Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,814
Mereka yang Membawa Pertanda
Horor

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana yang sepi, redupnya cahaya, dan dinginnya angin yang menusuk raga membuat kengerian merangsak ke atas kepala. Padahal, setiap hari aku melalui jalanan ini—melewati rumah-rumah seungguk yang berjejer rapi.

Aku putar gas hingga mentok. Namun, motorku justru mendadak mati dan tidak bisa dinyalakan kembali. Mau tidak mau, aku pun mendorongnya dengan pandangan tetap lurus ke depan.

Hah! Sial! Aku harus menguji nyali dengan kondisi tubuh yang lelah.

Katanya, jika dalam diri terbersit rasa takut, maka ia bisa menjelma menjadi nyata. Oh, tidak. Aku lekas tenangkan pikiran supaya tidak membuat skenario mencekam.

Sssssttthhh! Di sepertiga perjalanan, aku mendeteksi bunyi pohon-pohon bambu bergesekan. Mataku spontan bergerak untuk memeriksa. Penasaran menyala, ketakutan membara.

Ya, alih-alih bergegas karena sudah dekat dengan tujuan, pandanganku justru menerawang lebih jauh ke sisi yang lain. Bodoh!

Terpaut sekitar 100 meter dari posisiku, tampak ada tiga orang berdiri di tengah area pemakaman. Ini janggal dan tidak wajar. Aku lantas amati pergerakan mereka sembari tetap waspada.

Selang beberapa menit kemudian, mereka terlihat mengangkat sesuatu secara bersama-sama. Sayup-sayup alunan kalimat tauhid terhantar seirama dengan langkah mereka.

Benar. Mereka menggotong keranda jenazah.

Akan tetapi, mungkinkah ada prosesi penguburan di tengah malam? Mengapa hanya tiga orang? Dan mengapa mereka berjalan begitu cepat hingga berada sejalan lurus denganku?

Hah?! Mustahil. Siapa mereka sebenarnya? Wajah mereka gelap. Hanya postur tinggi dengan pakaian serba hitam yang kasat. Tatkala jarak mereka denganku mulai merapat, aroma tanah basah (galian) menyerbak begitu kuat.

Akhhhh!!! Mengapa aku seolah-olah menunggu mereka, bukannya buru-buru kabur? Makiku kepadaku.

Kukerahkan seluruh tenaga sembari mengumpat pada motorku yang tidak bersahabat. Aku juga tolol karena berdiam diri, menghabiskan waktu memantau mereka.

Setiba di depan pintu kontrakan, aku tidak langsung masuk. Kuatur napas yang tersengal-sengal terlebih dahulu.

Aman. Mereka tidak mengikutiku lagi.

Apakah mereka jin? Ataukah mereka merupakan manifestasi ketakutanku? Entahlah.

Huh! Bedebah! Energiku terkuras tanpa sisa.

Setelah hampir sepuluh menit memperbaiki kinerja paru-paru, aku mengecap ada suara pintu terbuka di seberangku.  Aku pun menoleh ke arah sumber suara tersebut.

Seorang perempuan separuh baya keluar dengan gestur gelisah. Dia memutar kepala ke kanan dan kiri seperti tengah mencari atau memeriksa sesuatu.

"Malam, Bu!" Aku coba menyapanya usai dia menyorotku cukup lama. Sayangnya, dia tidak meresponku dan malah melambungkan senyuman kecut sebelum akhirnya berbalik masuk ke rumahnya.

Biarlah. Aku juga masuk dan mengunci pintu. Pokoknya, aku harus tidur dengan nyenyak.

Namun, usai menggelar kasur dan siap melenturkan sendi, tiba-tiba aku mendengar suara tahlilan. Padahal, rasanya, tadi sunyi dan sepi. Tidak ada tanda-tanda tetangga yang sedang menggelar doa atau syukuran.

Aku singkap tirai jendela dan kutilik semua sisi. Hanya keheningan yang tertangkap tanpa setitik pun ciri dari suara yang kudengar.

Anehnya, ketika aku menutup tirai lagi, suara tahlilan itu menggema lebih kencang. Apakah kupingku turut kelelahan sehingga berhalusinasi?

***

Tidurku diliputi gundah. Telinga terus berjaga. Nalar bertikai dengan logika sampai fajar menyapa.

Usai menunaikan sembahyang Subuh, aku sandarkan lagi kepala di atas bantal. Tak beberapa lama, suara percakapan samar-samar mengusik konsentrasiku untuk melelapkan diri.

Aku sempat sangsi untuk bangkit. Khawatir bising yang mengganggu merupakan tipuan. Akhirnya, aku intip melalui kaca jendela.

Ibu-ibu berkumpul nan gaduh. Pembicaraan mereka tampak begitu serius, bukan sedang bergosip biasa. Aku pun menguping lebih dalam kata-kata yang keluar dari mulut mereka.

“Semalam saya dengar ada suara tahlilan. Cuma pas saya lihat keluar, nggak ada apa-apa,” tutur seorang ibu yang sempat kusapa tadi malam.

“Kayaknya kita harus segera berkemas, Ibu-Ibu,” timpal ibu yang lain.

Ada nada gelisah dan khawatir yang mengalir dari kalimat mereka. Apa mungkin ada serangan makhluk halus di kampung ini?

Aku ingin terlibat dalam obrolan mereka, tetapi aku malu. Statusku warga baru—pindah sebulan yang lalu untuk mendapatkan hunian yang lebih terjangkau, tetapi tidak jauh ke kantorku. Aku juga jarang berbaur dengan mereka karena nyaris tidak memiliki masa lapang. Lagi pula, aku belum mengerti sepenuhnya mengenai topik yang tengah mereka bahas.

“Nah, ntuh tuh. Suami saye juge cerite kalo kemaren malem die liat ade nyang gotong keranda lewat jalan enih, masuk kampung kite. Sekarang noh die lagi ngedapruk di kasur, demam.” Seorang ibu lain membagikan cerita yang membuatku merinding. Dia membagikan pengalaman suaminya yang sama dengan yang kulihat semalam. Jadi, ada apa sebenarnya?

“Kemarin saya denger air situ naik lagi. Mudah-mudahan yang ibu-ibu ceritakan bukan pertanda buruk buat kampung kita. Saya takutnya kita tergulung air saat kita terlelap dan kita semua mungkin kagak selamat. Moga-moga aja beberapa hari ke depan nggak ada hujan dulu,” ungkap seorang ibu yang menenteng buku. Nadanya lembut, tetapi mengalirkan haru yang mendalam.

Sejujurnya, aku masih belum menangkap inti pembicaraan mereka. Aku pun coba keluar seraya berpura-pura merapikan sepatu. Aku berharap ada dari mereka yang menoleh kepadaku.

Sayangnya, aku seperti terlambat muncul. Ibu-ibu bubar dengan langkah tergesa-gesa.

***

Siang dan malam terus bertukar. Terasa cepat, tetapi meninggalkan serpihan kisah yang semakin melekat. Para pembawa keranda dan suara tahlilan menyisipkan misteri yang mengganggu nalarku.

Empat hari terakhir hujan deras terus mengguyur wilayah Jabodetabek. Banjir menghalangi ruas-ruas jalan utama. Selama itu pula aku tidak pulang ke kontrakan dan menginap di rumah teman. Lembur sampai malam dan kejadian tempo hari masih menceplak kuat di dalam benak.

Hanya saja, hatiku sedikit cemas, memikirkan air situ yang mungkin meluap. Ditambah obrolan ibu-ibu tentang pertanda terus mengiang di kepalaku. Memang, antara situ dan daerah kontrakanku membentang cukup jauh. Meskipun begitu, keduanya sejalur, dan daerah kontrakanku lebih rendah. Ah, tetapi, kukira tumpahan air situ tidak akan mencapai tempat tinggalku.

Sore ini aku memutuskan untuk pulang. Perjalanan diselimuti cuaca cerah dan genangan air sudah terserap ke tanah.

Namun, lajuku terhenti sewaktu melihat ada orang-orang berseragam dan warga biasa berkumpul di salah satu tanggul situ. Aku lantas merekatkan jarak karena terdorong rasa ingin tahu.

“Ini mah cuma retakan dikit aja. Nggak bakalan apa-apa. Air juga nggak akan naik lagi,” ucap salah seorang pria bertopi sembari mengetuk-ngetuk bebatuan penahan.

Aman. Aku pacu lagi kuda besiku. Tidak ada yang perlu kurisaukan. Mereka mungkin hanya sedang melakukan pemeriksaan rutin.

Memasuki jalan di antara tempat-tempat pembaringan terakhir, pandanganku tertuju pada titik di mana aku melihat para pembawa keranda. Cahaya terang dari langit memberikanku keberanian untuk melacak. Ya, lepas dari satu penasaran, penasaran lain malah datang.

Aku amati tidak ada tanda kuburan baru. Haruskah aku menelusuri lebih dalam untuk memastikan? Ah, tidak usah!

Kuhela napas dalam-dalam. Sejenak berpikir untuk pindah tempat tinggal, mungkin bulan depan.

Dug! Saat hendak memutar gas kembali, aku terperanjat sebab nyaris menabrak seseorang. Perpindahan penglihatan membiaskan ketelitianku. Untung saja, tangan kiriku bekerja dengan baik untuk menarik rem.

“Maaf, saya nggak lihat-lihat tadi,” ucapku menyatukan tangan sambil menundukkan kepala.

Namun, ada yang mengherankan. Ketika aku coba melihat rupa orang yang nyaris kena hajar motorku, dia menghilang. Pun, tidak ada yang berlalu lalang.

Ini tidak mungkin. Aku sangat yakin hampir mencelakai seseorang. Sungguh, aku sempat melirik ke bagian tubuhnya; jari-jarinya yang keriput dan rambut putihnya yang menjuntai menutupi kepala hingga dada.

Jantungku laksana dihantam kepalan tangan berkali-kali. Besok-besok aku tidak akan berhenti untuk alasan apa pun semasa perjalanan pulang.

Sesampainya di kontrakan, aku langsung membersihkan badan. Akan tetapi, aku mengendus bau yang menyengat dari kucuran air.

Kuangkat air di ember dengan kedua tangan dan lalu kutempelkan ke hidung. Uweeek!!! Bau bangkai menyegak ruang pernapasanku. Mungkinkah air sumur ini tercemar oleh tikus yang mati?

Aku putuskan membasuh muka di musala sekaligus menetramkan jiwa dengan segala kejadian yang tidak menyenangkan belakangan ini. Entah apa dosaku hingga harus bernasib nahas?!

Selepas damai menyegarkan raga, aku kembali ke kontrakan. Aku periksa lagi air di kamar mandi.

Netral dan hambar. Tidak terdapat aroma busuk yang tadi sangat menusuk. Mengapa ini bisa terjadi? Apakah otakku berkonfabulasi, menciptakan sesuatu yang tidak ada seolah ada? Tapi aku sangat yakin itu nyata dan indraku tidak salah mengira.

Ah, terserahlah! Aku letih bergelut dengan hal-hal yang mengacaukan pikiran seperti ini. Mending aku pejamkan mata supaya cepat berjumpa dengan esok.

Sayangnya, riuh membangunkanku tepat pada pukul satu dini hari. Suara-suara kepanikan dan tangisan saling bersahutan disertai derap langkah yang ramai nan gemuruh.

Kubuka pintu, menerawang sumber suara ke segala arah. Tidak terdapat apa pun, kecuali hawa dingin dan suasana senyap. Apakah semua yang berseliweran dalam pendengaranku merupakan kekacauan yang ada di alam bawah sadarku?

Aku termenung, bersandar di belakang pintu dan berdiskusi dengan akal sehat, ditemani angin yang bertiup kencang. Saking kuatnya, ia seperti melagukan suara air yang dibawa dari jauh.

Ah! Belakangan ini aku memang lelah sekali—bak bekerja rodi, tetapi aku merasa masih waras.

Cukup lama aku mengevaluasi jiwa hingga ketukan pintu bertubi-tubi memaksaku berhenti berkontemplasi. “Tanggul jebol. Yang masih di dalam, ayo keluar! Pergi! Lari secepatnya!” perintah seorang pria dengan lantang.

Otakku sedikit terjeda. Namun, melihat orang-orang berhamburan, aku pun turut dengan mereka.

Air perlahan mengalir membasahi kaki, seakan memburu. Jalan mulai kabur. Gerakan berat melambat. Banyak yang mengambang, tak terjamah tangan.

Jeritan pilu terus menggelegar. Takbir menggema bersama hentakan ketakutan. Penyesalan merasukiku karena tidak mendalami pertanda yang menghampiriku.

Rata tak tertata. Hancur tersungkur. Tenggelam dalam kelam. Kudengar namaku mengudara dalam lantunan tahlil. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)