Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,059
Pelarian
Slice of Life

Di sebuah altar yang dilatarbelakangi Pura tua yang sangat anggun itu, seorang wanita setengah baya memakai pakaian tradisional Bali, muncul meletakkan nampan bambu berisikan sesaji. Itu pertanda Tari Barong akan segera dimulai. Irama gamelan pun mengalun. Irama itu mencerminkan kekhasan tersendiri bagi daerah Bali.

Ade merapatkan jaket ke tubuhnya. Pertunjukan telah dimulai 30 menit yang lalu, dan mata gadis itu tak lepas mengawasi jalannya pertunjukan di altar. Kursi di sebelah kirinya kosong, sedang di sebelah kanannya duduk seorang gadis yang sejak tadi asyik menonton. Di sebelah gadis itu duduk seorang jejaka kecil yang mungkin adiknya. Terbukti mereka kerap berbincang.

Ade jadi gundah. Bagaimanapun, ia tidak akan mengerti isi cerita yang ada di balik pementasan Tari Barong itu. Tak ada yang bisa diajaknya berbincang. Tak ada yang bisa ditanyainya.

Lama-lama Ade tak tahan untuk terus-menerus menahan ketidakmengertiannya. Ia ajak gadis di sebelahnya itu untuk bicara.

“Kamu kelihatannya suka sekali menyaksikan tarian ini,” kata Ade.

Gadis yang diajak bicara itu menoleh sebentar ke arah Ade. Mungkin merasa heran karena orang di sebelahnya itu tiba-tiba mengajaknya bicara. Bibirnya lantas tersenyum.

“Ya, saya suka. Mm…, maaf, saya belum kenal dengan kamu. Siapa ya?” tanya gadis itu.

“Saya Ade. Saya baru pertama kali ini ke Bali dan baru pertama kali ini nonton pertunjukan Tari Barong. Kalau boleh saya tahu, apa isi cerita di balik tarian ini?”

“Ooh, begini. Tari Barong menggambarkan kebaikan dan kejahatan. Dalam cerita ini Rangda digambarkan sebagai figur kejahatan dan Barong digambarkan sebagai figur kebaikan. Kalau tidak salah setiap adegannya terdiri dari lima babak.”

Ade mengangguk-angguk. Sekarang ia tidak hanya bisa memperhatikan tarian itu, tapi juga tahu maksud dan isi cerita di dalamnya. Gadis di sebelahnya itu ternyata mau berbaik hati memberikan penjelasan setiap adegan dalam Tari Barong itu. Ade jadi lebih senang menontonnya. Hatinya bertambah girang tatkala ingat kalau malam ini ia telah berhasil membuat orang serumah kelabakan. Ia tak bisa membayangkan betapa resahnya hati ayahnya saat ini. Malam pesta yang dibayangkan akan indah itu tak seperti kenyataan.

Ade tersenyum-senyum. Ia senang berhasil melampiaskan rasa sakit hatinya pada ayahnya. Dan kepergiannya tanpa pamit kemarin dianggapnya sebagai langkah yang tepat. Semua itu dilakukan agar ayahnya tahu kalau ia tidak main-main dengan ucapannya. Ia sudah katakan kalau ia tidak mau punya ibu tiri. Ia tidak mau ayah menikah lagi. Tapi ternyata ayah tetap bersikeras ingin melangsungkan pernikahan dengan Tante Vina malam ini. Sungguh membuatnya kesal.

Dengan menarik-narik napas, Ade terus mengarahkan pandangan ke atas panggung.

Adegan demi adegan dalam Tari Barong itu terus mengalir, dan kini sudah menginjak babak terakhir. Ade dan gadis itu yang belakangan diketahui bernama Saras, kian larut dalam perbincangan yang akrab. Ade mengatakan kalau dirinya sendirian saja datang ke kota itu dan saat ini ia menginap di sebuah hotel. Rumah Saras ternyata tak jauh dari hotel yang diinapi Ade.

“Kalau ada waktu, main saja ke rumahku,” kata Saras usai pertunjukan.

“Boleh.”

Saras dan Ade berpisah. Tapi malam itu keduanya membawa kenangan manis.

 

***

 

Ade menguap panjang. Matanya sudah terbuka. Disingkirkannya boneka panda kecil yang sejak tadi malam didekapnya. Kepala Ade refleks menoleh ke kanan seperti yang dilakukannya setiap pagi bila ia bangun tidur. Tapi buru-buru disadarinya kalau saat ini ia tak berada di rumahnya sendiri. Potret ibu tak dijumpainya.

Ade jadi menyesal. Kenapa ia tidak membawa potret ibu sekalian? Rasanya ada yang kurang bila sehari saja ia tidak memandang wajah ibu. Terutama senyumnya yang lembut. Senyum itulah yang selalu membuat Ade merasa bergairah menjalani hari-harinya. Ibu serasa mendampinginya dalam setiap gerak langkahnya.

Tak terasa airmata Ade menitik. Apalagi ketika teringat ayah. Masih terbayang dalam ingatannya ketika beberapa waktu lalu Ade bertemu dengan ayahnya di sebuah kafe bersama seorang wanita. Wanita itu duduk berdampingan dengan ayah. Mereka kelihatan mesra. Ade sangat kaget dan buru-buru keluar dari kafe itu. Ia benci melihat ayahnya akrab dengan wanita yang tak dikenalnya. Ketika Ade mengatakan hal itu pada ayah, ayah malah berterus terang kalau wanita itu adalah calon istrinya.

“Ayah akan menikah lagi, De,” kata ayah waktu itu.

Ade tercengang. “Kalau ayah menikah lagi, berarti ayah sudah tidak mencintai ibu lagi. Ayah sudah tidak menyayangi ibu lagi seperti dulu,” ucap Ade bernada marah.

“Ade, ayah bukan bermaksud melupakan ibumu. Ayah masih mencintai dan menyayanginya. Tapi sekarang keadaannya sudah lain. Ayah butuh pendamping. Ayah butuh orang yang mau mengerti dan memperhatikan segala keperluan ayah.”

“Apa ayah tidak melihat? Di rumah ini ada saya, ada Mbok Supi, ada Pak Imung. Kami semua bisa menyiapkan semua keperluan ayah setiap hari. Apa itu belum cukup?”

Ayah hanya diam. Wajahnya menyiratkan perasaan bingung. Sulit rasanya mau menjelaskan pada Ade.

“Saya sama sekali tidak kenal dengan wanita itu. Tiba-tiba saja ia akan hidup dengan kita. Lama-lama ia akan mengatur hidup saya, mengatur semua yang ada di rumah ini. Kasih sayang ayah akan beralih pada dia dan anak-anaknya,” kata Ade lagi.

“Tidak, Ade. Ayah tidak akan seperti itu. Kita akan tetap saling menyayangi.”

“Bohong!”

“Dia wanita yang baik. Ayah akan membawanya ke rumah agar kamu bisa mengenalnya. Kamu tentu akan menyukainya.”

“Tidak! Saya tidak mau ayah menikah lagi. Saya tidak mau punya ibu tiri. Dan sampai kapan pun, ibu saya cuma satu!” Ade terus berlari ke kamar dan menangis.

Sejak pertengkaran itu Ade menjauhi ayahnya. Bila wanita calon istri ayahnya itu datang, Ade tak mau menjumpainya. Puncaknya kemarin pagi ia nekad meninggalkan rumah tanpa pamit. Ade memilih hari itu karena malamnya ayah akan melangsungkan pernikahan dengan Tante Vina.

 

***

 

Udara yang kian panas memaksa Ade bangun. Dilihatnya jam tangan yang tergeletak di atas meja. Tak disangkanya kalau ia akan bangun sesiang ini.

Ketika Ade membuka pintu kamar, di samping pintu telah terhidang seteko teh. Ade segera menuang secangkir. Terasa hangat. Segera diseruputnya teh itu. Manis sekali. Tapi rasanya agak aneh. Mungkin teh yang ada di Bali ini mempunyai cita rasa yang berbeda dibanding teh-teh yang biasa ia minum di Jakarta.

Ade bergegas mandi. Pagi ini ia akan berkunjung ke rumah Saras.

Rumah Saras memang tak terlalu sulit untuk dicari. Dengan menaiki taksi, Ade sudah berhasil menemukan rumah Saras dalam waktu lima menit.

“Kamu tampak segar, Ade,” sapa Saras ketika Ade sampai di rumahnya.

Ade hanya tersenyum. Ia melihat-lihat sekeliling. Rumah Saras tampak bersih dan asri.

“Rumahmu nyaman sekali, Ras. Aku jadi ingin berlama-lama di sini.”

“Syukurlah kalau kamu suka.”

Muncullah ibu Saras menyambut kedatangan Ade. Mereka berkenalan. Saras kemudian membawa Ade menuju ruang tamu.

Ade melihat sebuah almari kaca yang terletak di pojok ruangan. Di sana ada 3 buah piala dan beberapa piagam penghargaan. Ia pun tertarik dan menanyakannya pada Saras.

“Itu piala kejuaraanku saat mengikuti lomba renang,” jawab Saras.

“Hebat sekali kamu.”

“Tidak juga. Yang hebat itu ibuku. Dialah yang menumbuhkan bakatku dan melatihku renang.”

“Ibumu jago renang ya?”

“Begitulah. Sewaktu muda ibuku jago renang. Kini kepandaiannya itu ditularkannya padaku.”

“Wah, beruntung sekali kau punya ibu seperti dia.”

“Ibuku memang baik, De. Apa yang bisa dilakukannya selalu diajarkannya pada anak-anak.”

Ade turut kagum. Sejenak ia teringat ibunya Saras. Ternyata wanita itu seorang yang ramah dan baik hati.

“Kau masih ingin melihat kebaikan ibuku? Yuk, kita ke belakang!”

Saras menarik lengan Ade. Dibawanya Ade ke belakang rumah. Di sana ada sebidang kolam renang yang cukup luas. Dari jarak yang agak jauh, Ade melihat ibu Saras sedang berenang bersama seorang anak kecil berumur kira-kira 10 tahun.

“Siapa yang berenang bersama ibumu itu, Ras?”

“Itu Oka, adikku yang paling kecil.”

“Dia juga dilatih renang?”

“Iya, tapi bukan untuk persiapan lomba. Ia dilatih renang agar otot-otot kakinya lebih kuat.”

“Kalau boleh kutahu, kenapa dengan kakinya?”

“Cedera. Dulu waktu umur tujuh tahun dia terjatuh dari pohon. Kaki kirinya lumpuh, tidak bisa digerakkan. Selama dua tahun ia berjalan menggunakan tongkat kaki. Tapi ibu kemudian merawatnya, mengurut kakinya dan melatih Oka berjalan. Di bawah pengawasan dokter, setahun kemudian ibu bisa menyembuhkan kelumpuhan kaki Oka. Kini Oka tidak lagi menggunakan tongkat bila berjalan. Tapi ia masih harus terus dilatih agar otot-otot kakinya lebih kuat.”

Ade takjub mendengar cerita itu. Timbul lagi rasa kagumnya terhadap ibunya Saras.

“Ibuku memang cerdas, De. Terus terang aku bahagia sekali punya ibu seperti dia. Tidak seperti perasaanku saat awal-awalnya ia menikah dengan ayahku,” kata Saras.

“Memang kenapa?”

“Ah, sudahlah. Kita kok jadi melantur ke mana-mana. Tidak pantas aku menceritakan semua ini padamu.”

Ade jadi menahan keingintahuannya.

“De, kita baru sehari kenal. Rasanya tidak pantas kalau aku terlalu terbuka padamu. Oh ya, kalau boleh kutahu, untuk apa kamu datang ke Bali? Sendirian lagi?”

Ade tersenyum. “Aku hanya ingin berwisata. Ingin bersenang-senang dan melupakan kesedihan. Lagipula…”

“Kenapa?”

“Ah, tidak,” Ade tidak melanjutkan kata-katanya.

“Hayo, kenapa?”

Ade menggeleng-geleng dan tersenyum. Seperti yang dikatakan Saras tadi, mereka belum lama kenal. Terlebih lagi Saras tidak ada hubungannya dengan cerita ini. Ade harus menahan keinginannya untuk sesuka hati mengungkapkan masalahnya pada orang lain.

“O ya, aku ingin sekali diajari renang, Ras,” kata Ade kemudian.

“Ingin?”

Ade mengangguk.

“Boleh. Asal kamu mau menyempatkan diri datang ke sini.”

“Jangan khawatir. Aku akan datang ke rumahmu tiap sore.”

“Tapi harus bawa oleh-oleh ya.”

“Huu…” Ade mencubit pinggang Saras. Saras hanya tertawa.

 

***

 

Ini hari kelima Ade berada di Bali. Banyak yang didapatkannya selama berada di sini. Keindahan tempat-tempat wisata, kegembiraan mendapatkan teman baru dan juga pelajaran renang dari Saras.

Bila berada di rumah Saras, Ade merasa nyaman. Sepertinya ada sesuatu yang mengisi rongga hatinya. Tatkala bergaul dan akrab dengan keluarga Saras, Ade merasa seperti di dalam keluarganya sendiri. Keluarga itu begitu damai, rukun dan harmonis. Ibu Saras yang masih muda dan cantik itu ternyata mempunyai hati yang bagai emas. Dari perhatian dan kasih sayangnya, ia telah mampu menciptakan sebuah keluarga yang diliputi kebahagiaan.

Tak dapat dimungkiri kalau di hati Ade terselip rasa iri. Ingin ia punya ibu seperti ibunya Saras. Selama ini jiwanya terasa kosong dan hampa tanpa belai kasih seorang ibu. Mungkinkah Ade dapat menahan kesepian itu selamanya?

“Kamu kulihat kurang bersemangat latihan, De,” tegur Saras suatu sore ketika mereka selesai latihan renang.

Ade berdiam di sudut kolam. Wajahnya tampak murung.

“Ada apa?” Saras mendekat ke sisi Ade.

Ade belum mau menjawab.

Saras memandangi Ade dengan perasaan iba. Terlebih saat wajah Ade kian bertambah murung.

“De, sebetulnya aku ingin bertanya banyak padamu. Aku merasa heran. Kamu berlibur ke sini sendirian, tidak ada yang menemani. Kukira kalau untuk berlibur, kamu tentu lebih suka mengajak teman atau keluargamu. Tapi ini tidak. Apa kamu sengaja lari dari rumah?”

Ade sedikit kaget mendengar pertanyaan itu.

“Memang, Ras. Aku sedang ada masalah dengan ayah,” ujar Ade. “Aku kesal pada ayah yang mau menikah lagi.”

“Jadi ayahmu ingin menikah lagi?” Saras memandang Ade lekat-lekat. “Apa ibumu sudah tiada?”

“Ya. Dua tahun yang lalu.”

“Oh, maaf jika aku lancang bertanya,” Saras turut prihatin. “De, kalau ayahmu mau menikah lagi, seharusnya kamu kan senang punya ibu lagi?”

“Aku tidak bisa semudah itu, Ras. Aku belum kenal dengan wanita itu dan tiba-tiba saja aku harus memanggil dia ibu.”

“Apa ayahmu belum memperkenalkannya padamu?”

“Aku selalu menghindar. Sebab kulihat dia bukan wanita yang baik.”

Saras terdiam sesaat.

“Barangkali kau salah duga,” tutur Saras kemudian.

“Salah duga?”

“Iya. Ayahmu ingin memperkenalkan wanita itu padamu, tapi kau selalu menghindar. Bagaimana kau bisa suka? Kalau kau mau membuka diri, tentu kau akan lebih tahu siapa dia.”

Kata-kata Saras membuat Ade terdiam. Ia mengangkat tubuhnya dari dalam kolam karena semakin tidak tahan dengan dinginnya air. Saras pun mengikutinya dan duduk di sisi Ade.

“Maaf bila aku terlalu ikut campur dalam urusanmu, De. Tapi aku bisa bicara seperti ini karena aku pernah mengalaminya sendiri.”

Ade memandangi Saras, berharap Saras mau meneruskan kata-katanya.

“Ibuku yang sekarang ini sebetulnya ibu tiri,” ujar Saras lagi.

“Ibu tiri?”

“Iya. Beberapa tahun lalu ketika aku mendengar ayahku mau menikah lagi, perasaanku sama seperti perasaanmu. Aku kesal dan sakit hati. Aku merasa ayah sudah tidak mencintai kami lagi. Tapi lama-lama aku sadar bahwa ayah masih membutuhkan teman untuk menjalani hidupnya. Sebagai seorang laki-laki, ayah masih butuh mencintai dan dicintai wanita. Itulah makanya aku mengizinkan ayah untuk menikah lagi.”

“Lalu bagaimana setelah itu?”

“Pertama menjalani hidup bersama seorang ibu tiri, pikiranku hanya terbayang pada hal-hal yang buruk. Tapi pikiran seperti itu lama-lama hilang. Kekejaman seorang ibu tiri tidak pernah aku rasakan. Bahkan aku merasa ibuku adalah wanita yang sangat baik. Kau pun sudah melihat sendiri bagaimana dia merawat Oka, bagaimana mengajariku renang dan lain-lain.”

Ade betul-betul takjub mendengar cerita Saras. Bermacam-macam perasaan timbul di hatinya.

“Ade, tidak selamanya ayahmu mampu bertahan sendirian. Kau pun tentu masih membutuhkan figur seorang ibu. Betul kan?”

Dalam hati Ade membenarkan ucapan Saras.

“Tapi sekarang masalahnya adalah pada dirimu sendiri. Maukah kau membuang egomu?”

“Maksudmu?”

“Kau masih ingat dengan kisah perkenalan kita kan? Kita sebelumnya tidak pernah saling kenal. Tapi karena dulu kau merasa membutuhkan teman, kita jadi berkenalan. Dan selanjutnya kita malah jadi akrab. Itu karena kita sama-sama punya itikad baik, sama-sama membuang ego kita masing-masing. Pada calon ibumu yang baru pun, seharusnya kau bisa bersikap seperti itu.”

Ade tak menyahut.

“Aku berharap kau punya keputusan seperti aku dulu, De. Pelarianmu ke sini tidak ada gunanya. Lebih baik kau menerima kenyataan yang ada. Jika akhirnya kenyataan itu membawa petaka, terserah padamu. Kau bisa berbuat apa saja untuk melampiaskan kekecewaanmu.”

Ade hanya diam. Saras lalu mengajaknya mandi dan berganti baju. Waktu pun telah beranjak petang. Ade berpamitan pada Saras untuk kembali ke hotel tempatnya menginap.

 

***

 

Malamnya, Ade berkutat sendirian di dalam kamarnya dengan pikiran tak menentu. Liburan sudah mau habis dan dua hari lagi ia harus kembali masuk sekolah. Itu artinya ia harus pulang ke Jakarta. Tapi lagi-lagi ia terbentur pada kenyataan yang sulit diterimanya. Terbayang Tante Vina yang sudah tinggal di rumahnya bersama ayahnya. Sungguh ia tidak suka.

Tapi Ade kemudian teringat cerita Saras tadi sore. Nasihat-nasihat Saras sampai sekarang masih terngiang di telinganya dan membolak-balikkan perasaannya. Apakah seharusnya ia menerima keputusan ayah?

Ade berjingkat mengambil telepon genggam yang disorokkannya di balik bantal. Sudah ada lima hari sejak keberangkatannya ke Bali, telepon itu tak diaktifkan. Kini tangannya mencoba memencet salah satu tombol telepon itu untuk mengaktifkannya kembali.

Dua menit kemudian Ade dikejutkan dengan datangnya panggilan dari ayah. Beberapa saat Ade tak mau menerimanya. Tapi ketika dering panggilan itu terus-menerus datang, akhirnya hati Ade luluh. Ia angkat telepon itu dan menekan tombol di papan tuts.

“Ade, kamu di mana sayang? Pulanglah, Nak. Ayah sudah mencarimu ke mana-mana,” suara ayah di seberang sana.

“Kenapa Ayah mesti mencari Ade? Bukankah sekarang di rumah itu sudah ada wanita yang selalu mendampingi Ayah setiap waktu? Ade sudah tidak dibutuhkan lagi, Yah.”

“Tidak, Ade. Jangan berkata seperti itu. Kamu tetap anak Ayah. Bagaimanapun, Ayah selalu merindukanmu.”

Ade tak menyahut.

“Dengar, Ade. Kamu harus pulang sekarang. Jangan buat Ayah bingung dan resah. Ayah tidak bisa hidup tanpa anak Ayah.”

“Lalu wanita itu?”

“Ayah sudah membatalkan pernikahan. Ayah menundanya sampai kamu benar-benar mau menerima Tante Vina.”

Pernyataan itu sungguh mengejutkan. Tak disangkanya jika ayahnya membatalkan pernikahan.

“Ade, pulanglah. Ayah sudah rindu,” di seberang sana terdengar ayah batuk-batuk.

“Ayah… Ayah sakit?”

“Sudah dua hari Ayah terkena demam.”

Ayah langsung menutup telepon.

Tangan Ade tiba-tiba lemas. Hatinya sedih. Ia merasa bersalah telah meninggalkan orangtua dalam kebingungan. Apalagi sekarang ayahnya jatuh sakit.

Dalam sesaat Ade menyadari akan besarnya kasih sayang ayah hingga rela mengesampingkan kepentingan pribadinya demi anaknya sendiri. Buktinya sekarang ayah telah membatalkan pernikahan. Tapi karena itulah Ade jadi merasa kasihan pada ayahnya. Ia telah menorehkan luka di hati ayahnya dengan keegoan yang disandangnya. Sekarang ia harus pulang dan meminta maaf.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)