Masukan nama pengguna
Ah, kenapa hidup itu terasa tak adil bagiku? Jujur Tuhan, aku sudah lelah dengan hidupku sendiri. Seringkali terlintas dalam pikiranku, "bagaimana kalau aku mati saja?". Tapi tak ada yang bisa ku lakukan, aku memikirkan nasib anak semata wayangku yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang kelima. Aku tak sanggup membayangkan dirinya tanpa adanya aku disisinya.
Loh, kenapa pusing? Kan masih ada kakak, keponakan dan juga orangtua? Tidak Tuhan, aku tidak bisa berharap pada mereka. Aku yakin dan sangat yakin Tuhan maha tau apa maksudku.
Ya, semua berawal dari aku yang hamil diluar pernikahan dengan lelaki brengsek yang dulu pernah kukira akan menjadi pendamping hidupku, dan akhirnya aku melahirkan seorang anak lelaki tampan. Tidak mudah Tuhan, tapi kala itu aku sangat bersyukur karna tempat kerjaku masih mengizinkanku bekerja disana, setelah kuceritakan apa yang menimpaku. Kedua bosku sangat open minded dan baik. Meski saat itu, aku tentu tidak bisa cuti layaknya orang melahirkan biasanya. Bahkan ketika besoknya aku akan melahirkan, aku masih bekerja dan baru malam hari aku masuk RS. Dan hanya tiga hari aku istirahat, dan sudah bekerja lagi. Aku bersyukur juga, teman-teman kantorku sangat supportif, meski mereka sangat kaget dengan berita kehamilanku dan tiba-tiba sudah mau melahirkan. Mereka bahkan menjengukku, memberikan hadiah sang newborn. Apa aku lelah? Tentu lelah. Bahkan aku sempat kena darah tinggi karna kecapekan.
Ya masa-masa awalku menjadi seorang ibu, sempat membuatku denial, "ah males gue balik cepetlah, uda repot ngurus anak". Tapi lama kelamaan rasa cinta kasih sayangku pada darah dagingku ini tumbuh dan membesar, dan merubah mindsetku, "pulang cepet, uda ada yang nungguin soalnya dirumah" .
Namun saat Covid muncul, kantorku banyak memberhentikan pekerjanya, termasuk aku. Sulit ketika itu mencari pekerjaan, tapi Tuhan baik, aku diberikan kantor yang bos, pekerjaannya dan juga teman-teman yang baik. Tapi tentu, tidak ada yang tau statusku yang sudah memiliki anak. Karna memang akta lahir anakku juga hanya tertulis namaku saja. Dan memang tidak ada terlibat pernikahan, karna ayah anakku pun tidak mau mengakui sang anak, malah sibuk melempar kesalahan pada mantanku yang lain dan dia juga sibuk dengan wanita barunya, yang tidak lain tidak bukan adalah teman SDku. Untuk apa aku menginginkan laki-laki biadab seperti itu?
Toh selama aku berpacaran dengannya, ia sibuk menghabiskan uangku. Yah, sudah sering sekali aku merasa lelah dengan hidupku, beban hidup ini terasa begitu berat dengan berbagai cobaan menerpa tanpa henti.
Ingin rasanya pergi dunia yang kejam ini, jujur saja, jika tidak ada anakku, aku mungkin sudah mengambil jalan pintas itu. Namun, aku tidak bisa memikirkan anakku nantinya jika aku tidak ada lagi. Siapa yang bisa menyayanginya sepertiku ? Segalak-galaknya aku padanya, aku tetap sayang begitupun anakku, meski ibunya galak ia tetap menyanyangiku dan tidak bisa jauh dariku.
Sungguh Tuhan, dihadapkan dengan cobaan yang datang silih berganti, aku sangat lelah. Tuhan tentu tau permasalahanku, entah itu cicilan di bank yang mengagunkan rumah karna dulu aku terlalu baik membiayai hidup mokondo, meski habis gajiku tetap kuusahakan tetap ada uang. Belum dengan sekolah anakku yang belum lunas dibayar. Lalu dengan hebatnya juga, aku harus resign karna suatu hal dari kantorku yang sudah empat tahun menjadi tempatku mencari sesuap nasi. Ditambah juga penahanan gaji yang katanya harus menunggu exit clearance dari tiap divisi selesai dan prosesnya bisa memakan waktu hingga sebulan. Lucu bukan? Ya sangat lucu memang.
Dengan berbagai cobaan ini, tentu tidak sampai disitu saja, masih ada dirumah yang penuh dengan drama karna keluarnya aku. Ya tentu karna memikirkan cicilan bank dan lain lain.
Apakah mereka pikir aku sendiri tidak terbebani?
Apakah mereka pikir aku lalu bersantai saja?
Apakah mereka pikir aku tidak stres?
Aku sendiri tidak mengerti mengapa mereka bisa beranggapan seperti itu. Mereka tidak tau aku sempat tiga hari tidak nafsu makan, rasanya perutku pun penuh, tidurpun kacau hanya bisa 2-3 jam sehari. Mereka tau? Tentu tidak.
Apakah aku perlu bilang? Tentu tidak.
Karna menurut mereka aku tidak berpikir kesana. Hanya sampai "gua harus resign". Ya itu menurut mereka.
Sebenarnya, bukankah harusnya rumah menjadi tempat paling aman dan nyaman ketika kita punya masalah?
Tapi kenapa aku berbeda? aku tidak bisa bercerita, karna aku sudah tau akhirnya akan seperti apa. Contoh misalnya, sudah ku infokan jika gajiku keluar , dihitung dari tanggalku trakhir masuk kerja, 14 hari setelahnya dan diluar tanggal merah tentunya. Harapanku info itu akan berhenti di ibuku saja, namun nyatanya disampaikan juga pada ayahku, yang tentu menjadi besar dan diperbesar. Jika dengan menginfokan akan ada solusi silahkan, tapi jika yang kudapat hanya paksaan, omelan, untuk apa?
Aku pun bukan diam saja, aku sudah menyebar lamaran dimanapun, yang terpenting bisa bekerja lagi. Aku ingin berfokus disitu, kenapa harus dipersulit lagi?
Kurangkah cobaan hidupku ini?
Kurangkah setiap tetes air mata ini?
Aku tak punya siapa-siapa untuk diajak bicara, tak ada satu orang pun yang bisa mengerti posisiku, sulitnya menjadi diriku.
Mentalku sudah jatuh sejatuhnya, namun aku masih tetap berusaha untuk terlihat tegar dan kuat. Aku masih tetap memasang senyum diwajahku meski hati dan jiwaku hancur.
Aku hanya bisa menangis dihadapan Tuhan, membawa hati yang sudah hancur, permohonan dan harapan yang entah sudah berapa kali ku doakan. Hanya Tuhan tempatku bersandar, tempatku menangis saat ini.
Saat tak ada satu orangpun yang bisa kuandalkan, siapalagi kalau bukan Tuhan. Dan hanya anakku juga aku masih memaksakan diri untuk bertahan. Mungkin jika tidak ada anakku, daripada kabur dari rumah, aku lebih memilih meninggalkan dunia yang kejam ini.
Jujur saja aku sedang memperbaiki diriku sendiri, namun sepertinya orang lain tidak bisa melihat itu, jadi biarlah hanya aku dan Tuhan yang tau. Aku banyak bersalah pada Tuhan, dan ingin ku perbaiki semua dan lebih mendekatkan diri dan bergantung pada Tuhan.
Meski sekarang semua terlihat mustahil, tapi aku percaya Tuhan akan memberi pertolongan di waktu yang tepat. Semua permasalahanku bisa cepat selesai, dan tentu hanya karna pertolongan Tuhan. Jika kemarin Tuhan tolong, pasti Tuhan tolong.
Hanya bisa memasrahkan diri pada kehendak Tuhan, sebagai manusia aku sudah berusaha semampuku. Meski hati, jiwa dan mentalku sudah hancur, biarlah tubuh ini berjalan sesuai kehendak Tuhan, karna rasanya sekarang aku sudah tidak sanggup untuk berjalan dengan kakiku sendiri, beban di pundakku terlalu banyak dan berat dan kutanggung semua sendiri.