Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,135
psychosis.
Horor

Di ujung malam saat mini van yang ku kendarai bersama kelima orang temanku terpaksa berhenti di tengah hutan pohon pinus saat kami ingin menuju kota Banyuwangi. Entah disebabkan oleh apa mini van kami tiba-tiba mogok. Sesaat setelah melihat sekeliling dan tidak ada yang mencurigakan, Taro dan Davi turun untuk memeriksa keadaan. Sementara itu, Kasman dan Leon mengambil peralatan di bagasi sedangkan aku tetap berada didalam van untuk mengontrol van jika berhasil diperbaiki.

“Oh Tuhan, Roh Kudus. Dav gua kok nyium bau menyan, ya?” ucap Leon sambil mengutak-atik mesin van.

“Ah, kan elu biasanya juga bawa menyan dari nyokap lu buat jaga-jaga,” ucap Davi.

“Iya beneran Dav, gua juga nyium bau menyan tadi pas di belakang.” Sambung Kasman.

“Udah jangan bad feeling dah, gua jadi takut ni anying.” Ucapku dari dalam van.

Setelah duga menduga van pun berhasil diperbaiki. Keempat temanku berlarian masuk kedalam van. Tak berlangsung lama setelah meninggalkan seratus meter dari titik henti aku menemukan keganjilan lagi. Tiba-tiba pandanganku seperti terhalang kabut Tebal dan kuputuskan kembali berhenti di bahu jalan. Kasman dan Leon kembali berasumsi dan berusaha meyakinkan Taro atas keganjilan ini.

“Tar, kok elu bau menyan sih?” tanyaku.

“Apaan, gua gak nyium apa-apa sih.” Jawab Taro mengelak.

“Iya Tar, gua nyium asal bau menyan ini dari elu,” sambung Leon.

“Lah, nih bocah nambah-nambahin aja. Tuh, liat ada mbak Kunti di belakangmu,” ucap Taro sambil menakut-nakuti Leon.

“Ah, gak sur kali aku sama ucapan kau Tar. Kita di tengah hutan ini, kata tulangku kalo di tengah hutan mulut itu dijaga.” Terang Davi.

Belum sempat aku menenangkan mereka, sesosok bayangan putih terlihat terbang mendekat di spion. Bahkan aku mencoba memperingati teman-temanku untuk tidak bersuara dan memastikan dengan seksama apakah bayangan itu manusia atau jadi-jadian. Kemudian di sisi kiri van, terdengar sebuah ketukan dan semakin mempercepat temponya.

“Za, coba elu cek gih.” Ucap Taro dengan nada gemetar.

“Apaan lu, tadi elu bilang mbak-mbak sih, kan jadi datang beneran.” Ucapku sembari menyalahkan Taro.

“Ampunin gua dah Za, gua bercanda doang sama si Leon tadi.” Ucap Taro.

“Oke. Semuanya dengerin gua! Semua tetap di dalam mobil, gua ama Kasman bakalan turun dan ngecek keadaan.” Ucapku.

“Lah kok gua sih Za, tuh ama si biang kerok aja dah.” Kasman menyela di tengah pembicaraan.

Saling tunjuk-menunjuk dan akhirnya aku tetap turun bersama Kasman. Dengan senter yang terangnya gak seberapa, aku perlahan mengecek dan mengitari sekeliling van. Tiba-tiba sesosok bayangan kembali terbang dengan cepat dan sebuah suara terdengar dari bawah van.

“Kas, elu denger suara nangis nggak?” tanyaku.

“Dengar Za, kayaknya dari bawah van dah,” Jawab Kasman.

“Oke, elu liatin gua. Gua mau ngecek di bawah van.” Pintaku sambil mulai melihat-lihat sekitar.

Belum sempat melakukan pengecekan, sesosok tangan penuh luka memar memegang pundakku dan meringis kesakitan. Kasman yang tepat berada di sampingku sudah tidak sadarkan diri dan tergeletak, sedangkan aku yang masih tersadar gemetaran dan keringat dingin memberanikan diri melihat ke arah belakang. Namun setelah memalingkan badanku, aku tak menemukan sesiapapun disana. Hanya ada aku dan Kasman yang sudah pingsan sedari tadi.

Beralih di dalam van, Taro dan Leon komat-kamit berdoa memuja Tuhan mereka. Lalu, sosok perempuan menggunakan kebaya duduk di belakang dan membuat suasana van menjadi menyeramkan. Leon yang sejatinya pengecut abadi mengobrak-abrik isi ranselnya untuk menemukan bibble-nya, sedangkan Taro yang dikenal pemberani oleh kalangan wanita di kampus mencoba melirik perlahan ke belakang dan tidak disangka olehnya wujud yang seharusnya seratus senti di belaknag kini berada satu centi di depan wajahnya. Taro yang terperanjat langsung berteriak kencang berusaha untuk kabur dan menarik tangan Leon yang sibuk menemukan bibble-nya, sedangkan Davi sudah tak sadarkan diri di kursi depan.

Di luar van, aku yang sedang menyadarkan Kasman kembali dikejutkan dengan sekelebat bayangan berdiri tepat di sampingku. Aku merasa sangat merinding dan ketakutan yang teramat sangat bahkan aku pun komat-kamit membaca ayat kursi. Belum selesai bacaanku, bayangan itu menghilang dan memunculkan suara tangisan lagi dari bawah van. Aku berusaha membuka pintu van namun tidak mampu bahkan suara Taro dan Leon di dalam van tidak kudengar. Aku mencoba mengintip di balik kaca dan sangat terkejut aku melihat sesosok wanita sedang bercumbu dengan kedua orang temanku. Namun dari pandanganku, mereka sangat tersiksa dan ketakutan meskipun konteksnya sedang berhubungan badan. Aku yang tak tega melihat semuanya berusaha memecahkan kaca mobil untuk menyelamatkan teman-temanku. Setelah terus kucoba memecahkan kaca tak kunjung berhasil, yang kudapati hanya Kasman yang berdiri tertunduk sambil menangis.

“Za, maafin aku, aku harus pergi,” ucap Kasman sambil terisak.

“Kas, sadar Kas. Ini hanya ilusi Kas. Coba ngucap Kas.” Panggilku sambil mengguncang badan Kasman.

Aku berusaha menyadarkan Kasman yang hilang akal bahkan ia mampu melayang. Namun saat kusenteri wajahnya yang tertunduk, Kasman terbang kearahku dan mencengkeram leherku.

“Za… semua ini salahmu. Kenapa kau menghasut kami untuk meniduri pacar Leon? Kenapa? Kau sendiri pergi meninggalkan aku dan Taro juga Leon yang mabuk. Kenapa Za?” tanya Kasman dengan suara yang mengelegar dan terus mencengkeram leherku semakin kuat.

“Aku saat itu dipanggil seseorang tak dikenal, mereka memukuliku dan merusak mobil Kira.” Jawabku dengan terbata-bata

Mendengar jawabanku, Kasman jatuh ke tanah dan kembali sadarkan diri kemudian terbatuk-batuk.

“Kas, gimana keadaan lo? Lo gak berhalusinasi lagi, kan?” tanyaku.

“Ah, ngaco lu Za, gua kan tadi di samping elu kok malah halu sih.” Jawab Kasman seakan tidak terjadi apa-apa.

Saat mencoba mengerti apa yang terjadi, aku sangat bersyukur Kasman sudah sadarkan diri namun aku masih harus tetap waspada karena Taro dan Leon belum juga bisa disadarkan. Aku dan Kasman mengintip dibalik kaca untuk memastikan Tora dan Leon dalam kondisi baik-baik saja. Ternyata mereka masih bercumbu dan saat ini terlihat ada satu wanita lagi yang sedang berpesta bersama keduanya. Ini adalah sesuatu yang aneh bagiku, pertama dari Kasman, kedua dari Taro dan Leon yang semula tersiksa kini mnejdai sangat menikmati permainan dua makhluk itu. Dengan keras kucoba membuka pintu van namun tak kunjung terbuka hingga aku mencoba membaca mantra yang pernah kakek buyutku berikan agar pintu van ini terbuka.

Ya hayyu ya qayyum birahmatika astaghitsu ashlihi lii sya’ni kullaha wala takilni illa nafsi thorfata aini” sambil menghembuskan napasku ke telapak tangan.

Setelah berusaha sangat keras, akhirnya pintu terbuka dan kedua temanku terkulai lemas. Aku mencari kedua makhluk yang menjadi partner temanku saat bercumbu ke kursi belaknag dan di segala arah, namun tak menemukan sesiapapun. Hanya ada Taro dan Leon yang terkulai dan tanpa busana. Merasa ketiga temanku sudah cukup membaik, aku meneruskan perjalanan menuju kota Banyuwangi. Selama di perjalanan Taro dan Leon juga Kasman kembali bercanda seperti biasanya bahakan aku sesekali memberikan celetuk. Namun dibalik semua canda tawanya kini ada sebuah cerita aneh yang kusaksikan bahkan aku sampai kini tak mempercayainya.

Pukul lima subuh akhirnya kami pun tiba di kota Banyuwangi. Kami menyempatkan sholat berjamaah dan berdoa agar di lindungi dari sesuatu yang ghaib. Kami memutuskan tinggal semingguan di kota Banyuwangi sambil menunggu pembayaran penjualan mobil vanku. Selama di kota Banyuwangi, kami berkunjung ke tempat-tempat spiritual dan aku menanyakan hal ghaib yang baru saja terjadi pada kami berlima.

Sabtu 18 Juli 2018, ini adalah hari terakhir kami di kota Banyuwangi dan kami mendapatkan hasil dari penjualan van milikku. Di pagi harinya, kami bermufakat untuk pergi ke Bali bersama-sama dikarenakan Leon ternyata akan menikahi Kira di Bali.

“Yah, akhirnya bisa ke Bali, makan enak lagi nih. Apalagi Leon ternyata mau menikah.” Ucap Kasman.

“Kok ada yang aneh ya, Kasman malam itu mencekik aku. Terus dia bilang kalo dia nidurin Kira bareng Taro. Kok Kasman gak ngerasa ini harusnya gak boleh ke Bali.” pikirku.

“Oi, bengong aja nih si Pawang Pintu, kenapa lu?” tanya Taro.

“Iya bah, semenjak kejadian aneh di jalan minggu lalu Eza banyakan bengong dan kemarin gua liat dia nangis di depan kost.” Sambung Davi.

“Tak ade apelah, bro. Cuma bahagia aja Leon mau nikah terus tinggal kita berempat.” Ucapku sambil menyeka keringat.

“Iya Za, kita itu perhatiin elu. Kita ngerasa Eza yang dulu musnah pas di jalan minggu lalu. Dan yang paling aneh sih, kok elu jualin sih mini van yang lu beli dari hasil kerja lu.” Terang Taro.

“Udah temen-temen. Entar gua certain kalo si Leon udah kelar nikah dan resepsinya. Yang jelas kita ke Bali dan liat si Leon dibaptis ke Agama Hindu.” Ucapku sambil mencairkan suasana.

“Iya betul tuh,” ucap Taro, Kasman, Davi bersamaan.

Tiga minggu berlalu hingga pernikahan Leon tiba, Davi menemukan kebaya di dalam tas Taro. Seakan mengundang tanda tanya, Davi menghampiriku dan menanyakan kebaya tersebut.

“Za, kok Taro bawa kebaya, ya? Diakan cowok.” Tanya Davi.

“Elu ketemu ini di mana?” tanyaku ke Davi.

“Di tasnya Taro, sebenarnya ada apa sih Za? Kok elu panik gitu, Yah elu ada leasing-an, ya?” jawab Davi sambil bercanda tentang perempuan bayaran.

“Apaan elu? leasing-an mana mampu. Sini kasih gua biar gua tanya ama si Taro,” jawabku mengelak.

Berasa sesuatu mungkin akan terjadi aku segera menemui Taro dan Kasman yang sedang menikmati keeksotisan Bali. Setelah menanyakan kebaya yang kutunjukkan, Taro menjelaskan bahwa ia tidak tahu menahu dengan kebaya tersebut. Ia hanya pernah bermimpi sedang bercumbu dengan gadis kayangan yang mengenakan kebaya. Mendengar keterangan Taro membuatku semakin terganggu karena apa yang aku lihat nyata adanya, ternyata hanya mimpi oleh Taro. Aku mencoba untuk tetap diam dulu sebelum menceritakan semuanya yang terjadi lalu.

 Upacara pernikahan Leon dan Kira akhirnya berlangsung khidmat di kepuraan Bali. Aku yang melihat mereka seperti pasangan yang serasi membuat Taro, Davi dan Kasman terharu karena kami akan kembali ke Surabaya hanya berempat. Di hari yang sama setelah resepsi selesai, aku mengajar keempat temanku untuk berpesta bujangan di Nusa Dua.

Setelah puas bercanda dan tertawa malam itu, aku mengajak mereka bercerita tentang kejadian yang menimpa kita berlima. Mereka juga sangat antusias dan mau mendengarkan cerita dari masing-masing orang. Cerita diawali dari Kasman yang bercerita tentangnya sebelum mengenal Taro, Davi, Leon dan Aku hingga menceritakan kejadian yang menimpanya. Setelah mendengar keseluruhan cerita Taro, Davi dan Leon, tibalah saatnya aku bercerita. Cerita ku buka dari kejadian malam itu.

“Mohon maaf teman-teman, jangan ada yang menyela atau meminta interupsi saat aku bercerita. Kumohon kalian mendengarkanku dengan teliti. Malam itu saat aku dan Kasman turun dari van…” perlahan-lahan aku mulai bercerita.

Akupun menceritakan panjang lebar tentang kejadian yang terjadi, antara aku dan Kasman yang katanya meniduri Kira, pandanganku yang menangkap keindahan Taro dan Leon yang bercumbu. Mereka seakan tak percaya dengan ceritaku, namun Davi membuka pernyataan bahwa ia juga sempat menyaksikan Taro dan Leon bercinta di depan matanya sebelum ia kembali tak sadarkan diri.

Mendapatkan penjelasan yang aneh dari Davi, Leon sepertinya kecewa dan meninggalkan perkumpulan dan melaju pergi. Aku hanya bisa melihatnya dan tak menahannya karena aku sangat mengenal siapa Leon. Adapun Taro, ia tiba-tiba menangis dan tertunduk seperti halnya Kasman kala itu.

“Za, Taro itu ngapain?” tanya Davi.

“Kas, elu tenangin diri jaga-jaga. Dan elu Dav, ambilin gua air di ember.” Pinta ku.

“Oke, siap men.” Davi pun segera berlari.

“Aku benci dirimu Za, kau hanya menjadi penghalang-halang dari semua rencanaku.” ucap Taro dengan suara yang menakutkan.

Namun, baru saja aku meminta Kasman berjaga-jaga, ia pun kembali dirasuki makhluk ghaib dan melayang. Bukan hanya itu, kali ini wajah Kasman terlihat mengeluarkan darah dan belatung. Apalagi setelah aku memfokuskan diri untuk membentengi diriku dengan ilmu kanuragan, Taro dan Kasman memberontak. Mereka berusaha menyerang mentalku, aku hanya menunggu Davi yang membawa air.

Davi yang berusaha membawa ember berisi air berjalan terpingkal-pingkal setelah ia mendapatkan serangan dari makhluk ghaib di dalam toilet. Dengan susah payah akhirnya Davi sampai di tempatku dalam kondisi buruk, kakinya terlihat telah patah dan berlumuran darah. Tidak seperti biasanya, Nusa Dua tampak sunyi tak seorang pun berlalu. Aku yang mendapati air tersebut mencoba memberikan mantra ajaib yang kudapat dari guru pencak silatku. Setelah memhembuskan napas ke air dengan segera aku menyiramkan sebagian ke Taro lalu kepada Kasman yang melayang. Setelah membasahi tubuh Taro, Kasman menjatuhkan dirinya di atas batu besar yang tak jauh dariku. Aku hanya bisa menatapnya dengan kucuran air mata, Kasman temanku, tewas di tempat. Selain itu Taro bergumam dan mengeluarkan darah dari mulutnya.

“Aku membenci kalian yang menabrak anak gadisku dua tahun lalu. Bahkan aku membenci kalian yang terus menggunakan van itu dalam kejahatan. Aku sangat menantikan malam ini untuk membunuh kalian satu per satu. Namun ternyata kamu memiliki hal yang tak dimiliki oleh teman-temanmu. Maka dari itu, teman-temanmu aku ambil sebagai gantinya.” Ucap Taro sambil menatap kearahku dengan penuh kebencian.

“Dua tahun lalu, aku baru saja membeli van itu dari seseorang dengan harga murah dan aku tidak pernah tahu jikalau van itu telah digunakan dalam aksi kejahatan. Jadi karena anakmu yang ditabrak oleh orang yang menjual van itu, kau membalaskannya kepadaku juga teman-temanku.” Jelasku dengan isak tangis.

“Siapa pun yang pernah memiliki van itu maka akan MATI!!” sambil tertawa dan menyemprotkan darah dari perut Taro.

“Mereka tdiak bersalah. Tapi kenapa?” teriakku sambil berlutut di hadapan Taro.

“Namaku Ratu Lamanlea, putriku Anyasukmaseri. Kalian pasti MATI!!” terang Taro yang dirasuki iblis.

Setelah mengucapkan itu, Taro meregang nyawa. Aku dan Davi menjauh dari titik kumpul dan bergerak mencari Leon.

“Za, aku gak sanggup lagi.” Ucap Davi memegangi kakinya.

“Ayo, aku bantuin Dav. Kita harus selamatin Leon.” Ucapku sambil memapah tubuh Davi yang berbobot.

Aku memnggendong Davi menuju mobil dan segera mencari Leon. Berjarak 300 meter dari pintu gerbang aku menemukan mobil yang dikendarai Leon terbalik sedangkan Leon masih berada di dalam.

“Eyon, Eyon, Eyon bangun.” Teriak aku memanggil Leon yang masih berada di dalam mobil.

“Eyon, bangun Kira nungguin kamu dirumah.” Ucap Davi menangis sambil meringis kesakitan.

“Za… Selamatin aku!” Leon berteriak.

Aku yang sedari tadi berusaha membuka pintu mobil membuat satpam di sekitar melihat. Mereka segera memberi bantuan dan menarik keluar Leon. Tanpa kusadari sedikit pun, ternyata Leon tidak ditarik keluar. Ia bahkan ditusuk hingga tewas dan satpam yang menghampiriku tadi perlahan menghilang. Aku dan Davi yang menyaksikan kebrutalan itu menangis tanpa henti hingga fajar dan personal bantuan tiba. Aku yang masih trauma dengan kejadian itu tidak ikut menyaksikan proses evakuasi ketiga teman-temanku. Davi yang sedang dirawat dalam kondisi kritis bahkan aku tak mengerti entah apa yang menyebabkan Davi kritis.

Setelah beberapa hari aku mencoba bangun dan mengunjungi Davi namun dari pihak rumah sakit mengatakan bahwa Davi telah dibawa oleh keluarganya kembali ke Surabaya. Dari jawaban tersebut aku sangat yakin Davi tidak dibawa pulang, bahkan kami berangkat ke Bali keluarga Davi tidak mengetahuinya. Dengan segera aku ke resepsionis dan menanyakan kebenaran tersebut sekaligus menanyakan ketiga temanku.

Betapa shock-nya aku ketika resepsionis mengatakan bahwa tidak ada korban kecelakan ataupun kematian di pantai tiga hari yang lalu dan temanku Davi tidak pernah dirawat di rumah sakit ini. Sangat tidak bisa aku percaya keterangan respsionis dan perawat bertentangan seperti ada banyak keganjilan yang terjadi. Mendapati pernyataan aneh tersebut aku memutuskan ke rumah Kira.

Sesampainya dirumah Kira, seperti tidak ada kejadian ataupun tragedi kematian. Kira yang kala itu duduk bahakan menyambutku dengan baik dan menanyakan kapan kedatanganku ke Bali. Setelah berbincang cukup lama sambil menanyakan tentang Leon yang menikahinya minggu lalu membuatku tertegun tak mampu berkata-kata. Kira mengatakan Leon tidak ada datang melamarku bahkan Leon sudah berpisah dengannya dua minggu sesudah ia tiba di Bali. Aku semakin tidak mengerti dengan semua yang kualami canda tawa, pernikahan, kesedihan, petaka, kematian seperti nyata bagiku namun tidak ada bagi orang lain.

Setelah meninggalkan kediaman Kira, aku menuju pantai tempatku berkumpul malam itu dan menanyakan kejadian malam tersebut. Dari keseluruhan orang yang kutanyai, mereka menjawab hal yang sama, “Tidak ada tragedi atau kematian di pantai.” Jawaban-jawaban itu mengutak-atik pikiranku hingga aku terlihat sangat menyedihkan. Keberangkatan ku dari Surabaya mungkin hanya ditemani oleh arwah hingga ke Bali.

Tak cukup sampai disitu, malam harinya aku memutuskan kembali ke Surabaya. Saat aku mengantri check in ticket aku terkejut melihat Tora dan Davi juga mengantri disebelahku. Aku memamnggilnya beberapa kali namun seperti mereka tidak mengenaliku. Merasa sangat tertipu oleh kenyataan, aku terus melanjutkan check in. Menjelang keberangkatan sebuah pesan masuk di ponselku yang bertuliskan “KAMU BINGUNG DENGAN SEMUANYA” seperti mengumpulkan puzzle yang kepingannya muncul seabad sekali. Aku masih tidak memperdulikannya, aku hanya ingin pulang dan memastikan semuanya.

Setibanya di bandara Juanda, sebuah pesan masuk lagi bertuliskan “TARO, DAVI, LEON, KASMAN TELAH MATI.” Isi pesan tersebut membuat aku terjatuh bahkan aku tak sadrakan diri. Tiba-tiba saja aku sudah berada di rumah sakit dan dijenguk oleh Kira.

“Ra, bukanya kamu lagi di Bali.” Tanyaku.

“Gimana mau ke Bali, kamu aja masih sakit.” Jawab Kira sambil memegangi tanganku.

“Gimana pernikahan kamu dan Leon?” tanyaku sambil mencoba menerka.

“Kok aku sama Leon sih. Kan kamu pacar aku. Terus bulan depan kita menikah. Kamu yang ngelamar aku bukan Leon.” Tutur Kira.

Seperti terbalik-balik oleh kenyataan atau imajinasi. Leon, Tora, Davi dan Kasman sudah berpisah masing-masing melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri tahun lalu begitu keterangan Kira. Mereka akan kembali bulan depan saat pernikahan aku dan Kira. Setelah Kira menjelaskan semuanya aku berbicara banyak dan melupakan semuan yang telah terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Aku bersyukur teman-temanku masih hidup dan Kira juga.

Seminggu setelah semua jelas dan aku melihat teman-temanku di hadapan, aku sangat bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan. Semua kejadian yang menimpaku terasa nyata namun tidak untuk mereka. Pernikahanku yang disaksikan oleh keempat temanku berlangsung meriah. Sesekali aku melempar celetukan ghaib yang membuat mereka bertanya-tanya. Segala kejadian yang telah berlangsung akan selalu kuingat dan menjadi petunjuk di suatu saat nanti.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)