Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,927
Pelajaran Menulis Cita-Cita
Slice of Life

Pelajaran Bahasa sudah dimulai.

“Kalian memiliki waktu 60 menit untuk menuliskan cita-cita di masa depan,” ucap Ibu Guru Siti.

Anak-anak kelas enam pun segera membuka buku tulisnya, mereka kemudian mengambil pensil dan mulai menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Siti memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk menuliskan apa saja yang diinginkan, bagaimana cara mencapai, dan apa yang akan dilakukan jika cita-cita itu terwujud. Semua dibiarkan mengalir begitu saja pada kertas-kertas putih di hadapan mereka. Ibu Guru Siti sedang mengajarkan murid-muridnya mengarang, menuangkan pikiran-pikiran mereka sebagai harapan agar murid-muridnya termotivasi untuk menjalani masa depan yang penuh rasa optimis.

Lima belas menit berlalu. Tapi Laras, belum menulis satu kata pun di kertasnya. Ia melihat ke luar jendela kelas. Pedagang-pedagang jajanan berjajar dengan wajah penuh harap—bel istirahat berbunyi kencang. Dengan demikian, mereka akan segera meraup uang dari dagangan yang dijajakan; cilok, mie keriting, kue telor dan sejenis makanan ringan lainnya yang banyak digemari oleh anak-anak.

Laras semakin merasa kesulitan menulis setelah melihat suasana di luar jendela. Ia tidak bisa bercerita tentang cita-citanya, apa yang diinginkan di masa depan seperti teman-temannya. Ia harus mengkhayal, meninggalkan kenyataan yang selalu berada di dalam kepalanya. Kenyataan yang tiba-tiba semakin nyata hadir ketika melihat para pedagang di luar sekolah, wajah-wajah mereka, membayang seperti Sarman, ayahnya.

Sekitar dua tahun lalu pada musim hujan. Sarman seperti biasa meminum kopi yang tersedia di cangkir kaleng hijau bermotif bunga. Mintarsih, ibunya selalu meletakkan di atas meja kayu sebelum ia pergi bekerja sebagai kuli pemecah batu di tebing tepi gunung bersama para pekerja lainnya. Sarman pun melahap goreng pisang di samping kopi, perjalanan menuju tebing cukup jauh, dan di sana hampir tidak ada pedagang. Sarman harus mengisi perut agar tenaganya tetap terjaga hingga siang hari. Sampai tiba waktu makan, ia akan membuka bekal yang disiapkan oleh istrinya.

“Bapak jalan dulu, Bu,” ucap Sarman.

“Iya Pak, hati-hati. Ini bekalnya!” Mintarsih menyodorkan sebungkus plastik hitam.

Sarman beranjak dari kursinya setelah meneguk habis kopi. Disisakan goreng pisang di atas piring, lalu dia melangkah menghampiri kamar Laras, membuka gorden, memastikan anaknya sudah rapi untuk berangkat ke sekolah. Setelah dirasa tampak baik-baik saja di rumah, Sarman berjalan dengan tergesa, menuju persimpangan jalan di ujung kampungnya.

Perjalanan menuju tempat penambang batu tidaklah mudah. Jalan berkelok, tanjakan dan turunan di tepi tebing, curam. Sarman dan pekerja lainnya duduk di atas truk yang tampak reyot. Wajah-wajah mereka cokelat kehitam-hitaman, terbakar matahari setelah debu-debu berhamburan menempel. Namun, mereka tampak tenang, matanya selalu memancarkan harapan dan kebahagiaan, tak pernah merasa lelah atau menyesal menjalani hidup sebagai pekerja keras. Hampir semua dari mereka telah menjadi ayah yang harus memberikan jalan untuk anak-anaknya mengejar cita-cita.

Sementara langit masih redup, suasana pagi yang belum juga terlihat cerah dan terang-benderang. Sudah dua malam hujan sangat lebat, disusul dengan sambaran petir dan suara guntur yang menggelegar. Sungai cepat meluap, sawah kebanjiran, kebun becek, tanah basah menempel di kaki-kaki petani, di sepatu anak-anak yang pergi ke sekolah. Sarman tak pernah merasa khawatir, padahal di musim hujan seperti ini tebing-tebing bisa saja longsor. Empat jam kemudian, Sarman tertimbun tanah dan bebatuan ketika ia bekerja memecah batu, di bawah tebing bersama penambang lainnya.

Ibu Guru Siti melintas, lamunan Laras buyar, ia pura-pura menulis, hanya pura-pura, sebab tak satu pun kata yang tertuang ke kertas di bukunya. Kepalanya semakin bingung, cita-cita apa yang hendak ia capai. Apakah masih ada harapan untuk meraih masa depan yang cerah, seperti anak-anak lain yang selalu bercerita tentang keluarganya, mainan yang bagus-bagus, buku-buku baru dan uang jajan yang selalu ada. Sementara Laras harus puas dengan satu buku yang digunakan untuk berbagai macam mata pelajaran.

“Waktu masih tersisa 30 menit lagi,” suara Ibu Guru Siti membuat jantung Laras berdetak tak menentu.

Perasaan itu sama ketika Laras melihat Mintarsih meraung-raung di depan jasad Sarman yang sudah tak berupa, berlumbur dan bau. Buldoser didatangkan dari kota untuk mengeruk tanah longsoran, menggali, mencari para pekerja yang berjumlah puluhan, tertimbun berhari-hari. Mintarsih menyakini, bahwa itu adalah jasad suaminya, entah bagaimana ia dapat mengetahui, tapi ia selalu berdalih bahwa ciri-cirinya sangat persis seperti Sarman. Semua orang pun ikut menyakini, lalu segera dimandikan. Sampai di liang lahat, Mintarsih masih histeris.

Hari-hari semakin terasa panjang dan keras dirasakan Mintarsih, setelah kehilangan Sarman, tulang punggung keluarganya. Mintarsih harus berjuang sendiri menghidupi Laras, Sarti dan Joko, anak bungusnya. Ia bekerja apa saja, menjadi buruh cuci baju, mengepel rumah tetangga, memotong rumput di kebun, mencangkul tanah di sawah sampai terdengar kabar dari teman masa kecilnya yang pergi merantau ke tanah gurun di Timur Tengah, bahwa ia butuh pendamping bekerja di sana.

Meskipun berat, Mintarsih tak memiliki pilihan. Inilah jalan satu-satunya untuk menghidupi anak-anaknya agar tumbuh menjadi orang sukses, berpendidikan dan selalu tercukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Ia berharap, negeri orang dapat menjatuhkan emas sebagai bekal kelangsungan hidup keluarga. Ketiga anaknya pun dititipkan pada kedua orang tuanya yang sudah amat berumur untuk mengurusi anak-anak kecil, tetapi mereka pun harus menerima, sebab di usianya yang sudah sangat renta, kedua orang tua Mintarsih pun tak memiliki daya untuk mencukupi kebutuhan cucu-cucu yang dilahirkan oleh Mintarsih, anak semata wayang mereka.

Orang-orang seperti Mintarsih bekerja cepat karena memang mereka sudah terbiasa. Hidup serba kekurangan membuat Mintarsih tekun, negeri yang panas dan bergurun sama sekali tak dihiraukan, ia terus membangun harapan untuk pulang membawa kemakmuran. Tahun pertama berjalan mulus, kiriman selalu sampai dan anak-anak Mintarsih tercukupi, namun tahun-tahun berikutnya tak terdengar kabar dari Mintarsih, bahkan uang kiriman pun tak pernah diterima lagi. Hingga suatu hari, Mintarsih kembali tak bernyawa, luka lebam membiru terlihat jelas di jasadnya. Katanya, Mintarsih jatuh dari tangga sewaktu menjemur pakaian.

Tak ada yang bisa dilakukan oleh Laras dan adik-adiknya, begitu pun oleh kakek dan neneknya selain menerima kenyataan bahwa Mintarsih sudah terkubur di samping makam Sarman.

Empat puluh menit lebih waktu berlalu, Ibu Guru Siti mengingatkan kembali murid-muridnya untuk segera menyelesaikan cerita. Sebab waktu akan segera usai, dan pelajaran lain menunggu. Anak-anak mulai riuh, mereka panik dan segera ingin menyelesaikan tulisan masing-masing. Beberapa dari mereka bangkit dari tempat duduk, kemudian berjalan menemui Ibu Guru Siti yang duduk tenang di bangkunya, mereka mengumpulkan hasil tulisan tangan yang tampak berantakan. Setelah itu, lari ke bangkunya dengan wajah gembira, seolah mereka telah menyelesaikan suatu misi yang akan memberikan harapan baru di masa yang akan datang.

Laras memandang ke kertas kosong di bukunya. Ia masih tercenung, seolah kenyataan hidup nampak jelas berseliweran di kertas itu. Memang menyakitkan. Terlalu berat untuk dipahami oleh Laras yang masih belia. Ia teringat Sarti yang masih tidak bisa memakai sepatu ketika pergi ke sekolah, sehingga ia harus membantu memakaikan dan mengikat tali sepatunya. Ia teringat Joko yang selalu gembira menyambutnya pulang sekolah, lalu menanyakan permen yang biasa Laras bawa sebagai oleh-oleh.

Ia teringat ucapan Mintarsih, ibunya sebelum berangkat merantau.

“Laras, anak sulung itu harus mandiri, harus bisa menjaga adik-adiknya. Belajarlah menjadi orang dewasa meskipun tubuhmu masih kecil.”

Ia selalu teringat kakeknya yang sudah sangat tua, memanggul cangkul. Jalan terbungkuk menyusuri pematang sawah untuk bekerja, merawat padi-padi orang lain dan pulang dengan upah ribuan. Sesekali kakeknya terlihat memasukan uang itu ke dalam kaleng di dalam lemari, katanya untuk biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi. Ia menyaksikan neneknya, menggendong Joko menuju pasar, mengemper di jalanan menawarkan ubi, singkong, pisang, atau apa saja yang bisa dijual dari hasil panen yang diambil dari tetangganya sebagai modal awal.

Semua tampak jelas. Perlahan, bayangan-bayangan itu menumbuhkan perasaan baru pada Laras, bukan sedih, malu, takut atau hampa. Melainkan perasaan lain yang membuatnya merasa hidup. Pada kenyataannya, ia sangat dibutuhkan adik-adiknya, oleh keluarganya. Ia tak harus menyerah pada kenyataan pahit, seperti ibu dan bapaknya, selalu bekerja keras. Ia melihat harapan pada orang-orang terdekatnya, harapan hidup sehingga mereka berani berjuang dengan sikap optimis. Berusaha mengubah nasib.

Kemudian, Laras membenarkan letak ujung pensil di jari-jari kecilnya dan mulai menulis, di awali dengan memberi judul di kertas itu, di buku tulis satu-satunya yang selalu dibawa untuk catatan semua mata pelajaran.

Bahasa Indonesia.

Pelajaran Menulis Cita-Cita.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)