Masukan nama pengguna
Kala itu, 20 Februari 2020 menjadi saksi bisu seorang mahasiswa bertaruh akan hidupnya yang lebih baik atau bahkan lebih buruk pada sebuah kenyataan.
Di hari bahagianya aku sang mahasiswa yang menahan sekuat tenaga dan hatiku untuk tidak menangis atau pun berusaha kuat untuk mengatakan "Selamat untuk pernikahanmu." melalui sambungan telepon.
Sebelum kata itu ku ucapkan ada 20-an prahara yang terjadi. Dia bertanya padaku sebelum akad nikahnya dilangsungkan. "Apa yang akan kau lakukan jika kau disini? Apa yang akan kau katakan jika disini? Apa yang kau ingin katakan padaku disini? Apa kau siap melihatku disini?"
Aku hanya terdiam tanpa sepatah katapun dan mataku takkan sanggup menahan air matanya. Bahkan jika aku disana maka mataku tak akan kuasa melihat kebahagian itu.
Ia kembali berucap "Untukmu, Jaga diri baik-baik, seringlah bercengkrama dengan Allah, Jangan tinggalkan Ia, dan karena-Nya kita bertemu. Jangan lupa ibadahnya."
Aku tak bisa berkata-kata atau bersuara, kabar tersebut aku terima tiba-tiba dari dirinya sendiri. Aku hanya berucap "Lanjutkan prosesnya kak, semoga next time kita bisa bertemu lagi."
Hari itu menjadi hari yang memilukan untukku. Bahkan entah kenapa aku merasa sangat hancur berkeping-keping dan aku pun bisa menahan air mataku meskipun tidak akhirnya. Tak ada sesuatu yang bisa menghiburku.
Aku murka di malam harinya, aku bercengkrama dengan sang pencipta dan menangisi keadaanku, mencaci sang pencipta seolah aku tak percaya hari itu menjadi tonggak awal kepedihanku. Seperti halnya Gibran dan seperti halnya Selma.
Hingga kini, aku terkubur dalam kedukaan. Kisahku bukan seperti "Gibran dan Selma Karamy" bahkan ini lebih pedih dari syair-syair nestapa yang pernah kudengar. Aku terus menatap bahagianya dengan air mataku. Seringkali aku merindukannya, seringkali aku menangis, seringkali aku bermonolog untuk obat kesakitanku.
"Oh, Tuhan. Kasihanilah aku dan pulihkan sayap-sayap ku yang patah!"