Masukan nama pengguna
“Hidupmu itu seperti kubangan lumpur. Buat makan aja pas-pasan, sok mau nguliahin anak, heh! Mimpi.”
Banyak tetangga bergunjing, mempertanyakan bagaimana hidup seorang lelaki miskin pekerja buruh bangunan menopang hidup istri dan dua anaknya.
Kisna bercita-cita tinggi memberi pendidikan pada para putra-putrinya sampai tingkat bangku kuliah. Terpikir sangat tak masuk akal. Namun, memang siapa yang akan tahu garis takdir di masa depan?
“Jangan belagu. Hidup sudah susah, mending perbaikin tuh rumah kalian yang mau ambruk, dari pada menyekolahin anak.” Selentingan dari mulut ke mulut tetangga, menyusup menyakitkan ke telinga Kisna, seorang ayah miskin beranak dua. Tega sekali mulut mereka, pikir Kisna sembari geleng-geleng heran.
Hanya seutas senyum masam diarahkan pada sekumpulan tetangga yang gemar sekali bergunjing.
“Tidak apa, Bu. Saya masih sanggup menyekolahkan putra-putri saya. Permisi.”
Udara sore hari ini agak lembab. Langit sedari tadi bergerak makin kelam. Ada beberapa kilatan samar di atas langit. Melihat itu, Kisna sempat menghentikan langkah, yang juga tengah menuntun sepeda bututnya.
Kisna menghela napas dalam, kemudian diembuskan panjang. Suara tawa cekikan mencibir dan beberapa lirihan sindiran masih tercuri dengar.
Jejak keringat meluruh, mengalir ke leher kurus berwarna coklat tua. Sisa rasa lelah yang dihabiskan untuk membersihkan sebuah halaman rumah yang cukup luas.
Bayangan putra-putrinya mendadak melintas di benak, membuat rasa lelah Kisna sedikit menyusut.
“Kalian harus tetap sekolah ... sampai ke jenjang perguruan tinggi, meskipun Bapak harus membanting tulang lebih keras.”
Sebuah tekad berbalut doa kembali dilantunkan dalam hati. Tak ada satu hari pun tanpa menaruh harapan tinggi pada kedua anaknya yang masih berada di bangku sekolah dasar.
Setiba di rumah reyotnya, Kisna memasukkan dengan tenang sepeda butut lelaki itu. Baru saja ingin melepas topi basah, jejak keringatnya yang mengumpul di puncak kepala, ia sudah dikejutkan dengan suara melengking sang istri.
“Hidup gini-gini terus. Kapan majunya. Kapan punya motor, kapan punya uang banyak?!” Tati menyerukan rasa kesal dalam hati, saat melihat tetangga rumah mampu membeli perabotan rumah baru.
“Sudahlah, Bu. Ngapain juga teriak-teriak begitu, malu tau, kalau didengar tetangga!” cetus sang putri bungsu dongkol.
“Napa harus malu? Keadaan kita memang seperti ini, tidak ada perubahan. Kalian berdua kalau lulus, tidak perlu lanjut sekolah. Kerja. Cari uang yang banyak!”
“Bapak tidak setuju!” Kisna menyahut dari sisi dinding papan kayu yang sudah mulai rapuh. Dia menaruh topinya di sebuah paku, “kalau ngomong itu dipikir dulu. Agun dan Sari harus tetap sekolah. Kalau bisa ... sampai kuliah.”
Mendengar perkataan Kisna, Tati yang sedang tengkurap di depan televisi berukuran empat belas inci itu, beranjak cepat. Wanita yang sudah berumah tangga belasan tahun dengan Kisna, terduduk menatap sinis ke arah sang suami.
“Ngaca, Mas. Kita ini keluarga miskin. Rumahmu sudah mau roboh, banyak orang yang ngomong, tapi kamu tetap saja mau Agun dan Sari lanjut sekolah. Kamu tidak mikir?”
“Kalau mereka berani ngomong seperti itu, kenapa bukan mereka yang membenarkan rumah kita? Sudahlah, aku mau mandi,” tanggap jengah Kisna memutus cepat obrolan, yang ia tahu jikalau tak akan berakhir dengan baik.
Lelaki berpakaian lusuh itu hendak berlalu ke kamar mandi kecilnya, tetapi langkah tersebut seketika diurungkan saat sekilas melihat sang putra sulung tengah menunduk pada sebuah buku pelajaran.
“Agun?”
“Iya, Pak?” jawab bocah laki-laki itu, sembari mengangkat wajah, “mau aku ambilkan minum?”
Kisna menggeleng dengan senyum tipis penuh kebanggaan.
“Tenang saja, kamu sekolah saja yang benar. Soal uang, itu urusan belakang. Jangan dengarkan ocehan ibumu. Itu urusan Bapak.”
“Iya, Pak. Baik.” Agun menjawab lirih, ia ikut tersenyum simpul menaruh harapan seluas mungkin pada pendidikannya.
Sari hanya diam terpaku di tempat, ia meneguk ludah kasar. Bola mata bulat mungilnya bergetar panas, gadis kecil itu merasakan pahitnya hidup di dalam pertentangan ekonomi serta ego sang ibu yang tak sejalan dengan ayahnya.
“Aku selalu berdoa sama Allah, semoga Bapak akan selalu sehat,” ucap Sari sendu dalam hati.
“Halah, sombong kamu, Pak! Kalau omonganmu didengar tetangga, mereka bakal ketawain kita lagi!” seru jengkel sang ibu, lagi dan lagi menatap rendah perjuangan serta harapan sang suami.
“Kita lihat saja nanti. Anak-anakku akan sukses, Bu!”
***
Hari berlalu begitu cepat. Masa ujian Agun dan Sari juga tengah berlangsung. Di pukul tujuh malam, kakak dan adik itu saling melempar tatapan penuh arti satu sama lain. Mereka sama-sama meremas pensil di dalam genggaman.
Melihat ada gelagak aneh pada kedua buah hatinya, Kisna yang sedang mengisi daya kekuatan setelah seharian berkecimpung dengan rumput liar, kini menghentikan suapan makanannya.
“Ada apa, Agun? Ngomong saja.”
Agun dan Sari kompak berjengit mendengar suara pelan dari sang ayah. Agun pun mengangguk berat, lantas sedikit menyerongkan cara duduknya.
“Tadi guru di sekolah tanya, aku beneran lanjut sekolah kan, Pak? Maksudku, lanjut SMP?” Ragu-ragu, Agun mulai mengutarakan keresahan hatinya.
“Emang mau lanjut SMP di mana?”
“Negeri, Pak! Mas Agun kan pinter!” Kali ini Sari berseru penuh semangat, mengambil hak suara sang kakak yang lantas terdiam, “tapi, kalau Mas Agun lanjut sekolah, terus aku juga. Itu bukannya Bapak bakal kesulitan? Belum buat makan kita.”
“Sekolah-sekolah saja. Bapak yang akan mikir tentang uang dan makan kita. Yang penting kalian bisa lanjut SMP, SMA, kalau bisa sampai kuliah. Lagian, kita juga masih ada uang yang dari ibumu kerja.”
Mendengar penuturan sang ayah, Agun dan Sari kompak mengangguk kecil. Semburat senyum bahagia dari bibir mereka tak bisa tertutupi. Membuat Kisna ikut tersenyum.
“Bapak sama Ibu jangan terlalu capek. Tidak perlu juga maksain, aku sama Mas Agun tahu kondisi keluarga kita kok,” cicit Sari menggeser posisi duduk, ia melingkarkan lengan mungilnya, untuk dilingkarkan di lengan sang ayah.
“Sari benar, Pak. Jangan terlalu maksain,” timpal Agun setuju pada perkataan sang adik. Bocah laki-laki itu tampak khawatir dengan kondisi kesehatan kedua orang tuanya, terutama sang ayah.
Sejauh ini, Agun dan Sari tak banyak menuntut. Dan lebih tahu kondisi keluarganya yang jauh tertinggal dari para tetangga. Tidak juga menyalahkan takdir, tetapi mereka lebih memilih menerima keadaan dari cara didik sang ayah.
“Kita memang miskin, tetapi kejujuran lebih utama.” Itulah petuah dari sang ayah yang terus dipegang Agun dan Sari hingga detik ini.
“Tidak memaksakan, ini memang sudah kewajiban Bapak membuat anak-anak Bapak pintar. Karena kalian harus sukses,” sahut Kisna lembut menanggapi perkataan kedua buah hatinya.
***
Hari kelulusan akhirnya terjadi. Sebuah awal pencapaian yang tak terduga.
Setelah memutuskan untuk melanjutkan kejenjang SMP, dan banyak gunjingan pada tekad Kisna, kini tahun beralih tahun, sebuah impian lelaki miskin itu terwujudkan oleh kepintaran Agun, sang putra sulung.
Pacul dicangkulkan pada petakan tanah kering. Setelah selesai, lelaki miskin itu berganti tempat. Ia menyeka kasar peluhnya menjatuhi wajah, yang terpapar sengat matahari yang cukup panas hari ini.
“Pak, Bapak!” Teriakan dari kejauhan itu membuat punggung Kisna yang sedikit membungkuk, melurus perlahan. Ia lagi-lagi menyeka keringat yang berhasil runtuh di sekujur tubuh.
Mata sayu Kisna bergerak menyipit saat kepalanya berhasil menoleh ke belakang, memandang sebuah kertas yang tergenggam di tangan sang putra sulung.
“Ada apa, Gun? Kok kamu malah ke sini. Di sini panas.”
“Aku diterima di SMA Negeri 1, Pak!”
“Wah, hebat banget! Padahal sulit sekali masuk sekolah itu lho!” Kepala Kisna berputar, begitu pun Agun. Ayah dan anak itu mencari sumber suara seorang wanita, “anak-anak Pak Kisna memang pintar-pintar. Semoga bisa mengangkat harkat dan derajat Bapak sekeluarga.”
Kelopak mata Kisna barulah mengerjap, saat menyadari wajah salah satu pelanggan yang rumahnya, sering dibersihkan oleh dirinya. Wanita itu masih memperlihatkan senyum tulus, memberi selamat pada Kisna dan sang putra.
“Selamat, Pak. Pak Kisna sudah berhasil mendidik anak bapak. Putri Bapak juga pintar. Dua-duanya pintar.” Tambahnya.
“Te-terima kasih, Bu,” balas Kisna bernada serak penuh haru. Di detik itu juga, ia memeluk sang putra erat, “Bapak bangga padamu, Gun! Sangat bangga.”
***
Mendengar sebuah pencapaian yang patut diapresiasi dari keluarga Kisna, nampaknya tak selaras dengan pemikiran orang-orang kampung, yang mayoritas berpikir pendidikan tidaklah penting.
Sejauh ini, anak-anak kampung lebih memilih menuntaskan sekolah mereka hingga gerbang SMP, lantas bergegas berangkat ke kota.
“Bu Tati, Agun udah tamat SMP, harusnya ke kota aja. Di sana banyak lowongan pekerjaan.”
“Mau kangkung satu iket, ya, Bu! Satuin harganya sama belanjaan yang lain.” Suara Tati yang berada di warung, membuat para sekumpulan ibu-ibu diam-diam bergosip, sembari menatap sinis pada belanjaan Tati, “Bapaknya maunya lanjut SMA, Bu. Lagi pula Agun juga sudah ketrima di SMA Negeri.”
“Duh, sayang banget, ya! Padahal kalau berangkat ke kota udah bisa itu si Agun.”
“Eh, Bu Tati ... itu belanja kangkung lagi? Kemarin bukannya udah beli kangkung, ya? Sesekali beli ayam, lele, atau udang tuh! Biar bergizi dikit.” Ibu yang lain sengaja menyindir sembari menunjuk pada kantong plastik berisikan potongan daging di atas meja sayuran.
“Haha, ya kangkung lagi lah, Bu. Orang duit Bu Tati kan pas-pasan, mana dibuat bayar sekolah. Dua anak lagi. Duh, pusing, ya!”
Tati yang mendengar hal itu, membuatnya menarik napas dalam sembari membuang wajah ke sisi lain. Remasan di genggaman kantong plastik pun juga kian erat.
Pergunjingan ini sudah biasa terjadi pada Tati, terkadang ia malas untuk keluar berbelanja di warung ini. Namun, sialnya, hanya warung ini yang masih mau memberinya hutang.
“Mau makan apa itu urusan kami, Bu. Kami juga tidak terlalu memikirkan apa yang kami makan hari ini, yang terpenting dua anak kami bisa sekolah. Permisi, saya harus pulang, suami saya sebentar lagi pulang,” tanggap Tati untuk terakhir kali, tak mempedulikan dengingan para ibu-ibu masih asik menggosipkan Tati dan keluarganya.
Meskipun Tati selalu melontarkan rasa tak terimanya pada garis takdir. Ia diam-diam juga menginginkan kedua anaknya memiliki pendidikan tinggi, dan menjadi orang yang lebih sukses dari dirinya dan sang suami.
“Ibu, besok Ibu bilang ke guru aku ya, kalau bayar spp-nya tidak bisa Minggu ini,” cicit Sari dengan wajah tertunduk sendu.
“Iya, besok Ibu minta izin ke majikan Ibu, kalau mau ke sekolah kamu. Udah, tidur sana. Jangan dipikirin, nanti sakit malah. Udah makan kan?”
Sari mengangguk, “udah tadi, Bu. Tadi makan bareng sama Bapak.”
“Yaudah, ambil selimut. Jangan sampai kesiangan berangkat sekolah.”
***
“Pak, anakmu bilang mau lanjut kuliah. Itu lucu kan? Ngapain juga lanjut kuliah. Udah bagus, bentar lagi lulus SMA buat bantu Sari masuk SMA nanti.”
Kisna yang tengah memilah baju yang akan dipakai untuk bekerja sebagai buruh bangunan, mendadak menghentikan pergerakan tangannya.
Ia berbalik, menatap sang istri yang tengah menaruh peralatan makan yang baru saja dicuci.
Baru lepas dari pukul lima subuh, setelah selesai sholat berjamaah. Pasangan suami istri itu juga masing-masing sudah akan berangkat kerja satu jam lagi.
“Malah bagus, Bu. Kenapa memang kalau mau kuliah? Itu impian Bapak. Agun memang harus kuliah, jadi sarjana. Sari juga.”
“Yaampun, Pak. Kita bakal jadi bahan tetawaan para tetangga lagi. Apalagi, banyak sarjana nganggur. Kuliah itu tidak bisa memastikan dapat kerjaan,” balas ketus Tati lagi, sembari berjalan melewati Kisna di sana.
“Rumah kita reyot! Sudah hampir roboh. Kalau Agun sampai kul—”
“Biarin dia kuliah. Kamu jangan ngalang-ngalangin anak mau pintar, Bu.” Kisna memotong cepat perkataan sang istri, lantas membalik tubuh.
“Duh, emang susah kalau ngomong sama kamu. Kamu itu pria kolot! Terus kapan Agun ngasilin uang buat kita kalau sekolah terus? Lama-lama aku bosan hidup sama kamu!”
Setelah mengatakan itu, pintu ditutup kencang oleh Tati. Wanita itu berjalan dengan langkah kesal.
Ia hanya ingin merasakan, dibahagiakan oleh sang putra seperti layaknya anak orang-orang, tetapi lagi-lagi ia harus menelan rasa pahit dicaci-maki oleh omongan tetangga kampung jika Agun memutuskan kuliah.
***
“Ini beneran tidak apa, Pak? Aku tidak usah berangkat, ya!” Agun mendorong lembaran uang merah yang baru saja diberikan sang ayah.
“Buat Mas Agun berangkat. Bapak udah susah-susah nyari hutang buat Mas Agun berangkat ke Purwokerto. Ciee, kuliah di kampus negeri!” Sari menggoda sang kakak, yang tampak menyiratkan keraguan atas prestasi yang selama ini ia tempuh di bangku SMA, lantas digunakan untuk acuan diterima di perguruan tinggi negeri.
PTN yang banyak diidam-idamkan para siswa.
“Nanti aku juga mau nyusul, tapi dua tahun lagi. Hehehe.” Tambah gadis muda itu, memperlihatkan senyum lebarnya.
“Sari benar, Gun. Berangkat aja. Tidak perlu dipikirkan urusan rumah. Lagi pula, Bapak bangga sama kamu, kamu bisa dapat beasiswa. Nanti sambil kerja, Bapak pasti bisa balikin uang itu.” Kisna menanggapi keraguan sang putra.
Agun tampak telah menyiapkan tas pakaian dan lainnnya.
Tidak mungkin jika Kisna membiarkan sang putra membatalkan keberangkatannya. Sebab garis takdir perlahan telah menuntun, ke arah doa dan impian-impian Kisna.
Melihat sang putra berdiri dengan berbalut status sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri membuat dirinya sebagai ayah sangat bangga, meski garis kemiskinan kian mencekik Kisna sebagai seorang ayah dan kepala rumah tangga.
“Gun, hati-hati. Jangan lengah di kota orang. Kamu ingat pesan Ibu. Selalu jaga diri,” ucap Tati pada sang putra juga. Hatinya sesak menatap putranya yang akan berjauhan dengan dirinya.
“Iya, Bu, Pak. Aku berangkat dulu, ya. Aku janji akan pulang setelah kuliahku selesai, dan mencari pekerjaan.”
“Fokus kuliah. Tidak masalah, jika di rumah hanya makan seadanya, yang terpenting kamu bisa mengejar cita-citamu,” pesan Kisna sembari menepuk-nepuk bahu sang putra. Ia tersenyum penuh haru.
Memilih keputusan yang semakin dihujat para tetangga kampung, Kisna memilih menutup seluruh telinga. Dari pagi hingga malam, ia terus bekerja tanpa memikirkan rasa lelah.
Apa pun pekerjaan yang ditawarkan pada Kisna, seketika diterima lelaki dua anak itu hanya demi bisa mengirimi sang putra uang makan. Hingga pada suatu ketika, takdir baik kembali menjumpai kehidupan sulit Kisna.
Setelah sang putra sulung diterima di perguruan tinggi negeri, kini sang putri ikut menyusul ke kota Semarang. Banyak sanjungan yang diterima Kisna karena telah sukses membawa kedua anaknya menanjak pada tangga berduri hingga sejauh ini.
“Pak Kisna, boleh saya jabat tangan Bapak?”
“Hah? Jangan, Dok! Tangan saya kotor. Banyak tanah,” tolak Kisna yang belum menyadari maksud dari seorang lelaki berjubah putih menghampiri dirinya, yang tengah membersihkan rumput di halaman rumah sakit.
Tak hanya satu dokter, tetapi tiba-tiba muncul tiga dokter lain, lantas satu orang lagi berpakaian dinas pegawai sipil. Mereka kompak mengulurkan tangan, meminta Kisna menjabat tangan mereka.
“Tidak apa, Pak. Kami cuma ingin ketularan berkah bisa menyekolahkan anak-anak sampai perguruan tinggi, seperti Pak Kisna.”
Mereka pun menarik paksa tangan Kisna sembari tersenyum, lantas tersenyum kian lebar saat tangan kotor Kisna bersentuhan dengan tangan para dokter itu.
“Kami mengacungi jempol untuk Pak Kisna. Bapak sudah berhasil membawa anak-anak Bapak sukses! Semoga berkah itu tertular pada kami.”
Kisna menatap tertegun, bola matanya berkaca-kaca mendengar kalimat orang-orang hebat di depannya.
Masa wisuda Agun telah usai, diikuti Sari setelah beberapa tahun. Kakak dan adik itu telah bekerja dan mendapat penghasilan yang merubah takdir miskin mereka. Rumah reyot berlantai tanah tak lagi keluarga Kisna tapaki.
Kini untuk bepergian, Kisna dan sang istri juga tak perlu berjalan kaki, karena mereka telah memiliki motor. Sebuah berkah setelah masa sulit berpuluh tahun mereka lalui.
Agun dan Sari melangkah mendekati sang ayah. Mereka kompak memeluk ayahnya, lantas tak begitu lama sang ibu ikut memeluk di sisi Sari.
Mereka memandang rumah mereka yang sudah jauh lebih baik dari puluhan tahun lalu.
“Kalian anak-anak Bapak dan Ibu yang membanggakan. Kami bangga pada kalian,” tutur haru Kisna, mengecup bergantian puncak kepala kedua buah hatinya.
“Ibu juga bangga pada kalian. Maafkan Ibu sudah hampir menghambat cita-cita kalian,” susul Tati kian mengeratkan pelukannya.
“Kami yang jauh lebih bangga pada Bapak dan Ibu. Di luar banyak orang tua yang akan tetap memutuskan untuk aku dan Sari kerja,
tapi Bapak dan Ibu tetap mau kami lanjut sekolah. Terima kasih, Pak, Bu!” balas Agun penuh rasa terima kasih pada kedua orang tuanya.
“Benar kata Mas Agun. Dulu, aku sama Mas Agun bisa sampai kuliah itu cuma sekedar mimpi, rasanya tidak mungkin. Tapi, Bapak ... membuat kata mungkin itu jadi sebuah mimpi yang nyata,
terima kasih, Pak, Bu. Kalian adalah pahlawan hidupku dan Mas Agun.” Sari ikut berkata. Mereka saling memeluk erat penuh rasa syukur yang teramat sangat.
Kehidupan memang sulit, tak mungkin setiap orang akan berkata ‘baik-baik saja’ di setiap saat.
Namun, satu hal yang Kisna yakini, jika ada sebuah mimpi dalam doa yang akan dijabah di waktu yang tepat.
Mimpi, harapan, dan doa adalah alur yang jelas tak akan terputus.
Selesai.