Masukan nama pengguna
“Lo sama Ka Radit gimana, Sar?”
Aku hampir menyemburkan es matcha yang sudah hampir mencapai kerongkongan. Mataku mendelik tajam pada si penanya yang saat ini tengah menampilan cengiran khasnya. Sedetik kemudian aku kembali menetralkan ekspresi dan berusaha menelan cairan hijau itu dengan ogah-ogahan.
Sama sekali tidak menyangka hanya dengan mendengar nama seseorang sudah dapat menghancurkan moodku dalam sekejap. Bibirku kembali bergerak menyesap cairan hijau itu perlahan sebelum menjawab pertanyaan Nabula.
“Ya gitu aja,” jawabku ambigu.
“Ya gitu, gimana? Friend with benefit tapi nggak tidur?” serobot Nabula membuatku kembali mendelik.
Nabula dan mulutnya memang minta dilakban.
“Ngasal lo!” sebalku pada Nabula yang terkikik melihatku yang sukses tersulut emosi karena ucapannya.
Lagipula apa maksudnya friend with benefit tapi nggak tidur? Memang sudah konslet otak perempuan berambut ikal satu itu.
“Jadi lo sama Ka Radit sama sekali nggak ada kemajuan gitu? Dia beneran sama sekali nggak ada omongan suka or something like that?” Tanya Nabula terkejut dengan tatapan penuh rasa penasaran.
Pertanyaannya barusan rupanya berhasil mencuri perhatian cewe-cewe di seberang meja yang awalnya fokus membicarakan serangkaian makeup yang bertebaran di atas meja kantin. Empat orang perempuan itu beralih menatap penasaran pada mejaku dan Nabula.
Aku meringis dan melemparkan pelototan penuh peringatan pada Nabula.
“Suara lo, Nab. Nggak sekalian pake toa?” desisku.
Perempuan itu menanggapi dengan cengiran kuda serta mengangkat jari telunjuk dan jari tengah membentuk peace. “sorry – ”
“Mbak … ini pesanannya.” Interupsi perempuan berjilbab dengan nampan ditangannya.
Selagi perempuan berjilbab itu meletakkan pesanan Nabula. Aku lebih memilih untuk meliarkan pandangan ke sekitar kantin. Panasnya kantin dilingkungan kampusku ini tidak menyurutkan orang-orang untuk semakin memadati ruangan penuh dengan berbagai stand makanan ini. Mengisi perut yang keroncongan setelah mengikuti mata kuliah atau bahkan hanya sekedar duduk mengobrol dengan yang lain. Seperti sekumpulan cewe-cewe di seberang mejaku yang kembali fokus pada obrolan mereka.
Pandanganku kembali pada Nabula yang menyendok sambal ke mangkok basonya yang masih mengeluarkan uap panas. Aku menggeleng melihatnya.
Panas-panas gini makan bakso. Pilihan yang buruk.
“So?” tanya Nabula, “apa jawaban dari pertanyaan gue tadi?” tanyanya setelah menyelesaikan urusan meracik baso miliknya.
Aku berdecak sebal. Masih belum menyerah juga rupanya perempuan satu ini.
“Gue juga bingung sebetulnya. Dia selalu memperlakukan gue baik tapi – ah, apa yang bisa gue harapin dari dia coba?”
“Yaudah kita sebut aja lo sama ka radit HTS-an ya.”
Aku hanya memutarkan kedua bola mata malas. Istilah apa lagi yang dia sebutkan itu.
Ia menganggukan kepala seakan memang sudah menemukan sebutan yang pas untuk situasi hubungan yang aku jalani saat ini.
“Tapi ya Sar ...,” Nabula menjeda ucapannya. Ia memasang ekspresi seserius mungkin membuat satu alisku terangkat.
“... sebaik-baiknya HTS lebih baik jangan,” ucapnya seraya terbahak setelah mendapatkan dapratan tisu dariku.
“Gue kira omongan lo berbobot, ternyata sampah!”
Nabula makin terbahak. Lagi-lagi kami jadi sorotan orang-orang namun aku sudah tidak peduli. Lagipula orang-orang bukan memperhatikanku, tapi memperhatikan Nabula yang tertawa seperti orang kesurupan.
“Lagian lo serius banget sih," ledeknya, "sini curhat kepakar cinta,” lanjutnya penuh ekspresi jumawa.
Aku mengerlingkan mata malas. Namun tetap melemparkan pertanyaan pada perempuan berambut ikal itu yang katanya pakar cinta.
“Menurut lo gue bego nggak? mau-mau aj –”
“Bego”
Aku kembali melemparkan pelototan tajam pada gadis di depanku ini.
“Serius lo baru nanya lo bego atau nggak sarah?” tanyanya dengan ekspresi syok yang jelas-jelas dibuat-buat, “setahun tuh bukan waktu yang sebentar. Bloon!” omel Nabula seraya menoyor kepalaku tanpa tedeng aling.
Aku mengaduh pelan mendapatkan serangan dadakan seperti tadi.
Lelaki itu Raditya Mahardika. Anak fakultas sebelah yang tengah dekat denganku beberapa bulan ke belakang. Kakak kelas Nabula dulu saat masa putih abu-abu.
Awalnya aku merasa biasa saja. Hubunganku dengan lelaki bernama Radit itu seperti simbiosis mutualisme. Namun, bohong jika lama bersamanya tidak membuatku terbawa perasaan dan mengharapkan hal lebih dari hubungan yang terjalin saat ini. Seperti status misalnya. Percayalah, rasanya sangat tidak menyenangkan ketika ada sesuatu yang terasa mengganjal dan harus menahannya ketika sadar bahwa hubungan kita tidak lebih dari teman.
Menyebalkan.
Aku berdecak pelan. menahan diri untuk tidak balik menoyor kepalanya, “gaya lo.”
“Hadeh … lo tuh pinter tapi urusan cinta jadi bego gini.”
“Udah sih tinggal kasih tau aja, menurut lo gimana ini?”
“Karena lo udah minta pendapat gue, lo wajib dengerin dan cerna omongan gue dengan baik ya,” ucap Nabula yang aku jawab dengan anggukan kepala.
“Gue rasa dia bukan cowo yang worth it sih buat lo tunggu kejelasannya. Dengan dia yang seenaknya dateng dan pergi ke kehidupan lo, udah jelas itu cowo nggak ada serius-seriusnya sama lo. Brengseknya lagi kemungkina dia punya pertimbangan lain selain lo dan naruh lo diopsi keduanya dia.”
Deg!
Ucapan Nabula memang terasa menusuk tapi anehnya aku merasa memang itu fakta.
“Maksud lo kalo dia mau sama gue dia nggak bakalan bikin gue bingung?”
“Great! Seriusan ya, kalo mau tau keseriusan cowo tinggal lo liat aja aksinya. lelaki tuh sesimple itu.” jawabnya, “be wise, Sarah. Setidaknya hargai waktu dan energy lo.”
Aku menghembuskan nafas lelah, “gue paham. Mungkin emang bener kalo dia ada opsi lain ….”
**
Nabula
Send a picture
Gue rasa lo harus liat ini
Aku refleks menahan nafas. Cukup terkejut dengan foto yang dikirim oleh nabula. Belum tuntas rasa terkejutku. Lagi-lagi aku kembali dikagetkan oleh ponselku yang tiba-tiba berdering. Tanda jika ada telepon masuk.
Drtt!
Radit is calling
Rasanya jantungku tidak diberikan jeda untuk berdetak normal barang sejenak. Setelah sejenak mempertimbangkan, jariku bergerak menekan tombol hijau pada layar ponsel. Hingga suara bass dari seberang sana terdengar menyapa indera pendengaranku.
“Hallo, Sarah? Lo lagi sibuk nggak hari ini?”
“Umm ..., sedikit. Kenapa Kak Radit?”
“Gue kebetulan lagi disekitar daerah rumah lo nih. Bisa ketemu?”
Aku berniat menolak karena sudah malas berhubungan dengan lelaki panas dingin ini, tapi setelah mengingat pesan yang dikirim Nabula yang keluar justru kalimat ...,
"Gue di takaran, Kak.”
“Oke, wait for me. Gue ke takaran sekarang,” ucapnya, “See you, Sarah.”
“Hmm.”
Wanita bodoh!
**
“Gue sama lo aja kali ya, sar?” tanyanya dengan kerlingan menggoda.
Aku mendengus, namun tetap berusaha menampilkan ekspresi biasa saja.
“Kenapa gue? kenapa nggak sama sahabat lo aja?”
Lelaki dengan jaket varsity itu terdiam. Rambutnya yang biasa tertata rapih dengan pomade kali ini dibiarkan begitu saja. Ekspresinya yang biasa menenangkan kali ini aja jejak suram yang baru aku lihat.
Aku diam-diam menyeringai tipis melihat reaksinya yang berubah drastis hanya dalam itungan sekon. Kenapa ya baru sekarang aku menyadari hal ini?
Ia terkekeh hambar, “nggak ah, masa sama sahabat gue sih,” elaknya, “lagian gue aja udah di blok.”
“Loh ko bisa?” tanyaku pura-pura terkejut dengan pernyataannya barusan.
Aku dapat melihat bibirnya tertarik ke atas. Namun, senyumnya kali ini dapat aku lihat jika itu senyum penuh paksaan, “nggak tau. Lagian mereka juga udah tunangan tadi.”
Aku menggigit lidah mengalihkan rasa perih yang terasa didada.
Sebelum bertemu dengan Radit, Nabula tadi mengirimkan screenshot story sahabat perempuan Radit yang ternyata bertunangan beberapa saat lalu.
Satu pikiran yang aku benci muncul saat ini.
Apakah Radit mengajakku bertemu untuk ini? Menjadi sosok penghibur dikala hatinya patah oleh sang pujaan hati. Peranku dikehidupan radit sepertinya memang untuk itu selama ini. Hanya sekedar pengganti saat pemeran utama tidak ada.
Hebat sekali Sarah! Kamu sudah membuang-buang waktu begitu banyak.
Namun tentu saja, perempuan adalah jagonya menyimpan perasaan kan?
“Waahh ..., Ikut seneng dengernya. Lo juga semoga cepet nyusul kak.”
Ia masih mempertahankan senyum terpaksanya itu, “sama lo kan?” tanyanya.
Aku sudah hendak membuka mulut. Namun, belum sempat aku menjawab dering ponsel Radit terdengar samar.
“Gue angkat telepon dulu bentar,” izinnya yang kuangguki samar.
Kemudian mengalihkan pandangan pada luar café karena tidak berniat untuk menguping pembicaraan Radit dengan sosok entah siapa yang barusan menelepon.
Tempat duduk yang aku tempati kebetulan dekat jendela. Tak jauh dari sana ada pohon rindang yang saat ini rantingnya bergoyang pelan karena tertiup angin.
Melihat pemandangan yang tersaji, perasaanku terasa sedikit lebih baik.
“Sar, sorry banget gue udah ditungguin sama anak event. Jadi harus cabut duluan nggak apa-apa kan?”
Khas Radit sekali.
“Aman,” jawabku kalem.
Sama sekali tidak mempermasalahkan kehadirannya yang seakan datang dan pergi sesuka hati. Lagipula memang biasanya begitu kan?
Aku masih duduk anteng ketika melihat ia membereskan beberapa barangnya yang ada di meja. Berpamitan sekali lagi, sebelum akhirnya ia beranjak dan sosoknya hilang ditelan kerumunan.
Pandanganku teralih pada gelas semula berisi cairan hijau dengan pandangan kosong. Tersadar, aku bergegas meraih ponsel dari dalam sling bag coklat kesayanganku. Jariku bergerak lincah mencari sesuatu. Kemudian tanpa ragu menekan tombol panggilan pada satu nomor yang sudah menyadarkanku.
Sampai akhir pun, tetap tidak ada kejelasan yang diberikan lelaki itu. Hanya harapan semu. Maka aku yang memperjelas untuk diriku sendiri.
“Hal – “
“Nab, I’ve done! Tolong gampar gue kalo oleng lagi ke Ka Radit.”
“W-WHAT?! NGIBUL YA LO!”