Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,237
Berhasil Dibuat Kagum
Religi

Kursi itu berdecit, orang-orang seisi ruangan berhamburan ketika melihat sosok itu. Wajah kebakannya selalu diingat dengan tampilan gaya rambut cepak yang tak dapat disisir, disertakan dengan seragam PDH kumal yang tidak tampak lagi warna dasarnya. Justru itu dijadikan sosok ini sebagai iconic kewibawaan pada dirinya. Sosok ini bernama pak Rosyid yang tak lain adalah guru sejarah di sekolah ini. Dapat juga disebut guru paling lama mengabdikan diri di sekolah ini.

Saking lamanya beliau mengajar di sini, sampai beberapa kali pegawai dari dinas pendidikan menyarankan agar ia naik posisi jabatan jadi kepala sekolah. Justru dengan berat hati dia mengatakan, "Apabila saya dijadikan menjadi orang paling tinggi jabatannya di sekolah, saya dengan berat hati menerima. Jadi kepala sekolah belum tentu mengajar, saya sangat berpedoman kepada petuah kiyai saya saat menimba ilmu di pesantren, hakikat belajar adalah mengajar" Sungguh teguh hatinya berprinsip.

Karena dianggap orang berpengaruh di sekolah, maka setiap ia mengucap salam yang mengantuk jadi segar dan yang segar semakin segar atau apalah istilahnya. Pak Rosyid tidak kenal tawar menawar, apalagi soal refreshing dalam jam pelajaran. Minimal belajar dua puluh menitan dan sisanya beliau bagi wawasan.

Pagi ini, setelah belajar mengenai sejarah negeri ini yang tidak pernah ada habisnya jikalau beliau sebagai penerangnya. Secara tiba-tiba ia bertanya,

"Baiklah muridku, sisa waktu saya akan mengadakan sesi pertanyaan." Dengan suara nyaring khasnya.

"Setamatnya kalian dari sekolah tercinta kita ini, murid-muridku ini akan melanjutkan kemana? Bekerjakah atau melanjutkan perguruan tinggi?" Tanyanya. Seluruh murid yang sedang berkegiatan seperti menyelesaikan catatan di papan tulis atau berkemas memprsiapkan buku pelajaran selanjutnya yang terhenti, seraya menoleh ke hadapan guru di depannya dengan khidmat.

"Saya setamatnya dari sini, ingin membantu orang tua berdagang, Pak." Ketus salah seorang murid.

"Kalau saya ingin calon, Pak." Yang lain menimpali.

Setelah memastikan semua menjawab, tiba-tiba muncul dari sudut ruangan. Tepatnya meja paling depan di pojokan.

"Saya mungkin mencari kerja dulu sebelum melanjut study ke perguruan tinggi, Pak." Ucap anak itu singkat. Anak itu adalah Edi, iya dapat dikatankan murid terbaik dan terdisiplin di sekolah itu. Versi sekolah saja ia unggul, apalagi versi pak Rosyid, lebih dari segalanya.

"Kalau begitu, kenapa tidak calon saja? Atau apa yang bisa buat uang?" Kata teman sebangkunya.

"Saya hanya ingin sekolah saja sampai ilmu yang saya dapat benar-benar matang. Untuk itu, saya ingin bekerja apa saja asal berkah sambilan mencari beasiswa." Balasnya.

Mendengar hal ini, alangkah bahagianya pak Rosyid pda siswa satu ini. Lengang sejenak, lalu salah seorang murid memecah kesunyian itu.

"Marcel, kamu seperti tidak peka dengan semua pertanyaaan demi prtanyaan yang baru dibahas barusan atau kamu nggak dengar, ya?" Seorang anak itu tanpa peduli dengan lawan bicaranya.

"Ya, ngapainlah gue dengarin. Nggak penting-penting juga kan?! Terus, kamunya ngapain bicara sembarangan? Bilang-bilang gue nggak denger!" Tangkisnya seraya jengkel.

"Bener juga, ya. Kamu dari tadi planga-plongo nggak jelas. Nah ini saya tanya kamu lagi deh?" Bantu pak Rosyid murid yang terdiam menyerang.

"Saya, selesai dari sini mungkin santai aja sih di rumah, Pak." Jawab Marcel pada pak Rosyid, senakal atau sekeras kepala seperti apa pun di sekolah ini, kalau sudah pak Rosyid berhadapan dengannya maka mati kutu semuanya.

"Terus nggak kuliah?"

"Kalau masalah itu ya gampang lah, Pak. Ayah saya kan orang beruang, tinggal beli ijazah beres kan, Pak?!"

"Astaghfirullah, betapa boboroknya pendidikan gen-Z hari ini. Ilmu itu masuknya pakai belajar bukan pakai uang!"

"Kan nggak masalah, Pak? Cari gelar, lulus, beres." Dialog itu berubah menjadi debat panas tanpa ada yang menengahi.

"Dengan kondisi di negeri ini, yang masih berkembang saja, sudah banyak di sekitar kita seperti ini. Kapan majunya negeri ini kalau begitu?,"

“Memang saat ini, kalangan ataslah pengendali bangsa ini. Bangsa yang diprjuangkan bersama, tapi hanya segelintir manusia yang menikmatinya. Saat negeri ini baru lahir saja, pda kala itu orang di atas membangun rezim-rezimnya. Dampaknya apa? Hampir seabad bumi pertiwi ini, belum juga dapat menstabilkan masalahnya, tidak ekonomi, politik dan sebagainya. Seharusnya pada generasi kalianlah, hal itu dibasmi. Bukan malah jadi bibit-bibit yang tidak berpotensi pada bangsa sendiri!" Jelas pak Rosyid yang sepertinya naik darah melihat anak seprti Marcel, akhirnya dihentikan oleh lonceng yang menggema ke seluruh seantero sekolah di depan kantor sana.

"Intinya, kalian jangan sampai seperti itu. Apalagi sebentar lagi kalian tamat di jenjang menengah atas. Saatnya kalian belajar melalui curamnya jalan di depan mata, di sana kalian akan tahu arti hidup yang sebenarnya. Camkan pada diri kalian baik-baik!" Sambung pak Rosyid pnjelasannya yang sempat dihentikan suara lonceng tadi.

Jam pelajaran telah habis, saatnya untuk kembali ke rumah masing-masing dan meninggalkan ruang kelas, kotak berukuran sepuluh kali sepeuluh itu dengan kesunyian. Yang tetap setia di sana adalah kawanan burung Walet yang bersarang di dalam asbes gedumg itu. Entah bagaimana caranya bisa masuk ke tempat tersebut, dan bersarang di sana. Hewan saja mencari cara agar hidupnya bahagia dan damai sentosa, begitu pun manusia. Akan tetapi, ada segilintir orang di atas sana atau biasa disebut para elit negeri ini yang merampas hak kaum awam. Meskipun tidak semua, yang pasti ada saja. Untuk itu, kalau dalam suatu kelompok atau apa pun itu permisalannya kebanyakan kejelekannya daripada kebaikannya, maka otomatis yang baik cukup terima saja namanya juga bakal jelek. Dan itulah yang terjadi pada saat ini. Mereka dapat dikatakan cukup kurang cukup dalam gelimangan harta, yang selalu duduk di sofa empuk, ditemani embusan angin semilir dari AC ruangan. Sementara ia tidak melihat di luar sana, ada orang berkualitas yang terkucilkan.

***

Hari ini, adalah hari penting dalam agenda tahunan SMA negeri Payung Teduh. Faktanya, anak siswa kelas dua belas akan selesai masa belajarnya di sekolah ini. Siswa tahun ini, mengadakan wisuda sekaligus perpisahan di sekolah. Mereka mengundang jajaran pegawai pemerintah kabupten, juga wali murid dan adik kelasan mereka.

Dalam hangatnya pagi itu, seorang perempuan setengah baya menaiki anak tangga seraya memegang mikrofon. Ia membuka acara itu. Rentetan acara pun dimulai hingga diakhiri penyerahan candra mata kepada para tamu, acara pun usai.

Di pojokan ruangan guru, terlihat pak Rosyid sedang duduk termenung, seprtinya sedang melamun, seketika lamunannanya dipecahkan oleh anak terbaik di sekolah itu.

"Pak, saya ingin mengambil sedikit waktu, Bapak." Terang anak itu.

"Ya, silakan saja, Edi."

"Saya kan dari kampung, jarak ke kampung juga lumayan jauh, Pak. Jadi saya memutuskan untuk tetap tinggal beberapa waktu lagi di kota ini."

"Kalau begitu, kamu sudah tetapkan pilihanmu dengan matang?"

"Sudah, Pak!"

"Kalau kuliah sudah kamu cari tempatnya?"

"Justru itu yang membuat saya bingung, Pak. Separuh hati saya berkeinginan untuk tetap lanjut sekolah. Akan tetapi, karena biaya saya pas-pasan maka separuh lagi hati saya menolak, Pak."

"Beasiswa kan banyak sekarang. Gimana menurur kamu?"

"Saya nggak tau apa-apa masalah begituan, Pak."

"Kalau begitu, saya nanti akan usahakan yang terbaik untukmu, insyaAllah." Saran pak Rosyid.

Beberapa saat lamanya mereka berdialog, Edi pamit undur diri. Ia langsung kembali ke kosannya. Ia memang meminta kepada orang tuanya saat baru lulus menengah atas untuk lanjut ngekos. Karena keterbatasan fasilitas pendidikan di kampungnya, tetapi tidak secuil pun semangtnya surut untuk mencari ilmu.

Dari pak Rosyid tadi ia dapat sedikit pancaran cahaya masa depan. Hatinya bergumam, "Langkah pertama curam itu akan aku mulai!" Kesehariannya masa menunggu itu adalah membanru seorang penjual buku bekas di suatu lapak dalam pasar pagi.

 Setiap usai shalat subuh, ia mengayuh sepeda Ontel tua milik bapak pemilik toko buku bekas itu. Bapak itu sengaja meminjamkan sepeda itu, agar Edi menjadi lebih disiplin dalam bekerja. Ia menelusuri lorong demi lorong, hingga sampai di depan lapak berbentuk kotak yang memiliki ukuran kira-kira hanya empat kali empat meter. Di ruangan sekecil itu, ia ditemani oleh kipas angin lusuh yang selalu berderit setiap memutar haluan. Di antara lapak yang berada di dekatnya, tidak ada satu pun dagangannya sama dengan Edi. Hal ini menyebabkan omzetnya tinggi, meskipun itu hanya berupa toko buku bekas. Siang menjelang sore itu, Edi duduk di kursi malasnya sambil membaca majalah tiga bulan lalu. Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku celananya. Ia segera mengambil ponsel itu dan melirik layarnya, terlihat di sana nama pak Rosyid yang terlampir, membuat matanya nyaris membesar.

"Halo, Pak." Ujarnya, langsung menyambar di awal.

"Ya, Edi. Ada yang ingin bapak katakan padamu, Nak." Balas pak Rosyid. Edi sudah paham sebelum dijelaskan.

"Saya dapat informasi dari teman saya, di dinas pendidikan kabupaten. Katanya, ada undangan beasiswa dari Universitas Negeri di ibu kota provinsi. Saya disarankan agar mencari calonnya."

"Boleh berikan saya infonya lebih jelas nggak, Pak?"

"Nanti saya kirim lewat pesan WA ya. Ngomong-ngomong, kamu udah prsiapkan dokumen-dokumennya? Entar panjang urusannya."

"Oh, kalau masalah itu jangan tanya lagi deh, Pak. Sebelum tamat dari SMA pun sudah saya siapkan. Tinggal sekolahnya lagi yang belum jelas, Pak."

"Tapi sekarang semua sudah komplit kan? Tiggal tunggu wakru lagi. Udah dulu, ya, bapak sekarang sedang mengoreksi kertas jawaban adik-adikanmu, mereka sedang masa ujian."

"Ya sudah kalau begitu, Pak." Telepon itu terputus seketika. Edi meletakkan ponselnya ngasal di atas meja, yang mulai sibuk sendiri menyibak-nyibak tumpukan buku di sekelilingnya. Entah apa yang ingin dicarinya sampai harus sebegitunya.

Lima belas menit berlalu, kipas angin masih berderit mengiringi suara tumpukan buku yang berjatuhan di bawahnya. Ketika Edi kembali menyusun tumpukan-tumpukan yang jatuh itu, dia melihat sebuah buku yang tampaknya baru diletakkan di tumpukan. Dia membuka buku itu asal, lalu melihat gambar-gambar universitas di negeri ini. Beberapa motivasi juga ia dapat di sana, dalam benaknya terpikir, "Walau aku hanya nantinya mendapat peluang di universitas lagi, di ibu kota provinsi itu, aku juga bakal menyetarai mahasiswa di universitas ternama ini. Aku bakal jadi tokoh, psti bisa itu!" Semangatnya berkobar walau belum jelas keterangan beasiswanya itu.

Setelah menutup buku itu, lamunan demi lamunan terus mendera Edi, ia mengingat pikirannya saat awal melihat gambar u iversitas tadi, lalu mengaitkan degan petuah pak Rosyid saat ia baru menginjakkan kakinya di SMA. Petuah itu berisi, "Bukan besar sekolahmu yang menentukan kesuksesanmu, akan tetapi keoptimisan yang ada di dalam hati kecilmu. Optimis itu bekerja sama dengan otak, apabila ini sudah terjadi, semangatmu walau sekecil apapun sekolahmu, tidak menentukan masa jayamu kedepannya. Pak Rosyid emang sangat beruntung, keberuntungan mendapatkan muridnya yang satu ini. Tiada sedikit pun petuah-petuah di dunia itu yang dilupakannya.

Edi yang sedang bangga tak kepalang langsung melirik jam di pergelangan tangannya, saatnya tutup lapak. Dengan cekatan, Edi meraih Ontel tua itu, dan bergegas kembali ke kos. Di perjalanan pulang, dia melihat suasana asri kota itu. Pikirannnya melayang-layang mengingat masa kecilnya suram, ia tak terpikir seperti sekarang ini kalau misalnya tidak terbesit di hatinya untuk merantau ke kota.

Di kosannya, ia langsung bergegas untuk mandi, di sela mandinya, pintu depan bergetar mengeluarkan bunyi ketokan. Tetapi dia masih konsisten dalam mandinya, Edi baru mendemgarnya ketika keluar dari kamar mandi. Dengan cekatnya ia bergerak mengenakan pakainnya lalu keluar dan melirik dari jendela. Ini merupakan kebiasaannya yang tidak pernah dilupakan, karena sejak di kampung tidak pernah ada kriminal yang dideranya. Untuk itu, selama ia tinggal di kota jadi semakin hati-hati untuk menjaga diri.

Di balik jendela terlihat seorang lelaki, berjenggot mengenakan kain sarung dan baju kaos polos, itu bapak kos Edi. Tanpa panik dan gegabah, ia segera membuka pintu, seraya menariknya hingga menyentuh dinding dan berdecit,

"Tunggu, Pak." Ujarnya singkat dan berlari kecil ke kamarnya.

Tiada suatu apa pun yang memberatkan pikirannya, hingga bapak kos datang pun

ia langsung paham. Artinya tagihan bulanan telah sampai. Tidak seperti kebanyakan muda-mudi yang menunggak uang bulanan, ia sangat gesit kalau soal tagih menagih, tidak ingin menyesakkan isi kepalanya. Ditambah dengan pekerjannya di toko buku bekas itu. Saking disiplinnya dalam bekerja, selalu ada komisi dari pemilik toko itu.

Tidak seperti kebanyakan anak kos, sudah numpang malah nunggak, kalau foya-foya bisa. Memang cara pola pikir generasi sekarang ini semakin bobrok saja, Edi yang berbeda haluan dengan anak kos lainnya selalu menanamkan di benaknya ungkapan Bung Karno, "Walaupun kalah nasi, tetapi tidak kalah aksi!"

Bapak kos yang tadinya menunggu di luar kini menghampiri Edi dengan amplop yang ada di genggamannya. Edi mengulurkan tangan dan disambut oleh bapak kos dengan Sunffingan di sela-sela bibirnya.

"Terima kasih, Ka." Tuturnya, itu merupakan kebiasaannya setiap membayar tagihan, bukan sebaliknya. Karena ia tahu bahwa jasa kos orang inilah yang menjadikannya seperti saat ini. Kalau tidak ada kosan ini, apa mungkin ia bisa hidup gelandangan di kota ini? Ia tidak tahu juga kan ini rahasia Tuhan?

Hari-hari berlalu begitu cepatnya. Pagi itu, usai salat subuh. Edi seperti kegiatannya biasanya, lari berkeliling komplek untuk mengeluarkan peluhnya. Ini merupakan rutinitas sejak ia duduk di bangku kelas dua menengah atas. Di sela-sela lari, hp-nya berdering, tangan kanan menyerogoh saku celana,  

 "Halo, ini siapa ya "Tanya Edi langsung karena identitasnya tidak ada, dalam artian nomor baru.

"Apa benar nomor ini atas nama saudara, Edi?” Tanya suara di balik hp,

"Ya, saya Edi,  ada apa, ya?"

"Kami dari Dinas Pendidikan Kabupaten. Saya dapat kabar dari pak Rosyid, katanya kamu ini sedang mencari beasiswa, apa benar? ”

”Ya, benar sekali, Pak.

”Untuk itu, pagi ini kamu dan pak Rosyid agar datang ke kantor. Saya tunggu,”

“Sudah dulu, ya. Nanti di kantor kita lanjut. Dan jangan lupa disertakan dokumen yang disarankan pak Rosyid itu.” Sambung orang itu.

Alangkah bahagianya ia pagi ini. Sambil kembali ke kos, ia melepas jaketnya dan berlari cepat mengartikan bahagianya tak kepalang tak sabar ingin secepatnya bertemu dengan orang tadi.

Di kosannya yang lengang, ia telah bersiap-siap. Burung-burung meleguh riang melihat sinar mentari, sama dengannya. Akan tetapi ia bolak-balik seperti mencari sesuatu. Ternyata setelah lama ke sana -kemari, bukan mencari sesuatu tetapi memastikan kerapian pada badannya. Ia memang level orang biasa, tetapi setiap bergaya selalu dengan bawaan yang penuh wibawa walau sederhana tidak menyurutkan semangatnya dalam bergaya. Diiringi pantofel yang ia pinjam dari teman kosnya, karena ia masih berstatus pedagang buku. Ya, buat apa pantofel?

Edi sudah memastikan penampilan dan bawaannya komplit, saatnya untuk bergegas. Ia menuju persimpangan jalan di ujung Lorong rumah kos. Sesampainya, ia langsung memanggil tukang ojek yang mangkal di bekas halte tua.

”Ngojek, mas?” Tanyanya sambil menghampiri motornya.

Motor itu melaju begitu gesitnya menuju Dinas Pendidikan Kabupaten di pusat kota, kira -kira dua puluh menit waktu tempuh dari kosan Edi. Di tengah jalan, ia menikmati suasana pagi kota. Kendaraan pribadi maupun umum berlalu lalang menuju tujuan masing-masing, anak sekolahan berjalan menuju markas ilmu atau sekolah.

Mas ojek menyalakan lampu sen, ia langsung putar stang dan langsung masuk kawasan kantor.

”Berapa, mas?”

”Lima ribu, Bang.” Kata tukang ojek sambil menerima selembar uang dari Edi.

Nomor yang tadi pagi baru menghubunginya ia coba untuk menelpon kembali. Sebelum ia membuka hp, pundaknya disentuh, ia pun kaget bukan buatan. Lalu dibaliknya kepalanya dan langsung saja ekspresi muka yang semula pucat akibat kaget kini menjadi senyum, ternyata pak Rosyid,

”Ayo langsung saja, nggak perlu lama. Toh nanti kalau kamu cepat masuk, kan cepat juga kelarnya.” Kata pak Rosyid langsung sambil menggandeng bahu Edi dan menuntunnya masuk.

Kantor itu disesaki oleh para pegawai kantor dan orang yang memiliki urusan terkait, termasuk pak Rosyid dan Edi. Mereka berdua berjalan menuju salah satu ruangan yang berada dalam kantor. Langkah pak Rosyid terhenti ketika berpapasan dengan pintu ruangan,

”Silahkan masuk.” Ujar orang di dalam langsung, karena mungkin ia melihat kedua orang itu dari jendela kaca kecil yang melekat pada pintu.

Pak Rosyid membuka pintu dibarengi Edi, mereka dipersilakan masuk dan duduk tepat di depan bapak itu. Ya, dia itu adalah pak Salim , pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten yang tadi pagi menelpon Edi.

Tanpa ada sedikit pun basa-basi, mereka langsung to the point membicarakan masalah beasiswa yang akan didapat Edi. Kata pak Salim, Edi harus mengikuti tes yang nanti akan diadakan oleh Dinas serta melengkapi beberapa persyaratan berupa dokumen dokumen penting. Saat itu juga pak Rosyid memberikan dokumen terkait kepada pak Salim.

”Siap, Pak, saya akan menanganinya semaksimal mungkin.” Ujar pak Salim.

Sepulang dari Dinas Pendidikan, pak Rosyid berpesan agar Edi bersungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Edi dengan santun menerima masukan demi masukaan pak Rosyid yang tak pernah rasanya dia menerimanaya.

Hari demi hari menjadikan minggu, minggu demi minggu menjadikan bulan. Sebulan usai ujian masuk perguruan tinggi jalur beasiswa, Edi dinyatakan lulus dan diharapkan agar segera mengatur segala urusan untuk nanti kuliah. Karena letak universitas itu di ibukota provinsi. Pak Rosyid yang mendapat informasi terharu, murid unggulnya benar-benar menunjukkan bukti nyata perjuangan menuntut ilmunya yang sangat-sangat optimistis itu.

Hari ini adalah hari spesial keluarga Edi dan sangat spesial bagi pak Rosyid. Edi yang dulunya anak kampung merantau ke ibukota kabupaten untuk menyambung jenjang pendidikannya hari ini naik level merantau ke ibukota provinsi untuk lebih mendalami ilmu dalam bentuk kelas sarjana.

Mobil angkutan lintas kabupaten sudah bersiap menunggu di depan kosannya Edi. Segala bentuk barang sudah siap diangkut dan berangkat. Edi kemudian meminta restu kepada orang tuanya agar perjalanan menimba ilmunya berjalan dengan lancar, orang tuanya sengaja memaksakan diri datang dari kampung ke kota demi anaknya yang rakus akan ilmu itu. Tidak lupa juga dia kepada bapak kos yang telah memberinya tempat tinggal layak selama tiga tahun lebih dan juga bapak pemilik toko buku bekas yang memberinya lapangan pekerjaan di sela masa penantiannya. Terkusus kepada pak Rosyid yang telah membantunya mendapatkan lowongan sekolah lanjutan dan telah memberinya banyak ilmu serta masukan.

”Terima kasih atas semuannya selama ini, Pak.”

”Sama-sama, Anakku, saya juga sebegininya karena melihat semangat juangmu yang selalu berkobar. Pesan saya hanya belajarlah dengan hakikat belajar sesungguhnya, jadi orang besar dan majukan negeri kita tercinta ini. Hapus serta musnahkan bibit perusak negara!” ucap pak Rosyid sambil menyeka air matanya, lalu Edi memeluknya erat-erat hingga sopir angkutan memerintahkan supaya penumpangnya cepat naik. Pak Rosyid melepas rangkulan sekaligus mempersilahkan Edi segera memasuki mobil. Semua yang melihat pemuda berjiwa penyemangat itu terharu.

Di atas mobil itu, Edi melamuni masukan demi masukan dan berusaha mengingat-ingat ucapan sang guru si pengobar api semangatnya, dalam hatinya berkata, ”Semua ini kudapat bukan hanya karena semangatku saja, itu hanya serpihannya. Bagian intinya adalah atau apakah mungkin karena aku selalau berusaha takzim kepada guruku itu, entahlah. Yang terpenting sekarang adalah aku ini berhasil karena ketakziman, mungkin saja. Karena Tuhan selalu menolong hambaanya sekuat keinginan hamba tersebut selama itu baik.

 

Ditulis di Gedung Makkah, Sudan, Madinah dan Auditorium Darul Amin. Selesai Selasa 16 September 2024. 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)