Cerpen
Disukai
1
Dilihat
20,716
Ramayana Moksa
Drama

Suara alat musik bertalu-talu di sepanjang jalan. Suaranya terlempar-lempar di antara dinding-dinding rumah yang dilewatinya, memanggil-manggil orang-orang dari dalam rumah dan berbaris di tepi jalan. Cecak-cecak pun merayap karena penasaran. Sekelompok kecoa pun berhamburan keluar dari lubang got. Sekeluarga tikus pun berloncatan di atap-atap seng karena kepo. Ada barongsai, liong, topeng monyet, kuda budheg, dakocan, reog dan jathilan di bagian depan menyajikan atraksi. Mengundang anak-anak kecil dan orang-orang dewasa yang ragu-ragu menonton dari jarak dekat karena takut. Lalu, para pemain musik marching band dengan lincah memainkan alat musik mereka. Suara simbal berdesing-desing saling berbenturan satu sama lain. Memekakkan kuping para setan. Lalu, para penonton berdecak kagum dan memusatkan perhatiannya pada satu objek.

Bukan. Bukan pada anak-anak yang didandani layaknya dayang keraton Nyi Roro Kidul nan cantik-cantik itu. Bukan pada kereta kencana kuda berhias naga macam transportasinya Ibu Ratu Pantai Selatan yang bergerak dengan lincah itu. Namun, pada mempelai perempuan yang bergaun ungu itu. Yang rambutnya disanggul dengan bunga melati itu. Pengantin yang sepasang matanya lendut seperti boneka dari india itu. Mereka sepakat bahwa pengantin perempuan itu cantik. Aura pesona kecantikannya mengundang kagum, menelan dandanan menor para mayoret marching band yang genit-genit macam ayam mau kawin itu.

Anak-anak kecil dan ibu-ibu muda yang ganjennya tak kalah dari pemain marching band itu tersuruk-suruk ikut anggota pawai macam bebek di kolam butek, menuju tempat hajatan berlangsung. Di sana, para dakocan, topeng monyet, badut, barongsai, reog dan kuda budheg melakukan sebuah atraksi yang lebih memukau, lalu para penonton yang masih belum bisa melenyapkan budaya katroknya meski telah sekolah setinggi langit, berdecak kagum. Penampilan mereka tak ubahnya atraksi para pemain tong setan yang menantang malaikat maut. Usai penampilan para topeng itu, kembali para pemain marching band yang mengundang nafsu itu menari-nari sembari menggoyang-goyangkan pantat mereka yang macam habis 'bongkar mesin' persis bebek kebelet kawin. Mata jahat para pemuda pun jelalatan memandangi bokong yang tak lagi sexy itu. Hingga terbetik suatu keinginan yang sangat berbahaya buat masa depan mereka. Apalagi ketika memandang wajah menor mereka yang glowing itu. Wow! Tidak jarang di antara sesama pemain marching band itu saling terjerat cinta terlarang. Bahkan sampai membuahkan generasi yang tak diinginkan. Married by accident memang tetap hangat untuk diperbincangkan. Bahkan selalu top trending di kalangan roman ala anak muda zaman sekarang.

Tidak. Kisah ini sama sekali tidak menceritakan para pemain marching band yang tidak tahu adat itu. Tidak. Juga bukan mengisahkan kisah cinta mereka yang sering melanggar norma-norma agama. Tak sedikit memang dari kisah cinta tragis mereka yang layak untuk diceritakan, namun saking dari seringnya, para sidang pembaca akan jemu macam minum obat cacing. Kali ini kita akan menceritakan tentang mempelai wanita bermata lendut yang didandani dengan gaun derita itu. Dengan gagah, mempelai pria turun dari kereta. Lalu, dia berdiri di bawah tangga kereta sambil mengulurkan tangannya pada istrinya. Sang mempelai wanita dengan wajah dingin menyambut tangan pria itu, lalu turun dari kereta. Kemudian, suara gamelan khas pernikahan Jawa berkumandang mencacah angkasa seolah puteri kerajaan datang bersama para dayang. Lantas mempelai berdua berjalan bersisian tanpa berpegangan tangan layaknya pasangan yang lain. Tidak tampak aura kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka.

"Ibu kan sudah bilang sama bapak, Erlita itu nggak suka sama si Faris. Eh, masih dipaksa kawin!" cerocos seorang ibu-ibu paro baya dengan gregetan pada suaminya yang berpakaian batik macam para pejabat yang menyongsong anak dan anak menantu mereka yang diterpa derita. Mereka berdiri di muka sebuah pelaminan khas Jawa.

"Siapa bilang Erlita nggak suka sama Faris? Ibu lihat saja nanti malam di dalam kamar. Dia pasti langsung meminta jatah dari suaminya," sahut suaminya dengan nada optimis, membayangkan masa-masa dirinya dulu berjalan bersisian dengan perempuan berjilbab warna peach itu. "Buktinya, dulu ibu juga nggak suka sama bapak. Malu-malu kucing gitu. Tapi, setelah bapak kasih satu ronde, ibu ketagihan dan sampai sekarang ibu makin lengket sama bapak. Iya kan? Iya kan? Begitupun dengan Erlita anak kita."

Istrinya bersungut-sungut tak jelas juntrungnya.

"Tapi ini kan sudah beda zamannya, Pak? Ini zamannya gadget. Anak-anak balita sudah pada pandai bermain smartphone. Anak-anak remaja sudah tidak kenal lagi sama Srintil dan Centini. Mereka itu kenalnya sama artis-artis Korea. Nama-nama yang aneh. Wuling, Juling, Ling Ling, Su Ji Wo, Su Te Jo, ...." istrinya kesel bin jengkel.

"Ling Ling istrinya si A Lung? Anaknya yang Ling Lung itu?"

"Ling Lung bukan nama orang, Pak."

"Lha terus?"

"Ling Lung itu ghimâng, koncoe mângmâng. Mbokne dhumâng. Dulure posang."

"Mbuh tah wis, Bu. Mbuh itu Ling Ling, Ling Lung, ghimâng, dhumâng, mângmâng, posang, jarno wis. Sekarang hati bapak lagi berbunga-bunga."

Istrinya mewek. Memoncongkan bibirnya ke samping. Lalu, mengipasi hatinya yang tak dingin-dingin.

Saat ini, tampak kedua mempelai melakukan prosesi adat leluhur Jawa. Mulai dari melempar sirih, injak telur, sampai duduk di atas pelaminan dan sungkeman. Namun sepanjang prosesi itu, mempelai perempuan sama sekali tidak tersenyum. Kadang tersenyum sih, tapi hanya ketika menyambut tamu yang memberikan selamat. Setelah itu, dingin kembali menyelimuti bibirnya yang merah delima macam anggur itu. Bibir yang tak pernah dikulum itu.

Lima belas menit kemudian, saatnya kedua pengantin itu berganti pakaian. Sementara para pemusik yang duduk di kursi di atas sebuah panggung kecil tampak asyik memainkan sebuah lagu "Pelaminan Kelabu" milik Mansyur Syah. Para tamu tampak bergoyang sambil menikmati makanan katering. Ada pula yang berjoget sambil nyawer artis.

"Tareeek Sisss!"

Seperti lautan yang cepat berubah, begitupun dengan acara pesta pernikahan itu, berubah. Dari penuh kebahagiaan menjadi sebuah bencana.

"Paaak! Erlita kabuuur!"

Si ibu histeris. Pengantin wanita tidak ada di kamar rias! Semua orang pun panik. Ibu-ibu tetangga yang sibuk di dapur panik. Para tetamu yang asyik goyang panik. Para pemusik panik. Musik disetop sepihak. Penyanyi urung bergoyang itik. Si bapak pun linglung. Si pengantin pria pun linglung bin ghimâng.

"Siapa yang telah berani membawa kabur istriku?!" gemasnya. Gigi-giginya bergemeletuk. Matanya nanar. Pria itu murka karena tepat di malam sakralnya, istrinya kabur persis seperti Rama yang kehilangan Sita.

Tanpa dikomando, bala kurawa satu geng sesama penggila motor brong langsung bergerak macam anak buah Hanuman yang sedang mengobok-obok Alengka mau menjitak kepala Rahwana.

Brong... brong... brong...!

Where are you, Rahwana? Coming here! Tak jitak kepala you!

***

Dengan keringat bercucuran yang membasahi kening dan lehernya, pria yang mengenakan kemeja putih dan berdasi merah itu turun dari dalam mobil sedan hitam yang terparkir di halaman rumah. Tak lupa ia membawa satu buket bunga mawar merah yang tadi ia beli di gerai yang menjual berbagai macam bunga. Di tangan kiri ia menenteng makanan yang dibungkus kantong plastik. Diciumnya bunga itu berkali-kali. Lalu, ia membuka kunci pintu rumah dan membukanya pelan-pelan macam pengantin di malam pertama. Aih, terlalu hafal aku soal masuk ke proses sakral itu. Sambil bersijingkat, lelaki itu mengangkat kedua kakinya di lantai keramik menuju ke kamar. Di depan pintu kamar, ia mengetok pintu. Hatinya berbunga-bunga tak karuan. Membayangkan kalau gadis itu akan terlihat senang melihat dirinya pulang. Diputarnya gagang pintu perlahan sehingga menguak. Ia masuk ke dalam kamar. Dan amboi! Ia melihat gadis itu tengah menyisir rambutnya yang panjang sebahu sedikit ikal di depan cermin. Bayangan pria yang memantul di cermin spontan membuat gadis berparas elok itu tersentak kaget.

Gadis itu langsung bangkit dan berdiri dengan rasa takut. Mendekati ranjang yang dilapisi kasur dari bulu angsa yang empuk macam dua gunung kembar Merapi dan Merbabu. Lalu, gadis itu melemparkan sisirnya dan menutupi tubuh sintalnya dengan kain selimut. Tapi, pria itu langsung sadar diri. Percuma. Pikirnya. Lantas ia meletakkan bunga mawar itu di atas meja hias. Setelah itu ia pergi meninggalkan kamar. Tapi, sebelum ia menghilang di belakang pintu, ia berkata,

"Aku tidak mungkin akan menodai kesucianmu dengan kebodohanku. Meski menurutmu aku jahat, namun aku tak sejahat yang kaupikirkan. Aku hanya akan menyentuhmu apabila cinta sudah hadir di hatimu. Karena cinta yang hadir karena terpaksa tidak akan membuahkan keabadian."

"Aku tidak akan mungkin bisa mencintaimu. Sampai kapan pun aku tetap tidak bisa mencintaimu. Cintaku hanya untuk lelaki yang telah terpilih sebagai suamiku. Aku hanya akan memberikan cinta dan tubuhku hanya untuk suamiku," kata gadis itu dengan air mata meleleh.

"Meskipun dia bukan pilihan hatimu? Bukankah mencintai seseorang karena bukan pilihan hati sama saja dengan kita menjadikan diri kita sebagai budak cinta? Bukankah sebuah pernikahan yang terjadi karena sebuah sayembara sama saja dengan menzinakan diri? Bukankah bercinta dengan lelaki yang dianggap suami padahal hati tidak mencintai sama saja dengan melakukan zina?"

Hati perempuan itu tersentak dengan kalimat pertanyaan yang menyembur dari mulut pria itu. Ia mau menjawab, tapi percuma. Ia sangat muak terhadap lelaki di hadapannya itu.

"Kenapa kamu menyekapku dan membawaku ke rumah yang buka rumah suamiku?" tanyanya dengan tegas dan tatapan nanar.

"Karena aku sangat mencintaimu. Sebelum dia datang untuk melamarmu, hatiku sudah terpaut denganmu. Kau adalah cinta pertama dan terakhirku. Aku sangat tulus mencintaimu. Walaupun aku tahu... rupaku buruk dan tak pantas mencintaimu. Tapi, aku masih mempunyai hati. Hatiku tak seburuk rupaku," lelaki itu menjawab dengan menunduk. "Aku akan memberikan segalanya yang kupunya. Apa pun yang kau minta pasti kan kukabulkan. Asal kau tidak meminta matahari dan bulan. Mobil, perhiasan, gelang, uang, dan... "

Gadis itu memotong,

"Kembalikan aku kepada suamiku."

Kerongkongan pria itu tercekat. Hatinya mengkal. Setiap kali ia mendengar nama lelaki pengecut yang menikung dirinya secara tidak jantan untuk mendapatkan kekasihnya itu, hatinya selalu terbakar api cemburu. Lalu, pria itu mendekati ranjang yang berhias bunga-bunga dan selambu kain sutera itu. Kedua matanya menyalang seperti raja rimba yang sedang terluka.

"Aku akan memberikanmu apa yang dapat membuat hatimu bahagia. Emas, mutiara, permata, yakut, marjan, nilam, rumah, mobil, uang, dan pakaian serta kebahagiaan, tapi aku tidak akan pernah mengembalikanmu pada pengecut itu!" Gigi-giginya bergemeletuk.

"Tapi dia suamiku!" serang gadis itu tak kalah sengit. Pria di hadapannya itu tak ubahnya raksasa yang terbuat dari batu.

"Dengarkan baik-baik, Sayang. Aku tidak akan pernah memberikanmu ke tangan lelaki yang telah menikungku itu. Coba kamu pikirkan, bukankah aku duluan yang tahu alamat istanamu? Bukankah aku duluan yang mengenal kamu? Yang mengenal watak keras kepalamu? Yang mengenal makanan kesukaanmu, yang mengenal orangtuamu, keluargamu, bahkan ayahmu pernah datang padaku agar aku melindungimu?! Tapi, sejak lelaki itu datang, semua impianku untuk berumah tangga denganmu hancur berkeping-keping.

"Lalu, untuk menghibur hatiku yang dirundung lara yang tak terperikan, aku belajar lagi ke luar negeri. Mengejar gelar yang lebih tinggi. Lalu, aku mengejar karier. Aku mendapatkan apa yang membuatku merasa pantas di hadapan manusia. Rumah, mobil, uang, semua kumiliki kecuali satu, yaitu dirimu. Apalagi... apalagi setelah aku mendengar berita tentang pernikahanmu. Sehingga pada malam itu, aku menyusup dengan menyamar sebagai tamu. Lalu, aku pun menyamar sebagai perempuan agar aku bisa masuk ke kamarmu dan membawamu kabur. Semua itu kulakukan karena betapa besarnya cintaku padamu."

"Kalau kau memang benar-benar mencintaiku, kenapa kau harus membawaku kabur?! Bukankah kau bisa datang terlebih dulu kepada orangtuaku?"

Pria itu tersenyum sinis.

"Mana ada di dunia ini yang mau menerima pria miskin dan buruk rupa sepertiku, mana?!" suara pria itu meninggi. Gadis itu tersentak. Lalu ia melanjutkan kalimatnya seperti pemain teater musikal yang ngomong sambil nyanyi, "mana ada orangtua di dunia ini yang mau menerima seorang menantu yang tidak memiliki rumah dan mobil? Mana ada orangtua yang mau memberikan anaknya kepada pria pengangguran seperti diriku?! Mana?!"

Gadis itu mengkeret di atas tempat tidur.

"Tidak ada! Dan orangtuamu juga keluargamu pernah menghinaku. Karena apa? Karena selain miskin, aku juga buruk rupa. Ya, dunia ini memang tidak adil. Tapi, Tuhan Mahaadil. Dia memberiku otak yang cerdas sehingga aku bisa memperoleh beasiswa. Dengan gelar itu orang-orang percaya padaku sehingga aku seperti sekarang ini. Lihatlah! Aku bukan pria miskin yang dulu lagi. Aku adalah pria yang kaya raya!"

"Tapi, hidupku kosong. Hidupku hampa. Gelar yang kumiliki tidak ada apa-apanya. Karier yang selama kubangun sia-sia. Karena aku tidak memilikimu."

Gadis itu menatap pria itu dengan benci.

"Ah, sudahlah, Sayang. Aku tidak mau bertengkar denganmu."

Setiap hari, pria itu bekerja dengan semangat yang membuncah. Setiap kali mendapatkan proyek langsung gol. Kariernya semakin meroket. Bahkan ia pernah ditawari agar menikah dengan putri seorang konglomerat, tapi ia tolak dengan halus. Jawabannya, ia sedang menunggu calon istrinya. Lalu, setiap pulang ke rumah, tidak lupa ia selalu membawa satu buket bunga mawar dan makanan buat kekasihnya. Kadang ia membeli jam tangan terbuat dari emas, Rolex asli bukan bajakan yang dijual murah di toko-toko online. Kadang ia membelikan gaun malam, gaun tidur bahkan gaun pesta untuk kekasihnya. Gadis itu sama sekali tidak pernah memakai pemberian pria itu. Ah, pria itu benar-benar telah digilakan oleh cintanya dan harus segera dibawa ke seorang psikolog. Memangnya penyakit cinta bisa diobati?

Hingga suatu malam rumahnya diserbu oleh gerombolan preman. Mereka membawa senjata lengkap. Celurit, samurai, parang, sampai pisau dapur; memangnya mau masak? Pria itu turun dari mobilnya dengan sikap tenang. Hatinya sama sekali tidak gentar untuk menghadapi preman kelas kampungan itu. Dilonggarkannya dasinya. Lalu, seorang pria pengecut yang berani bersembunyi di balik senjata, muncul dengan gaya sok jagoan.

"Kembalikan istriku!" hardiknya.

"Apakah kau akan mengambil kekasihku untuk yang kedua kalinya?" Pria itu tersenyum dengan tenang.

"Bodoh amat. Bah aku mengambil kekasihmu dengan cara menikung, pelet, santet, susuk, tak ngoros. Yang penting dia sudah menjadi istriku! Mau kamu sakit hati, sakit jantung, encok, asam urat, minum pembersih toilet, racun tikus, racun ular, itu urusanmu! Yang jelas mana istriku?"

Pria itu tampak cengengesan. Lalu, memandang rendah preman-preman kampung yang sok niru-niru preman ibu kota. Ya beda kelas kali.

"Cuma ini anak buahmu?" Pria itu mengeluarkan pistol dari balik saku celananya. "Mana yang lain? Nggak sekalian ngundang anggota mafia."

AK 47! Senjata api yang mampu merobek kepala dengan sekali tembak. Melihat senjata otomatis yang biasa diapakai oleh James Bond 007 itu, para preman kampung itu mencicit. Lalu, tanpa babibu, gadis itu keluar dari rumah.

"Aku mohon, hentikan pertumpahan darah ini. Jangan sampai ada jatuh korban. Aku mohon," gadis itu memohon.

"Enak benar dia. Setelah dia membawamu kabur atau mungkin telah memanjat gunung kembar Merapi dan Merbabu, atau boleh jadi habis berenang di Danau Edenmu, dilepas begitu saja."

"Mas tidak perlu khawatir soal itu. Dia belum merayapi gunung Merapi dan Merbabu atau memanjat di bukit Bentar, apalagi berenang di Danau Eden kok. Suer!"

"Yang bener?"

Gadis itu mengangguk untuk meyakinkan suaminya yang suka cemburu berat.

"Apakah mas nggak percaya? Kalau mas ragu, aku bisa buktikan sekarang!" Istrinya menantang.

"Enak bener mereka-mereka ini."

"Hei, jadi perangnya?" pria itu memanggil.

"Nggak jadi, Boss. Habis kamu belum memanjat gunung Merapi dan Merbabu bini gua." Pria itu melambaikan tangannya sambil menggamit lengan istrinya.

Preman-preman kampungan itu juga naik ke atas motornya.

Setelah gerombolan kecoa itu pergi, pria itu memandang ke arah pistolnya.

"Kayak pistol asli. Padahal cuman mainan. Ah, meski mainan, aku gagal berenang di Danau Edennya."

Ia lalu teringat nasihatnya Mbah Sujiwo Tejo, "Sejawara-jawaranya pendekar adalah yang bertangan kosong. Sejawara-jawaranya suami adalah pulang tak bertangan kosong."

"Bodoh," umpat pria itu. "Dia mau saja menikah dengan pria pengecut macam pria itu."

***

Tapi tidak dengan kejadian yang terjadi di depan mataku. Kali ini tidak lucu lagi. Tarian penganiyaan dan penyiksaan itu benar-benar macam peperangan antara bala tentara Hanuman dan Rahwana di Alengka. Satu per satu dari mereka ada yang gugur demi mempertahankan harkat, martabat dan Cinta. Bahkan adik kandung pria yang menculik Erlita itu gugur dalam kondisi kepala robek. Sebilah parang mampir di sana. Tentu saja kematian sang adik membuat pria itu semakin terluka. Ia babat habis orang-orang itu macam Rahwana sedang mengamuk atas kematian Indrajit.

Namun, sebelum matahari tumbang di kaki barat, pria itu hampir sekarat. Lalu, gadis itu datang menghampiri dengan masih mengenakan gaun pengantin ungu. Memohon kepada suaminya agar tidak menghabisi nyawa kekasihnya.

"Dia sama sekali tidak bersalah. Dia sama sekali tidak membawaku kabur pada malam pesta pernikahan itu. Akulah yang merencanakan semua ini. Akulah yang memintanya agar datang dan membawaku pergi. Kalau mas mau mengambil nyawanya, sekalian juga mas ambil nyawaku," kata pengantin wanita kepada suaminya. Preeet! Mana ada wanita sekarang yang rela mati demi kekasihnya? Cinta sampai mati. "Karena apa? Aku sama sekali tidak bisa menjadi istrimu. Aku tidak bisa mencintaimu."

Tentu saja pria itu merasa telah dibohongi oleh dunia. Dunia telah menipunya bulat-bulat. Cinta juga terbahak-bahak mengejeknya.

"Bila demikian, kalian berdua pantas mati!" Pria itu mengangkat samurainya ke angkasa untuk menebas tubuh dua orang pengkhianat yang saling berpelukan itu. Namun sebelum ia mengayunkan pedangnya, sebutir peluru peringatan menembus tangannya. Darah segar mengalir. Tak hirau, ia tetap ingin membunuh dua sejoli itu. Maka untuk yang kedua kalinya, sebutir timah panas merobek kepalanya. Ia pun tumbang beriringan dengan tumbangnya matahari.

Sore itu, dunia merubah kisah Rama dan Sita setelah berabad-abad lamanya karena yang mati bukan Rahwana melainkan Rama. Rahwana ditakdirkan hidup bersama Sita. Sementara Rama menjalani moksha. Terbang jiwanya ke negeri para dewa untuk menjalani hukuman.

"Aku bukan Rahwana yang datang untuk menculik Sita. Tapi aku datang menjemput Sita untuk berbagi roti kisah," ucap pria itu.

Sampai kini aku masih bertanya-tanya, benarkah Rama pernah menikung Rahwana? Entahlah. Aku belum sempat tanya sama Mpu Walmiki. Tapi yang jelas, aku akan mengirim kisah ini ke koran, dan ya, semoga dia yang di sana senang ketika membacanya. []

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)