Masukan nama pengguna
Kala itu, saya seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah swasta tingkat pertama, tepatnya, SMPS PGRI Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Diawal menjadi seorang pengajar pada sekolah swasta tersebut, saya mengetahui bahwa peserta didik yang ada di sekolah itu, pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu. Sebagiannya lagi, berasal dari anak anak panti asuhan, merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, diambil dari berbagai daerah. Letak panti asuhan tersebut, berada tidak jauh dengan lokasi Sekolah kami.
Mengabdi sebagai pendidik pada sekolah tersebut, membuat saya memiliki pengalaman tersendiri yang sampai saat ini, masih membekas di ingatan saya. Umumnya, siswa di sekolah tersebut, mereka sangat membutuhkan perhatian yang lebih dari kita sebagai guru. Hal itu disebabkan, rata-rata dari mereka, kurang mendapatkan perhatian dari keluarganya, dikarenakan latar belakang kehidupan mereka yang beragam. Mulai dari anak yang tinggal bukan bersama orang tua kandung, anak anak yang tinggal di panti asuhan, bahkan siswa yang tinggal bersama orangtua kandung namun, memiliki berbagai permasalahan dikeluarga dan kehidupan perekonomian keluarga yang sangat memprihatinkan. Sehingga dalam proses pembelajaran, sebagai guru saya dituntut untuk lebih peka terhadap kondisi siswa yang ada di sekolah kami.
Dengan latar belakang kehidupan siswa yang demikian, dalam proses belajar mengajar, kami sebagai guru mengalami hambatan, dikarenakan banyak diantara mereka yang keseringan tidak hadir ke sekolah, tanpa alasan. Bahkan, hal itu bisa berhari-hari, sehingga sebagai guru, kami harus menjemput siswa tersebut ke rumahnya. Itu terjadi berulangkali, dikarenakan siswa kami memiliki berbagai permasalahan, mulai dari siswa yang berasal dari keluarga broken home, maupun siswa kurang mampu, sehingga harus bekerja diusia dini untuk membantu orang tua bahkan untuk membiayai sekolahnya sendiri. Sungguh miris memang, tapi itulah realita kehidupan yang terjadi dan banyak dialami oleh anak-anak di Negeri Indonesia Tercinta.
Adalah Rafli (nama samaran). Seorang siswa kelas VII yang sangat membuat saya penasaran akan apa gerangan permasalahan yang dialami dalam kehidupannya, yang kebetulan tinggal bersama orangtua kandung. Rafli seorang anak yang periang dan rajin belajar, disiplin, serta disukai oleh kawan-kawannya. Oleh karena itu, disaat pemilihan ketua kelas Rafli memperoleh suara terbanyak dan terpilih sebagai ketua kelas. Sebagai wali kelas, saya juga sangat menyukainya, dikarenakan sikapnya yang hormat pada semua guru, ditambah rajin dalam mengkuti pelajaran serta bersikap baik pada semua teman-temannya.
Hari-hari selanjutnya, saya memperhatikan Rafli aktif dalam belajar dan rajin dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh semua guru. Bahkan, tidak jarang saya selalu memuji tulisannya yang rapi dan bagus. Dia membalas pujian saya dengan memperlihatkan senyumannya. Ketekunannya dalam belajar, membuat teman-temannya termotivasi. Alhasil diakhir pembelajaran kelas VII, Rafli mendapat peringkat kelas No 1.
Namun, disaat Rafli naik ke kelas VIII, hal berbeda terjadi padanya. Guru-guru banyak mengeluh karena Rafli malas belajar dan malas mengerjakan tugas. Bahkan, sering tidak hadir kesekolah sampai berminggu-minggu. Di saat proses pembelajaran berlangsung, Rafli sering keluar masuk kelas dan kedapatan tidur diruang kelas, sehingga mengganggu konsentrasi teman-temannya yang lain. Rafli cendrung tidak sopan terhadap guru, jika guru tersebut menegurnya. Akhirnya sebagian guru tidak menyukainya. Alhasil, dari peringkat pertama pada kenaikan kelas VIII Rafli mendapat peringkat terbawah pada saat kenaikan kelas IX.
Alhamdulillah, pada saat Rafli duduk dikelas IX, saya kembali menjadi wali kelasnya. Begitu memasuki awal semester ganjil saya mendapati Rafli tidak serius dalam belajar. Benar seperti laporan dari wali kelasnya di kelas VIII, Rafli sudah sangat berubah . Dia siswa yang saya banggakan pada saat kelas VII, namun saat ini menjadi siswa yang tidak disukai tidak hanya dikalangan guru dan teman-temannya hanya beberapa orang yang masih mau berteman dengannya.
Mengetahui hal tersebut , saya sebagai gurunya juga wali kelasnya, sangat prihatin dengan perubahan sikap dan prilaku yang terjadi pada diri Rafli. Rafli yang dulu merupakan siswa berprestasi kini dia jarang datang ke sekolah. Hingga suatu hari, saya memanggil Rafli keruang kantor kepala sekolah dan berbicara empat mata. Saya mulai menggali informasi yang terjadi, sehingga Rafli bisa berubah dan tidak lagi seperti dulu . Awalnya, dia tidak mau berterus terang, bahkan hanya diam saja sembari menggeleng-gelengkan kepala. Berulang kali saya tanyakan, dia tetap menutupi permasalahan yang dihadapi. Dan dia berusaha menghindar dari pertanyaan, dengan mengatakan ingin kembali ke kelas. Akhirnya, saya membiarkan Rafli ke kelas, kembali karena saya yakin, Rafli belum siap menceritakan tentang permasalahannya. Namun kala itu, saya sudah dapat menangkap bahwa sesuaada suatu hal yang terjadi terhadapnya.
Keesokan harinya, Rafli tidak hadir ke sekolah . Saya tunggu satu dua hari, akhirnya saya meminta kawannya untuk mendatangi rumahnya, dan mengirim pesan agar Rafli hadir kesekolah. Keesokan harinya, Rafli bersekolah lagi. Saat itu saya perhatikan wajahnya sangat murung. Saya bujuk dia untuk ikut kantor lagi. Dengan berbagai cara saya lakukan untuk membujuknya, barulah dia mulai mau menceritakan prihal yang dialaminya dirumah bersama keluarganya. Terbata bata, dan dengan mata yang berkaca-kaca, Rafli menceritakan kisah dukanya yang dialami dikehidupannya, bersama keluarga kandung. Ternyata, kondisi kehidupan Rafli sangat memilukan. Disamping ayahnya sebagai buruh kasar yang kerjanya tidak tetap, Rafli memiliki dua orang adik yang masih kecil-kecil, dan ibu yang saat ini sedang terbaring lumpuh. Karenakan Rafli merupakan anak tertua dalam keluarganya, tentu aja dia yang memikul tugas menjaga dan mengasuh kedua adiknya disamping, disamping merawat ibu yang terbaring tak berdaya. Untuk makan sehari-hari pun, mereka kadang kala dibantu oleh tetangga sekitarnya.
Setelah saya mengetahui permasalahan Rafli, saya memberitahukan kondisi tersebut kepada kepala sekolah. Alhamdulillah kepala sekolah beserta seluruh dewan guru sangat berempati terhadap kondisi yang menimpa keluarga Rafli, dan juga turut membantu keringanan ekonomi keluarganya. Dengan bekerja sama dengan berbagai pihak, akhirnya ibu Rafli bisa diupayakan untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.
Tugas saya saat ini adalah, mengembalikan semangat belajar rafli seperti semula. Biarpun dia dalam kondisi duka, namun harus tetap memiliki semangat belajar demi masa depannya. Saya akui, tidak mudah mengembalikan semangat belajar siswa yang sedang dirundung kesedihan. Disini, sebagai guru sekaligus wali kelasnya, saya dituntut harus memiliki berbagai startegi dan pendekatan yang humanistik sehingga bisa memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus terhadap siswa tersebut. Tentunya dengan kesabaran dan rasa optimis yang kuat, sehingga saya bisa mengupayakan siswa tersebut untuk bersemangat dalam mengikuti pelajaran kembali.
Dengan hati yang tulus, saya memberikan perhatian, bimbingan, dan nasihat serta tidak henti-hentinya memberikan semangat dan dukungan untuk Rafli, agar kembali belajar untuk mengukir prestasi. Sejak saat itu, saya kembali melihat senyum ceria meriasi wajah Rafli. Saya yakin, bahwa Rafli telah menemukan kembali semangat belajarnya, dan saya yakin dia akan mendapat nilai yang memuaskan pada saat kelulusan nantinya. Akhirnya, puji syukur, hal yang saya yakini itu terjadi. Saat sidang kelulusan, Rafli kembali mendapatkan nilai tertinggi disekolah.
Hal yang terpenting jika kita sebagai guru mendapati siswa yang kurang memiliki semangat dalam belajar, bahkan cenderung berprilaku negatif ketika sedang proses belajar mengajar berlangsung, maka sebagai guru kita jangan langsung memvonis siswa tersebut malas belajar, tidak disiplin, tidak memiliki sopan santun dan sebagainya. Namun sebagai guru, kita dituntut untuk bisa memberikan perhatian yang lebih, dengan melakukan pendekatan yang humanistik dan kesabaran yang tinggi sehingga kita dapat mengetahui ternyata dibalik sikap dan tingkah laku yang diperlihatkan tidak jarang seorang siswa ternyata menyimpan realita kehidupan yang sangat memilukan.