Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,685
Pertemuan Semesta
Slice of Life

Aku akan mengelilingi semesta sampai kau kutemukan. Kenangan sekecil apapun tidak akan pernah aku lupakan. Kenangan kita membekas di setiap waktu.

Malam ini hujan mengguyur semesta. Malam ini hujan menemaniku bernostalgia. Aku jadi teringat pertemuan awal dengannya juga ditemani hujan. Bahkan ketika ia pergi, hujan yang menemaniku menangis. “Awan! Aku sudah melarangmu untuk pergi ke balkon, kenapa kamu masih melakukannya?” Aku menghiraukan seruan Bintang, kakak laki-laki tertuaku.

Sejak kepergiannya tiga tahun lalu, aku menjadikan balkon apartemennya sebagai satu-satunya tempat untuk mengingat akan semua kenangan yang pernah kita rakit bersama. Bintang selalu menemaniku meskipun ia tidak ikut tinggal di apartemen ini. Berulang kali ia memarahiku agar tidak nongkrong di balkon karena aku pernah ketiduran kemudian sakit keesokan harinya.

Dulu, aku sering sekali main ke apartemen ini. Kami sering mengobrol berdua di balkon. Kami membicarakan banyak hal. Sepulang sekolah aku selalu mampir ke apartemen Angkasa, hanya untuk sekadar main. Angkasa adalah laki-laki yang mampu membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Angkasa selalu tahu cara membuatku bahagia. Angkasa juga selalu memprioritaskanku dan menjagaku. Ia memang tak pernah mengatakan ‘aku cinta kamu’ atau kalimat chessy lainnya, tapi perlakuannya sudah menunjukkan betapa sayangnya ia padaku. Ah!

Angkasa, aku rindu.

Air mataku lagi-lagi meluruh. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menahan isak tangis. “Awan,” panggil Bintang lembut, berbeda seperti tadi. Ia mendekat dan membawaku masuk. “Sampai kapan kamu akan seperti ini?” Ia menyuruhku duduk di sofa yang dulu sering aku dan Angkasa tempati.

Di apartemen ini Angkasa memasang foto-foto kita berdua. Ia memajangnya dengan apik, membuat hatiku tersayat ketika pertama kali memasukinya. “Awan,” tegurnya karena aku tidak menjawab. Setelah itu, Bintang mengambilkanku minum. “Angkasa, kamu di mana?” lirihku sambil masih terisak.

Aku melihat Bintang menggelengkan kepala. Aku tahu dia sepertinya lelah menghadapiku yang masih saja bersedih pasca kepergian Angkasa. Penyesalanku begitu mendalam ketika aku memutuskan untuk tidak menghubunginya lagi. Saat itu aku ketakutan. Banyak sekali yang memintaku untuk meninggalkan Angkasa. Mereka mengancam akan melakukan sesuatu yang menyakiti Angkasa. Sungguh aku tidak mau itu terjadi. Sakit rasanya mengingat kebodohanku kala itu. Bahkan ketika Angkasa mengirimiku pesan yang isinya kata sandi apartemen, aku membiarkannya begitu saja. Andai saja Dewangga tidak membentakku saat itu, aku tidak akan tahu kalau Angkasa sudah pergi.

Iya. Angkasa pergi. Kata Dewangga, Angkasa pergi karena harus menempuh studi di negeri yang jauh. Katanya, Angkasa tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padaku karena aku yang memutuskan hubungan sepihak. Dewangga adalah salah satu teman baik Angkasa. Kadang-kadang ia menjadi ‘nyamuk’ ketika kami pergi bersama.

Kata orang, kami definisi dari dua orang yang memiliki satu hati. Apa yang Angkasa rasakan, aku pun ikut merasakannya. Begitu pula sebaliknya. Angkasa selalu mengerti perasaanku, bahkan ia tidak pernah menyinggung perasaanku sedikit pun.

Maafkan aku ... Maaf ...

Untaian kata maaf terus kurapalkan dalam hati. Aku benar-benar takut kalau Angkasa membenciku. Aku takut Angkasa tidak mau mengenalku lagi. Aku takut kalau ... Angkasa tidak kembali. Penyesalan itu selalu kutangisi setiap hari, bahkan setiap malam menjelang tidur yang kupikirkan hanyalah penyesalan dan Angkasa.

“Angkasa tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Angkasa pun tahu kamu menangis setiap malam.” Ucapan itu membuatku menatap Bintang, mencari kebenaran. Aku menatapnya penuh harap. Semoga Bintang tahu di mana Angkasa sekarang. Bintang menggeleng samar seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan. Aku menggeser tubuhku, memberi ruang pada Bintang yang hendak duduk. “Ingat ketika kalian menyombongkan diri di hadapanku?” Aku mencoba mengingatnya.

“Saat itu kalian bilang kalau kalian terkoneksi satu sama lain. Bahkan aku menertawakan kalian.” Bintang mengatakannya dengan gamblang. Aku tersenyum tipis mengingatnya. Ketika aku hampir menangis kembali, Bintang berkata, “Angkasa pasti nggak suka kamu kayak gini.”

Aku menoleh pada Bintang. “Angkasa pasti akan kembali, Awan. Kamu hanya perlu memercayainya dan meninggalkan penyesalan itu,” lanjutnya. Aku menengadah menatap langit-langit. “Aku harap.”

Bintang mengusap puncak kepalaku. “Angkasa tidak akan membiarkanmu bersedih terus. Tenang saja.” Aku pun juga berharap demikian, tapi sampai saat ini saja aku tidak tahu keberadaan Angkasa. Bagaimana aku bisa mempercayainya? Aku anggap Bintang hanya memberikan kalimat penenang.

***

Perkuliahan hari ini selesai lebih cepat dari biasanya karena beberapa mata kuliah di-pending. Amerta mengajakku berkunjung ke sebuah panti. Panti yang akan kami kunjungi jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat kota, hanya perlu menempuh perjalanan selama satu jam.

Sesampainya di sana, Amerta melarangku turun. Katanya ada sesuatu yang harus ia cek terlebih dahulu. “Baiklah,” kataku menurut.

Panti asuhan. Aku jadi ingat Angkasa. Ia pernah bercerita kalau dulu dirinya pernah tinggal di panti asuhan selama enam tahun, sebelum akhirnya diadopsi. Kala itu, ia menceritakannya dengan emosional. Aku yang mendengarnya pun terhanyut dalam suasana itu.

Angkasa, apa kabar?

Amerta kembali kemudian. Namun anehnya, aku jadi gugup setengah mati. Ia menyuruhku untuk menurunkan beberapa belanjaan yang kami sempat beli dan membawanya masuk. Aku membawa belanjaan itu dengan hati-hati. Saat melewati pekarangan depan, ada beberapa anak panti yang sedang bermain kucing-kucingan. Sepertinya aku terlihat tidak menarik bagi mereka sehingga tanpa sengaja mereka menabrakku.

“Aduh!”

Semua belanjaan jatuh, termasuk aku. Aku menghela napas sabar ketika mereka meminta maaf. Kalau saja mereka benar-benar tidak menganggapku ada, akan kutegur satu per satu. Untungnya, Amerta segera membantuku berdiri dan membereskan belanjaan yang tercecer. Ia sedikit memarahi anak-anak itu. “Kalian kalau main lihat-lihat dong!”

Mereka hanya mengangguk patuh dan meminta maaf lagi. Aku tersenyum maklum. Aku menganggap mereka sebagai Angkasa kecil. Ah! Lagi-lagi Angkasa. Aku berusaha mengenyahkan namanya sejenak, tapi tetap saja tidak bisa. Angkasa sudah sangat melekat di pikiranku. “Awan, ayo!” seru Amerta menyadarkanku.

“Ah! Iya.”

Aku mengikuti ke mana Amerta melangkah. Aku masih asing dengan tempat ini. Bisa kacau kalau sampai tersesat. “Awan! Kenalin ini Bu Raya, pemilik sekaligus pengasuh panti.” Amerta membawaku ke ruangan yang cukup besar, seperti kantor.

Bu Raya tersenyum. Wajahnya memang sudah muncul keriput, tapi senyumnya masih cantik. Kami berjabat tangan. “Saya Awan, teman Amerta.” Aku tersenyum. Aku merasa Bu Raya menatapku penuh arti. Padahal aku baru pertama kali bertemu dengan beliau, tapi mengapa perlakuannya seperti sudah mengenalku?

“Kak Meta!” Suara anak kecil memasuki ruangan kami. Ah! Rupanya Amerta sudah sering ke tempat ini. Selama delapan tahun bersahabat, aku baru menyadari kalau Amerta sering sekali main ke panti asuhan ini. Seingatku, dia memang senang bermain dengan anak kecil.

“Ya?”

“Ayo main!” Anak itu mengajak Amerta main.

Kini tinggal aku berdua dengan Bu Raya, tapi tidak lama kemudian ia izin keluar untuk mengurus beberapa hal yang tak kumengerti. Di ruangan itu aku tertarik dengan sebuah bingkai foto. Iseng, aku mengambilnya dan melihat sekelompok anak yang sedang berbaris rapi.

Angkasa?

Aku mengecek lagi perawakan seorang anak yang kukira adalah Angkasa. Aku pasti tidak salah lihat. Aku seperti familiar dengannya. Ia seperti Angkasa kecil. Entahlah, tapi aku sedikit meyakininya. Aku kembalikan foto itu ke tempatnya.

Bam!

Aku baru menyadari kalau di ruangan itu tidak hanya ada satu bingkai foto saja, tetapi lima. Aku mengambil bingkai foto lain yang menampilkan gambar seorang anak yang sedang memegang bola basket. Dia benar-benar mirip Angkasa. Apakah dia ... Angkasa?

“Hujan!” Terdengar teriakan dari luar. Anak-anak yang sedang bermain di luar segera masuk panti, termasuk Amerta yang bajunya sudah cukup basah. Mereka tertawa riang. Aku keluar dari ruangan itu dan bergabung bersama mereka. Hujan mengguyur begitu deras sehingga memperpendek jarak pandang.

Hujan.

Aku melihat ke luar jendela. Samar-samar aku melihat seorang laki-laki sedang berdiri. Apa dia sedang melihatku? Laki-laki itu perlahan jalan ke arahku. Kupicingkan mata sampai aku dapat menebak siapa laki-laki itu. Jujur saja, aku cukup takut, tapi juga jantungku berdebar dengan tidak normal. Kenapa aku gugup?

Aku tersentak dan mundur beberapa langkah. Apa-apaan ini?

Nggak mungkin.

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Aku mencoba mengelak apa yang aku lihat. Namun nyatanya tidak bisa, ia terlalu nyata. Aku menahan air mata sampai perih agar tidak menangis. Aku keluar, mencoba melihatnya dari teras panti. Laki-laki itu berhenti dan dia memang melihatku. Dari sini aku bisa melihat perawakan Angkasa meskipun tidak terlalu jelas.

Angkasa?!

Aku menangis. Aku mengaku kalah. Aku menerobos hujan dan berlari ke arahnya. Aku berhenti tepat dua langkah di depan laki-laki itu. Aku memeriksa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ini benar-benar Angkasa! Ukuran tubuhnya masih sama, tapi sepertinya Angkasa semakin rajin berolahraga. Terlihat dari bentuk lengannya yang berotot. Bibirnya masih sama dan hidungnya tidak lebih mancung dari sebelumnya. “Angkasa?” tanyaku lirih sambil menatapnya. Tatapannya teduh seperti biasa. Kulihat rahangnya lebih tegas dari sebelumnya.

Aku maju selangkah. “I-ini Angkasa?” tanyaku lagi. Rambutnya berubah jadi sedikit coklat di beberapa bagian. Apa sinar matahari membakarnya?

Dia tersenyum. Senyum favoritku! Dia mengangguk. “Iya, ini Angkasanya Awan.”

Suara itu! Suara yang tiga tahun tak kudengar. Aku menangis. Tangis bahagia. Tak akan ada lagi tangis kesepian dan penyesalan. Angkasa memelukku di bawah guyuran hujan yang mulai mereda. Aku balas memeluknya sambil masih menangis. Aku tak pernah mau lagi melepaskannya.

“Aku kembali, Awan.”

Sore ini hujan mengguyur semesta. Sore ini hujan menemaniku bernostalgia. Aku jadi teringat pertemuan awal dengannya juga ditemani hujan. Bahkan ketika ia pergi, hujan yang menemaniku menangis. Namun kini, hujan juga yang membawanya kembali. Hari ini dia kembali untukku, untuk selamanya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)