Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,281
Mereka yang Masih di Dalam
Horor

Setiap tempat memiliki cerita tersendiri, memberikan pengalaman dan kesan yang beragam. Ada yang sekadar persinggahan, ada pula yang membekas dalam ingatan. Sebagian bahkan menorehkan rasa yang sulit didefinisikan, seperti hotel itu.

Tepat enam tahun lalu aku ditugaskan ke Pulau Sumatra untuk melakukan pengumpulan data kualitatif di salah satu kabupaten penyangga ibu kota provinsi. Aku berkeliling tanpa rekan selama dua pekan. Segalanya menyenangkan. Aku mampu melaksanakan tugas tanpa hambatan.

Akan tetapi, sehari sebelum terbang pulang, lembaga mendadak memberiku mandat untuk berkonsolidasi dengan dinas provinsi, termasuk tambahan wawancara untuk menggali informasi pembanding. Tentu, ada penambahan akomodasi juga. Aku diberi anggaran untuk menginap dua malam di hotel.

Aku andalkan aplikasi penyedia layanan perjalanan. Mencari hotel yang sekiranya masuk dalam anggaran, dekat dengan kantor dinas, dan tidak jauh ke bandara.

Pilihanku jatuh pada Hotel Amartya. Harganya lebih murah dibandingkan hotel lain yang sejenis. Selain itu, tertulis bahwa hotel tersebut baru beroperasi; bangunannya masih segar.

Setiba di penginapan yang kutentukan sendiri, ekspektasiku menunduk. Memang, tampilan aktualnya sesuai dengan foto-foto yang diunggah di aplikasi. Hanya saja, terasa sepi, melenceng dari bayanganku.

Pantas jika sang pengemudi travel, yang membawaku ke sini, sempat menatapku lebih dari 60 detik. Mungkin dia ingin berkata bahwa hotel yang akan kutempati kurang direkomendasikan.

Sudahlah! Ini mungkin karena bukan puncak liburan saja.

Memasuki lobi hingga ke dalam kamar di lantai 5, atmaku luruh dalam senyap. Aku tidak mampu berbaur dengan kemewahan yang dipamerkan. Entahlah!

Aku rebahkan badan di kasur. Ingin membeku dalam waktu, tetapi senja belum berlalu. Aku lekas bangkit lagi. Kubuka jendela untuk melihat pemandangan bumi dan langit. Gelisah tak bertuan pun lumayan mereda.

Beberapa saat menikmati keharmonisan alam, tertangkap kegaduhan di depan pintu kamar. Suara berbincang dan ketukan kaki saling bersahutan. Mereka seperti selesai mengikuti seminar atau pelatihan. Ya, terbias kalimat yang membahas prosedur dan aturan dalam bekerja.

Ternyata, ramai. Instingku mungkin agak berlebihan membaca suatu kondisi.

Aku lantas membuka laptop, kuesioner, dan buku catatan. Kuperiksa validitas data dan menyusun laporan. Derap sepatu yang menjejak di benak membuatku bersemangat, lepas dari risau. Aku pun hanyut dalam putaran jam, dan berhenti ketika perut berteriak.

Keluar dari kamar, aku amati sejenak pintu-pintu yang tertutup dengan angka berurutan. Aku tidak merasakan ada barisan penghuni yang menginap. Hanya ada sunyi beserta aroma karpet berdebu yang menyegak ke hidung.

Rasa penasaranku menggelora. Aku membungkuk dan mengusapkan jari pada pelapis lantai. Kulakukan berulang untuk lebih memastikan. Tidak ada partikel apa pun yang membekas di jariku. Karpet yang kupijak bersih dan tidak berbau sama sekali.

Ah! Aku anggap otakku sedang tidak selaras memberikan stimulus pada indra. Lapar harus segera diatasi agar tidak mengganggu kinerja organ.

Aku masuk ke dalam lift. Kupijit huruf L dan lalu mundur bersandar. Namun, pintu tak kunjung menutup. Kulakukan berulang, hasilnya tetap sama.

Mungkinkah sensor pada kotak besi pengangkut ini sedang malfungsi? Ataukah ada yang sedang mencoba menjahiliku?

Aku singkirkan berbagai dugaan yang coba merecokiku. Aku putuskan untuk menggunakan tangga darurat daripada terus berspekulasi dan berdebat dengan diri sendiri.

Sampai di luar hotel, kuhempaskan napas yang terengah-engah. Terangnya malam, berpadu lalu lalang orang-orang, seakan menyambutku terbebas dari dimensi lain.

Aku berkeliling, mencari menu yang sesuai sekaligus merelaksasi batin. Mungkin ilusi atau halusinasi atau dampak dari capek yang mendera. Aku duduk di warung tenda sambil bercengkerama dengan nalar.

Malam terus beranjak. Aku berhenti berkontemplasi. Raga yang lelah menuntun kaki ke peraduan. Untungnya, akses cepat menuju kamar, kali ini, tidak bermasalah.

Kudekap gelap dan ketenangan. Mata perlahan terbuai, menuju panggung alam bawah sadar.

Sialnya, lelap tiba-tiba tersekap oleh bising di depan kamar. Suara mengobrol terhantar kencang memenuhi telingaku. Ini sangat mengganggu kedamaian istirahat.

Aku singkap selimut, kemudian berjalan cepat ke sumber suara. Mental pun kusiapkan untuk menegur dengan sopan, atau melapor kepada resepsionis.

Anehnya, saat aku memegang gagang pintu, suasana seketika hampa. Suara mereka menguap begitu saja. Tidak ada gema atau ciri yang menandakan mereka pergi maupun memasuki kamar.

Aku urungkan niat untuk membuka pintu. Kuhela napas seraya mengumpulkan lagi kantuk yang berceceran.

Apakah yang tadi itu adegan yang terbawa dari mimpiku hingga terasa begitu nyata? Aku tak mau larut memikirkannya.

Kutarik selimut dan atur lagi posisi bantal, gemuruh langkah kaki malah berlarian membungkam keheningan. Jantungku dihantam dari dalam. Malam seperti dendam yang tidak ingin memaafkanku, dan bermain dengan akal sehatku.

Dengan menahan bara di dada, kubuka pintu tanpa aba-aba. Kesalku sudah berada di puncak emosi.

Mustahil! Senyap menggelar tanpa bekas keramaian. Hawa dingin menyergap, menggetarkan ketakutan.

Aku sumpal kupingku dengan earphone. Kurayu mata dan pikiran untuk tidak terus terjaga. Ini sangat menjengkelkan dan melelahkan. Bertarung dengan entitas tak berwujud.

 

***

 

Surya menyorot menembus kaca. Aku terbangun dengan kondisi yang tidak lebih baik, pegal semakin menjalar. Ingin menambahkan masa, tetapi jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 07:30.

Mandi dan berganti pakaian, lalu menuju restoran. Kuambil secangkir kopi untuk menyemarakkan pagiku yang suram.

Suasana restoran cukup lengang. Hanya ada beberapa tamu yang bisa dihitung jari. Awalnya, kukira akan penuh dan mengantri untuk melapik perut. Ini suatu kondisi yang meruncingkan banyak pertanyaan.

Aku simpan makanan di atas meja. Kuhampiri salah seorang pegawai hotel yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam. “Maaf, Mas. Di ruang rapat di atas sedang ada kegiatankah?” tanyaku yang tak pandai berbasa-basi.

“Minggu ini kebetulan tidak ada, Pak. Kalau bulan kemarin ada dari kementerian dan perusahaan,” jawabnya sembari melayangkan senyum.

Aku mendapatkan penjelasan atas kengerian yang aku rasakan. Namun, saat aku ingin menggali informasi lebih dalam, sang informan justru dipanggil oleh temannya.

Baik, dia sepertinya tidak boleh diganggu. Maka, kuputuskan melanjutkan aktivitas yang terjeda dan mempersiapkan diri berbincang-bincang dengan kepala dinas siang nanti.

Detik berdenting nyaring. Menit ke jam terasa cukup cepat. Pagi bertukar sore dengan sekelebat. Waktu berjalan cepat saat tugas dan tanggung jawab berhasil ditunaikan.

Aku balik ke hotel sekitar pukul delapan malam. Sisa hari kuhabiskan untuk memotret sudut-sudut memukau di sepanjang jalan yang kulalui. Juga, aku memanjakan lidah dengan mencicipi beberapa kuliner khas. Senangkan hati, lupakan tragedi.

Ini malam terakhir yang harus kulewati di kota yang sebenarnya sangat memikat. Aku sungguh berharap bisa menikmati kesyahduannya dari balik kaca hotel, semacam perayaan kecil atas keterpesonaan pada nuansa yang sangat bersahaja.

Andai ia muncul kembali, aku akan tetap berada di dalam kamar. Tekadku sudah bulat: takkan kubiarkan pengalaman di dalam hotel menyusup sebagai buah tangan.

Memasuki ruang tumpuan sementara, kakiku berayun canggung. Kucoba bersenandung untuk menghalau cemas.

Selang beberapa pijakan, terhantar jeritan perempuan minta tolong. Lengkingannya membuat dadaku berdebar kaget dan aliran oksigen ke paru-paru tercekat. Mataku pun seketika waspada sebab suara itu terasa mengelilingiku. Terlebih, indra yang lain meraba ada yang sedang mengawasi.

Aku tertekan dalam situasi yang lebih mencekam dari malam sebelumnya. Kekhawatiran menjelma di luar perkiraan. Mungkin, semestinya aku tidak usah merangkai antisipasi.

“Tolong!” laung suara yang sama.

Aku berlari. Terpatri dalam hati untuk tidak peduli. Tidak akan pula tergoda untuk menelisik arah datangnya suara.

Masalahnya, bagaimana jika dia merupakan orang yang betul-betul memohon uluran tangan? Bimbang. Naluri dan akal bertikai sesaat.

Baiklah. Aku susuri lorong untuk memastikan asal suara perempuan itu. Semakin jauh kumelangkah, semakin suaranya meredup. Kadung berjalan, kuteruskan penelusuran ke sisi sebelahnya, ruang rapat.

Itulah mengapa aku menepis curiga saat pertama kali mendengar suara ramai melintas di depan kamarku. Sedari awal aku sudah tahu bahwa ruangan tersebut hanya berbeda jalur dengan kamarku.

Keingintahuanku meninggi, intuisiku terusik. Aku coba mendekat ke pintu masuk ruangan itu. Kutempelkan jari-jari untuk membuat lubang mengintip.

Baru sejengkal celah yang terbuka, bau anyir menyapa, menusuk-nusuk penciuman. Pun, aku serasa ditarik untuk menengok lebih dalam.

Hitam pekat membayang dalam kekosongan. Tak ada siapa pun, tetapi tangisan mengguruh, meraung-raung. Suara perempuan dan laki-laki memekik, seperti mengeluarkan seluruh sisa napasnya.

Ragaku menggigil pelan, seolah derita mereka merambat ke dalam sukmaku. Kedua sudut mataku pun menggenang dibarengi dengan tubuh yang kuyup.

Namun, ada kekalutan yang menahanku. Aku terlalu takut untuk menyelami eksistensi mereka yang taksa, terjerat dalam ranah yang samar. Keberanianku tak lebih dari hanya menjadi pendengar bisu atas rintihan mereka.

Aku bergegas kembali ke kamar. Kusetel ayat-ayat suci dari ponsel dan laptop sekaligus. Aku butuh pengingat bahwa aku masih berada di dunia nyata.

Keesokan harinya, aku disambut demam. Energi terkuras habis. Meskipun begitu, tetap kupesan taksi untuk mengantar ke bandara. Kupaksakan sisa tenaga untuk membawaku meninggalkan Amartya secepat mungkin.

Sepanjang perjalanan, di dalam taksi, aku merenung. Aku tak menyangka harus menambahkan catatan di luar data yang kukumpulkan.

Adakah peristiwa semalam sekadar gangguan, realitas dunia lain, atau kecacatan pikiran belaka? Ah, mudah-mudah bukan frasa yang terakhir.

Kuhapus cahaya dari mata. Kehentakkan udara dari hidung kuat-kuat. Aku tidak ingin mereka mengiringiku sampai ke Jakarta.

“Bapak terlihat pucat. Tadi malam tidurnya terganggu, ya? Jangan bilang kamar Bapak di lantai 5,” ujar Pak Sopir, membuatku terkesiap.

“Memangnya, ada cerita apa di hotel itu, Pak?” Kepersiapkan memori untuk merekam penjelasannya secara saksama. Aku diam dan menahan untuk menginterupsi.

Pak Sopir pun mengisahkan satu decade yang lalu ada gempa besar melanda provinsi yang aku kunjungi ini. Banyak bangunan dan rumah ambruk, rata menyatu ke tanah. Hotel Amartya termasuk yang mengalami kerusakan terparah, bahkan ia juga menjadi lokasi (dalam satu titik) dengan korban jiwa terbanyak.

Seisme mengguncang di sore hari, menjelang pukul 17:00. Kala itu Amartya tengah terisi penuh. Kamar dan ruang rapatnya disewa salah satu perusahaan besar untuk pelatihan karyawan.

Hanya sedikit tamu yang selamat. Kebanyakan tewas tertimbun reruntuhan dan hampir seluruhnya ditemukan di ruang rapat. Nahasnya, konon, ada beberapa mayat yang tidak berhasil dievakuasi.

Lanjut, si Bapak menuturkan Hotel Amartya semula bernama Hotel Pantai Karangan, penginapan paling terkenal dan favorit se-provinsi. Setiap hari selalu sibuk melayani tamu dari berbagai kalangan.

Selepas bencana tragis itu, atau tepatnya satu tahun setelah hancur oleh amukan bumi, pemilik hotel berusaha membangun kembali bisnisnya. Dia dirikan lagi penginapan di fondasi yang sama. Sayangnya, bangunan yang baru justru tidak dapat mengundang pengunjung untuk menginap.

Hotel, yang dulunya tidak perlu mencari tamu, murung kehilangan pamornya. Kisah penampakan, seperti yang kualami, menjadi penyebab utama hingga masyarakat melabelinya hotel berhantu.

Tidak putus harapan, sang empunya menutup sementara hotel. Dia membentuk ulang rupa luar dan dalam. Citra angker yang telanjur beredar lewat bisik-bisik para tamu coba dipupus, diganti aura baru yang diharapkan mampu merengkuh kesuksesan yang pernah dirasakan.

“Nah, baru dua bulan ke belakang inilah hotelnya dibuka lagi dengan nama yang sekarang,” tandas si Bapak.

Usai si Bapak menguraikan latar belakang Hotel Amartya, aku termenung sejenak. Aku sama sekali tidak terpapar berita mengenai peristiwa pilu tersebut sebelumnya. Lantas, aku coba memperkuatnya dengan melakukan pencarian informasi melalui peramban ponsel.

Haru pun memayungi batinku. Semoga mereka akhirnya menemukan ketenangan. Dan aku, yang hanya mendekap dua gelita, harus pulang membawa kesaksian mereka.

Jiwaku seakan masih menyusuri ruang rapat. Pilu dan nestapa bergelantungan di nurani yang payah.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)