Lelaki itu masuk dan terdengar berbicara dengan seseorang di dalam rumah.

“Kakak lagi buatkan anaknye makan, masuklah bang, silahkan duduk.” ucap adiknya Kinara yang mempersilahkan Jandika menunggu sejenak.

Jan pun masuk dan duduk di kursi tepat diteras rumahnya Kinara. Berselang beberapa menit, Kinara pun keluar dengan wajah yang penuh kemarahan.

“Hai, gimana kabarnya?” tanya Jan. “Sepertinya kelihatan sangat kurus, sehat aja kan?” timpal Jan.

“Baik, nak ngomong ape?” tanya Kinara.

“Wah, wah, wah. Jangan lah emosi gitu. Aku datang Cuma mau ngomongin masalah yang kakak kirim lewat whatsapp lalu.” ucap Jan sambil menunjukan screenshot isi percakapan tersebut. “Apa yang belum selesai kak? itu menjadi pertanyaan terbesar untuk aku, masalah apasih kak? bilang sama aku, kalo emang perlu aku ngelakuin sesuatu untuk nyelesaiin itu semua bilang aja kak.” terang Jan.

“Kan udah selesai. Abang bilang udah selesai ya berarti udah selesai.” ucap Kinara ketus,

“Oke, tapi ada pertanyaan besar dalam pernyataan mu dalam whatsapp kala itu.” balas Jan sambil menatap Kinara yang terus menunduk seolah menghindari tatapan mata Jandika.

Belum menanggapi hal tersebut, seorang batita datang menghampiri Jan dan mengajaknya berkomunikasi sambil menggoda Jan dengan boneka yang ia pegang.

“Om itu boneka kucingnya.” ucap Kinara seolah menjelaskan gestur batita tersebut.

Sesuatu yang janggal terjadi padanya malam itu, seorang batita perempuan datang mendekati Jandika dan seolah menafsirkan kekacauan hati yang ibunya rasakan. Seperti menemukan sumber masalahnya yakni Jandika, batita itu mendekati Jandika seperti mengajak berkomunikasi. Biasanya sangat sulit bagi Jandika untuk akrab dengan batita apalagi anak perempuan.

Beberapa menit kemudian, percakapan diteruskan. Kinara yang terlihat lesu dan hilang fokus terus menunduk dan sesekali berusaha tegar dengan bola mata yang berkaca-kaca. Kinara seolah terkejut mendapati Jandika datang dan menemuinya juga keluarganya.

“Kenapa kak, bukankah aku temanmu?” ucap Jan mencoba bercanda untuk mencairkan suasana.

“Tekejut aje…” ucap Kinara sambil bergumam.

Pembicaraan terus berputar disitu situ saja, jawaban yang Jan inginkan ta kia terima.

“Oke, aku minta maaf atas perkataanku dan tulisanku. kedatanganku kemari bukan saja untuk meminta pertanggungjawaban atas pertanyaan yang muncul akibat pernyataan kakak lewat pesan whatsapp kemarin. Tapi aku juga pengen minta maaf secara langsung. Aku minta maaf banget,mungkin mengacaukan perasaanmu juga Eca, terus ngebuat hari-harimu buruk kemarin.” ucap Jandika. “yang jelas aku udah minta maaf dan apapun yang terjadi setelah ini setidaknya aku sudah minta maaf dari diriku yang terdalam.”

“Iya aku maafin.” ucap Kinara yang masih ketus.

“Terus satu lagi, kenapa kemarin bawa-bawa Linda?” tanya Jandika.

“…….” Kinara bergumam dan mengalihkan pembicaraan. “Iya, mau menikah kan?”

“Kenapa? Apa? Aku sama Linda beda agama. Itu aja dulu.” ucap Jan, “Oh, karena ini.” ucap Jan.

Belum sempat menyela jawaban Jan, suami Kinara datang setelah menendang botol plastik.

“Ada masalah apa ini?” tanya suami Kinara yang tampak sedikit emosi.

Jan pun menjelaskan permasalahannya. Belum selesai menjelaskan, Kinara memotong penjelasan Jandika terkait maslah keduannya. Seperti Kinara memberikan sinyal untuk Jandika agar tidak menceritakan semuanya. Penjelasan yang diberikan Kinara pun seperti memberatkan Jandika dan slah ada pada Jandika. Jandika yang mendapati penjelasan yang mengecewakan itu pun berinisiatif untuk menyudahi pembicaraan tersebut dikarenakan kesimpulannya sudah ia dapatkan. Bahwasanya Jan adalah pihak yang harus disalahkan dalam hal ini.

“Oke, sudah dengarkan penjelasan kak Kiki, begitulah ceritanya.” ucap Jan pada suami Kinara.

“Penjelasan apa?” tanya suami Kinara.

Jan menangkap bahwa suami Kinara adalah sosok yang cemburuan dan menitik beratkan pada masalah bukan resolusi hal tersebut. Oleh karena itu, Jan pun bersegera menghentikan pembicaraan dan meninggalkan mereka dengan hidup mereka yang bahagia.

Sebuah affirmasi Jandika titipkan untuk dirinya sendiri, bahwa cerita ini telah usai dan berakhir. Apapun yang terjadi setelah hari ini adalah akibat dari semua yang terjadi dimasa lalau. Sudah seharusnya Jan meninggalkan dan pergi jauh dari apapun yang berkaitan dengan cinta-cinta rumit ini.

Malam itu, Jan yang menemukan jawaban atas dirinya pun meninggalkan mereka dan menyudahi hubungan-hubungan yang pernah terjadi. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)