Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,693
Sebuah Pilihan untuk Dikenang
Slice of Life

Kalau dikatakan bodoh, iya, aku memang bodoh. Kalau dikatakan tidak berguna, iya, memang.

 

Mereka boleh mengatakan apa pun dan memikirkan apa pun. Tapi ini jalan hidup yang aku pilih, dan biarkan aku melangkah. Di jalan setapak kecil yang telah aku pilih….

 

Pilihan, kata yang sederhana, tetapi pelaksanaannya memiliki andil besar terhadap segalanya. Sebuah kata yang harus dipertanggungjawabkan eksistensinya, kata yang akan membawa perdamaian, perubahan, bahkan pertentangan sekalipun; pelaksanaannya pun belum tentu mudah. Kata yang akan menentukan masa depan seseorang, bahkan suatu negara. Ia juga satu kata penting yang membawa sejarah dan sesuatu untuk dikenang di kemudian hari. Semua makhluk di muka bumi ini bisa memilih dan diberikan pilihan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan memberikan kebebasan kepada mereka, sekaligus tanggung jawab atas setiap pilihan yang diambilnya. Dan, untuk sebuah pilihan, hati akan mengambil peran terpenting di dalamnya.

 

Sore itu, sang pemimpi baru saja pulang dari kantornya, dengan badan dan pikiran yang penuh kelelahan namun diringi rasa bangga, turun perlahan dari mobilnya. Ia lalu masuk ke kamar tanpa sepatah kata pun. Ada hal yang mengganjal pikirannya, yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun.

 “Apa memang harus begini terus, ya… Setahun sudah aku di sini.”

 “Memang banyak sih pelajaran yang bisa aku ambil, tapi aku merasa bisa melampui ini. Aku harus berubah; aku tidak mau hidup seperti ini terus.”

 

Saat keluar dari kamar, ia kaget, melihat ada pamannya yang baru datang.

 “Eh… Paman…? Kapan datang?” sambutnya.

 “Baru saja datang, dari dua hari yang lalu. Paman baru pulang dari Jogja, ada proyek besar di sana,” tutur pamannya.

 “Wah, wah, pasti mau bagi-bagi rezeki, nih!” Dan tersenyum bercanda, menaikkan alisnya.

 “Hahaha… Bisa aja. Tapi kenapa ya muka kamu dari dulu nggak berubah? Sampai-sampai Paman susah percaya kalau kamu sekarang sudah kerja.” terang pamannya.

 “Iya, gitu deh, awet muda,” jawab Dan sambil nyengir.

 “Awet muda apanya, males iya!” sahut pamannya, tertawa. “Udah makan belum, Bos?” Paman langsung bertanya.

 “Belum, baru aja datang kerja juga,” jawab Dan.

 “Oh… Ya sudah, yuk makan di luar sama Paman,” ajak pamannya. “Oke… oke,” ia setuju.

 “Kak, aku keluar bentar ya, sambil nyobain mobil baru. Anak kau ini, umur segini sudah bisa beli mobil, kau kasi makan apa dia?” canda paman kepada ibunya, seraya meminta izin.

 

“Oh, iya iya. Tapi dianya jangan dipuji berlebihan, entar dia besar kepala. Tuh anak memang modal nekat, saya saja sampai stres mikirin, dengan gaji segitu mau cicil mobil,” tutur ibunya.

 “Wah… wah… keren juga nih anak. Kemakan gengsi kali ya?” sahut pamannya.

 Mobil perlahan keluar dari garasi, meluncur tenang di antara kerlip lampu kota malam itu. Wajah-wajah jalanan yang akrab terasa berbeda di bawah cahaya neon.

 “Kamu mau makan di mana?” tanya paman.

 “Ya terserah Paman saja, yang penting ada menu vegan-nya,” jawab Dan.

 “Sip, sip. Kayak nya di daerah sini, seingatku, ada restoran yang bagus,” gumam Paman sambil mengingat-ingat.

 “Okelah.”

 Setelah lama mencari, akhirnya mobil pun berhenti di sebuah restoran.

 “Kamu pernah makan di sini?”

 “Enggak, cuma sering lewat saja.”

 “Ooh, tapi kamu enggak nyangka sekarang kita bisa makan di sini. Soalnya yang ada menu vegan yang Paman tahu cuma ini. Soalnya tahu pemiliknya siapa.”

 Di tengah percakapan mereka dan ramainya restoran saat itu, tiba-tiba seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawa daftar menu.

 “Kamu mau pesan apa?” tanya pamannya.

 “Ini saja deh, Paman,” sambil menunjukkan pilihan dari daftar menu.

 “Oke, iya, samain saja lah.”

 Setelah mereka sepakat memesan, sang pelayan pun meninggalkan meja itu untuk menyiapkan pesanan mereka.

 “Iya, nih. Emang siapa pemiliknya, Paman? Emang Paman kenal orangnya?”

 “Iya, kenal. Restoran ini yang punya teman kerja Paman. Dulu Paman bekerja di hotel bareng-bareng sama dia. Paman bagian engineering (teknisi), dia chef,” tutur paman.

 “Terus?” Dan mulai tertarik mendengar cerita pamannya.

 “Nah, setelah setahun bekerja, dia sempat bilang mau berhenti kerja di sana, tapi Paman tertawakan,” Paman melanjutkan.

 “Loh, kok?” Dan akin tertarik.

 “Iya, soalnya dulu kan kita sama-sama tahu bahwa gaji di sini cukup tinggi dibanding yang lain. Kok berhenti sih? Apalagi hotel itu sudah punya brand yang cukup bergengsi dan terkenal juga. Lo ngapain pindah? Emang di mana lagi kita bisa punya tempat kerja kayak gini lagi?” tutur Paman.

 “Hmmm, gitu. Tapi apa emang alasan teman Paman mau berhenti dari tempat itu?” Dan bertanya lagi.

 “Jadi gini, sebelumnya dia sudah pernah cerita, kalau ide-idenya banyak yang ditolak sama pimpinan. Dia itu kan orangnya kreatif dan inovatif, tapi bos kita dulu maunya selalu menu-menu yang monoton, yang memang sudah pada banyak yang mesen, kayak menu-menu andalan gitu, Dan. Kan beda banget sama teman Paman. Tapi biarpun begitu, dia juga chef kebanggaan di sana,” jelas Pamannya.

 “Jadi, dia enggak dikasih pergi pastinya, kan?”

 “Tepat. Awalnya memang dia enggak dikasih pergi dari situ. Malah waktu habis kontrak, bos kami malah pengen teman Paman ada di situ. Sampai-sampai dia mau janjiin kalau dia mau tetap kerja di sana, dia dikasih tambahan gaji, hampir dua kali lipat malah, tapi dia enggak mau, karena dia merasa dalam hidup memang harus ada perkembangan dalam kreativitas dan inovasi, apalagi dalam pengolahan makanan,” jelas pamannya.

 “Wah… keren… Teman Paman itu. Trus, trus?” Dan jadi makin penasaran dan terbawa cerita.

 “Iya, akhirnya sih direktur enggak bisa melarang lagi, jadi dia enggak lanjut kontrak. Masalahnya, banyak teman-teman kita malah menjelekkan dan meledek keputusan teman Paman itu. Dibilang bodoh lah, sok-sokan lah.”

 “Iya, wajar sih, di-jelek-jelek-in karena keputusan teman Paman itu ya… enggak masuk akal menurut mereka. Trus, Paman gimana?”

 “Iya… bahkan Paman sendiri juga menanyakan hal yang sama sama teman Paman itu, kenapa sebodoh itu enggak mau lanjut kontrak? Sampai Paman marahi tuh teman Paman itu.”

 “Iya sih, karena Paman peduli juga kan?” Dan mencoba memperjelas.

 “Iya, tapi Paman masih tetap kontak sama dia, setelah dia berhenti kerja. Ada mungkin enam bulanan dia cuma di rumah asalnya saja dia, enggak kerja di mana-mana, di hotel atau restoran. Sampai akhirnya teman Paman mau bilang bahwa dia bakal mulai jualan makanan kecil-kecilan. Dari saat itu dia terus berinovasi, sampai setelah empat tahun, modalnya terkumpul, brand-nya sudah terkenal, baru deh Paman sadar, sebenarnya yang bego itu Paman, hahaha,” Pamannya tertawa sendiri. “Nah, sekarang lihat tempat ini, ramai sekali, kan?” tanya pamannya.

 “Iya, Paman benar.”

 “Itu juga yang sudah memotivasi Paman untuk berhenti kerja di hotel dan memulai apa yang menjadi passion Paman, sampai sekarang bisnis Paman… ya, syukurlah sudah mulai dikenal banyak kalangan,” terang pamannya.

 “Wih, aku belajar pelajaran baru lagi nih,” ungkap Dan.

 “Iya, kadang-kadang hidup bisa menghadapkanmu kepada beberapa pilihan. Nah, ambillah pilihan dengan penuh perhitungan dan keyakinan, karena apa yang kamu pilih itu akan menentukan masa depanmu, tetapi pilihan juga punya beberapa konsekuensinya, Dan,” jelas pamannya.

 

Kemudian, pelayan rstoran pun akhirnya datang membawa pesanan mereka.

 “Eh, makanannya sudah datang nih,” seru pamannya.

 “Iya sih, tapi kadang-kadang konsekuensinya enggak enak,” kata Dan, tetap ingin meneruskan pembicaraan.

 “Iya, memang konsekuensinya enggak ada yang tahu, tetapi kalau bahagia menjalaninya itu bukan halangan untuk maju,” imbuh pamannya.

 “Paman, aku mau cerita,” kata Dan, memulai curahan hatinya yang dari tadi ia rasakan.

 “Ada apa?”

 “Sebenarnya aku mau berhenti kerja di klinik itu. Lagian juga seminggu lagi aku ada interview di rumah sakit swasta yang lumayan besar sih rumah sakitnya. Aku mau belajar di sana.”

 “Bagus juga sih, tapi emangnya kenapa kamu mau berhenti dari klinik itu? Karena gaji?” Pamannya berusaha menebak.

 “Bukan, Paman. Kalau masalah gaji, aku enggak terlalu peduli. Lagian saya juga masih lajang, enggak ada masalah dengan gaji segitu,” jelas Dan.

 “Terus??” tanya pamannya penasaran.

 “Cuma masalah hati saja sih. Lagian aku juga memang bosan kerja di sana,” jawab Dan, hatinya bingung.

 “Oh, begitu. Dengar ya, untuk meraih mimpi-mimpi itu diperlukan tekad dan keteguhan hati yang besar. Emang sebenarnya kamu pengen jadi apa sih?”

 “Jadi… direktur, hehehe.”

 “Hah, jadi direktur? Kenapa pengen jadi direktur?”

 “I just wanna to prove something.”

 “And, what is it?”

 “Entahlah.”

 Pamannya menggeleng-geleng mendengarkan kata-kata keponakannya.

 “Dan, kalau kamu punya mimpi, mimpimu harus jelas, tujuannya harus jelas, bukan hanya gengsi dan semacam pembuktian saja. Ini lebih dari itu,” pamannya memberi nasihat.

 “Tapi, gimana menurut Paman?” Dan bertanya lagi.

 Sembari menyeruput segelas kopi di hadapannya, pamannya nampak berpikir serius.

 “Nggak apa-apalah, kalau kamu pindah kerja, aku rasa enggak masalah. Tapi dengar ini, jika cita-citamu menjadi seorang direktur, itu sangat tidak memungkinkan dengan pendidikan yang kau ambil, tetapi lain halnya jika kamu membangun kerajaanmu, bisnismu sendiri, mulailah dari bawah, dan jadikanlah istana yang megah sampai negeri awan. Milikilah kebebasan kreatif,” tutur sang paman.

“Jadi maksud Paman, aku harus mulai bikin usaha sendiri?” tanya Dan.

 “Benar, karena kamu juga akan diterima di rumah sakit itu, maka gunakan kesempatan itu untuk belajar, dan pelan-pelan mendirikan bisnismu sendiri, bata demi bata,” jelas pamannya.

 “Oke lah, usai pengumuman kelulusan nanti aku akan membuat surat resign dari klinik, dan bersamaan dengan itu aku juga akan mulai mengembangkan usahaku,” kata Dan sambil mengangguk perlahan.

 “Tapi, untuk sebuah perubahan besar, kita harus siap akan adanya guncangan, dan badai dalam kehidupan kita. Apa kamu siap nantinya?” tanya pamannya meyakinkan.

 “Siap, Kapten,” lugas Dan.


 Keesokan harinya, ia kembali ke tempat kerjanya dengan sepucuk surat, langsung menghadap pimpinannya. Jika dilihat dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia ragu untuk berbicara sekarang. Walaupun begitu, toh ia masih berani mengetok pintu atasannya. ‘Entahlah apa yang terjadi, terjadilah. Aku punya mimpi yang harus aku wujudkan,’ pikirnya.

 Dan tiba-tiba…

 “APA?!! Kamu mau resign??” Pimpinannya kaget.

 “Iya, Dok. Saya mohon maaf jika Dokter tersinggung, sudah dua tahun saya kerja di klinik ini. Namun, hati saya bilang bahwa saya harus mengembangkan sayap dan berkelana lebih jauh lagi.”

 “Apa maksud kamu? Apakah gaji besar yang kamu inginkan?”

 “Saya bisa gaji kamu dua kali atau tiga kali lipat dari semula, asal kamu mau tetap membantu saya di sini. Apa itu yang kamu inginkan?” tawar pimpinannya dengan nada kesal.

 “Bukan, Dok. Bukan soal gaji, saya mohon maaf.” Dan berusaha menjelaskan. “Bahkan walaupun saya resign, saya tetap kok bantu klinik ini jika dibutuhkan,” lanjut Dan.

 “Atau kamu mau jabatan kamu naik?” tanya pimpinan klinik itu.

“Dok, saya mohon, ini semua bukan tentang itu, Dok,” Dan berusaha menghela

 “Atau begini saja, saya akan promosikan kenaikan jabatan dan gaji kamu, bagaimana? Kalau kamu butuh waktu berpikir, saya kasih waktu berpikir dua hari ya. Bagaimana? Jangan buru-buru dulu,” potong sang pimpinan klinik

 “Maaf, Dok. Saya sudah memutuskannya sekarang, Dok,” jawab Dan tegas.

 

Pimpinannya kesal menatapnya, berusaha sedikit tersenyum dan berkata dengan nada pelan,

 “Kamu memang bodoh… Dan…”

 “Iya, Dok. Katakan saja begitu, saya memang bodoh,” jawab Dan dengan dada lapang.

 

“Kalau dikatakan bodoh, iya, aku memang bodoh. Kalau dikatakan tidak berguna, iya, memang. Dokter dan teman-teman boleh mengatakan apa pun dan memikirkan apa pun. Tapi ini jalan hidup yang saya pilih, dan mohon izinkan saya melangkah… di sebuah jalan setapak kecil yang telah saya pilih. Terimakasih, Dok.”

 Dan akhirnya melangkah keluar ruangan itu. Sinar matahari sore menyambut wajahnya dengan kehangatan yang tak biasa. Di balik keraguan dan penolakan tadi, ada secercah cahaya baru—bukan tentang pekerjaan, bukan tentang gaji. Tapi tentang keberanian memilih. Dan untuk pilihan itu, ia akan melangkah,



 Di jalan setapak kecil yang telah ia pilih.

 

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)