Masukan nama pengguna
Malam ini, langit sangat cerah berseri. Gugusan bintang sangat banyak ditemukan, dengan mudah saja melihatnya. Si titik bintang di komandoi oleh satelit alami yang di ilhami cahaya terang, bulan namanya. Pasukan mereka ini menerangi seluruh alam raya di malam hari.
Di bawah sinar rembulan, terlihat sosok lelaki yang sedang melamun di atas ambang jendela kayu sebuah rumah panggung. Matanya melihat sebuah sebuah bingkai lapuk tergantung di dinding rumah kayu itu, terlihat di sana seorang ibu mendekap seorang anaknya dengan penuh kasih sayang yang tak lain adalah lelaki di atas ambang jendela itu. Air matanya seketika meluncur dan nafasnya tersengal.
Langit cerah nan memesona sebab purnama yang terang benderang malam itu seakan menguatkan Ismail di dalam keterpurukannya. Bulan-bulan ini, Ismail sering merenung dalam diam. Seperti saat ini, pikirannya tak lain adalah duka cita yang membalut hatinya, dan hanya itu saja tiada yang lain.
Berbalik ke lima tahun silam.
Secerah matahari yang timbul dari balik gunung pagi ini, sama cerahnya dengan hati kedua orang tua Ismail saat mengantarkannya ke pondok pesantren. Berbeda dengan kakaknya, Ismail masuk pondok setamat dari jenjang tsanawiah, setara SMP. Ia mondok di tempat kakaknya dulu belajar agama, nun jauh di seberang pulau tanah kelahirannya,
”Belajar yang rajin, ya, Is. Jadilah orang yang taat dan patuh terhadap perintah agama. Kayak kakakmu, mengabdikan diri untuk agama,” pinta ibunya.
”Insya Allah, u. Doanya.” ucap bibir Ismail dengan gerakan bibir yang kaku, tanda dari dirinya kurang siap.
Sepeninggalan kedua orang tuanya, Ismail memulai pengembaraannya dalam ruang lingkup agama. Seratus persen berbeda dengan lingkungannya sebelumnya. Ismail sang kepala gangster sejak SMP tiba-tiba dimasukkan sekolah agama, tentu batinnya kurang beramunisi dengan peraturan serta disiplin. Tetapi karena kalah dengan kehendak orang tuanya, jadinya ikut-ikutan buta tanpa tahu menahu bagaimana rasanya hidup mondok.
Tanpa terasa, bulan silih berganti. Sampai pada saatnya, liburan awal semester di penghujung tahun. Ismail anak pulau seberang, tak mungkin rasanya pulang karena tempo liburan yang relative singkat, hanya sepuluh hari, belum lagi biaya transportasi darat nan laut. Meskipun berwatak semirip batu dan jahilnya tingkat dewa, Ismail masih berpikir soal biaya hidup yang diemban orang tuanya.
Satu semester atau enam bulan sudah ia berada di lingkungan fisabilillah, belum terlalu lama. Ismail cukup mengenaskan gaya hidupnya, tidak jauh berbeda saat berada di SMP. Hanya saja cara bertemannya sudah sedikit berbeda dengan sebelumnya. Ia yang menjadi ketua komplotan ketika di pondok ternetralisir secara sendirinya.
Imam salah seorang sahabat karib Ismail, mengajaknya liburan kali ini ke rumahnya. Faktanya, rumah sahabatnya ini hanya menempuh waktu tiga jam-an. Dan itu sangatlah dekat disbanding menelusuri teluk hingga sampai tempat tinggalnya. Tanpa berpikir panjang, Ismail mengiyakan serta segera mengirim kabar pada orang tuanya.
Waktu bak Valentino Rossi mengejar finish dalam ajang Moto GP. Hari libur disisir rata sampai menghantarkan seluruh santri kembali mondok.
Sekembalinya ke pondok, Ismail tetap begitu-begitu saja. Tetap menjalani peraturan walau sekali-kali kambuh penyakit melanggarnya yang menghantarkannya ke gerbang mahkamah atau pengadilan, untuk ditebus kesalahannya. Tak ubahnya santri-santri yang lainnya walau ia lebih parah.
Waktu kembali ke pondok tahun ini berdekatan dengan liburan berikutnya, awal tahun sangat berdekatan dengan bulan Ramadhan. Tentu saja santri kembali libur. Belajar dan terus belajar. Layaknya mendaki, liburan Ramadhan adalah salah satu pos munuju puncaknya di akhir tahun seperti sebelumnya. Dan pos pertama tinggal hitung Langkah, terasa cepat karena kegiatan demi kegiatan yang tiada hentinya. Aktivitas ini mengingatkan kepada slogan pondok, ”Pasantren tidak pernah tidur.”
Jam berputar haripun terlontar, Ismail yang menunggu lama liburan akhirnya sampai juga padanya. Ramadhan adalah waktu yang terlama santri larut dalam pulangnya, dan yang paling istimewa menurut orang tua Ismail. Karena sebelum-sebelumnya hanya berjumpa dengan suaranya melaui via telepon.
”Mam, kali ini ke rumahku, yuk? Gantian, kan gak ada salahnya.”
”Bisa aja, Is. Tapi mana mungkin kutinggalkan kedua orang tuaku.”
Penolakan Imam sama sekali tidak membuat Ismail sakit hati, karena ajakan itu juga hanya sebatas basa-basi belaka untuk menampakkan etika terhadap teman dekatnya. Mana mungkin orang sekeras batu mampu menambah beban tanggungan pada dirinya, tetapi ia cukup pandai bersikap, bagus juga.
Sebuah alat yang bobotannya berton-ton, yang mana di dalamnya manusia, barang, dan sebagainya diangkutnya dan rela menanggung semuanya demi satu tujuan. Siapa lagi jika tak lain dan tak bukan adalah kapal feri penyeberangan. Ismail dalah salah satu dari yang dibopongnya. Kapal itu mengeluarkan bunyi yang memekakkan telinga, pertanda Pelabuhan sudah tampak dan akan segera menepi.
Sementara itu, nun jauh di Pelabuhan. Terliaht tiga orang, yang satu lelaki tua beruban, yang satu lagi wanita dengan tongkat, serta satu lainnya lelaki menjelang kepala tiga dengan jaket almamater sebuah perguruan tinggi.
”Bagaimana kabarmu, Is?” ibunya langsung bertanya sesampainya putra bungsunya ke Pelabuhan,
”Alhamdulillah sehat, Ibu sendiri bagaimana?”
”Alhamdulillah juga, kami di sini baik-baik saja berkat do’a-do’amu dan kakakmu”
”Loh, kok kakak cepat banget baliknya, pondok kakak udah pada libur?”
”Kalau demi adiknya, siapa orang yang kaga rindu sama saudaranya. Ya kakakmu ini izin lah pulang lebih awal.” sahut Saleh, kakaknya Ismail.
Cukuplah sudah berbagai basa-basi keluarga kecil itu, kak Saleh membawa keluarganya ke mobil pengankut ikan dari pelabuhan menuju kampung halaman mereka. Ia sengaja memesan pick-up angkutan ikan itu agar lebih leluasa. Tindakan yang dilakukan Saleh cukup dinamis.
Di rumah, Ismail mulai bercengkerama dengan teman lamanya. Sehari dua hari, kharismanya sebagai sanrti masih terlihat sangat kental. Dia diibaratkan pelaut dengan sampan sedang didebur ombak yang sangat kencang. Apakah ia mampu bertahan, atau malah sebaliknya.
Kenyataan itu memang benar adanya, Ismail yang semula sudah berubah mulai mencoba-coba lagi tabiat buruk. Liburan panjang itu menjadi musibah yang ia sama sekali tidak menyadarinya. Apalah daya, teman asal teman, penting senang. Ia tak memikirkan kelakuan temannya. Saat malam nasihat yang diadakan pesantrennya saja, yang mana pesan yang disampaikan ustadznya seolah hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
”Is, kamu beliin rokok dulu, dong. Ini uangnya, kamu boleh mengambil berapa aja.”
”Siip, kaga bakal lama, tunggu aja.” Ismail mengamini saja apa yang diperintahkan temannya.
Pelaut dengan sampan itu tak kuasa menahan deburan ombak yang menerjang timbul tenggelam, terperosoklah ia ke dalam lautan alias tenggelam. Ismail benar-benar telah menjadi dirinya kala SMP dulu. Waktu perpulangan yang bertepatan dengan bulan puasa, saat itu pula ia tidak pernah full time menjalani ibadah tahunan tersebut.
Ketika dilanda penyakit buruk yang menghantuinya, sedikit keanehan terjadi pada Ismail. Berbeda dengan remaja seusia lainnya, kegiatan Ramadhan yang berlangsung di kampung halamannnya dilakoninya. Dia sering mengikuti kegiatan seperti pidato, tadarusan dan apa pun yang sudah terprogram.
Di sisi lain, suatu hari di tengah bahagiannya Ramadhan. Ibu Ismail sedang memasak untuk nanti berbuka, beraneka takzil di buatnya. Tidak seperti Ramadhan sebelum-sebelumnya, sekonyong-konyong Saleh merasa heran,
”Bu, bukannya kebanyakan takzil itu bisa mubadzir, ya. Kita serumah cuma ada empat kepala. Kok masaknya sebanyak ini?”
”Adikmu kan sedang masa bahagianya, dia masih liburan. Di pondok segininya, kamu juga pernah mondok, kan. Kok seperti nggak paham aja yang beginian.”
Saleh sang kakak sebenarnya sedikit jengkel dengan perlakuan ibunya yang dianggapnya berlebihan. Bukannya iri, karena saat dia mondok ibunya nggak seberlebihan ini, bukan. Dia paham perlakuan orang tua kepada anak bungsu itu bagaimana. Justru karena sikap adiknya yang dia sendiri mafhum atas itu, tetapi Saleh memilih diam saja.
”Seandainya aku nanti tiada, pasti kamu baru sadar atas apa yang kulakukan terhadap adikmu ini.”
”Bu, kok ngomongnya secekat itu? Jangan ngomong yang nggak nggak lah.”
”Di mata ibu, adikmu seperti selalu kecil. Penuh dengan kehausan kasih saying.”
Dari kalimat yang diucapkan ibunya, Saleh seperti mengiba. Pikirannya melayang-layang seperti ada sesuatu yang ingin terjadi, dan itu pasti. Sayangnya, Saleh tidak paham dengan apa yang akan terjadi kedepannya.
Malam hari yang bahagia pada keluarga kecil ini, takzil yang dibuat hampir kandas. Memang perkataan seorang ibu benar adanya, Saleh melihat Ismail layaknya manusia kelaparan, tidak seperti biasanya.
”Kamu nggak kaya biasanya, Is?”
”Biasa aja kali lihat orang lahap, kakak makan aja tuh apa yang terhidang. Jangan pada ngomel mulu.”
Pecahlah canda tawa sekeluarga, Ismail memang tampak seperti anak kecil yang kelaparan.
Azan Isya berkumandang, Shaleh membantu ibunya berkemas, sementara Ismail lari tunggang-langgang bak dikejar setan.
”Alhamdulillah.” ujar Ismail, karena ia terlepas dari perintaah kakaknya untuk berkemas-kemas. Sampai di masjid tak ada yang ia lakukan selain langsung membarengi temannya, lantas khusyu’ dalam salatnya.
Seusai salat isya, sebahagian orang dari saf belakang berhaamburan entah kemana. Ismail semakin heran saat kakaknya memasang wajah cemas dan ikut bergabung pada orang yang berhamburan itu.
Usai do’a, dia langsung keluar karena terlanjur kepo. Saat ia telah berada di luar, dirinya tidak mendapati apapun karena orang-orang yang tadi ramai keluar terlanjur pergi lebih dulu.
Saleh melihat seseorang berlari menuju hadapannya, ia tahu itu siapa,
”Cepat, Is.” Ismail tampak tergopoh -gopoh mengejar.
”Kamu naik, buruan!” pinta kakaknya itu.
”Ibu kenapa, kak?”
”Jangan banyak tanya, buruan dong!”
”Ba…baik, kak.” mobil yang mereka tumpangi maju dengan cekatnya.
Di ruangan putih berbentuk kotak sederhana itu, seorang wanita tua tergeletak di atas dipan. Satu dari dua tangannya dicucuk oleh benda kecil tajam, padanya terhubung selang kecil dan dialiri air infus.
Beberapa hari di rumah sakit, ibu Ismail dipulangkan pihak medis. Yang membuat lelaki itu bingung adalah, ia tidak tahu menahu penyakit yang diderita ibunya itu. Kakaknya setiap kali ia bertanya bukannya memberi tahu malah memarahinya.
”Kamu bukannya berubah malah tanya ini itu, memang kamu mau kalau ibu kenapa-napa, hah?!”
”Bukanya gitu, emang nanya aja kaga bisa?”
”Udahlah, ah, jangan pernah coba-coba tanya yang beginian lagi. Kapok aku.” Makin hari keanehan seorang kakak pun muncul. Ismail merasa risih atas kelakuan kak Saleh yang tidak biasa.
Tepat liburan akhir tahun pertama usai, Ismail dan Saleh saling beradu ambisi. Tak seperti pertama penjemputan, Saleh beralasan acara tahunan di pondoknya akan segera di laksanakan dan kemarin saat ia izin terlalu cepat pulang, ia tidak enakan pada atasannya, katanya. Bukan berarti membuat Ismail sedih, ia sama sekali tidak hirau dan, ya, bodo amat baginya.
”Maafkan kakakmu yang tidak sempat mengantarkan, ya.” ujar ibunya saat akan ia akan menaiki kapal penyeberangan.
”Ya nggak apa -apa toh, Buk. Yang penting ibu dan bapak selalu sehat, ya.”
Pelukannya kepada ibunya seperti tak dapat dilepas saat itu, senakal dan sebandel apa pun Ismail ini, jikalau ibunya berhadapan dengan dirinya, entah kenapa auranya seperti sangat harmonis. Kedamaian hati serta kelapangan langkah terdapat pada lubuk hati terdalam, seakan segala kejahatan pada tabiatnya sirna. Apakah itu yang namanya luluh pada ibu?
”Oh, ya, ibu hampir lupa bilang kalau kamu kemarin dengar-dengar ada kena masalah, ya, di pondok? Kata bapak kamu merokok, apa benar?”
”Hmm… gimana ya, Bu. Ada sih kadang-kadang, hehehe.”
”Berhenti ya, Nak. Ibu nggak mau kamu penyakitan macam i-”
”Ibuk!” Tepis bapaknya.
”Udah ya, Nak. Intinya jangan pernah merokok dan buat onar lagi di pondok. Kamu kami kirim untuk belajar bukan untuk yang lain.”
Benda apung raksasa itu sudah terisi penuh, ia sudah siap angkat sauh. Sang Mentari yang mulai jatuh mengeluarkan peluh, tetapi belum jauh dari titik tengah tepat jam dua belas pas. Kini jam berdetak ke arah bebek berenang, persis dengan kapal yang juga berjalan mengambang membelah satu lautan menjadi dua.
Tidak berlangsung lama, kapal yang sedari dua jam yang lalu mengangkat sauh kini sudah dengan tenangnya bersender serta melepaskan moncongnya tuk pintu keluar. Seperti yang sudah beberapa kali dialami sebelumnya, Ismail menjagkat tas ransel sambil menarik koper sedang miliknya menuju mobil angkutan. Tanpa ada hal yang dilakukan lagi, ia memesan mobil lalu menaikkan tasnya dan naik ke atas mobil. Transportasi umum itu pun berlalu.
Pesantren yang ditempati Ismail hari ini sedang marak keramaian dengan datang dan kembalinya santri ke pondok. Ismail Kembali bertemu dengan teman dekatnya, ya, siapa lagi kalua bukan Imam. Suasana kendaraan yang lalu lalang seharian membuat lingkungan sekolah itu kumuh. Pada malam harinya, kembali seperti yang terjadwal, penuh disiplin dan aturan.
Hampir dua tahun Ismail belajar dan tinggal di pesantren, dirinya mengalami kejanggalan yang menurutnya sesuatu tak dapat dikatakan. Kebingungan mendera tubuh kurusnya. Makin hari pelanggaran dilakoninya, otomatis panggilan untuk dirinya diadili menghantui.
Ismail bersikap acuh tak acuh atas segala hal. Sesuatu mendebarkan benar-benar menggelayutinya, hingga pada awal Januari yang saat itu mendekati bulan puasa. Festival akbar memperingati hari jadi pondok pesantren yang ditempati Ismail dilaksanakan. Seluruh alumni sejak awal berdiri hingga saat ini diundang, pastinya Saleh pun datang pada acara tersebut.
Pada malam festival akbar yang sangat meriah itu, Ismail ikut dalam kepanitiaan berlangsungnya acara. Karena hal itu menjadi kendala ia dengan kakaknya tidak dapat bertemu. Di pojokan lain, Saleh yang sedari pertama kali menginjakkan kaki di pondok itu tidak menemukan tanda-tanda akan perjumpaannya dengan adik semata wayangnya.
”Saleh, sini dong. Dari tadi pada bengong melulu.”
”Eh, iya, tunggu sebentar.”, Saleh lalu menuju ke arah temannya yang memanggil. Saat seseorang tengah melintas dihadapannya,
”Akhy, kenal sama Ismail, nggak?”
”Kenal, Ustadz, ada yang bisa saya bantu?”
”Boleh tolong saya panggil dia sebentar, saya tunggu di sini.”
”Oh, dengan senang hati, Ustadz, antum tunggu di sini biar saya panggil.”
Tanpa menunggu lama, seseorang datang dengan pakaian sedikit kumal menerobos keramaian agar menghadap seseorang yang dituju.
”Kak, kok datangnya nggak kabari aku.”
”Justru dari tadi udah saya cariin kamu. Kok pakaiannya pada kumal banget, acara besar lo ini?”
”Aku tau ini acara besar, kak. Tapi diamanahi jadi bagian pelistrikan.”
”Baguslah, amanah yang kamu emban besar lo itu. Yaudah, kalau memang mau kerja, kerja aja dulu. Nanti datang ke wisma tamu, kakakmu ini nginap sama temannya di sana.”
Keramaian serta kepadatan penonton turut memeriahkan acara, sampai usainya festival tersebut pesantrennya masih saja bising oleh lautan manusia yang tak lain adalah para tamu undangan yang turut memeriahkan keberlangsungannya acara.
Pagi yang dingin oleh kawanan embun-embun, menyegarbugarkan plus menenangkan pikiran. Apalagi mereka yang saat ini sedang berada di daerah dataran tinggi. Tidak jauh berbeda dengan dinginnya tempat yang lain, pesantren Ismail juga sangat terasa dinginnya.
Ismail yang tidur di panggung selesai acara tadi malam dibangunkan Imam sahabat karibnya. Ia yang baru saja membuka mata beratnya mengucek mata sambil dituntun Imam ke gedung wisma,
”Ngantuk banget?”
”Gitu lah, kak. Capek, tapi keikhlasan kan butuh pengorbanan. Gitu kan?”
”Dengar-dengar akhiran ini, kamu sering melanggar, ya. Mahkamah pengasuhan lagi?”
”Hmm… ntah lah. Nggak tau kenapa aku akhiran ini ga jelas banget. Aku ling-lung, kak. Jadi, merokok itu menenangi pikiranku meski terkadang kena mahkamah.”
”Tetap saja itu nggak baik, Is. Kamu mikirnya itu nggak sampai, sedikit pun tidak kamu indahkan nasehat ibu bapak. Pikir!” sontak sendok yang digenggam Ismail terjatuh, ia tertegun lama.
Jam mulai beranjak, Saleh mulai berkemas-berkemas, dibantu adiknya Ismail. Perkataan Saleh belum lenyap dari benaknya, terlihat saat Saleh ingin beranjak adiknya seperti tak rela ditinggal dirinya.
”Baik-baik, kalaupun otakmu sudah menjadi batu dan nggak bisa merenungi ucapanku tadi minimal kurangi saja pelanggaranmu. Jangan sampai, ingat ini! Jangan sampai orang tua kita kecewa karena kamu dikeluarkan sebab pelanggaranmu. Kamu udah santri akhir, satu tahun lagi!” Ismail hanya terpaku dalam diam, kakaknya menguatkan dengan memeluk serta mengelus kepala botak akibat pelanggaran adiknya.
Kalender berkurang, hari maju dan waktu terus melaju tanpa peduli apa pun. Fase Ismail di pesantren tinggal hitung langkah bulan, tahu-tahu ia sudah diwisuda. Saat hari yudisium, keluarganya yang turut menghadiri hanya Saleh seorang diri. Kali ini bukan masalah biaya, karena biaya sengaja sudah disiapkan jauh-jauh hari. Yang menjadi alasan kali ini adalah ibu Ismail terbaring lemah di rumah sakit yang membuat bapaknya menahan diri dan memutuskan melepas kakaknya seorang diri untuk turut dalam acara.
”Alhamdulillah, janjimu terpenuhi.” ucap seorang di belakang sana, Ismail menoleh. Sunggingan senyuman tercetak tebal di mukanya.
”Ya, alhamdulillah, Kak. Meskipun merokok belum bisa kuhentikan tapi setidaknya, kata minimal waktu itu kuindahkan dan panggilan mahkamahku berkurang.”
”Oh, ya. Ibu sama bapak mana?”
”Eh, tadinya kan kaminya sudah berencana untuk datang semua, tapi karena, ya, kamu paham sendiri kan biaya.” Saleh tidak mengatakan sebenarnya.
Tak lama berselang setelah percakapan itu, mereka bergegas beranjak karena takut kapal cepat angkat sauh. Setelah seharian dalam perjalanan pulang, kedua kakak beradik itu sampai di halaman rumahnya. Saat membuka pintu dan masuk, Ismail tidak mendapati seorang pun dalam rumah itu. Kata tetangga orang tua mereka pergi kondangan saaudara sepupunya di kota lain selama beberapa hari.
Ismail hanya seminggu saja di rumah. Orang tuanya belum ada tanda akan pulang. Saatnya ia beranjak untuk mengabdi di pondok lain sebagai amanah mengembangkan ilmunya dari sang kyai selama satu tahun. Ia memutuskan untuk menelpon saja orang tuanya lalu diaantar kakaknya ke terminal.
”Kok kakak berangkat juga? Kan balik juga ke pondoknya?”
”Kakak ada urusan, mungkin besok baru balik, doain ibu bapak.” Ismail tertegun dan hanya diam.
Setelah beberapa hari memulai masa pengabdian, Ismail sudah mulai dapat beradaptasi dengan lingkungan pondok tempat ia mengabdi. Ismail masuk dalam kategori guru disiplin dan rajin. Tidak tahu apa mimpinya semalam, entah apa yang membuatnya begitu.
Suatu hari dia sedang mengajar, seorang ustadz senior memerintahkannya pulang. Mobil sudah menunggu di gerbang utama, Ismail bingung tidak tahu apa-apa. Dihubungi, kakaknya tidak aktif. Ustadz yang lain pun saat ia bertanya diam saja.
Sopir melajukan mobilnya layaknya dalam mengikuti ajang sirkuit, tidak tahu tikungan, semua bak jalan tol. Tidak berlangsung lama, sudah sampai saja di persimpangan rumahnya. Setelah melangkah menelusuri jalanan, tanpa terasa kakinya melemah kaku. Seorang tetangga membopongnya masuk menemui keranda. Ismail membuka kain penutup hijau yang berjahit ayat-ayat suci. Dadanya sesak saat mengencup kening orang yang terkulai lemah dan kaku itu untuk terakhir kalinya.
Kembali ke seorang lelaki yang duduk di ambang jendela, air matanya membasahkan pipinya, dadanya sesak seperti ingin meledak. Sebuah tangan membuyarkan lamunannya saat disentuh bahunya. Setelah berhari-hari ibunya dikebumikan, ia seperti belum ikhlas meskipun dalam agama seharusnya mengikhlaskan dengan ridho yang telah pergi.
”Udahlah, Is. Kamu harus rela. Gak baik begini aja selalu, kamu itu ustadz, udah dewasa.”
”Bodoh amat lah, Kak. Apa urusanmu! Jaangan atur hidup orang. Kamu bisanya cuma nyusahin hidupku!”
”Kok, kamu ngomongnya gitu. Kakak salah apa sama kamu?”
”Seandainya kakak bilang dari dulu bahwasannya ibu punya penyakit, pasti aku nggak mondok. Dan waktu bercengkerama sama ibu pastinya banyak, kan!” perjelasnya,
”Sejak liburan pertamamu yang saat itu ibu jatuh sakit, kakak nggak mau ngomong penyakit ibu. Kakak bilang gak ada biaya, lah. Padahal waktu kakak di wisuda dulu orang tua kita mampu, kok.Ya udah kalau memang masalah biaya yang menghambat, kenapa nggak bilang sama aku kalau ibu teerkulai lemah di rumah sakit sampai ngajak tetangga kerja sama bilang ibu pergi kondangan. Emang egois kamu, kak. Gak bisa memahami aku.” sambungnya,
”Ga gitu juga lah, Is. Justru karena kakak sayang sama kamu.” Saleh kaku dalam berkata,
”Itu Namanya sayang?! Aku dari dulu iri sama kamu, kak. Kamu udah lama merasakaan hangatnya pelukan ibu. Kamu nggak ngerti perasaanku, Cuma ibu sendiri yang paham dan malah dia yang pergi duluan.”
Ismail yang duduk di ambang jendela semakin menangis sejadi-jadinya tanpa peduli bahwa ia sudah dewasa. Sepersekian detik, kakaknya Saleh memeluknya dengan ikut dalam linangan aair mata. Ismail sampai sebegitunya karena ia merasa tiada yang dapat memahaminya selain ibunya sendiri. Bahkan kakaknya yang sebenarnyaa amat menyayanginya, tidak dapat memahamkan adik saatu-satunya. Ismail menganggap cara kakaaknya salah, terlalu egois. Rasanya dunia memang terkadang terlalu kejam kepada kehidupan kita pribadi, dan akan terasa indahnya saat ada salah seorang yang dapat memahami.
Ditulis di Gedung Madinah dan Gedung Sudan. Selesai kamis 3 oktober 2024.
Copyrigt: Literasi Santri Darul Amin (Lisanda)