Masukan nama pengguna
Aku cabut kabel charger dari ponsel yang telah dua jam mengisi daya. Sudah 100% terisi rupanya, entah sejak kapan. Mencoba mencari posisi yang pas untuk duduk agar tidak mengganggu tidur bayi mungilku, sambil mulai membuka-buka aplikasi yang ada di ponsel. Aplikasi chat yang biasanya pertama kali kubuka, tahu kan apa saja aplikasinya? Yup, Whatsapp. Khawatir ada orang-orang yang menghubungi untuk keperluan penting atau darurat. Nyatanya tak ada, sepi. Sudah lama begitu sejak aku memutuskan untuk libur berjualan online. Ponsel yang biasanya penuh notifikasi dari berbagai macam jenis pelanggan, kini tak ada lagi. Chat yang paling sering datang akhir-akhir ini hanya dari suami tercinta yang menanyakan, "mau titip apa?" Ketika Ia telah selesai bekerja atau, "pulang telat ya sis, mau ke bengkel." Kalau kebetulan ada masalah dengan mobil kami. Selebihnya dari orang-orang yang menganggap uangku selalu ada dan tidak akan pernah habis sampai aku punya turunan yang ke 10 (untuk ini aku aamiinkan saja sih). Iya, orang-orang yang hobi pinjam uang dengan berbagai jenis alasan dan selalu bilang, "masa suami kerja di Arab ngga ada uang?" Memang tidak ada yang salah dari kata-katanya. Masa iya benar-benar ngga punya? Tapi sudahlah, menjelaskan panjang lebar tentang cara mengelola uang di tiap masing-masing keluarga tak akan pernah ada habisnya. Sok tahunya lagi, ada saja orang yang bilang begini, "masa ngga punya uang simpen-simpenan pribadi gitu. Pasti punyalah, jadi ngga perlu nunggu dari suaminya. Pinjem dulu, nanti di ganti."
Heuh.
Lanjut aku buka aplikasi lain. Aplikasi yang sempat diejek banyak orang, bahkan aku sendiri sempat tidak mau punya aplikasi ini karena isinya memang tidak menarik bahkan kadang tidak bermoral, kini mulai ramai digunakan oleh semua kalangan. Bahkan instansi-instansi pemerintahan pun punya akun resminya di aplikasi ini. Para pendakwah juga mulai banyak yang menyampaikan dakwahnya lewat aplikasi ini. Sudah ada gambaran belum? Kalau belum aku kasih petunjuk lagi ya, dulunya kebanyakan berisi konten-konten joget tak karuan. Tapi sekarang berbagai jenis konten sudah bisa ditemukan sesuai dengan minatnya masing-masing. Sampai sini sudah tahu kan ya? Iya, Tiktok.
Aku mulai scroll-scroll mencari masakan atau makanan apa yang sedang viral. Karena aku sekarang sedang mencoba menjadi content creator di aplikasi ini dengan tema memasak ulang makanan atau masakan yang sedang ramai. Iseng-iseng berhadiah saja, sekalian mengisi waktu luang yang sebenarnya tidak luang-luang juga. Menyalurkan hobi memasak yang sempat tertahan sejak kecil juga kesukaan mengabadikan sesuatu di dalam foto atau video. Hasilnya lumayan, tidak terlalu buruk, juga tidak terlalu baik. Alhamdulillah saja. Pengikut bertambah penontonpun juga dan sedikit-sedikit mulai menghasilkan cuan.
Belum ada masakan atau makanan yang menarik untuk aku masak ulang, aku pindah ke tanda lonceng, lumayan ada beberapa notifikasi yang masuk. Kebanyakan yang memberikan tanda hati, sisanya memberikan komentar menanyakan resep. Aku membalas cepat komentar-komentar lalu menutup aplikasi itu dan membuka aplikasi yang lain.
Aplikasi yang biasa orang pakai untuk mengabadikan foto-foto estetik pada awalnya, namun sekarang sudah ada fitur untuk video singkat juga. Meski memang tetap saja aplikasi ini dikenal dengan aplikasi konten estetik. Sudah tahu ya aplikasi apa? Betul, Instagram. Untuk aku yang tak bisa indah, sulit sekali mencari viewers diaplikasi ini. Jadi aplikasi ini aku pakai hanya untuk mencari inspirasi jenis masakan, melihat kabar teman-teman dekat dan dulunya kupakai untuk promosi atau iklan dagangan sebelum akhirnya memutuskan untuk hiatus.
Begitu aku membuka aplikasinya, langsung keluar feed dan story temen-temen dekatku. Ada yang sedang jalan-jalan, ada yang sedang bermain bersama anak-anaknya, ada yang sedang berkumpul bersama keluarga, ada yang sibuk dengan pekerjaaannya, ada yang posting tentang perkembangan anak-anaknya, ada juga yang sedang menikmati masa lajangnya dengan kawan-kawan barunya. Sangat beragam dan semua terlihat benar-benar menikmati setiap momennya. Beberapa kuberikam like karena aku suka dengan apa yang mereka post, beberapa juga ada yang aku komentari karena memang ada yang mau aku tanyakan. Terlalu kepo emang aku ini kadang-kadang.
Cukup lama aku berkutat dengan ponsel, bolak balik buka aplikasi ini itu lalu aku melihat jam. Sudah mendekati jam pulang sekolah anak-anak yang juga artinya sudah dekat dengan jam makan siang. Kusudahi dulu santai-santainya, melirik ke arah bayi yang masih anteng tertidur pulas, pelan-pelan aku kembali ke dapur untuk mengerjaan pekerjaan ibu rumah tangga yang itu-itu saja. Menyiapkan asupan makanan yang bernutrisi, halal dan baik pula untuk semua anggota keluarga. Walaupun tak selalu baik sih, minimal halal deh ya. Belum lama di dapur, tiba-tiba ponsel berdering. Grup besti memanggil. Buru-buru kubuka whatsapp dan mengirim pesan di grup,
"Ada apa woy? Kan tau WA di blok sama Saudi buat telepon atau video callnya."
"Ydh bikin link buat video call skrg, cpt!" Selfi membalas, salah satu member grup besti yang apa-apa harus singkat jelas padat.
"Ada apaan sih? Tumbenan." Agak malas, tapi tetap kubuatkan link karena memang lumayan kangen juga dengan mereka.
"Udah Ran, jgn banyak tanya dulu. Link aja link." Rere yang menjawab berikutnya.
"Nih." Aku mengirimkan link.
Tak perlu waktu lama, kami sudah larut dalam obrolan seru. Dimulai dengan kalimat-kalimat manis saling rindu sampai akhirnya menjadi saling meledek mengingat masa lalu. Aku yang disambil memasak, sesekali saja ikut nimbrung. Repot juga karena berkejaran dengan waktunya anak-anak pulang sekolah.
"Ran, masaknya udah belum?" Selfi tiba-tiba bertanya.
"Bentar lagi. Kenapa sih? Lanjut aja, gue dengerin ko." Aku menjawab sambil menuang ayam kecap yang sudah matang ke dalam mangkok.
"Buruan deh, duduk dulu. Kita mau ngobrol serius." Selfi meminta.
"Apa sih? Ko gue jadi takut ya." Aku benar-benar khawatir lalu duduk.
"Selow, udah duduk kan?" Selfi bertanya lagi sambil melihat-lihat ke arah layar, memastikan aku sudah duduk dengan rapi.
"Udah." Jawabku singkat.
"Siapa yang mau bilang ni?" Tanya selfi pada yang lain.
"Udah lo aja lah." Rere menimpali.
"Oke," Selfi terlihat membenarkan posisi duduknya. "Jadi gini Ra, bulan depan insha Allah kita mau umroh. Barengan." Selfi terdiam menunggu responku yang masih mendengarkan dalam diam.
"Ran, ko diem aja?" Tanya Hanum si pendiam.
"Eh, emang harus gimana? Gue kira masih ada lanjutannya." Aku menjawab apa adanya.
"Emang ada lanjutannya. Cuma nunggu lo ngerespon dulu lah. Ko lo malah diem aja." Kali ini Airin yang bicara.
"Oh, ya lanjutin aja dulu. Respon menyusul." Aku tertawa geli membayangkan mereka yang bingung dengan responku yang datar.
"Ah, dia mah gitu kan. Datar aja orangnya. Bukan Rania banget kalo ekspresif." Eri berkomentar dan tertawa.
"Ya makanya." Aku bingung sendiri.
"Lanjut ya," Selfi mulai bicara lagi. "Rencananya kita mau ketemu sama loo." Mendadak suaranya heboh sekali. Begitu juga teman-teman lain yang ikut bersorak, "yeay."
"Akhirnya ada yang bakal berkunjung juga." Aku berkomentar senang. "Kapan jadwal berangkatnnya? Siapa aja yang berangkat?" Aku bertanya penasaran.
"Kita berlimaan aja." Jawab Airin semangat. "Lo kira-kira bisa ngga ketemu kita? Jauh ngga mekkah atau madinah dari tempat lo?" Rere menyusul bertanya.
"Lumayan, 3-4 jam deh." Aku menjawab. "Insha Allah bisa ketemu asal jadwalnya pas. Pas pak suami lagi libur misalnya. Karena gue ngga bisa jalan sendirian. Pasti mesti segambrengan." Aku menjelaskan.
"Oke, nanti kita kabarin lagi pastinya ya." Selfi menyahut.
"Yaudah, jangan deket-deket banget ya. Kabarin gue dari dua minggu sebelumnya. Biar bisa siap-siap semuanya." Aku menjawab sambil melihat kalender. "Eh kalian berangkat bener-bener berlimaan aja? Ngga sama keluarga gitu?" Tiba-tiba aku teringat kalo sebagian dari kami memang sudah berkeluarga, hanya Rere yang masih menikmati masa-masa lajangnya.
"Ngga, kita cuma berlimaan aja. Emang udah janjian dari setahunan lalu pas lo ke Saudi." Airin yang menjawab.
"Sengaja ngga bilang dulu ke lo takut ngga jadi." Eri menambahkan.
"Ya tau sendiri, biaya umroh kan ngga murah." Kali ini Hanum ikut menjelasakan. Agak terdengar aneh suaranya, seperti murung.
"Yaudah. Siap. Pokonya kabarin aja ya." Aku bingung harus komentar apa lagi, karena tiba-tiba aku merasa ada yang janggal.
"Oke, oke nanti kita kabarin lagi." Rere terdengar ceria sekali.
"Yaudah, gitu aja ya. Gue mau balik dulu. Udah beres jam ngantor." Ucap Selfi mengakhiri.
"Yoi, sama gue juga." Rere menimpali.
"Bubar-bubar, gue juga mau manggil Kiara, masih main di luar dia. Mana belum mandi, udah sore begini." Hanum mendadak teringat dengan anaknya yang masih di luar rumah.
"Yuk, balik yuk ke rutinitas, gue juga mau siap-siapin makan malam. Bentar lagi pak suami dan pak mertua balik." Airin juga seperti tersadarkan akan sesuatu. Kami saling berpamitan lalu satu persatu meninggalkan room video call. Video call darurat selesai.
Grup besti adalah sekumpulan orang-orang bocor pada zamannya yang kini sibuk sekali dengan urusannya masing-masing. Berisi 6 orang yang sebenarnya memiliki karakter yang berbeda-beda namun tetap bisa nyambung dan senang sekali berulah di masa-masa kuliah. Sempat hilang kontak beberapa tahun, akhirnya kami dipertemukan kembali secara tidak sengaja di sebuah acara temu kangen alumni. Sejak saat itu kami membentuk grup besti di salah satu aplikasi pesan singkat. Namun sayangnya berkali-kali berencana untuk bertemu, rencana tinggal rencana. Hingga akhirnya aku harus ikut suami yang bekerja di Arab Saudi setahun yang lalu. Semakin sulit saja kami berkumpul kembali. Tapi sepertinya rencana kawan-kawanku yang akan umroh bersama bisa jadi momen buat kami berkumpul lagi setelah terakhir kali kami bertemu di acara temu kangen alumni. Semoga saja memang jadi dan perjalanan mereka di mudahkan, aku cukup berharap.
Sebulan berlalu setelah percakapan kami di video call. Grup besti sudah mendarat di Jeddah dan akan segera menuju mekkah dengan travel yang mereka gunakan, begitu kabar yang aku baca di grup tadi pagi. Aku bersiap untuk menuju Madinah karena kami berencana bertemu disana dua hari lagi setelah mereka selesai di mekkah. Mengecek ulang semua keperluan yang harus dibawa.
"Udah siap sist?" Suamiku bertanya sambil membawa barang-barang yang sudah aku siapkan ke dalam mobil. Rencananya memang kami akan menginap di Madinah agar tidak terlalu lelah.
"Udah. Tinggal berangkat aja." Aku menjawab sambil mengecek seisi rumah, kompor, lampu-lanpu, AC, heater. Setelah semua aman, aku meminta anak-anak untuk segera menyusul ayahnya ke mobil karena kami akan segera berangkat.
"Guys, yuk berangkat!"
"Yeay." Mereka bersorak.
"Bun, ayah mana?" Tanya anak nomor dua.
"Ayah udah dibawah." Aku menjawab, lalu si anak nomor dua bergegas menyusul ayahnya.
"Ka, tolong bawain tas adek donk. Bunda mau gendong adek ni. Penuh tangannya, sekalian kunci pintu bisa kan?" Aku minta tolong kepada anak sulung.
"Iya bisa. Bunda pegang adek aja. Duluan ngga apa-apa." Sahut anak sulung yang sudah bersiap didepan pintu dan menungguku untuk keluar rumah.
Setelah memastikan pintu sudah terkunci, aku dan anak sulung menyusul ke mobil dan kami berangkat menuju Madinah.
Perjalanan sangat tenang, anak-anak tertidur sepanjang jalan. Karena memang hari pun sudah menjelang malam. Lalu lintas jalan pun tergolong sangat lancar. Selama tinggal di sini belum pernah aku mengalami macet yang berlebihan. Jalan-jalan di sini lebar sekali, mungkin itulah yang membuat di sini jarang terjadi kemacetan yang luar biasa.
Setelah dua setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba di penginapan yang telah kami sewa. Buru-buru kami menuju nabawi untuk mengikuti sholat isya berjamaah. Kami sengaja memilih penginapan dekat dengan masjid nabawi agar bisa ikut sholat berjamaah juga agar dekat dengan penginapan grup besti. Ini akan sangat memudahkanku yang harus menemui mereka sambil bawa-bawa bayi. Selesai sholat kami memutuskan untuk membeli makan malam lalu lanjut pulang ke penginapan untuk beristirahat.
Besoknya, setelah subuh aku menuju pekarangan masjid nabawi untuk menemui grup besti. Setelah bertemu kami saling berpelukan menumpahkan rasa rindu dan bernostalgia tipis-tipis. Aku yang sedang dalam masa menyusui, tiba-tiba merasa lapar dan memutuskan mengajak kawan-kawan ke kafe terdekat buat ganjel-ganjel dulu sebelum mereka mendapat jatah sarapan dari travelnya dan aku kembali ke penginapan untuk sarapan berat. Di kafe kami banyak bertukar cerita. Bahkan cerita yang sangat deep dan dark. Cerita-cerita yang benar-benar belum pernah di ungkap di sosial media masing-masing.
"Gue ngga tau ya, cuma rasanya gue mau cerita ini banget." Hanum memulai. Diam sebentar lalu melanjutkan,"gue udah cerai sama Arya."
Ia terdiam lagi, menunggu reaksi kami. Selama sekian detik kami terdiam, hening, canggung, aku pribadi benar-benar kaget dengan pengakuannya.
Lalu Rere memecah keheningan, "serius lo?" Tanyanya.
Hanum mengangguk santai tersenyum tipis.
"Kenapa?" Kata itu yang pertama kali tercetus di pikiranku setelah aku mulai sadar dari kaget.
"KDRT." Hanum menjawab santai tapi jelas ada getir dalam suaranya.
"Ko bisa?" Kali ini Selfi yang bertanya tanpa bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
"Ya bisa aja." Hanum menjawab seadanya.
"Iya, iya emang bisa. Tapi maksud kita, Arya loh. Lemah lembut banget. Kita selalu mikir kalian cocok. Kalem dengan kalem." Eri bicara tidak santai, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Tak perlu waktu lama, cerita Hanum mengalir begitu saja. Hanum bercerai sudah dua tahun lamanya, namun ia berhasil menutupi semua. Alasan utamanya karena ada kekerasan dalam rumah tangga. Arya memang lelaki yang lemah lembut, cerdas dan jarang sekali terpancing amarahnya. Maka wajar ketika kami terkejut sampai sebegitunya. Namun setelah 4 tahun menikah, usaha Arya mengalami gulung tikar. Arya dan Hanum yang saat itu sudah dikaruniai anak balita mulai tertekan dengan masalah yang ada. Terutama Arya sebagai kepala rumah tangga. Hanum berusaha keras menyemangati Arya dan membantu dalam perekonomian keluarga. Tapi Arya tak juga bisa berpikir jernih. Ia menjadi sering marah-marah kepada Hanum bahkan sampai memukul. Setiap kali habis memukul, Arya selalu menangis dan meminta maaf. Melihat hal itu, Hanum bertahan memutuskan untuk diam dan berusaha lagi melanjutkan rumah tangganya. Ia memendam semuanya selama 3 tahun seorang diri. Sayangnya, selama itu Arya tidak juga kembali menjadi pribadi yang baik. Puncaknya ketika anak mereka akan masuk sekolah. Masalah uang masuk sekolah memicu Arya semakin menjadi-jadi. Hanum yang tak tahan akhirnya mengadu pada kakak laki-lakinya yang seorang pengacara untuk meminta pertolongan. Pertama kali mendengar ceritanya, sang kakak marah besar tapi akhirnya kakak Hanum tetap membantu untuk bisa menyelesaikan hubungannya dengan Arya.
"Terus sekarang lo gimana? Biaya-biaya. Arya masih tanggung jawab?" Airin yang sedari tadi hanya mendengarkan sambil menangis, mulai bersuara.
"Alhamdulillah kan sejak Arya bangkrut gue kerja dari rumah. Ambil-ambil proyek apa gitu yang bisa gue kerjain dari rumah. Yaudah terus lanjut gitu aja. Arya kadang masih suka ngirim uang. Belum rutin tapi alhamdulillah buat tambah-tambah." Jelas Hanum.
Mendengar penjelasannya kami bersyukur bersamaan.
"Heuh, gila sih ngga nyangka banget gue. Maksudnya, selama ini postingan lo kan tentang Kiara. Gue pikir lo fokus aja gitu sama tumbuh kembang anak lo. Ngga ada kerja-kerja. Tinggal nunggu dari Arya aja. Kiara masha Allah pinter banget soalnya. Jadi gue pikir, ini berkat full dari tangan ibunya, ternyata masha Allah. Hebat banget lo, Num. Ya Allah." Eri berkomentar, matanya berkaca-kaca.
"Emang ya, apa yang di post di sosial media ngga selalu begitu juga sebenarnya." Selfi berkomentar.
"Gue ngga berhenti ngucap masha Allah tiap kali liat postingan Hanum tentang Kiara." Lanjut Selfi.
"Wah lo kenapa nih fi?" Aku bertanya menyelidik.
"Kalian tau ya, postingan gue selalu tentang kerjaan. Sebenarnya kadang gue ngga mau-mau amat posting itu. Tapi gue nyoba ngehibur diri aja. Kalo keputusan gue tetep kerja walaupun udah ada Noah itu udah tepat." Selfi terdiam agak lama, ragu.
"Lo kenapa?" Tanya Rere.
"Anak gue sepeech delay." Selfi menjawab dengan suara bergetar. Kami yang mendengar terkejut lagi.
"Noah lagi jalanin terapinya, udah setahunan ini. Alhamdulillah sih udah mulai ada perkembangan. Tapi jujur, gue ngerasa salah banget disini. Gue pikir gue bisa mencukupi Noah kalo gue juga ikut kerja. Semua kan perlu uang. Maksud gue, ya lo pada ngertilah." Tiba-tiba selfi menangis.
Kami memeluk dan berusaha menenangkan Selfi. Setelah agak tenang, Selfi mulai bercerita awal mula Noah di diagnosa speech delay.
"Dokter bilang, ngga ada yang salah sama apa yang dialami Noah. Belum terlambat juga karena gue yang cepat tanggap buru-buru bawa Noah konsul. Kalo guenya mau sabar nerapin terapi-terapi ke Noah, insha Allah Noah akan cepat bisa berkomunikasi dengan baik ke orang lain." Selfi diam sejenak.
"Setiap anak itu spesial, itu yang dokternya bilang tiap kali abis sesi terapi. Dokter juga selalu menekankan banget kalo gue dan suami harus bisa ngedampingin Noah bener-bener. Terutama gue sih. Ibunya, ajak Noah ngobrol yang banyak. Tapi gue ngga bisa berhenti kerja juga, karena biaya terapi Noah ngga murah. Makanya gue bingung." Selfi mengakhiri cerita dan mulai menangis lagi.
Kami berusaha memberi tepukan semangat namun yang terjadi ia malah semakin menangis.
Sedang khusuknya kami menangis bersama tiba-tiba Airin nyeletuk, "gue kira idup gue yang paling sengsara. Idup sama mertua. Belum ada anak pula." Airin si paling cengeng menangis tersedu-sedu.
"Sesering apapun gue sama Doni honeymoon, Allah belum mau ngasih gue anak." Suara Airin tercekat.
"Belum lagi pertanyaan mertua, keluarga suami, semuanya." Airin berhenti cerita karena tangisnya semakin menjadi.
Aku terdiam agak lama. Mencoba mencerna cerita para besti.
"Rumah tangga itu sulit ya?" Rere tiba-tiba bicara.
"Gue sempet mikir buat nikah sama siapa aja deh yang mau. Karena umur udah ngga muda lagi. Tapi setelah ini kayanya gue bener-bener harus mempertimbangkan semua tentang calon suami dan ayah dari anak-anak gue." Rere memandang ke depan. Tatapannya kosong namun tetap ada senyum pasrah di wajahnya.
"Capek ya, Re ditanya terus kapan nikah?" Aku bertanya. Nyengir. Paham sekali dengan apa yang di rasakan. Rere mengangguk membalas nyengir.
"Sabar ya Re, nikmatin aja dulu masa-masa single lo." Ucap Hanum.
"Bener, Re. Jangan sembarangan asal comot buat suami mah." Eri ikut bersuara.
"Karena lo akan hidup sama suami itu sampe mati kan. Seumur hidup lo. Jangan sampe hari-hari lo setelah nikah malah serasa di neraka. Panas mulu. Kecuali kalo lo siap dengan perceraian sih. Beda lagi ceritanya." Lanjut Eri datar.
Hanum si pendiam namun pemerhati, dengan cepat menangkap maksud dari ekspresi datar Eri. "Are you okay?" Tanya Hanum.
"Not Really." Jawab Eri tersenyum lemah.
Mendengar jawaban Eri, hatiku lagi-lagi nyeri. Ada apa lagi, aku membatin.
"Why?" Hanum melanjutkan pertanyaannya.
"Erik selingkuh." Eri menjawab, mencoba menjawab dengan santai meski tetap ada getar dalam suaranya.
Semua terdiam, Airin yang masih sesegukanpun mendadak berhenti.
"Dan ini udah yang ke berapa kalinya, ganti-ganti orang. Sekarangpun dia punya pacar baru lagi." Eri melanjutkan, tersenyum getir sekali.
"Terus? Keluarga besar kalian tau?" Gue takut-takut bertanya.
"Tau, tau banget. Semuanya." Eri berhenti sebentar, menarik nafas panjang lalu melanjutkan, "keluarga Erik jelas membela, bilang gue yang begini dan begitu. Ngga bisa jadi istri yang tepat buat Erik. Terlalu keras. Dan sedihnya mereka oke aja kalo gue cerai tapi nyokap gue maksa buat bertahan selama Erik masih ngasi uang. Kasian si kembar katanya."
Diantara kami berenam, Eri adalah manusia paling kuat. Sejak kecil mentalnya sudah dihantam berkali-kali oleh kerasnya hidup. Mulai dari orang tuanya yang bercerai karena ayahnya selingkuh. Lalu sang ayah menikah lagi dengan selingkuhannya kemudian mengabaikan Eri dan kedua adik laki-lakinya. Sejak hari itu Eri harus membantu ibunya mencari uang. Berjualan nasi uduk di pagi hari sebelum berangkat sekolah dan ikut ibunya mencuci juga menyetrika baju-baju tetangganya setiap sore. Adilnya yang maha kuasa, Eri diberikan akal yang cerdas sekali. Hingga sekolah manapun akan dengan senang hati menerima dan memberikan beasiswa untuknya. Eri akhirnya bisa menjadi seorang sarjana kebanggaan ibunya dan mendapat pekerjaan yang sesuai.
Selama masa perkuliahan, Eri fokus pada kuliah dan bekerja paruh waktu untuk membiayai ibu dan kedua adiknya. Aku sendiri heran, dari mana tenaga Eri datang. Ketika ada jam kosong di kampus, Eri jarang sekali terlihat makan bahkan di waktu makan siang. Ia selalu sibuk mengerjakan tugas agar tak ada tugas yang tak selesai. Ia selalu mengatur dan menggunakan waktu dengan sangat baik agar hari-harinya tak berantakan. Sesekali ia membawa bekal yang telah di siapkan ibunya lalu makan dengan sangat cepat agar tak ada waktu yang terbuang. Ia juga sering menolak pemberian kami. Belum lagi jam tidurnya juga yang sangat sedikit. Pagi hingga sore hari ia pakai untuk kuliah. Setelah selesai kuliah ia lanjut dengan beberapa pekerjaan paruh waktu. Hampir setiap hari Eri tiba di rumah jam 12 tengah malam. Perjuangannya benar-benar luar biasa hingga menarik perhatian Erik, suaminya, yang saat itu adalah kakak tingkat kami. Erik kagum dengan Eri yang sangat gigih, lalu ia melamarnya ketika kami baru beberapa bulan lulus kuliah. Ibunda Eri yang tak tega melihat Eri harus terus berjuang sendiri setuju dengan lamaran Erik yang saat itu memang sudah cukup mapan meski Eri belum benar-benar siap dan mantap untuk menikah. Namun demi mengikuti kemauan ibunya, Eri menerima lamaran Erik.
"Salah gue mungkin di awal, nerima lamaran Erik bukan karena buat ibadah. Tapi buat nyokap." Eri masih terus bercerita.
"Tapi awalnya kan gue mau nikah juga buat nyokap. Gue berusaha tetap bakti ke nyokap. Tapi ngga taulah, mungkin emang gue yang salah." Eri bicara bimbang.
"Tapi lo masih kerja kan?" Tanya Rere.
"Masih." Jawabnya singkat.
"Terus kenapa nyokap maksa lo buat tetep bertahan?" Airin bertanya heran.
"Karena khawatir gaji gue ngga bisa mencukupi anak dua. Minimal sekarang biaya si kembar masih di tanggung bapaknya. Gaji gue bisa gue simpen dan bisalah buat ngasi nyokap. Beliau sih ngga ngaruh juga kalo ngga dapet uang dari gue. Alhamdulillah katanya beliau udah punya tabungan buat diri sendiri. Kan adek-adek gue juga suka ngasih. Cuma katanya dia ngga mau anaknya mesti susah kaya ibunya." Berhenti sebentar sambil menarik nafas panjang.
"Tapi kadang gue ngga kuat ngadepinnya." Lanjut Eri pelan.
Pecahlah tangis kami, sakitnya Eri benar-benar sampai pada kami. Bertahan dengan suami yang jelas berselingkuh, dipaksa bertahan dan tak dapat dukungan dari keluarga pula, sungguh situasi yang menyesakkan. Kami menangis bersama lagi untuk yang kesekian kalinya. Lelah rasanya karena menangis terus menerus, tapi tak ada yang dapat kami lakukan selain itu.
Tak terasa hampir tiga jam berlalu. Sungguh waktu yang singkat untuk cerita sebanyak itu. Cerita Eri menutup pertemuan kami. Beberapa saat kami terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing sampai akhirnya suara yang sangat aku kenal memanggil.
"Kepada ibu Rania, panggilan untuk ibu Rania. Jadwal Sarapan telah dimulai. Sudahkah berbincang-bincangnya?" Anak sulungku bergaya sekali.
"Owh masha Allah, ini anak sulung ibu Rania? Sudah besar sekali ya." Rere berkomentar.
Anak sulungku tersenyum dan bersalaman ke semua kawan-kawanku.
"Udah ka, bentar ya." Aku menjawab panggilan anak sulung.
Aku berpamitan pada grup besti lalu saling berpelukan erat sekali. Mencoba untuk saling menguatkan. Meski masalahku tak seberat mereka, tapi mereka paham bagaimana lelahnya aku dengan kehidupan anak tiga tanpa asisten rumah tangga. Hidup jauh dari tanah air yang apa-apa harus dikerjakan sendiri karena tak ada keluarga ataupun tetangga. Melakukan aktivitas yang itu-itu saja. Sungguh keadaan yang cukup membuat stress.
Setelah selesai dengan saling berpelukan, kami mengambil beberapa foto bersama sebagai kenang-kenangan. Selesai dengan semua ritual perpisahan, kami kembali ke penginapan masing-masing.
Aku menikmati sarapan sambil melihat story dan feed kawan-kawan yang menyebut namaku. Tak sedikitpun terlihat kesedihan mereka di foto-foto itu. Bahkan captionnya lucu-lucu yang mungkin akan membuat orang lain berpikir mereka beruntung sekali tapi anehnya aku malah menangis. Akhirnya aku paham dengan kejanggalan yang sempat aku rasakan ketika mereka memutuskan untuk umroh berlimaan saja. Ada doa-doa yang benar-benar ingin mereka panjatkan. Ada hal-hal yang sungguh-sungguh ingin mereka adukan pada yang maha kuasa. Harapan yang begitu besar akan bantuanNya, kekuatan dariNya atau minimal ketenangan di hati mereka.
Aku menghela nafas panjang. Selfi benar, apa yang ada di media sosial memang tak selalu itu yang sebenarnya. Aku memberikan like pada setiap postingan kawan-kawan lalu ikut mengunggah sebuah foto bersama kami dengan caption "the best our quality time." Grup besti dengan sigap membanjiri uanggahanku dengan like dan komentar. Aku tersenyum lalu melanjutkan makan tanpa banyak bicara.
"Bun tumben amat ngga komenin makanan-makanannya? Lapar banget ya? Biasanya udah kaya chef aja." Anak sulungku heran melihat sikapku. Aku hanya tersenyum tipis dan terus makan.