Masukan nama pengguna
TIDAK SEORANG PUN yang tidak mengakui dari keluarga Pak Rizal Ahmad, bahwa pemuda ganteng yang duduk di kursi panjang bersama orangtuanya itu, merupakan anak dari keluarga berada.
Sore yang cerah karena langit sedang digantang bahagia. Matahari jingga tergurat di kanvas raksasa yang terbentang di bawah singgasana Tuhan. Di ruang tamu, Pak Rizal, seorang pria paro baya yang mengabdikan seumur hidupnya menjadi pegawai negeri sedang menerima tamu. Tidak lain dan tidak bukan maksud dan tujuan kedatangan tamu itu adalah melamar anak sulung Pak Rizal yang bernama Putri.
Putri adalah anak sulung Pak Rizal dan Bu Surti yang kini bekerja sebagai juru taksir di kantor pegadaian. Sudah setahun ini Putri dekat dengan seorang pemuda bernama Jefri. Karena sama-sama saling cinta, ya akhirnya Jefri pun berkomitmen untuk melamar kekasihnya itu. Jadi, yang sedang melamar Putri sore itu adalah Jefri.
"Jadi, begini, Pak Rizal, Bu Sur, maksud dan kedatangan kami sekeluarga ke rumah Bapak dan Ibu tidak lain ingin melamar anak sulung Bapak dan Ibu yang bernama Putri untuk dijadikan pendamping hidup anak kami yang bernama Jefri," kata seorang pria paro baya mengawali pertemuan sore itu. Pria itu tak lain adalah ayahnya Jefri. "Bila Bapak dan Ibu Rizal berkenan menerima lamaran kami, sungguh itu adalah sesuatu yang sangat membuat hati kami bahagia."
Pak Rizal dan istrinya saling pandang untuk memberikan tanggapan.
"Sebelumnya, saya ingin menyampaikan kepada Bapak dan Ibu, Nak Jefri dan semua keluarga yang hadir dalam acara ini, bahwa semua keputusan menerima atau menolak lamaran ini ada di tangan anak kami Putri," pria paro baya itu terlihat canggung, sebab ini adalah pengalaman pertama baginya menerima lamaran buat anak gadisnya yang sudah memasuki masa dewasa. "Dan kita sudah sama-sama tahu kalau selama ini, Putri dan Nak Jefri sangat dekat. Dan niat Nak Jefri untuk menikahi Putri adalah keputusan yang tepat."
Semua anggota keluarga yang ikut hadir dalam acara itu manggut-manggut.
"Dari pada nanti pas lama-lama pacaran ya, Pak, kan bahaya?" celetuk seorang pria berlogat Madura sehingga mengundang yang lain tertawa. "Apalagi sekarang zamannya makin uedan. Moral dan iman anak-anak kita dijajah oleh Jepang melalui video cangkul-cangkul."
"Cangkul-cangkul gimana, Pak?" ujar seorang perempuan yang tak istri pria itu.
"Ya cangkul-cangkul." Pria itu memperagakan orang yang lagi mencangkul hingga semakin membuat suasana sore itu mencair. "Petani kalau mencangkul kan kayak gitu?"
Putri dan Jefri yang sudah tahu maksud dari kata cangkul-cangkul itu menahan tawa. Pipi gadis itu merona merah karena malu. Sedangkan Jefri menatapnya sambil tersenyum.
"Nanti kalau jodoh dan dilancarkan sampai ke pelaminan, Jefri dan Putri pun paham apa arti dari cangkul-cangkul itu."
Baik Pak Rizal maupun Bu Surti yang mendengar guyonan itu pun tertawa.
"Jadi, bagaimana, Nak Putri? Apakah kamu bersedia menerima lamaran Jefri?" tanya ayahnya Jefri dengan menatap wajah gadis manis yang sedang berkuncup itu.
Gadis itu tidak boleh asal menjawab karena apa yang meluncur dari bibirnya akan menentukan kehidupannya nanti bersama seorang pria yang menjadi pemimpinnya. Dan ia sudah memikirkan matang-matang saat Jefri mengatakan akan melamarnya. Ia sudah sama sekali percaya kepada pacarnya itu. Dan menurutnya Jefri adalah sosok pemuda yang baik. Sangat pantas baginya pemuda itu untuk lolos sebagai imamnya.
"Bismillahirrahmanirrahim, dengan memohon rida Allah, Nabi Muhammad, Ayah-Ibu, dan semua keluarga, sore ini saya bersedia menerima lamaran Mas Jefri," ucap gadis itu dengan bibir dan hati bergetar seperti daun mawar yang ditiup angin siang.
"Alhamdulillah."
Tapi tidak dengan Pak Rizal, ayahnya Putri, suami Bu Surti itu. Ia tidak memanjatkan syukur ke Langit. Justru ia sangat merasa sedih saat mendengar anak gadisnya itu mengatakan menerima lamaran pemuda tersebut. Wajahnya digulung-gulung kabut kesedihan. Perasaan kecewa bergumpal-gumpal di perutnya. Entah kenapa? Padahal kan semestinya ia harus senang
***
"Siapa yang mengirim pesan chat di hapemu, Ma?" tanya Pak Rizal yang pagi itu sedang menikmati secangkir kopi dan sepiring pisang goreng di teras rumahnya bersama Bu Surti.
Sementara Bu Surti saat itu tampak sedang menanam bibit kembang kemangi di halaman rumahnya. Perempuan itu memang hobi menanam sesuatu yang bermanfaat. Coba tengok saja di halaman rumah itu. Di sana tampak berbagai jenis bunga, pohon pisang, labu sayur, pare, dan tanaman toga. Di sela-sela aktivitasnya sebagai guru, ia masih bisa meluangkan waktu untuk hobinya itu.
"Nama pengirimnya siapa, Yah?" tanyanya sambil mengorek-ngorek tanah yang tidak keras dengan sekrop kecil.
"Azzam."
"Ooo... Azzam. Dia itu muridku dulu di SMP, Yah. Dia itu pintar mengarang novel dan cerpen juga puisi. Dan sekarang kabarnya dia langganan menulis cerpen dan puisi di koran maupun tabloid," ujar Bu Surti tampak senang. "Tidak sia-sia aku mengajari dia bahasa Indonesia."
Pak Rizal manggut-manggut. Pria itu sama sekali tidak pernah curiga apalagi cemburu jika ada yang mengirim pesan pada istrinya. Dan istrinya memang sering ditelepon sama murid-muridnya dulu. Kalau bukan untuk meminta bantuan (utang), ya memberikan buah tangan buat gurunya itu. Bahkan, pria itu sudah saling kenal dengan murid-murid istrinya yang sering silaturahim ke rumahnya pada hari raya. Tapi yang satu ini, rasanya tidak pernah bertemu.
"Sekarang Azzam kerja apa, Ma?" Pak Rizal menyeruput kopinya, lalu mengambil sepotong pisang goreng buatan istrinya itu.
"Menulis novel, cerpen dan puisi, Yah." Bu Surti menanam kemangi ke tanah. "Selain itu, dia juga bekerja sebagai guru Sastra Indonesia di SMA Internasional."
"Azzam lulusan S1."
"Apakah dia sudah berkeluarga, Ma?"
"Belum."
Malam harinya, Pak Rizal keluar dengan anak gadisnya yang lain dengan mobil. Si bungsu merengek minta dibelikan ayam goreng dan es krim Mixue. Lalu, berangkatlah mereka berdua menuju ke pusat kota. Tapi, saat mobil yang dinaiki oleh Pak Rizal sedang mengantre di loket pemesanan KFC, kedua netra pria itu seakan melihat sesuatu di depannya. Di sana tampak dua orang muda-mudi yang berboncengan sepeda motor juga sedang memesan makanan dan minuman pada penjaga loket. Dan sepertinya Pak Rizal kenal dengan wajah pemuda itu, namun ia ragu. Ah! Tidak mungkin. Ia pasti sudah salah melihat. Ia pun segera membuang jauh-jauh pikiran buruk itu.
"Kenapa, Yah?" tanya anak bungsunya.
"Tidak apa-apa."
Setiba di rumah, Pak Rizal belum bisa melupakan wajah pemuda itu. Ia sempat melihat dengan jelas wajah pemuda yang berboncengan dengan gadis muda berambut panjang itu.
"Ngomong-ngomong, apakah dulu Azzam pernah pacaran dengan teman sekelasnya, Ma?" tanya pria itu saat sedang makan malam di ruang makan.
"Kayaknya tidak pernah, Yah. Ia memang menyukai salah satu temannya, tapi tidak sampai pacaran. Memangnya kenapa, Yah?" selidik Bu Surti terhadap pertanyaan yang diajukan oleh suaminya itu tentang Azzam.
"Ya nggak apa-apa sih. Itu bagus. Bahkan menurutku muridmu itu adalah sosok pemuda yang tidak mudah selingkuh jika kelak ia sudah menikah."
Tibalah hari yang sakral itu. Pernikahan Putri dan Jefri dilaksanakan di sebuah gedung yang ada di salah satu hotel yang ada di pusat kota. Putri terlihat sangat cantik dan anggun. Ia memakai kebaya putih dan kain batik liris sehingga ia persis bangau di sawah.
Sementara Pak Rizal dan Bu Surti tampak sedang berdiri untuk menyambut undangan. Tapi aneh, Bu Surti sama sekali tidak melihat batang hidungnya Azzam. Padahal, ia sudah mengirim undangan ke rumahnya.
"Mungkin dia masih sedang meluncur ke sini, Ma," ujar suaminya menenangkan. "Coba kamu hubungi nomor WhatsAppnya!"
Bu Surti menepi dan mencari tempat yang sepi sejenak. Lalu, ia mencoba menghubungi muridnya itu. Tapi, nomornya tidak aktif. Lalu, Bu Surti kembali berjalan menuju suaminya. Dan saat itu ia menerima pesan chat.
"Maaf, Bu. Saya masih ada di jalan."
Benar kata suaminya, Azzam sedang meluncur ke lokasi dihelatnya acara.
Tibalah waktunya akad nikah. Tapi, kenapa yang duduk di kursi itu bukan Jefri melainkan orang lain.
***
Siapakah pemuda itu?!
"Lho, Mas siapa?" kaget Putri ketika melihat calon suaminya yang ternyata bukan Jefri. "Kenapa mas duduk di sini?"
Wajah Bu Surti tak kalah sama kagetnya dengan putrinya ketika melihat siapa yang duduk di sebelah kanan putrinya.
"Lho, kok Azzam, Yah?"
Suaminya mengangkat bahu, dan anehnya pria itu sama sekali tidak kaget macam melihat hantu.
"Jadi begini, Ma, ayah akan jelaskan. Malam itu, saat si adek merengek minta dibelikan ayam goreng dan es krim, di loket pemesanan di KFC, tanpa sengaja ayah melihat Jefri sedang membonceng seorang gadis berambut panjang. Bahkan ia tampak sedang mencubit hidung gadis itu," suaminya menjelaskan panjang lebar. "Lalu, diam-diam ayah menghubungi Azzam dan memintanya ketemuan di suatu tempat. Kepada Azzam, ayah meminta agar ia bersedia menggantikan posisi Jefri sebagai mempelai pria."
Bu Surti mau tidak mau harus menerima bila muridnya itu menjadi suami dari anaknya sendiri.
"Putri cantik, dan Azzam tak kalah ganteng dengan Jefri," ujar suaminya. []
2024