Masukan nama pengguna
“Puss… Meong…”
Inka menyusuri jalan beraspal sambil menghindari genangan air, meskipun hampir tak ada jalan yang kering sehabis hujan deras sore itu. Rumah-rumah di sekitarnya mulai asing, tapi Inka tahu ia masih berada di komplek perumahannya.
Ia menengok ke belakang, memastikan dirinya ingat jalan pulang.
“Puss… Di mana?”
Suaranya terdengar memenuhi udara basah. Mengisi lengang yang dipamerkan sebuah jalan berpagar rumah-rumah mewah yang pintunya tertutup rapat. Kaki kecil Inka mulai merasa lelah tapi dia merasa tidak butuh istirahat saat ini, yang ia butuhkan adalah sosok hewan berkaki empat berbulu abu-abu yang melompat begitu saja keluar pagar sore itu.
“Puss… Meong… Kamu di mana?”
“Siapa Puss-Meong?”
Inka menoleh. Seorang anak laki-laki berdiri sok gagah di atas pedal sambil terus berusaha menyeimbangkan sepedanya.
“Siapa Puss-Meong?” anak laki-laki itu mengulang pertanyaannya.
“Kucingku. Si Puss,” jawab Inka pelan.
“Oh,” anak laki-laki itu lalu duduk di atas sepedanya. “Ayo naik! Kita cari Puss-Meong!”
Inka tidak beranjak dari tempatnya. Ia tidak mengenal anak laki-laki itu. Hanya saja ia tahu anak laki-laki pasti nakal, seperti kakaknya yang sering pulang malam dan melompat pagar karena tidak dibukakan pintu atau seperti Bayu, teman sekelasnya, yang sering dihukum karena tidak membuat pekerjaan rumah dan suka menyingkap rok anak-anak perempuan.
“Ayo! Nanti keburu malam, kucingmu bisa dimakan serigala,” ujar anak laki-laki itu sambil memicingkan matanya, mengancam.
Inka tidak tahu ada serigala di sekitar rumahnya. Ia juga tidak tahu apakah serigala suka makan kucing. Tapi membayangkan tubuh mungil Si Puss dikoyak oleh taring-taring tajam serigala, ia tidak suka. Jadi ia menaiki pijakan kaki di bagian belakang sepeda sambil berpegangan pada pundak si anak laki-laki. Anak laki-laki memastikan Inka sudah benar-benar naik lalu mulai memacu sepedanya.
“Puss… Meong…”
Inka mulai memanggil-manggil nama kucing peliharaannya itu lagi.
“Puss… Meong…”
Kali ini suaranya lebih kasar. Suara si anak laki-laki.
“Puss…”
“Puss… eh Puss bentuknya kayak apa?”
“Kayak kucing,”
“Kucing seperti apa?”
“Memang ada kucing seperti apa saja?”
“Banyak. Sepupuku belajar tentang hewan-hewan di kuliah. Ada banyak jenis kucing di bukunya. Bulunya lebat, biasa saja, tidak punya bulu. Ekornya panjang, pendek…”
“Tidak punya ekor?”
“Mungkin ada yang tidak punya ekor. Aku lupa.”
Inka mengingat-ingat Si Puss. Si Puss bulunya cukup lebat dan halus sekali, warnanya abu-abu. Ia punya ekor yang tidak begitu panjang. Kuping Si Puss kecil. Matanya cantik. Lama-kelamaan Inka jadi sedih karena merindukan Si Puss. Ia khawatir kalau Si Puss benar-benar menghilang dan sampai malam mereka tak berhasil menemukannya, jadi ia mulai menangis.
“Mmmpusss... Pusss…”
Anak laki-laki itu menghentikan sepedanya. Menengok ke belakang dan mendapati hal baru dalam hidupnya. Ia tidak pernah berhadapan dengan anak perempuan yang menangis. Sebagai seorang anak tunggal, ia tidak pernah menghadapi saudara yang menangis. Di sekolah juga ia termasuk anak yang bandel jadi tidak ada anak perempuan yang mau berteman dengannya, dan kalaupun mereka menangis itu bukan urusannya. Tapi sekarang hanya ada dia dan anak perempuan yang menangis di belakangnya.
“Jangan nangis.”
Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya. Kalimat yang sering dikatakan ayahnya setiap ia ingin menangis.
“Jangan nangis. Jangan nangis.”
Kalimat itu terus ia ulang tapi Inka tidak juga berhenti menangis. Anak laki-laki itu mulai panik karena kehabisan ide untuk menenangkan Inka. Ia kebingungan dan memutuskan untuk kembali melajukan sepedanya. Tapi kali ini lebih cepat, seperti ketika ia balapan dengan teman-temannya. Inka terkejut. Ia melihat rumah-rumah di sekitarnya berlari dengan cepat, angin sehabis hujan menerpa wajahnya yang basah karena air mata.
Pertama-tama, ia mencengkeram pundak anak laki-laki itu karena takut terjatuh tapi perlahan melepaskan pegangannya dan menggapai ke udara. Ada kesenangan dalam dadanya yang ia rasakan saat laju sepeda semakin cepat di sebuah turunan menuju bagian lain dari komplek perumahan itu, lalu berbelok dengan tajam ke arah kanan menuju lapangan sepak bola yang digunakan bersama dengan anak-anak dari perkampungan di belakang perumahan.
Inka melupakan Si Puss. Inka melupakan serigala yang mungkin memakan Puss. Inka lupa ia habis menangis. Ia berteriak kegirangan saat anak laki-laki itu menghentikan laju sepedanya di depan sebuah warung di seberang lapangan sepak bola.
“Aku capek, mau jajan dulu. Kamu mau jajan?” tanya anak laki-laki itu.
Inka turun dari sepeda dan menggeleng. Ia tidak bawa uang jajan. Anak laki-laki memarkirkan sepedanya, merogoh saku kanannya untuk mengambil uang dua ribu rupiah, lalu masuk ke dalam warung.
Tak lama kemudian ia keluar dari warung dengan dua buah minuman seharga seribu rupiah dan sebungkus keripik yang ia beli dengan sekeping uang lima ratus yang ia temukan di saku kirinya.
“Buat kamu,” ujarnya sambil menyerahkan segelas minuman pada Inka. Mereka berdua duduk di depan warung sambil memandang ke arah lapangan. Anak laki-laki itu membuka jajanannya sambil sesekali melirik ke arah Inka, mencoba memahami bagaimana caranya ia bisa menghentikan tangis anak perempuan itu. Sedikit ia berbangga hati karenanya. Ia tidak tahu bahwa di kepala Inka sekarang penuh dengan deru angin dan bunyi gesekan antara roda dan jalan beraspal. Inka menginginkan keseruan itu lagi.
“Eh, sudah hampir maghrib. Aku harus pulang, kalau telat mama bisa marah,”
Inka mengernyitkan dahi. Kakaknya tidak pernah takut mama marah, kakaknya malah suka balas marah. Anak laki-laki ini takut mamanya marah, jadi mungkin tidak semua anak laki-laki seperti kakaknya.
“Lagian aku harus bikin PR,” lanjutnya.
Anak laki-laki juga buat PR. Berarti tidak semua laki-laki seperti Bayu, teman sekelasnya. Kini ia tahu lebih banyak soal anak laki-laki.
“Tapi Puss belum ketemu, gimana?” tanyanya lagi sambil menghabiskan sisa kripik.
“Nggak apa-apa, nanti aku minta tolong Kak Dino buat cari pakai motor.” jawab Inka dengan nada pasrah.
Anak laki-laki itu mengangguk-angguk.
“Ayo, aku antar pulang!”
Mata Inka berbinar. “Ngebut kayak tadi?”
“Nggak bisa, jalannya nanjak. Kamu bantu dorong dulu, nanti aku kebutin sampai rumah.”
Akhirnya mereka mendorong sepeda itu sampai ke atas tanjakan dan seperti janjinya anak laki-laki itu melajukan sepedanya dengan kencang sampai di depan rumah Inka.
“Terima kasih!” ujar Inka sambil meloncat turun dari sepeda.
“Hmm,” balas anak laki-laki itu sambil memutar sepedanya.
“Eh, nama kamu siapa? sekolah di mana?”
Anak laki-laki itu tidak jadi pergi. “Bhaga, di SD Parahyangan 1. Kamu?”
“Sama dong! Aku juga sekolah di sana! Namaku Inka. Besok main lagi, ya!”
Sebenarnya Bhaga tidak suka bermain dengan anak perempuan, tapi ia tidak mungkin bilang tidak mau. Selain karena takut Inka menangis lagi, anak perempuan itu sudah berlari masuk ke dalam rumahnya. Jadi sambil melajukan sepedanya pulang, Bhaga berjanji akan mengajak Inka main lagi besok.
—
Dari ujung jalan, melangkah santai dengan bulu abu-abu menyapu jalanan, Si Puss menuju pagar rumah Inka. Si Puss menggaruk-garukkan kukunya ke pagar beberapa kali. Ia mengeong pelan di depan pagar sebelum akhirnya meloncat masuk ke dalam.