Masukan nama pengguna
"KEPADA adik-adik semua, melalui buku yang saya tulis ini, saya ingin menyampaikan agar kalian tidak segera menikah. Biasanya kan kalian yang cewek setelah lulus SMA ada yang dijodohkan dengan anak dari teman ayah atau ibu dengan alasan supaya hubungan persahabatan mereka bertambah dekat, atau karena anak sahabat mereka memiliki pekerjaan yang mapan sehingga dapat menjamin masa depan kalian nanti," kata seorang lelaki, masih muda, usia tiga puluhan, mengenakan pakaian rapi, sweater warna biru, dalaman kemeja lengan panjang, celana hitam, dan sepatu kasual, dan wajah tampak terpelajar. "Harta, banyak uang, kekayaan dan pekerjaan yang mapan mentereng sama sekali tidak menjamin masa depan kalian akan enak selamanya. Jika seorang lelaki memiliki pekerjaan yang bagus, memiliki uang banyak, tampan dan rupawan maka dia bisa mencari perempuan yang lebih cantik dari kalian. Jadi, kalau mencari suami jangan yang memiliki pekerjaan mapan, tapi carilah suami yang ...."
"Setiaaa!" jawab kompak audien yang separuhnya diisi oleh anak-anak SMA kelas XII.
"Setia juga tidak menjamin bahwa dia akan setia kepada kalian," sahut lelaki yang menjamin pembicara itu.
"Lalu yang seperti apa, Kang?" tanya salah seorang audien yang sedari tadi tampak antusias menyimak penjelasan lelaki itu.
"Cari yang pengertian. Seperti saya misalnya."
Para audiens gerr.
"Huuu! Huuuu!"
Para cewek yang manis-manis dan centil-centil berhuhu. Sedangkan para cowok yang duduk di bagian shaf kanan bersuit-suit.
"Kenapa harus mencari suami yang pengertian, dan bukan yang setia?"
Lelaki itu tampak semakin bersemangat memberikan penjelasan.
"Jadi begini, jika suami yang pengertian maka dia akan mengerti kalau dirinya sudah memiliki istri dan dia tidak akan bisa mengkhianati istrinya dengan menyelingkuhi perempuan lain. Berbeda dengan suami yang setia. Dia akan setia hanya jika berada di samping kalian. Tapi jika kalian tidak ada, maka dia akan berselingkuh dengan orang lain," kata lelaki itu menjelaskan.
Siang itu, di balai Praja Bhakti kantor Walikota sedang diadakan sebuah bedah buku novel fenomenal karya penulis asal kota kecil kami yaitu Said Badruzzaman. Kiprahnya dalam perbukuan sastra nasional sudah tidak diragukan lagi. Tulisan-tulisannya sangat diminati terutama oleh kalangan remaja. Dalam buku-bukunya ia tidak hanya menulis soal hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan, namun yang ia tulis adalah pelajaran-pelajaran sekolah. Ia berinisiatif melakukan itu dalam bukunya karena pelajaran jika diberikan secara mentah sangat sulit diterima oleh siswa. Meskipun selama ini pemerintah telah sering mengganti kurikulum, namun hasilnya belum mencapai ekspektasi. IQ anak-anak Indonesia masih saja rendah. Hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia memang memiliki daya baca yang sangat rendah. Karena itu, berdasarkan pengalaman pribadi ia memasukkan pelajaran-pelajaran penting yang dianggap sulit ke dalam sebuah cerita.
"Nah, jadi, di dalam buku yang saya tulis ini, saya tidak hanya menjelaskan tentang pelajaran tentang pernikahan. Intinya kalian jangan menikah dulu. Jangan mengejar laki-laki atau perempuan dulu, tapi kejarlah karir."
"Tapi, kalau jatuh cinta duluan, Kang?" tanya seorang cewek yang mengenakan sweater garis-garis.
"Tahan dulu. Jatuh cinta boleh, tapi kalau bisa jangan sampai berpacaran. Karena berpacaran jauh lebih berbahaya dari pernikahan. Tapi perlu dicatat ya. Bahaya hanya ada di dalam manusia-manusia bersumbu pendek. Manusia-manusia berpikiran picik. Tidak maju. Kuno. Kolot yang menganggap bahwa pacaran adalah sebuah kemaksiatan."
"Allah menciptakan manusia dengan diberinya a...."
"Akal dan nurani!"
"Akal dan nurani."
"Dengan akal itulah manusia disuruh untuk berpikir sebelum melakukan suatu perbuatan. Dengan akal itulah manusia bisa tahu mana yang baik dan yang buruk. Dan itu semua adalah perintah dari nurani alias hati. Dengan akal manusia bisa tahu bahwa kalau berzina itu hanya bisa mendatangkan penyakit raja singa dan virus AIDS/HIV."
***
Zaman adalah seorang novelis yang sudah berkecimpung di dunia sastra sejak sepuluh tahun yang lalu. Spesialisasinya adalah menulis novel yang disesuaikan dengan selera pasar. Novel pertamanya adalah menulis tentang pengalaman hidupnya yang miskin. Ia hanya tinggal dengan seorang ibu dan adik perempuannya. Ia bukan seorang lulusan sarjana, tapi ia drop out kelas 3 SMA. Ia meluluskan dirinya sendiri sebelum kelulusan bukan karena bosan selalu juara terus, bukan. Bukan karena Menteri Pendidikan, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah dan guru sudah bosan padanya, bukan. Bukan pula karena ia sering membolos, bukan. Dan juga bukan karena ia sudah tidak mampu menerima pelajaran, bukan. Tapi, dulu ia pernah berpikir begini, "Jika aku lulus dan juara satu UN, apakah ijazahku bisa menjamin aku akan dapat pekerjaan yang layak di kota ini?" Hanya orang jenius yang memikirkan nasib keluarganya yang akan berpikir seluas dan sedalam itu. Waktu saat ia masih kelas 3 SMA, ia pernah survei dengan berjalan-jalan ke pusat kota. Di malam itu, ia melihat seorang pemuda seusianya yang sedang mengangkat barang dari sebuah toko dan diletakkan di bak truk. Kenapa pemuda itu harus bekerja di toko? Padahal, pemuda itu mempunyai ijazah SMA. Di lain tempat, ia melihat seorang gadis muda yang sedang mengangkat karung berisi kain ke dalam toko. Bukankah pendidikannya selama ini baik? Tapi, kenapa ia harus menjadi pelayan toko? Maka, dari nuraninya yang paling dalam ia memutuskan sesuatu pekerjaan yang kelak akan melejitkan namanya dan menjadikan dirinya sebagai novelis muda yang diperhitungkan.
Nah, meskipun ia piawai dalam menulis kisah-kisah roman sastra dan tulisannya bisa membuat kaum Hawa meleleh hingga berhujan air mata, tapi ia sendiri memiliki hubungan percintaan yang rumit. Adalah masalahnya karena ia jatuh hati pada seorang gadis SMA yang masih sangat muda. Sebutlah nama gadis itu adalah Ayu. Kawan-kawannya sering memanggil nama belakangnya, Mel, Mel, begitu. Zaman tidak tahu nama panjang gadis itu. Mereka berdua bertemu pertama kali saat Zaman menjadi guru kontrak yang mengisi kelas kreatif. Di sekolah paling terbelakang itu, ia telah berhasil membuat pojok baca atau pojok literasi. Bahkan, ia juga yang mengirimkan proposal bantuan buku ke perpustakaan pusat. Gadis itu sangat menyukai buku terutama novel. Zaman pernah bertanya kenapa ia suka membaca buku, dan gadis itu menjawab kalau pelajaran dalam novel jauh lebih masuk akal dari pada buku pelajaran umum. "Matematika itu sulit, Pak, tapi kalau Matematika dijadikan bentuk cerita jauh lebih mudah masuk," ujar gadis itu dengan suaranya yang merdu suatu ketika dirinya ditanya oleh Zaman. Kabar baiknya adalah ternyata gadis itu sangat berbakat menulis. Dengan bakat yang dimilikinya itu membuat Zaman sangat menyepesialkannya. Murid kesayangan. Lantaran sering bertemu membuat keduanya tumbuh benih-benih cinta di dalam hati mereka. Demi gadis yang ia cinta, Zaman pun membuat dua buah karya spesial untuk gadis itu. Dan ternyata, hubungan antara guru dan murid itu membuat gadis itu sering digoda oleh teman-temannya. Tapi, ia sama sekali tidak mengakuinya bahwa ia sendiri telah jatuh cinta pada Zaman.
Sejak kisah hubungan mereka menyebar ke se-antero sekolah, membuat keduanya saling salah tingkah. Kadang gadis itu menjadi salah tingkah ketika ada Zaman di dekatnya. Begitu juga dengan Zaman menjadi salah tingkah saat tengah mengajar di kelas. Bahkan untuk saling pandang saja keduanya malu-malu. Padahal, mereka ingin saling memandang satu sama lain. Seperti pagi itu misalnya. Zaman ada kelas di sekolah sehingga ia harus mengisi. Dan di dalam kelas ada Ayu. Sekilas gadis itu melirik ke arah Zaman, lalu menunduk dan pura-pura menulis sesuatu. Padahal, jantungnya berdegup kencang. Begitu juga dengan Zaman juga sekilas melirik ke gadis yang duduk di bangkunya itu, lalu ia seakan bersikap acuh, demi profesionalitas sebagai guru. Padahal, ia ingin menyatakan perasaan yang terpendam. Sepanjang mengajar sastra ia sama sekali tidak memerhatikan gadis itu. Tapi ia merasa tidak bisa bertahan lama karena sejak masuk kelas kedua kakinya gemetar seperti pohon Ek yang dibalut salju.
"Apakah kamu mencintai Pak Zaman?" tanya Dhira kepada Ayu saat hanya ada mereka berdua di kelas.
"Tidak. Aku tidak mencintainya."
"Mel, kamu tidak bisa berbohong. Aku. bisa melihatnya dari cara kamu memandangnya, dan pandangan itu mengatakan bahwa kamu menyukainya."
"Tidak. Aku tidak menyukainya."
"Kamu mencintainya, Mel."
***
"Tidak, aku tidak mencintainya," kata Zaman kepada seorang lelaki yang dikenal dekat dengannya.
"Benar kamu tidak mencintainya?"
"Iya. Aku memang tidak mencintainya."
"Kenapa kamu tidak mencintainya walau hatimu sebenarnya mencintainya?"
Lelaki itu kaget. Kenapa lelaki di sebelahnya itu bisa tahu dan bisa merasakan kalau hatinya mencintainya?
"Karena menikah itu tidaklah seindah dalam film-film India dan kisah-kisah roman yang aku tulis, Pak. Aku tidak ingin ada yang saling menyakiti. Apalagi dia saat ini masih berumur delapan belas tahun. Dia masih muda."
"Ikhlas. Menerima kekurangan pasangan yang akan kita jadikan pendamping hidup. Sebab pernikahan bukanlah mencari kesempurnaan melainkan saling menerima. Dan ingat, setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing sebagai tanda kemahaadilan Tuhan," ujar lelaki itu berkata bijak. "Dan petang ini gadis itu akan dilamar oleh orang lain. Siapa tahu dengan jalan menikahi gadis itu kamu akan menemukan sebuah inspirasi kehidupan yang dapat membuat karyamu menjadi sebuah karya besar."
Tanpa mengambil tempo, lelaki bernama Zaman itu menyalakan mesin motor matiknya. Lalu, ia melesat menuju rumah gadis itu yang ada di pelosok sana. Susah nian memang bagi seseorang yang mencintai pasangannya dengan tulus untuk mengungkapkan sebuah kejujuran. Walau bibir mengatakan tidak cinta, namun hati tidak bisa berbohong. Ia adalah ibu kejujuran. []
Probolinggo, 2024